Tidak banyak sumber
sejarah yang menjelaskan asal-usul keberadaan Yahudi di wilayah Hijaz yang
meliputi Mekah, Madinah, Thaif, Khaibar, Fadak, Taima dan sekitarnya. Sumber
sejarah yang ada, terbatas pada beberapa catatan sejarawan muslim, yang berarti
penulisannya dilakukan setelah kedatangan Islam. Sementara catatan sejarah
sebelum Islam, bisa dikatakan sangat langka. Itupun terbatas pada ungkapan para
penyair dalam puisi-puisi mereka. Alhasil, permulaan kedatangan masyarakat
Yahudi ke Hijaz tidak dapat dipastikan, karena tidak didukung data dan fakta
yang memadai.
Namun berbagai indikator
menunjukkan, keberadaan masyarakat Yahudi di tanah Hijaz sudah berlangsung
sejak lama. Kondisi politik yang tidak stabil di Palestina sejak penyerangan
Babilonia hingga Romawi, mendesak masyarakat Yahudi mencari perlindungan bahkan
pemukiman baru di pelbagai daerah, terutama daerah-daerah yang memiliki
hubungan langsung dengan Palestina, seperti Hijaz. Selain faktor politik di
Palestina, kesuburan tanah di beberapa wilayah Hijaz, seperti Yatsrib
(Madinah), Khaibar, Taima, Wadi al-Qura dan Fadak, mendorong masyarakat Yahudi
untuk menjadikannya sebagai alternatif pemukiman baru bagi mereka (Jawad Ali :
3675).
Aspek Sosial Politik
Di pemukiman baru
tersebut, masyarakat Yahudi hidup berdampingan dengan pribumi yang telah lebih
dulu tinggal di tempat itu. Kondisi ini memaksa mereka melakukan penyesuaian
dengan budaya dan tradisi lokal. Meskipun di Madinah, Khaibar dan Wadi al-Qura,
mereka berhasil mendominasi berbagai aspek kehidupan tapi mereka tetap tidak
dapat menghindari tuntutan-tuntutan pragmatis di tempat baru.
Cara berpakaian dan nama
mengikuti tradisi Arab. Samuel bin Yazid, Zubair bin Batha, Sallam bin Misykam,
Huyay bin Akhthab, adalah nama-nama tokoh Bani Qainuqa` dan Bani Nadhir.
Komunikasi sehari-haripun menggunakan bahasa Arab, meskipun masih ada pengaruh
aksen Ibrani. Bahkan sebagian dari kalangan Yahudi dikenal pandai berpuisi
dalam bahasa Arab, diantaranya adalah Ka`b bin Sa`d al-Qurazhi, Sarah
al-Qurazhiyah, Rabi` bin Abi al-Huqaiq dan Ka`b bin Asyraf (Jawad Ali: 3738).
Tidak hanya bahasa dan
budaya, pernikahan antara etnik Bani Israil dan Arab juga tidak dapat
dihindari. Ka`b bin Asyraf adalah contohnya. Menurut salah satu riwayat,
ayahnya adalah keturunan Arab Thai’ sedangkan ibunya berdarah asli Bani Israil.
Jawad Ali memberi alasan, perkawinan silang antar etnik ini dapat terjadi
karena –antara lain—sejumlah orang Arab memeluk agama Yahudi.
Ketika masyarakat Yahudi
tiba di Madinah, sejumlah kabilah Arab kecil telah mendiami kota tersebut.
Namun demikian, klan-klan besar Yahudi, seperti Bani Nadhir, Bani Quraizhah dan
Bani Qainuqa` berhasil menempati tempat-tempat strategis. Daerah `Awali (Wadi Mudzainib),
Wadi Mahzur dan Wadi Buth-han yang merupakan sumber air di Madinah, berhasil
dikuasai. Selain tanah, mereka juga menguasai perdagangan. Pasar Bani Qainuqa`
menjadi pasar paling ramai dan lengkap, sekaligus jantung perekonomian Madinah.
Sejak kedatangan Aus dan
Khazraj, dua klan Arab berasal dari Azd (Yaman), dominasi Yahudi di Madinah
mulai pudar. Aus dan Khazraj berhasil menggeser posisi Yahudi meskipun tidak
dapat menguasai daerah-daerah subur yang menjadi pemukiman dan kebun mereka.
Kehadiran Aus dan Khazraj
yang mengancam hegemoni dan stabilitas masyarakat Yahudi tidak disikapi secara
konfrontatif. Masyarakat Yahudi lebih mengutamakan perlindungan internal dengan
membangun bangunan-bangunan kokoh di daerah pemukimannya dalam bentuk benteng,
atham (semi benteng) dan ratij (rumah berdinding tanah liat). As-Samhudi –dalam
kitab Wafa’ al-Wafa—menyatakan terdapat lebih dari 59 atham dan ratij milik
Yahudi di Madinah.
Di dalam batas lingkungan
eksklusif itulah, masyarakat Yahudi melakukan segala aktivitas yang terkait
antara sesama meraka, sehingga kondisinya mirip dengan komunitas Ghetto yang
identik dengan budaya masyarakat Yahudi di seluruh penjuru dunia semasa
diaspora.
Dalam berhubungan dengan
komunitas lain di Madinah, masyarakat Yahudi tampaknya lebih bersikap
pragmatis. Perpecahan di kalangan internal Yahudi mendorong mereka untuk
membangun aliansi dengan masyarakat Arab guna memperkuat posisinya. Bani
Qainuqa` beraliansi dengan Khazraj, sedangkan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah
beraliansi dengan Aus (al-Syarif: 267).
Perpecahan internal Yahudi
bukan semata-mata strategi jitu mereka untuk memecah belah kekuatan Aus dan
Khazraj yang menjadi rival mereka. Sekalipun secara tidak langsung, tujuan
tersebut tercapai. Pada kenyataannya, klan-klan Yahudi itu memang pecah,
terutama setelah menapaki puncak kekuasaan di Madinah. Bani Nadhir dan Bani
Quraizhah memandang status mereka lebih terhormat daripada Bani Qainuqa`. Kedua
klan Yahudi tersebut berasal dari garis keturunan al-Kahin (Cohen), keturunan
Nabi Harun as yang dikenal relijius dan sangat terhormat (Ibn Hisyam: 2/202).
Aspek Ekonomi
Sejak sebelum kedatangan
Aus dan Khazraj hingga masa Islam. Yahudi Madinah tetap menguasai perekonomian
kota tersebut. Bani Nadhir dan Bani Quraizhah menguasai tanah-tanah tersubur,
sedangkan Bani Qainuqa` mengusai pasar terbesar. Kemahiran masyarakat Yahudi
dalam bercocok tanam yang diwarisi dari Palestina juga mereka terapkan. Begitu
juga kelihaian membuat perhiasan, pakaian, baju perang, senjata, alat-alat
pertanian dan profesi lainnya semakin mengokohkan dominasi mereka atas
perekonomian Madinah.
Perdagangan valuta dan
praktik riba juga dikenal luas di Madinah. Dalam hal ini, tokoh-tokoh Yahudi
dan Arab memainkan peran yang sama. Bunga riba yang dibebankan kepada peminjam
kadang-kadang lebih besar dari jumlah utang, sehingga menciptakan kesenjangan
sosial dan memicu banyak konflik (al-Syarif: 301-302).
Hubungan dagang para
saudagar Yahudi Madinah dan Khaibar terjalin dengan baik. Letak Madinah sebagai
transit kafilah-kafilah dagang Quraisy yang bertolak menuju pasar-pasar besar
di Gaza dan Syam tentu dimanfaatkan dengan baik oleh para pedagang domestik
Madinah. Begitu juga Khaibar yang terletak di persimpangan jalan dagang
kafilah-kafilah Ghathafan dan beberapa kabilah Najed lainnya.
Aspek Pendidikan dan
Keagamaan
Lingkungan eksklusif
masyarakat Yahudi di Madinah menjadi tempat ideal untuk mengembangkan
pendidikan dan tradisi keagamaan. Lembaga pendidikan Yahudi di Madinah dikenal
dengan nama Bait al-Midras yang berasal dari bahasa Ibrani, Midrash, yang
berarti kajian dan penjelasan teks-teks kegamaan. Tampaknya, Midras juga
berfungsi sebagai tempat ibadah dan pertemuan penting untuk membahas
masalah-masalah agama (Jawad Ali: 4876).
Meskipun orang-orang
Yahudi tidak tertarik menyebarkan agama, tapi bukan berarti tidak ada orang
Arab yang memeluk Yahudi. Kondisi sosial yang majemuk, kebutuhan pragmatis yang
berkaitan dengan ekonomi dan keamanan, serta faktor-faktor lainnya, membuat
orang-orang Yahudi berkepentingan dengan adanya orang-orang Arab yang memeluk
agama mereka. Namun perlu dicatat, pilihan memeluk agama Yahudi ini dilakukan
oleh individu-individu dan tidak ada fakta yang menyebutkan perpindahan agama
secara massif yang dilakukan oleh satu kabilah Arab secara bersama-sama
(al-Syarif: 248).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar