Oleh Syaikh Muhammad
Mar’i al-Amin al-Antaki
Hadis Manzilah
Hadis manzilah ini
merupakan sabda Nabi Saw kepada ‘Ali As, “Apakah engkau tidak puas wahai ‘Ali,
kedudukanmu di sisiku ibarat kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada
nabi sepeninggalku.”
Kaum Muslimin sepakat
terhadap kesahihan hadis yang mulia tersebut, dan mereka meriwayatkan hadis
tersebut dalam kitab-kitab sahih dan musnad mereka, dengan
sanad-sanad yang kuat dan jalur yang banyak. Sebab mengapa Rasulullah Saw
menyampaikan hadis yang mulia ini adalah, sebagaimana yang diriwayatkan para
ahli hadis dan sejarah, bahwa ketika ia hendak berangkat dalam perang Tabuk, ia
menugaskan ‘Ali untuk menggantikan Nabi Saw dalam mengurus Madinah. ‘Ali As
berkata kepada Nabi Saw, “Aku tidaklah merasa tenang bila engkau pergi ke suatu
tempat, kecuali aku ikut bersamamu.” Nabi Saw bersabda, “Apakah engkau tidak
puas (tenang) wahai ‘Ali, kedudukanmu di sisiku, seperti kedudukan Harun di
sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku.”
Kita tidak mungkin
menyebutkan semua sumber yang meriwayatkan hadis ini dalam buku sederhana ini
lantaran perawi dan sumbernya sangat banyak dengan jalur yang beragam. Akan
tetapi, kami akan mencoba menyebutkan beberapa perawi dan sumber hadis tersebut
kepada Anda untuk mengukuhkan hujjah kami dan menambah faidah untuk kita semua.
Al-Bukhari meriwayatkan
hadis manzilah ini dalam Shahîh-nya, jil. 3, hal. 54,
bab “Peperangan”, sub-bab “Perang Tabuk”, juga dalam jil. 2, hal. 185, bab
“Permulaan Ciptaan,” bab “Manaqib ‘Ali bin Abi Thalib As.”
Muslim meriwayatkan hadis
manzilah ini dalam Shahîh-nya, jil. 3, hal. 236 dan
237, bab “Keutamaan Sahabat,” sub-bab “Keutamaan-keutaman ‘Ali As.” Ahmad
meriwayatkannya dalam Musnad-nya, jil. 1, hal. 98, 118 dan 119. Al-Hakim
dalam al-Mustadrak, jil. 3, hal. 109 dan ia mensahihkannya sesuai
syarat yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim.
Ibnu ‘Abdil Barr
meriwayatkannya dalam al-Isti’âb, jil. 2, hal. 473, dalam biografi
‘Ali. Al-Muttaqi al-Hindi dalam Kanzul ‘Ummâl, jil. 6, hal.
152-153. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al-Ishâbah, jil. 2, hal. 507,
dalam biografi ‘Ali. Ibnu Hajar dalam ash-Shawâiqul Muhriqah,
hal. 30 dan 74. Asy-Syablanji dalam Nurul Abshâr, halaman 68. Ibnu
‘Abdi Rabbih dalam al- ‘Iqdul Farîd, jil. 2, halaman 94.
An-Nasa’i dalamKhasâ’ish-nya, halaman 7 dan 15. Al-Hafizh
Abu Na’im dalam Hilyatul Auliyâ’, jil. 7, halaman 96 Ibnu
Hisyam dalam as-Siyar, jil. 2, halaman 520. Abul Fida’ dalam al-Bidâyah
wan Nihâyah, jil. 7, halaman 339.
Al-Muhibb ath-Thabari
dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ, halaman 63. Al-Qunduzi dalam Yanâbi’ul
Mawaddah, halaman 204. Al-Khawarizmi dalam al-Manâqib, halaman
79. Ibnu ‘Asakir dalam Târikh-nya, jil. 4,
halamn 96. Ibnu al-Atsir dalam Asadul Ghâbah,jil. 4, halaman 26.
Ibnu Abil Hadid dalam Syarh Nahjul Balâghah, jil.
2, halaman 495. Al-Kanji asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib, halaman
148.
Ibn Al-Jauzi di dalam Shafwatush
Shafwah, jil. 1, halaman 120. Abu Bakar al-Baghdadi dalam Târikh
Baghdâd, jil. 2, halaman 432. As-Sibth Ibnu al-Jauzi dalam at-Tadzkirah, halaman
22. Adz-Dzahabi dalamTadzkiratul Hufâzh, jil. 2,
halaman 95. Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabâqatul Kubra, jil. 3,
halaman 24. Al-Hamuyini dalam Farâ’idus Simthain, masih berupa
manuskrip.
Ibnu al-Maghazili
asy-Syafi’i dalam kitabnya Manâqib Amirul Mu’minin ‘alaihis salam, masih
berupa manuskrip.
Kelompok yang meriwayatkan
hadis manzilah dari Ahlus Sunnah ini jumlahnya mencapai tiga
puluh orang, yang kami tuturkan kepada Anda agar membuktikan kebenaran yang
kami yakini, tentang wilâyah dan imâmah Ahlulbait.
Selain itu, hadis manzilah ini
tidak diragukan lagi kesahihannya sesuai kesepakatan (ijma) kaum Muslim dari
semua mazhab dan aliran. Bahkan, Mu’awiyah, imam kelompok durjana dan musuh
Amirul Mukminin ‘Ali As, orang yang memeranginya, melaknatnya di atas
mimbar-mimbar kaum Muslimin, dan memerintahkan mereka untuk melaknat Imam’ Ali
As, tetapi meskipun permusuhannya yang demikian besar itu terhadap Imam’ Ali
As, ia tidak membantah hadis manzilah.
Karena besarnya kebencian
Mu’awiyah al-mujrim (pelaku kejahatan) terhadap ‘Ali As, ia
pada suatu hari berkata kepada Sa’ad bin Abi Waqqash, “Apa yang mencegahmu
untuk mencaci Abu Turab (‘Ali As)?” Sa’ad menjawab, “Adapun setelah aku
mendengar tiga hal yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw, oleh karena itu
aku tidak akan pemah mencacinya, seandainya aku mendapatkan satu dari ketiga
hal itu, niscaya lebih aku sukai daripada mendapatkan sekawanan unta merah
(harta yang paling berharga di kalangan Arab). Aku mendengar Rasulullah Saw
bersabda (kepada ‘Ali As), ketika itu ia memerintahkannya dalam suatu
peperangan (Perang Tabuk) untuk tetap tinggal (menggantikan posisinya mengurus
penduduk di Madinah), “Apakah engkau tidak puas (wahai ‘Ali), kedudukanmu di
sisiku, seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi
sepeninggalku?[1]
Hadis manzilah ini
juga dinukil oleh setiap penulis yang membahas Perang Tabuk dari kalangan ahli
hadis dan sejarah.
Ia juga dinukil oleh
setiap penulis yang menuliskan biografi Imam’ Ali As dari semua mazhab, baik
terdahulu maupun yang terkemudian. Dan juga diriwayatkan oleh setiap ulama dan
para imam yang menulis tentang manakib Ahlulbait dan keutamaan-keutamaan
sahabat.
Hadis manzilah (kedudukan
‘Ali di sisi Nabi Saw seperti kedudukan Harun di sisi Musa) ini diakui
kesahihannya oleh para ulama terdahulu dan terkemudian. Aku katakan, hadis manzilah yang
mulia ini secara jelas menunjukkan keutamaan Amirul Mukminin ‘Ali As menjadi
khalifah sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung.
Imam Syarafuddin Ra.
berkata dalam kitabnya al-Murâja’ât (Dialog Sunnah-Syi’ah),
“Hadis (manzilah) ini secara jelas menunjukkan dalil yang kuat lagi
meyakinkan dan keterangan yang nyata bahwa ‘Ali adalah putra mahkota Rasulullah
Saw dan khalifah sepeninggalnya. Bukankah Anda melihat bahwa Nabi Saw telah
menjadikan ‘Ali sebagai walinya di dunia dan akhirat, ia mengutamakannya atas
semua kerabat, menempatkan posisi ‘Ali di sisinya seperti Harun di sisi Musa,
dan ia tidak mengecualikan dalam semua kedudukan kecuali kenabian.
Anda mengetahui kedudukan
yang paling terang bagi Harun di sisi Musa adalah pembantunya (dalam misi
dakwahnya), meneguhkan dengannya kekuatannya, sekutunya dalam urusannya, dan
menggantikannya dalam memimpin kaumnya serta diwajibkan bagi seluruh umatnya
untuk menaatinya, sebagaimana firman Allah Swt,“Dan jadikanlah untukku
seorang pembantu dari keluargaku, yaitu Harun, saudaraku, teguhkanlah dengannya
kekuatanku, dan jadikanlah ia sekutu dalam urusanku.”(QS. Thaha [20]:
29-32).
Firman Allah Swt, “Gantikanlah
aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti
jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. al-A’raf [7]:142). Dan
firman Allah Swt, “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai
Musa.”(QS. Thaha [20]: 36).
Dengan demikian, ‘Ali
sesuai nash tersebut adalah khalifah Rasulullah Saw pada kaumnya, pembantunya
dalam keluarganya, dan sekutunya dalam urusannya berkenaan dengan kekhalifahan,
bukan kenabian dan orang yang paling utama di kalangan umatnya serta orang yang
berhak terhadapnya, baik selama hidup maupun setelah kematian, dan ia wajib
ditaati oleh umatnya, seperti Haman yang wajib ditaati oleh umat Musa pada zaman
Musa.
Rasulullah Saw juga telah
menerangkan perkara ini lebih jelas sehingga tampak sangat terang dengan
sabdanya, “Sesungguhnya tidak patut bagiku untuk pergi, kecuali engkau menjadi
khalifahku.” Sabda ini merupakan nash yang sangat jelas bahwa ‘Ali As adalah
khalifah Rasulullah, bahkan ia adalah nash yang terang bahwa bila Nabi Saw
pergi, sedangkan ia tidak menjadikan ‘Ali sebagai khalifahnya, maka ia telah
melakukan sesuatu yang tidak patut ia lakukan. Sebab, hal ini merupakan
perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla untuk menjadikan ‘Ali
sebagai khalifahnya, sebagaimana diriwayatkan berkenaan dengan tafsir firman
Allah Swt, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika engkau tidak kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti)
engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. (QS. al-Maidah [5]: 67)
Kemudian perhatikanlah
secara saksama sabda Nabi Saw, “Sesungguhnya tidak patut bagiku
untuk pergi, kecuali engkau menjadi khalifahku,” niscaya engkau
akan mendapati keduanya menuju pada satu tujuan. Dan hendaknya Anda juga jangan
melupakan sabda Nabi Saw kepada ‘Ali As, “Engkau adalah wali (pemimpin) setiap
Mukmin sepeninggalku” karena sesungguhnya ia merupakan nash yang
jelas bahwa ‘Ali As adalah pemimpin (khalifah) dan yang menggantikannya dalam
memimpin umatnya (sepeninggal Nabi Saw), sebagaimana dikatakan oleh al-Kumait
Ra, “Dan sebaik-baik pimpinan setelahnya adalah walinya (‘Ali As)
Sumber ketakwaan dan sebaik-baik yang terdidik.”
Al-‘Allamah al-Hujjah
al-Amini berkata dalam kitabnya al-Ghadir, sabda Nabi Saw, “Apakah
engkau fidak puas wahai ‘Ali, kedudukanmu di sisiku, seperti kedudukan Harun di
sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku,”[2] ia memberikan penetapan, yaitu derajat,
amal, kedudukan, kekuasan, dan pemerintahan bagi Amirul Mukminin ‘Ali As
kecuali apa yang telah dikecualikan berupa kenabian.
Sebagaimana kedudukan
Harun di sisi Musa, ‘Ali As juga khalifah Nabi Saw dan ia menempatkan kedudukan
‘Ali As seperti kedudukannya sendiri, bukan sekadar menugaskannya di Madinah,
sebagaimana yang diduga sebagian orang. Sebab, sebelum penugasan ini,
Rasulullah Saw telah menugaskan beberapa sahabatnya yang lain di beberapa
negeri dan Madinah.
Rasulullah Saw biasa
memerintahkan para sahabatnya dalam suatu misi peperangan, tetapi ia tidak
pemah berkata kepada seorang pun di antara mereka, sebagaimana yang ia katakan
kepada ‘Ali As, sesungguhnya kedudukan ini khusus bagi ‘Ali As saja, bukan
untuk yang lainnya.
Hadis manzilah ini
juga merupakan dalil kekhalifahan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As
sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung, dan juga menunjukkan kemaksuman
Imam ‘Ali As, sama sebagaimana kemaksuman Harun, kecuali kenabian, sebagaimana
yang telah Anda ketahui.
Catatan
[1] .
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, jil. 2, hal. 234. Bab
“Keutamaan-keutamaan ‘Ali”, al-Hakim dalam al-Mustadrak, pada permulaan hal.
109, jil. 3, dan ia mensahihkanya sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, dan
adz-Dzahabi dalam Talkhish-nya, dan ia mengakui kesahihan hadis ini sesuai
syarat Muslim.
[2] .
Lihat, Al-‘Allamah al-Hujjah al-Amini, al-Ghadir, jil. 3, hal.
199.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar