Kita tahu bersama, isu
lingkungan hidup semakin hari semakin menjadi isu yang sangat penting untuk
ditangani bersama, baik oleh Negara-negara maju maupun Negara-negara berkembang
atau Negara-negara Dunia Ketiga. Singkatnya merupakan keniscayaan bagi Utara dan
Selatan. Kita tahu juga, persoalan lingkungan, meski telah ditempuh beragam
upaya perawatan dan pencegahan dari kerusakan dan pencemaran, tidak semakin
membaik. Penanganan dan perbaikan pun belum sebanding dengan peningkatan
persoalan lingkungan itu sendiri. Kondisi lingkungan dan bumi, sebagaimana
sama-sama kita tahu dan kita rasakan, diperparah dengan terjadinya fenomena
perubahan iklim (climate change).
Kondisi persoalan
lingkungan yang tidak semakin membaik itulah, sebagai contohnya, yang juga
mendasari diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan
Berkelanjutan, yang telah berlangsung pada tanggal 13-22 Juni 2012 di Rio de
Janeiro, Brasil yang lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Bagi Indonesia,
menyepakati dokumen The Future We Want, sebagaimana tercermin dalam KTT Bumi
tersebut, menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat
global, regional, dan nasional. Dokumen itu memuat kesepahaman pandangan
terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia.
Isi Dokumen yang disepakati
itu mengenalkan konsep Sustainable Development Goals atau tujuan-tujuan
pembangunan berkelanjutan yang harus dipenuhi, baik oleh negara maju maupun
negara berkembang, untuk tetap menjaga prinsip-prinsip perlindungan lingkungan
saat meraih kesejahteraan ekonomi atau ‘ekonomi hijau’ (green economy). KTT
Bumi ini, yang juga disebut Rio+20, tersebut menjadi kelanjutan dari KTT Bumi
yang dilakukan di Rio de Janeiro pada 1992 silam. Pada saat itu, negara-negara
yang hadir juga mengeluarkan komitmen perlindungan lingkungan. Namun, yang
disayangkan dari Rio+20 adalah tidak adanya mekanisme evaluasi akan apa saja
hal-hal yang sudah dicapai negara maju dalam pemenuhan janji-janji tersebut
dari 1992 sampai sekarang.
Berikut KTT Bumi dan
Lingkungan yang Pernah Diselenggarakan:
Stockholm, Swedia (Juni 1972)
Konferensi internasional
lingkungan hidup atau United Nations Conference on Human Environment (UNCHE),
di Stockholm, Swedia adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan
konferensi pertama tentang lingkungan hidup yang diprakarsai oleh PBB yang
diikuti oleh wakil dari 114 negara. Konferensi ini juga merupakan penentu
langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global.
Dalam konferensi Stockholm
inilah untuk pertama kalinya motto: “Hanya Ada Satu Bumi“ (Only One Earth)
untuk semua manusia, diperkenalkan. Motto itu sekaligus menjadi motto
konferensi. Selain itu, konferensi Stockholm menetapkan tanggal 5 Juni yang
juga hari pembukaan konferensi tersebut sebagai hari lingkungan hidup se-dunia
(World Environment Day).
Salah-satu hasil dari KTT
tersebut adalah kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep pembangunan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup diidentikkan dengan
kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pembangunan yang masih rendah dan
pendidikan rendah, intinya faktor kemiskinan yang menjadi penyebab utama
kerusakan lingkungan hidup di dunia. Sehingga dalam forum tersebut disepakati
suatu persepsi bahwa kebijakan lingkungan hidup harus terkait dengan kebijakan
pembangunan nasional.
KTT itu menghasilkan
resolusi monumental, yaitu pembentukan badan khusus PBB untuk masalah
lingkungan United Nations Environmental Programme (UNEP), yang markas besarnya
ditetapkan di Nairobi, Kenya. UNEP merupakan motor pelaksana komitmen mengenai
lingkungan hidup dan telah melahirkan gagasan besar pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development). Gagasan pembangunan berkelanjutan diawali dengan
terbitnya Laporan Brundtland (1987), “Our Common Future”, yang memformulasikan
prinsip dasar pembangunan berkelanjutan.
Rekomendasi Konferensi
Stockholm Nomor 99.3. ditindaklanjuti dengan melaksanakan Convention on
International Trade in Endangered Species (CITES) atau Konvensi PBB mengenai
Perdagangan Internasional Jenis-Jenis Flora dan Fauna Terancam Punah. Misi dan
tujuan CITES adalah untuk menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari
kepunahan di alam melalui sistem pengendalian jenis-jenis tumbuhan dan satwa,
serta produk-produknya secara internasional.
Dalam dokumen Konfrensi
Stockholm “The Control of Industrial Pollution and International Trade” secara
langsung mendorong GATT untuk meninjau kembali kebijakannya agar tidak
menimbulkan diskriminasi terhadap Negara berkembang.
Rio de Janeiro, Brazil ( Juni
1992)
Sejak Konferensi
Stockholm, polarisasi di antara kaum developmentalist dan environmentalist
semakin menajam. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de
Janeiro, Brazil, pada 1992, merupakan upaya global untuk mengkompromikan kepentingan
pembangunan dan lingkungan. Jargon “Think globally, act locally”, yang menjadi
tema KTT Bumi menjadi populer untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah
terhadap lingkungan.
Topik yang diangkat dalam
konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan ozon,
penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya penggundulan
hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta penipisan
keanekaragaman hayati.
Berikut sejumlah hasil dan
rekomendasi dalam KTT tersebut:
Deklarasi Rio: Satu
rangkaian dari 27 prinsip universal yang bisa membantu mengarahkan tanggung
jawab dasar gerakan internasional terhadap lingkungan dan ekonomi.
Konvensi Perubahan Iklim
(FCCC): Kesepakatan Hukum yang telah mengikat telah ditandatangani oleh 152
pemerintah pada saat komperensi berlangsung. Tujuan pokok Konvensi ini adalah
“Stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang telah
mencegah terjadinya intervensi yang membahayakan oleh manusia terhadap sistem Iklim”.
Konvensi Keanekaragaman
Hayati: Kesepakatan hukum yang mengikat telah ditandatangani sejauh ini oleh
168 negara. Menguraikan langkah – langkah ke depan dalam pelestarian keragaman
hayati dan pemanfaatan berkelanjutan komponen – komponennya, serta pembagian
keuntungan yang adil dan pantas dari penggunaan sumber daya genetik.
Pernyataan Prinsip –
Prinsip Kehutanan: Prinsip – prinsip yang telah mengatur kebijakan nasional dan
internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip –
prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai
pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.
Komisi Pembangunan
Berkelanjutan Commission on Sustainable Development (CSD): Komisi ini di bentuk
pada bulan desember 1992. Tujuan CSD adalah untuk memastikan keefektifan
tindak-lanjut KTT bumi. Mengawasi serta melaporkan pelaksanaan kesepakatan
Konferensi Bumi baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. CSD
adalah komisi Fungsional Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) yang
beranggotakan 53 negara.
Agenda 21: Merupakan
sebuah program luas mengenai gerakan yang mengupayakan cara – cara baru dalam
berinvestasi di masa depan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan Global di
abad 21. Rekomendasi – rekomendasi Agenda 21 ini meliputi cara – cara baru
dalam mendidik, memelihara sumber daya alam, dan berpartisipasi untuk merancang
sebuah ekonomi yangberkelanjutan. Tujuan keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk
menciptakan keselamatan, keamanan, dan hidup yang bermartabat.
Genewa, Swiss (Juli 1996)
Amerika menerima
temuan-temuan ilmiah mengenai perubahan iklim dari IPCC dalam penilaian kedua
dan menolak penyeragaman penyelarasan kebijakan dan menyerukan pengikatan
secara hukum target jangka menengah. Menghasilkan Deklarasi Genewa. Berisi 10
butir deklarasi antara lain berisi ajakan kepada semua pihak untuk mendukung
pengembangan protokol dan instrumen legal lainnya yang didasarkan atas temuan
ilmiah. Deklarasi ini juga menginstruksikan kepada semua perwakilan para pihak
untuk mempercepat negosiasi terhadap teks protokol.
Johannesburg, Afrika Selatan
(2002)
Penyelenggaraan KTT
Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) pada 2002
di Johannesburg, Afrika Selatan, ditekankan pada plan of implementation yang
mengintegrasikan elemen ekonomi, ekologi, dan sosial yang didasarkan pada tata
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).
KTT tersebut telah
milahirkan kesepakatan komprehensif bidang kehutanan, yaitu dokumen Forest
Principles (Non-Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a
Global Consensus on Management, Conservation and Sustainable Development of all
Types of Forests). Kendatipun bukan merupakan komitmen yang mengikat, dalam
proses-proses internasional bidang kehutanan, dokumen Forest Principles
merupakan referensi utama serta jiwa bagi kerjasama antar bangsa.
Isu sentral yang dibahas
adalah antara lain: menghidupkan kembali komitmen politik pada tingkat paling
tinggi mengenai pengelolaan hutan berkelanjutan, peningkatan kontribusi sektor
kehutanan dalam upaya pengentasan kemiskinan, peningkatan pertumbuhan ekonomi,
peningkatan lapangan kerja, pembangunan pedesaan serta peningkatan
kesejahteraan umat manusia.
Pada akhirnya KTT
Pembangunan berkelanjutan mengadopsi tiga dokumen utama, yaitu:
[1] Deklarasi Johannesburg
yang menyatakan bahwa setiap negara memikul tanggung jawab dalam pembangunan
berkelanjutan dan kemiskinan.
[2] Rencana Aksi
Johannesburg mengenai pembangunan berkelanjutan (Johannesburg Plan of
Implementation/JPOI).
[3] Program kemitraan
(partnership) antar pemangku kepentingan dalam melaksanakan pembangunan
berkelanjutan.
Bali, Indonesia (Desember
2007)
Penyelenggaraan KTT
Pemanasan Global di Nusa Dua, Bali pada tanggal 13 – 15 Desember 2007 merupakan
momentum dalam upaya untuk membangun kesadaran semua warga bumi untuk berbuat
sekecil apapun demi menyelamatkan bumi, tempat yang menjadi sumber hidup dan
hidup kita bersama. Dalam konferensi tentang lingkungan hidup ini semua negara
ambil bagian dalam menentukan nasib bumi kita di waktu mendatang.
Dalam pertemuan ini
disepakati Bali Road Map, sebuah peta yang akan menjadi jalan untuk mencapai
consensus baru pada 2009 sebagai pengganti Protokol Kyoto fase pertama yang
akan berakhir pada tahun 2012. Inti dari Bali Road Map adalah:
[1] Respons atas temuan
keempat Panel Antar Pemerintah (IPCC) bahwa keterlambatan pengurangan emisi
akan menghambat peluang mencapai tingkat stabilitas emisi yang rendah, serta
meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan iklim.
[2] Pengakuan bahwa
pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk mencapai
tujuan utama.
[3] Keputusan untuk
meluncurkan proses yang menyeluruh, yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan
UNFCCC secara efektif dan berkelanjutan.
[4] Penegasan kewajiban
Negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara terukur,
dilaporkan dan dapat diverifikasi, termasuk pengurangan emisi yang
terkuantifikasi.
[5] Penegasan kesediaan
sukarela Negara berkembang mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan dan
dapat diverifikasi, dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, didukung
teknologi, dana, dan peningkatan kapasitas.
[6] Penguatan kerjasama di
bidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih-teknologi untuk
mendukung mitigasi dan adaptasi.
[7] Memperkuat
sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi
dan alih teknologi terkait perubahan iklim.
Salam,
Sulaiman Djaya
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar