Oleh Amal
Saad-Ghorayeb (Peneliti tamu di Carnegie Middle East Center)
Salah satu pelajaran utama perang Hizbullah versus Israel di Juli-Agustus
2006 adalah bahwa konsep perang asimetris yang dikembangkan AS di era 90-an
tidak relevan lagi. Performance Hizbullah yang ditunjukkan Hizbullah selama
perang membuktikan bahwa perang asimetris tidak dapat semata didefinisikan
sebagai non state actor yang
mengadopsi metode non tradisional (pola operasi yang berbeda) untuk melawan state actor. 33 hari
berkecamuknya perang menunjukkan bahwa Hizbullah tidak hanya trampil
dalam melakukan perang gerilya, namun juga cakap mengkombinasikannya dengan
metode perang konvensional. Hizbullah dipandang telah meletakkan paradigma baru
strategi perang kontemporer.
AS sendiri risau dengan fenomena baru ini karena dipandang potensial menjadi strategi baru non state actor dalam melawan kekuatan adidaya Amerika. Kemenangan Hizbullah dapat menjadi energi baru bagi mereka. Kekhawatiran itu sendiri dapat dilihat di kalangan para pakar strategi perang di Pentagon. Mereka seragam menyerukan perlunya reposisi militer AS atas strategi perang non konvensional ini dalam menghadapi ancaman baru ini. AS tidak menghadapi strategi non konvensional dengan menggunakan pendekatan konvensional di saat Hizbullah sendiri sukses mensintesiskan kedua pendekatan tersebut baik dalam ruang lingkup doktrin, taktik maupun persenjataannya.
AS sendiri risau dengan fenomena baru ini karena dipandang potensial menjadi strategi baru non state actor dalam melawan kekuatan adidaya Amerika. Kemenangan Hizbullah dapat menjadi energi baru bagi mereka. Kekhawatiran itu sendiri dapat dilihat di kalangan para pakar strategi perang di Pentagon. Mereka seragam menyerukan perlunya reposisi militer AS atas strategi perang non konvensional ini dalam menghadapi ancaman baru ini. AS tidak menghadapi strategi non konvensional dengan menggunakan pendekatan konvensional di saat Hizbullah sendiri sukses mensintesiskan kedua pendekatan tersebut baik dalam ruang lingkup doktrin, taktik maupun persenjataannya.
Strategi dan Doktrin Hizbullah
Paradigma baru
Hizbullah tidak terlepas dari peran ideolog sekaligus pemimpin Hizbullah, Hassan
Nasrallah. Pasca tewasnya Imad Mughniyeh, komandan perangnya yang dibom agen
Israel di Damaskus, 12 Februari 2008, Nasrallah menjelaskan pergeseran
paradigma dan doktrin perang Hizbullah. Menurut Nasrallah, gerakan perlawanan
telah memasuki proses tahapan ketiga dari “perlawanan
bersenjata yang mengandalkan perlawanan rakyat secara spontan” menjadi “aksi militer bersenjata yang terorganisir.”
Kini perlawanan memasuki tahap akhir, dengan “memanfaatkan madzab baru perang yang belum ada sebelumnya, yakni
kombinasi peran tentara regular dengan pejuang gerilya.” Hizbullah sukses
mensintesiskan metode konvensional dengan non konvensional –baik strategi,
taktik, senjata maupun organisasi. Hizbullah bergerak dari sebuah
kelompok perlawanan menjadi tentara perlawanan.
Dalam level strategi, gerakan Hizbullah berevolusi dari kelompok gerilya klasik yang berhasil memaksa Israel mundur dari Lebanon selatan di 2000 menjadi “kekuatan perlawanan quasi konvensional” yang mampu mencegah pasukan Israel melakukan pendudukan lagi.
Nasrallah menjelaskan perubahan radikalnya tersebut: “Saya membedakan antara kelompok perlawanan yang berperang melawan tentara regular yang menduduki suatu wilayah dan mereka melakukan operasinya dari dalam wilayah tersebut atau sering disebut perang gerilya dengan kelompok perlawanan yang melawan agresi yang hendak mencaplok wilayah dengan mencegah mereka dari melakukan hal itu dan menimpakan kekalahan atas mereka. Kelompok perlawanan tidak lagi membebaskan wilayah itu namun mencegah agresi musuh.”
Hingga 2000, konsep perlawanan Hizbullah sejalan dengan pengertian konvensional. Kelompok pembebasan rakyat yang berjuang melawan pendudukan asing. Misi satu-satunya adalah mengusir penjajah. Namun pasca penarikan mundur tentara Israel di 2000, Hizbullah mengembangkan doktrin militernya yang difokuskan mencegah Israel menyerang Lebanon. Oleh karena itu, definisi perlawanan diperluas dengan mencakup kemampuan menghadapi invasi dan melawan ancaman pendudukan. Melalui rekonstruksi konsep perlawanan seperti ini, yakni menjalankan misi mempertahankan wilayah Lebanon dari serangan musuh, maka gerakan ini memerankan diri mereka sebagai aparat militer negara.
Penggabungan kedua strategi itu terefleksikan dalam kemampuan mereka menggunakan pelbagai jenis persenjataan dasar yang biasanya dipakai kalangan gerilyawan disamping juga sistem persenjataan modern yang sebanding dengan persenjataan yang dimiliki beberapa negara. Bukan hanya itu saja yang membentuk keunikan gerakan perlawanan itu selama perang, karena keterbatasannya, Hizbullah juga mampu mensistesiskan ketrampilan atas keduanya (penggunaan senjata dasar dan modern) secara lebih kreatif.
Misalnya, Hizbullah sukses melumpuhkan Israel utara dengan tembakan rutin roket jarak pendek Katyusha tipe kuno. Hizbullah mampu menghindari sergapan tameng anti misil Israel yang canggih. Hizbullah mampu memetik nilai strategis dari persenjataan kuno yang dimilikinya. Meski demikian, Hizbullah juga menggunakan roket artileri jarak menengah yang lebih modern sehingga mampu menghantam kota-kota besar Israel termasukTel Aviv.
Yang cukup mengejutkan, Hizbullah mampu memberikan serangan kejutan atas kapal perang Israel dengan misil anti kapal yang dipandu radar. Misil ini diduga adalah varian dari misil China C-802. Selain mengembangkan model baru yang sejenis, Hizbullah juga menggunakan misil anti tank model kuno buatan Rusia seperti AT-3 Sagger, AT-4 Spigot dan AT-5 Spandrel serta model yang lebih canggih seperti AT-14 Kornet, AT-13 Metis-M dan RPG 29. Hasilnya, Hizbullah sukses menewaskan banyak prajurit Israel, selain menghantam ratusan tank dan kendaraan tempur mereka.
Dalam perang elektronik, Hizbullah berhasil menetralisir keunggulan teknologi Israel dengan cara yang sangat sederhana. Dalam berkomunikasi, Hizbullah hanya mengandalkan sistem fiber optik darat ketimbang memanfaatkan jaringan nir kabel yang lebih canggih. Hizbullah dapat menghindari upaya pengacauan sinyal elektronik Israel. Dengan demikian, pasukan Hizbullah dapat bergerak leluasa, lepas dari pantauan peralatan elektronik Israel. Walhasil, sistem kendali komando tetap berjalan dengan baik selama perang.
Sebaliknya, Hizbullah berhasil menyusup ke dalam sistem elektronik Israel dan mengumpulkan data intelejen secara canggih. Keberhasilan itu tidak terlepas dari pesawat pengintai tanpa awak Mirsad-1 yang dimilikinya. Pesawat itu mampu menembuh wilayah udara Israel di 2004 tanpa terdeteksi. Pesawat itu mampu menyadap pembicaraan telpon selular antara para tentara Israel dengan keluarganya. Hizbullah juga mampu memecah sandi komunikasi radio Israel sehingga dapat melacak pergerakan tank Israel serta memonitor laporan korban dan rute suplai.
Faktor itu pula yang mendorong Israel mengembangkan Trophy System (TAPS). Sistem ini dilengkapi radar untuk melacak misil yang datang. Agustus 2009, Israel menanam alat ini dalam tank Merkava generasi terbarunya. Sebelumnya, banyak tank Israel yang menjadi korban dalam perang 2006.
Dalam level strategi, gerakan Hizbullah berevolusi dari kelompok gerilya klasik yang berhasil memaksa Israel mundur dari Lebanon selatan di 2000 menjadi “kekuatan perlawanan quasi konvensional” yang mampu mencegah pasukan Israel melakukan pendudukan lagi.
Nasrallah menjelaskan perubahan radikalnya tersebut: “Saya membedakan antara kelompok perlawanan yang berperang melawan tentara regular yang menduduki suatu wilayah dan mereka melakukan operasinya dari dalam wilayah tersebut atau sering disebut perang gerilya dengan kelompok perlawanan yang melawan agresi yang hendak mencaplok wilayah dengan mencegah mereka dari melakukan hal itu dan menimpakan kekalahan atas mereka. Kelompok perlawanan tidak lagi membebaskan wilayah itu namun mencegah agresi musuh.”
Hingga 2000, konsep perlawanan Hizbullah sejalan dengan pengertian konvensional. Kelompok pembebasan rakyat yang berjuang melawan pendudukan asing. Misi satu-satunya adalah mengusir penjajah. Namun pasca penarikan mundur tentara Israel di 2000, Hizbullah mengembangkan doktrin militernya yang difokuskan mencegah Israel menyerang Lebanon. Oleh karena itu, definisi perlawanan diperluas dengan mencakup kemampuan menghadapi invasi dan melawan ancaman pendudukan. Melalui rekonstruksi konsep perlawanan seperti ini, yakni menjalankan misi mempertahankan wilayah Lebanon dari serangan musuh, maka gerakan ini memerankan diri mereka sebagai aparat militer negara.
Penggabungan kedua strategi itu terefleksikan dalam kemampuan mereka menggunakan pelbagai jenis persenjataan dasar yang biasanya dipakai kalangan gerilyawan disamping juga sistem persenjataan modern yang sebanding dengan persenjataan yang dimiliki beberapa negara. Bukan hanya itu saja yang membentuk keunikan gerakan perlawanan itu selama perang, karena keterbatasannya, Hizbullah juga mampu mensistesiskan ketrampilan atas keduanya (penggunaan senjata dasar dan modern) secara lebih kreatif.
Misalnya, Hizbullah sukses melumpuhkan Israel utara dengan tembakan rutin roket jarak pendek Katyusha tipe kuno. Hizbullah mampu menghindari sergapan tameng anti misil Israel yang canggih. Hizbullah mampu memetik nilai strategis dari persenjataan kuno yang dimilikinya. Meski demikian, Hizbullah juga menggunakan roket artileri jarak menengah yang lebih modern sehingga mampu menghantam kota-kota besar Israel termasukTel Aviv.
Yang cukup mengejutkan, Hizbullah mampu memberikan serangan kejutan atas kapal perang Israel dengan misil anti kapal yang dipandu radar. Misil ini diduga adalah varian dari misil China C-802. Selain mengembangkan model baru yang sejenis, Hizbullah juga menggunakan misil anti tank model kuno buatan Rusia seperti AT-3 Sagger, AT-4 Spigot dan AT-5 Spandrel serta model yang lebih canggih seperti AT-14 Kornet, AT-13 Metis-M dan RPG 29. Hasilnya, Hizbullah sukses menewaskan banyak prajurit Israel, selain menghantam ratusan tank dan kendaraan tempur mereka.
Dalam perang elektronik, Hizbullah berhasil menetralisir keunggulan teknologi Israel dengan cara yang sangat sederhana. Dalam berkomunikasi, Hizbullah hanya mengandalkan sistem fiber optik darat ketimbang memanfaatkan jaringan nir kabel yang lebih canggih. Hizbullah dapat menghindari upaya pengacauan sinyal elektronik Israel. Dengan demikian, pasukan Hizbullah dapat bergerak leluasa, lepas dari pantauan peralatan elektronik Israel. Walhasil, sistem kendali komando tetap berjalan dengan baik selama perang.
Sebaliknya, Hizbullah berhasil menyusup ke dalam sistem elektronik Israel dan mengumpulkan data intelejen secara canggih. Keberhasilan itu tidak terlepas dari pesawat pengintai tanpa awak Mirsad-1 yang dimilikinya. Pesawat itu mampu menembuh wilayah udara Israel di 2004 tanpa terdeteksi. Pesawat itu mampu menyadap pembicaraan telpon selular antara para tentara Israel dengan keluarganya. Hizbullah juga mampu memecah sandi komunikasi radio Israel sehingga dapat melacak pergerakan tank Israel serta memonitor laporan korban dan rute suplai.
Faktor itu pula yang mendorong Israel mengembangkan Trophy System (TAPS). Sistem ini dilengkapi radar untuk melacak misil yang datang. Agustus 2009, Israel menanam alat ini dalam tank Merkava generasi terbarunya. Sebelumnya, banyak tank Israel yang menjadi korban dalam perang 2006.
Pendidikan Bagi Para Pejuang
Dalam konteks
organisasi, Hizbullah dicirikan dengan pasukan non regular. Sebagai gerakan
yang berbasis massa, kekuatan pejuang Hizbullah terdiri dari 1000 pejuang inti
yang professional dengan dibantu penduduk yang berperan sebagai pasukan
cadangan. Struktur komando terdesentralisasi namun didukung dengan kerahasiaan
organisasi yang sulit ditembus. Kemampuan ini didapat dari disiplin yang
tinggi dan koordinasi yang ketat di antara para pejuang. Hal yang terjadi pada
pasukan konvensional.
Ancaman Nasrallah untuk “memberangkatkan ribuan pejuang terlatih dan bersenjata lengkap jika Israel melakukan serangan darat” mengindikasi bahwa Hizbullah mampu merubah pasukan cadangan mereka menjadi pasukan tempur yang professional. Sebuah laporan menyebutkan bahwa Hizbullah melakukan rekrutmen besar-besaran dan pelatihan selama berbulan-bulan setelah perang 2006. Meskipun Hizbullah mengalami kesuksesan dalam perang model ini, namun Hizbullah juga melakukan evaluasi performance tempur mereka. Hizbullah mencoba mengantisipasi rencana perang berikutnya oleh Israel. Strategi dan taktik masa depan gerakan ini dihitung dengan cermat. ”Kami belajar dari pengalaman perang Juli sehingga membuat evaluasi dengan melihat titik kekuatan dan kelemahan kita maupun musuh dan kita membuat keputusan berdasarkan evaluasi tersebut,” papar Nasrallah.
Upaya yang tak kenal lelah Hizbullah untuk mempelajari kelemahan lawan telah membedakan eksistensi gerakan ini dari kekuatan manapun di kawasan ini yang pernah bertempur dengan Israel. Hizbullah telah melepaskan diri dari apa yang secara sinis disebut para orientalis sebagai “Arab minds” (daya pikir orang Arab yang rendah). Alih-alih, Hizbullah mampu mempenetrasi psikologi orang Israel dan cara berpikir militer mereka. Adapun faktor lainnya yang mendorong keberhasilan Hizbullah adalah proses evaluasi dan adaptasi berdasarkan kondisi dan kebutuhan riil, Hizbullah tidak terpaku kepada strategi militer yang kaku, sekalipun strategi tersebut pernah sukses di masa lalu. Namun Hizbullah lebih memilih melakukan adaptasi terus-menerus atas perubahan lingkungan politik dan militer. Kekuatan Hizbullah terletak kepada kemampuannya mengadopsi doktrin militer yang bersifat non doktrinal.
Ini berarti bahwa kelompok perlawanan ini akan merevisi strategi militernya dalam perang berikutnya, menggeser dari doktrin yang murni defensif menjadi sebagian defensif dan sebagian lainnya ofensif. Strategi Hizbullah pada dasarnya bersifat defensif namun memiliki kemampuan ofensif. Tampaknya gerakan ini akan memperkenalkan taktik baru dalam rangka memenuhi tujuan strategisnya secara lebih luas. Kemungkinan itu dapat terlihat dari ancaman Nasrallah untuk melancarkan “kejutan besar”.
Kebanyakan para pengamat secara keliru berpendapat bahwa kejutan Nasrallah itu berupa kepemilikannya atas misil anti pesawat yang akan digunakan untuk menghantam pesawat Israel yang melanggar batas wilayah udara Lebanon. Hizbullah sebelumnya sudah memiliki SA-7 dan mungkin juga telah mendapatkan versi terbaru SA-18 di 2002. Banyak laporan di 2008 menyebutkan tentang akuisisi Hizbullah atas sistem pertahanan udara canggih SA-8 yang dapat bergerak. Namun pendapat ini diragukan. Logikanya, Nasrallah telah berulang kali melakukan ancaman untuk menembak pesawat Israel maka ancaman tersebut tidak termasuk dalam elemen kejutan yang dimaksudkannya.
Maka teori yang masuk akal adalah bahwa kejutan Nasrallah itu berupa adopsi strategi dan taktik militer baru mereka: “Tentara musuh akan menyaksikan metode tempur yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka akan menghadapi para pejuang yang pemberani, keras dan setia dalam medan tempur, sesuatu yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya sejak berdirinya negara mereka yang illegal.” Nasrallah menegaskan tantangan itu sebagai respon doktrin Dahiyeh yang digariskan Gadi Eizenkot, komandan utara militer Israel yang memformulasikan persamaan lama antara Beirut dan “Tel Aviv sebagai Dahiyeh untuk Tel Aviv”.
Taktik yang dipersiapkan Nasrallah dapat juga mencakup serangan ke dalam wilayah Israel. Jurnalis kenamaan, Nicholas Blanford mengatakan, ”Seorang komandan lokal di Lebanon Selatan pernah berkata bahwa Hizbullah telah bertempur dalam perang defensif di 2006, ke depan kami akan melakukan serangan ofensif dan akan benar-benar menjadi perang yang berbeda.” Seorang pejuang setempat mengatakan bahwa perang ke depan akan lebih banyak terjadi di Israel ketimbang di Lebanon. Dari pelbagai komentar itu disimpulkan bahwa Hizbullah sedang mempersiapkan serangan komando ke Israel Utara.
Meskipun dapat dianggap sebagai bagian perang psikologis, namun tak pelak militer Israel sendiri melakukan persiapan menghadapi skenario tersebut di mana pasukan komando musuh menyusup perbatasan utara dan menyerang Israel.
Ancaman Nasrallah untuk “memberangkatkan ribuan pejuang terlatih dan bersenjata lengkap jika Israel melakukan serangan darat” mengindikasi bahwa Hizbullah mampu merubah pasukan cadangan mereka menjadi pasukan tempur yang professional. Sebuah laporan menyebutkan bahwa Hizbullah melakukan rekrutmen besar-besaran dan pelatihan selama berbulan-bulan setelah perang 2006. Meskipun Hizbullah mengalami kesuksesan dalam perang model ini, namun Hizbullah juga melakukan evaluasi performance tempur mereka. Hizbullah mencoba mengantisipasi rencana perang berikutnya oleh Israel. Strategi dan taktik masa depan gerakan ini dihitung dengan cermat. ”Kami belajar dari pengalaman perang Juli sehingga membuat evaluasi dengan melihat titik kekuatan dan kelemahan kita maupun musuh dan kita membuat keputusan berdasarkan evaluasi tersebut,” papar Nasrallah.
Upaya yang tak kenal lelah Hizbullah untuk mempelajari kelemahan lawan telah membedakan eksistensi gerakan ini dari kekuatan manapun di kawasan ini yang pernah bertempur dengan Israel. Hizbullah telah melepaskan diri dari apa yang secara sinis disebut para orientalis sebagai “Arab minds” (daya pikir orang Arab yang rendah). Alih-alih, Hizbullah mampu mempenetrasi psikologi orang Israel dan cara berpikir militer mereka. Adapun faktor lainnya yang mendorong keberhasilan Hizbullah adalah proses evaluasi dan adaptasi berdasarkan kondisi dan kebutuhan riil, Hizbullah tidak terpaku kepada strategi militer yang kaku, sekalipun strategi tersebut pernah sukses di masa lalu. Namun Hizbullah lebih memilih melakukan adaptasi terus-menerus atas perubahan lingkungan politik dan militer. Kekuatan Hizbullah terletak kepada kemampuannya mengadopsi doktrin militer yang bersifat non doktrinal.
Ini berarti bahwa kelompok perlawanan ini akan merevisi strategi militernya dalam perang berikutnya, menggeser dari doktrin yang murni defensif menjadi sebagian defensif dan sebagian lainnya ofensif. Strategi Hizbullah pada dasarnya bersifat defensif namun memiliki kemampuan ofensif. Tampaknya gerakan ini akan memperkenalkan taktik baru dalam rangka memenuhi tujuan strategisnya secara lebih luas. Kemungkinan itu dapat terlihat dari ancaman Nasrallah untuk melancarkan “kejutan besar”.
Kebanyakan para pengamat secara keliru berpendapat bahwa kejutan Nasrallah itu berupa kepemilikannya atas misil anti pesawat yang akan digunakan untuk menghantam pesawat Israel yang melanggar batas wilayah udara Lebanon. Hizbullah sebelumnya sudah memiliki SA-7 dan mungkin juga telah mendapatkan versi terbaru SA-18 di 2002. Banyak laporan di 2008 menyebutkan tentang akuisisi Hizbullah atas sistem pertahanan udara canggih SA-8 yang dapat bergerak. Namun pendapat ini diragukan. Logikanya, Nasrallah telah berulang kali melakukan ancaman untuk menembak pesawat Israel maka ancaman tersebut tidak termasuk dalam elemen kejutan yang dimaksudkannya.
Maka teori yang masuk akal adalah bahwa kejutan Nasrallah itu berupa adopsi strategi dan taktik militer baru mereka: “Tentara musuh akan menyaksikan metode tempur yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka akan menghadapi para pejuang yang pemberani, keras dan setia dalam medan tempur, sesuatu yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya sejak berdirinya negara mereka yang illegal.” Nasrallah menegaskan tantangan itu sebagai respon doktrin Dahiyeh yang digariskan Gadi Eizenkot, komandan utara militer Israel yang memformulasikan persamaan lama antara Beirut dan “Tel Aviv sebagai Dahiyeh untuk Tel Aviv”.
Taktik yang dipersiapkan Nasrallah dapat juga mencakup serangan ke dalam wilayah Israel. Jurnalis kenamaan, Nicholas Blanford mengatakan, ”Seorang komandan lokal di Lebanon Selatan pernah berkata bahwa Hizbullah telah bertempur dalam perang defensif di 2006, ke depan kami akan melakukan serangan ofensif dan akan benar-benar menjadi perang yang berbeda.” Seorang pejuang setempat mengatakan bahwa perang ke depan akan lebih banyak terjadi di Israel ketimbang di Lebanon. Dari pelbagai komentar itu disimpulkan bahwa Hizbullah sedang mempersiapkan serangan komando ke Israel Utara.
Meskipun dapat dianggap sebagai bagian perang psikologis, namun tak pelak militer Israel sendiri melakukan persiapan menghadapi skenario tersebut di mana pasukan komando musuh menyusup perbatasan utara dan menyerang Israel.
Perang Terakhir
Apapun taktik yang
diterapkannya, Hizbullah harus menjamin bahwa mereka akan memenuhi janji
Nasrallah untuk melakukan serangan menentukan atas Israel. Seperti yang
dijelaskan pemimpin Hizbullah di 2007, kejutan yang dia persiapkan untuk Israel
berpotensi “merubah arah perang dan nasib
kawasan” dan “mewujudkan kemenangan
menentukan dalam sejarah”. Setahun kemudian, Nasrallah mengulang lagi
perkataannya bahwa “Sejarah kami kedepan
akan jelas dan sangat menentukan karena Hizbullah akan menghantam lima divisi
yang akan ditempatkan Ehud Barak di Lebanon”. Akhir dari perang berikutnya
seperti yang dijelaskan Nasrallah adalah kejatuhan akhir negara perampas
sebagai akibat kekalahan Israel.
Penting untuk membedakan wacana pasca perang Nasrallah dengan tujuan obyektif yang digariskannya selama perang Juli-Agustus. Di 2006, gerakan ini tidak meletakkan landasan militer apapun kecuali mempertahankan Lebanon dari agresi Israel dan mencegah musuh menduduki wilayahnya. Dalam konteks ini, Hizbullah dapat menyatakan kemenangannya, setidaknya dalam pengertian pertempuran, dan memaksa musuh menarik mundur pasukannya.
Namun gerakan Hizbullah telah memasang target yang begitu tinggi dalam perang
selanjutnya. Dengan mengumumkan tujuan barunya sebagai kemenangan strategis
akan memiliki implikasi regional yang mendalam, Hizbullah harus menjamin akan
mencapai kemenangan yang strategis dalam perang berikutnya dengan Israel.
Kemenangan tersebut harus berakhir dengan diumumkannya perang terbuka
antara kedua musuh itu terjadi dan berikutnya yang lebih penting berhasil menetralkan
ancaman langgeng Israel atas kawasan tersebut. Jadi perangnya di masa depan
melawan Israel harus menjadi perang terakhir untuk Hizbullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar