Perkembangan
gerakan feminisme sebagai gerakan politik dan intelektual memang haruslah
diakui memberikan sumbangan positif, juga secara politik dan intelektual.
Meskipun demikian, bukan berarti kita kemudian sepenuhnya menjadi “westernize”
dengan mengabaikan nilai-nilai dan filosofi positif, bahkan sangat unggul,
dalam tradisi dan budaya kita sendiri. Sementara itu, dalam konteks modernitas,
sebagaimana juga diakui oleh para aktivis dan intelektual feminis, arus
kapitalisme dengan komodifikasi-nya merupakan ancaman lain bagi perempuan. Kita
bisa lihat dalam dunia pasar kapitalisme, perempuan pun tak luput dari
komodifikasi atau pembendaan, menjadi komoditas dan instrumen penjualan
kapitalisme, utamanya tubuh perempuan yang diekspose habis-habisan demi merayu
dan menyedot hasrat para konsumen untuk membeli komoditas. Lihat saja betapa
seringkali iklan-iklan dan reklame menggunakan tubuh perempuan –dari iklan
sabun mandi, kosmetik hingga iklan-iklan otomotif.
Di
media-media dan juga di tempat-tempat lain dalam arena pasar, iklan, dan forum
penjualan alias tempat-tempat dan media-media perdagangan, tubuh-tubuh
perempuan di-ekspose, hingga tanpa sadar perempuan itu sendiri dengan
sendirinya turut menjadi komoditas alias dagangan dalam bentuknya yang lain.
Gerakan untuk membebaskan perempuan melakukan apa saja sesuai dengan apa yang
diinginkannya, disambut dengan gembira oleh kapitalisme dan pasar-pasarnya.
Bila kita datang ke pameran-pameran otomotif berkelas nasional atau
internasional, misalnya, kita akan melihat bersamaan dengan produk-produk
otomotif yang dipamerkan, di sana hadir “tubuh” perempuan yang turut melengkapi
dan “memperindah” komoditas-komoditas otomotif yang dipamerkan dan dijajakan
itu sendiri –sehingga dapatlah dikatakan sadar atau tanpa sadar, perempuan itu
sendiri adalah komoditas yang lain dalam rangka memuluskan penjualan komoditas
yang lainnya lagi.
Hal
serupa juga akan kita dapatkan bila kita membaca dan membuka lembar-lembar
media-media cetak kaum metropolis dan kosmopolit, utamanya semisal
majalah-majalah fashion, fotografi dan yang sejenisnya. Di sana yang ada adalah
perempuan dan tubuhnya di-ekspose dalam rangka penjualan dan dalam rangka
mengiklankan sejumlah komoditas. Inilah yang kemudian oleh orang-orang yang
kritis disebut sebagai “komodifikasi perempuan” di era kapitalisme jaman kita
saat ini. Barangkali praktik peng-ekspos-an perempuan dan “tubuhnya” di jaman
ini tak ubahnya di jaman-jaman klasik Yunani dan Romawi, di mana perempuan
dianggap dan diperlakukan sebagai property (benda dan kepemilikan semata) yang
tidak punya hak suara dan hak pilih (menentukan sendiri pilihan dan
keputusannya atau ikut memilih dalam konteks sosial-politik) dan disamakan
kedudukannya dengan sayur-mayur dan binatang ternak. Itulah sebuah jaman silam
ratusan tahun lalu, era yang lain, ketika perempuan dan tubuhnya tak lebih
hanya komoditas. Dan Islam menolak itu semua. Islam menolak dan menentang keras
upaya dan praktik “komodifikasi” perempuan. Sayyidah Fatimah Azzahra (salam
sejahtera atasnya) berkata: “Yang terbaik
bagi wanita ialah hendaknya ia tidak melihat lelaki lain tidak dilihat lelaki
lain”.
Dalam
Islam sendiri, sebagaimana jamak diketahui oleh kita semua, salah-satu sarana
dan perintah untuk melindungi perempuan adalah dengan adalah hijab dan lembaga
pernikahan atau institusi keluarga. Dalam hal ini, sebagai contoh, Syahid
Ayatullah Murtadha Muthahhari menyatakan: “Tak
diragukan lagi bahwa apa saja yang memperkuat akar keluarga dan mempererat
hubungan pernikahan adalah baik bagi keluarga. Usaha sangat serius untuk
mencapai hal ini harus dilakukan. Demikian pula sebaliknya, apa pun yang bisa
menyebabkan hubungan suami dan istri menjadi dingin yang kemudian dapat mengganggu keharmonisan keluarga harus
dilawan. Menemukan pemenuhan hasrat seksual di dalam lingkungan keluarga dan
dalam kerangka pernikahan yang sah akan memperkuat hubungan suami-istri dan
akan menyebabkan penyatuan mereka menjadi lebih stabil” (Lihat Murtadha
Muthahhari, Hijab Citra Wanita Terhormat,
Pustaka Zahra Jakarta Mei 2003, hal. 27-28).
Namun,
ternyata, sebagaimana tampak dan tercermin di media-media dan pameran-pameran
penjualan dan pengiklanan di jaman kapitalisme kontemporer kita saat ini, tubuh
perempuan tak sekedar menjadi komoditas dalam arti dan pengertian yang biasa
–namun lebih dari itu, yang dalam istilah para analis kontemporer, tubuh
perempuan di jaman kita saat ini telah menjadi meta-komoditas alias menjadi
komoditas yang digunakan untuk menjual –mengkomunikasikan, mengiklankan,
mengkampanyekan, komoditas-komoditas lainnya, yang contohnya adalah ketika
pameran otomotif terbaru yang berkelas nasional atau pun internasional
menggunakan paha mulus, tubuh molek, dada padat dan sintal, atau wajah-wajah
cantik penuh polesan kosmetik para perempuan yang lazim disebut SPG atau Sales
Promotion Girls itu dalam rangka merayu dan membujuk para konsumen agar mau
mendekati dan melihat barang-barang otomotif yang dipamerkan dan dijajakan. Dan
tentu saja, sekali lagi, Islam menolak penistaan atau instrumentalisasi
perempuan seperti yang telah disebutkan itu.
Rupa-rupanya,
sebagaimana sama-sama kita ketahui dan kita rasakan bersama, jaman kontemporer
kita ini, sebagaimana dinyatakan Martin Esslin dalam The Age of Television (1982) adalah sebuah era dan jaman ketika masyarakat,
di sudut mana pun masyarakat itu tinggal, bertempat, dan berada, tengah diserbu
secara massif dan seakan tak kenal jeda oleh-oleh iklan-iklan dan reklame
penjualan, yang seperti telah disebutkan, menggunakan tubuh perempuan sebagai
meta-komoditasnya –dan menurut Martin Esslin televisi-lah yang menjadi agen
utamanya. Tak peduli Anda berada di pedesaan, di gubuk-gubuk kumuh perkotaan,
di hunian mewah, di kost-kost, kontrakan, atau di tempat-tempat lainnya, selama
Anda memiliki televisi dan menontonnya, maka Anda takkan luput dari serbuan iklan
dan reklame penjualan tersebut –yang seringkali menggunakan tubuh perempuan sebagai
komoditasnya. Di sisi lain, tubuh perempuan tersebut ketika menjadi
meta-komoditas atau instrument bagi penjualan sejumlah komoditas, sebenarnya
juga telah menjadi komoditas lain yang dikonsumsi oleh para konsumen bersamaan
ketika tubuh perempuan tersebut menjadi instrument atau media iklan bagi
penjualan sejumlah komoditas dalam era dan jaman kapitalisme kita sekarang ini.
Barangkali
kita perlu bercermin dan menengok sejenak ke sebuah jaman di abad ketujuh
Masehi, ketika bangsa-bangsa pagan Yunani dan Romawi mempertukarkan perempuan
layaknya hadiah dan barang dagangan, seorang Rasul, yaitu Nabi Muhammad Saw,
berjuang keras melawan penistaan terhadap perempuan dan “memerangi” kebiasaan
sebuah masyarakat dan bangsa yang menjadikan dan memposisikan para perempuan
tak ubahnya property dan komoditas semata. Sang Rasul itu, bahkan menganjurkan
kepada masyarakat dan bangsanya, juga kepada kita semua sebagai pengikutnya,
agar sangat menjunjung tinggi dan menghormati perempuan, “Takkan memuliakan seorang perempuan kecuali seorang yang mulia dan
takkan menghina seorang perempuan kecuali seorang yang hina. Sebaik-baik kamu
adalah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik di antara
kamu terhadap keluargaku”. Betapa sarat makna pesan Rasulullah tersebut,
agar seseorang menghormati perempuan sebagai “pribadi”, bukan sebagai benda
atau komoditas, sekaligus mengingatkan bahwa institusi keluarga adalah benteng
utama untuk menghindari perselingkuhan dan pelacuran –menghindari upaya
komodifikasi seks dan perempuan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar