Oleh Dr. Muhammad Tijani as Samawi*
Bersama Abu Syubbar aku pergi ke rumah Sayed Muhammad Baqir
as-Sadr. Dalam perjalanan, Abu Syubbar memperlakukanku dengan sangat mesra dan
bercerita ringkas tentang beberapa ulama yang masyhur dan tentang taklid dan
sebagainya. Setibanya kami di rumah Sayed Muhammad Baqir as-Sadr, kudapati
rumahnya penuh sesak dengan para Thalabah (pelajar Hauzah) yang kebanyakannya
para pemuda yang memakai sorban. Sayed berdiri menyambut kedatangan kami.
Setelah diperkenalkan, beliau menyambutku begitu mesra dan menempatkanku di
sisinya. Beliau bertanya tentang Tunisia dan aljazair dan beberapa ulama yang
terkenal seperti al-Khidhir Husain, Thahir bin A'syur dan lain sebagainya. Aku
merasa gembira sekali dengan obrolannya.
Sayed Baqir Sadr walau memiliki wibawa yang sangat agung di sisi
pengikut-pengikutnya, namun kudapati diriku tidak begitu kaku dengannya seakan
telah kukenal beliau sejak lama sebelum pertemuan itu.
Banyak ilmu yang sempat kutimba dari pertemuan kami pada waktu itu.
Kudengar berbagai pertanyaan diajukan kepada Sayed, lalu kemudian dijawabnya
dengan bijak. Waktu itu aku betul-betul menyaksikan betapa tingginya nilai
mentaklid para ulama yang masih hidup. Karena mereka akan segera menjawab
setiap persoalan yang diajukan kepada mereka dengan sejelas-jelasnya. Sejak
saat itu, aku mulai yakin bahwa Syi'ah adalah kaum muslimin yang menyembah
Allah SWT dan beriman kepada Risalah Nabi kita Muhammad SAW. Sebelumnya aku
masih ragu, dan setan juga menaburkan rasa was-was bahwa segala apa yang
kusaksikan adalah suatu sandiwara semata-mata. Dan mungkin inilah yang
dikatakan oleh mereka sebagai Taqiyah, yakni menampakkan sesuatu yang tidak
mereka percayai. Tetapi sikap demikian akhirnya segera lenyap dari benakku.
Karena -pikirku- tidak mungkin setiap orang yang kulihat dan kusaksikan dengan
bilangan yang mencapai ratusan semuanya akan bersandiwara. Untuk apa mereka
lakukan itu padaku? Dan siapa aku? Apa yang mereka harus khawatirkan dariku
sehingga mau bertaqiyah dihadapanku? Bukankah di sini ada kitab-kitab mereka cetakan
lama dan baru. Semua mengesakan Allah dan memuji-muji Rasul-Nya Muhammad SAW.
seperti yang kubaca dalam berbagai mukaddimahnya. Kini aku tengah berada
dirumah Sayed Muhammad Baqir as-Sadr, seorang Marja' (mujtahid yang diikuti
fatwanya) Syi'ah yang sangat terkenal di Irak dan di luar Irak. Dan setiap kali
nama Muhammad disebut, maka semua akan mengangkat suara agak keras membaca
salawat: Allahumma
Shalli A'la Muhammad Wa Aali Muhammad.
Waktu shalat tiba. Kami pergi ke masjid yang terletak di samping rumah.
Kami shalat Dzuhur dan Asar yang diimami sendiri oleh Sayed Muhammad Baqir
Sadr. Ketika itu terasa dalam diriku seakan aku tengah hidup di sekitar para
sahabat yang mulia. Di antara dua shalat diselingi bacaan doa dengan suara yang
sangat memilukan hati. Sungguh terharunya aku dan terkesan sangat dalam. Usai
baca doa, secara serentak para jama'ah membaca salawat beramai-ramai: Allahumma
Shalli A'la Muhammad Wa Aali Muhammad. Isi doa semuanya berupa pujian pada
Allah SWT, Muhammad serta keluarganya yang suci dan baik. Sayed Sadr tetap
duduk di mihrabnya seusai shalat. Sebagian orang datang menyalaminya lalu
mengajukan berbagai pertanyaan secara perlahan atau kadang-kala dengan suara
yang agak keras. Dan Sayed juga menjawab setiap pertanyaan dengan perlahan
apabila pertanyaannya memang demikian. Dari sana kupahami bahwa pertanyaan
tersebut adalah yang berkaitan dengan masalah-masalah pribadi. Apabila jawaban
yang diharapkan telah diperoleh, maka sipenanya akan mencium tangannya kemudian
pergi. Berbahagialah mereka dengan orang alim yang mulia ini yang ikut membantu
menyelesaikan segala permasalahan mereka dan ikut serta dalam suka dan duka
mereka.
Sambutan Sayed yang demikian hangat serta perhatiannya yang begitu
tinggi membuatku seakan berada di tengah keluargaku sendiri. Kurasa seandainya
aku berada bersamanya selama satu bulan saja, niscaya aku akan menjadi Syi'ah
karena melihat akhlaknya yang sangat tinggi, sikap tawadhu'-nya dan kemurahan
hatinya. Setiap kali mataku terpandang pada matanya kulihat beliau tersenyum
dan memulai menyapaku. Beliau juga menanyakan keadaanku yang mungkin perlu
bantuan dan sebagainya. Alhasil, sambutannya padaku sangat mesra sekali.
Selama empat hari aku jadi tamunya. Dan selama itu pula aku tidak
berpisah dengannya kecuali saat tidur saja, kendati pun yang datang berziarah
atau ulama-ulama yang berkunjung padanya cukup banyak. Aku juga berjumpa dengan
orang-orang Saudi di sana. Aku tidak pernah tahu bahwa orang-orang Syi'ah juga
ada di Hijaz. Demikian juga ulama-ulama dari Bahrain, Qatar, Emirat Arab,
Lebanon, Syria, Iran, Afghanistan, Turki dan Afrika. Sayed berbicara dengan
mereka dan membantu hajat-hajat mereka. Semua yang keluar dari rumahnya
menampakkan kegembiraan hati. Aku tidak akan pernah lupa pada suatu peristiwa
yang kusaksikan di hadapan mataku sendiri dimana Sayed dapat menyelesaikannya
sebuah persoalan yang berat dengan begitu bijak. Kukatakan demikian karena ia
menyirat suatu pelajaran yang sangat penting agar kaum muslimin tahu betapa
ruginya mereka lantaran meninggalkan hukum-hukum Allah.
Ada empat orang datang menghadap Sayed Muhammad Baqir Sadr. Aku
menduga bahwa mereka adalah penduduk Iraq sendiri, karena logat bahasanya kupahami
demikian. Seorang dari mereka telah memperoleh waris sebuah rumah dari datuknya
yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kemudian rumah tersebut
dijualnya kepada orang kedua yang juga hadir di sana. Setahun setelah
penjualan, datanglah dua orang yang mengaku sebagai pewaris syar'i (sah) dari
si mayit. Keempat-empat mereka duduk di hadapan Sayed, dan masing-masing
mengeluarkan berbagai kertas dan surat bukti. Setelah Sayed membaca surat-surat
tersebut dan berbicara sejenak dengan mereka, kemudian dia keluarkan fatwanya
seadil-adilnya: si pembeli tetap mempunyai hak atas rumah yang dibelinya; dan
si penjual juga harus memberikan hak waris bagian dua saudara tadi dari hasil
jualannya. Usai Sayed memberi fatwa empat orang ini kemudian berdiri lalu mencium
tangan Sayed dan mereka saling berpelukan tanda damai dan setuju.
Aku sangat terkejut dan seperti tidak percaya. Kutanyakan kepada
Abu Syubbar apakah kasusnya telah selesai. Ya, jawabnya. Setiap mereka telah
mendapatkan haknya masingmasing. Subhanallah. Semudah ini dan dalam waktu yang
sesingkat ini; hanya beberapa saat saja permasalahan itu dapat diselesaikan!
Kasus seperti ini apabila terjadi di negeri kami, paling tidak ia akan memakan
waktu sepuluh tahun sampai kadang-kadang sebagian dari mereka telah mati lalu
kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Tambah lagi mereka harus bayar biaya
pengadilan, pengacara dan lain sebagainya yang kebanyakannya tidak kurang dari
nilai rumah itu sendiri. Mula-mula pengadilan umum, kemudian negeri lalu
mahkamah agung sampai akhirnya semua kecewa setelah melalui serangkaian
kekusutan serta biaya yang mahal dan menyogok sana-sini yang tidak sedikit.
Disamping sikap permusuhan dan kebencian yang timbul antar keluarga akibat dari
semua itu.
"Hal seperti itu juga ada di sini; bahkan lebih dari
itu." Kata Abu Syubbar menjawab.
"Maksud Anda?" Tanyaku. "Jika orang mengangkat
permasalahan mereka dan mengajukannya kepada pengadilan negeri maka hasilnya
seperti yang Anda ceritakan tadi. Namun jika mereka mentaklid seorang Marja'
agama dan terikat dengan hukum-hukum Islam maka mereka tidak akan mengangkat
permasalahan mereka kecuali kepadanya saja. Dan si Marja' pada gilirannya akan
menyelesaikan masalah mereka dalam waktu yang sangat singkat seperti yang Anda
saksikan. Apakah ada Hakim yang lebih baik selain daripada Allah bagi
orang-orang yang berakal? Sayed Sadr juga tidak memungut sebarang biaya dari
mereka. Apabila mereka pergi ke instansi pemerintah yang berkaitan niscaya
mereka akan menderita kerugian yang tidak sedikit."
"Subhanallah. Aku masih tidak percaya apa yang kulihat.
Kalaulah mata ini tidak menyaksikannya sendiri mana mungkin aku akan percaya
pada kejadian ini."
"Begitulah wahai saudaraku. Kasus ini masih ringan
dibandingkan dengan kasus-kasus yang lain yang lebih rumit dan menyangkut
nyawa. Tapi para marja' ini dapat menyelesaikannya dalam waktu yang relatif
singkat."
"Jadi di Irak ini ada dua pemerintahan, pemerintahan negara
dan pemerintahan ulama, begitu?" Tanyaku takjub.
"Tidak. Di sini ada pemerintahan negara saja. Namun kaum
muslimin dari mazhab Syi'ah yang bertaklid pada marja' mereka tidak memiliki
sebarang hubungan dengan pemerintahan. Karena ia adalah pemerintahan Ba'ath
bukan pemerintahan Islam. Mereka patuh pada hukum-hukum sipil, pajak, dan
hal-hal pribadi lainnya. Seandainya terjadi suatu kasus antara seorang muslim
yang shaleh dengan seorang muslim lain yang tidak shaleh, maka pasti ia akan
terpaksa mengangkatnya kepada pengadilan negeri. Karena orang kedua ini tidak
setuju dengan ketentuan hukum para ulama. Namun jika yang berselisih adalah
sesama orang-orang mukmin, maka mereka akan mengembalikannya kepada para
marja'. Apa saja yang dihukumkan oleh marja' tersebut akan diterima oleh semua
tanpa ada sebarang keberatan. Itulah kenapa kasus-kasus tertentu dapat
diselesaikan oleh para marja' dalam waktu satu hari, sementara pengadilan
negeri mungkin berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun." Peristiwa itu
menggetarkan jiwaku hingga kemudian kurasakan suatu kesadaran untuk rela atas
segala hukum Allah SWT. Dari situ aku memahami makna firman Allah yang
bermaksud: "Barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa yang
diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. Barang siapa yang
tidak menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah
orang-orang yang zalim. Dan barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa
yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orangorang fasik" (QS.
Al-Maidah: 44,45,47)
Jiwaku juga memberontak dan memprotes orang-orang zalim yang telah
mengubah hukum-hukum Allah SWT yang adil kepada hukum buatan manusia yang
zalim. Bahkan mereka mengejek hukum-hukum Allah dengan cara yang keji. Mereka
katakan bahwa hukum Allah adalah barbarism dan
kejam karena menegakkan hukum hudud yang memotong tangan pencuri dan merajam
pezina serta membunuh si pembunuh. Dari mana datangnya teori-teori yang asing
seperti ini? Sudah pasti ia datang dari barat dan dari musuh-musuh Islam yang
melihat bahwa pelaksanaan hukum-hukum seperti itu berarti tamatnya kekuasaan
mereka secara total. Hal ini tiada lain karena mereka sendiri adalah para
pencuri, pengkhianat, pezina dan pembunuh. Apabila hukum-hukum Allah
dilaksanakan terhadap mereka maka kita sudah aman dari mereka.
Pada hari-hari yang penuh kenangan itu terjadi serangkaian diskusi
antara aku dan Sayed Sadr. Kuajukan padanya berbagai pertanyaan, besar atau
kecil dari kesimpulan yang kubuat setelah berbagai diskusi dengan teman-teman,
baik yang berkaitan dengan akidah, sahabat (semoga Allah meridhai mereka) atau
kepercayaan mereka akan imam dua belas, Ali dan anak-anaknya dan lain
sebagainya yang tidak sama dengan akidah kami.
Kutanyakan kepada Sayed Sadr tentang Imam Ali, kenapa namanya
diucapkan dalam azan dengan sebutan Waliullah. Beliau menjawab: "Amir
al-Mukminin Ali as. adalah di antara hamba Allah yang dipilih oleh-Nya untuk
meneruskan tanggung-jawab mengemban Risalah setelah para nabiNya. Mereka adalah
para wasi Nabi. Setiap nabi memiliki wasi, dan wasi Nabi Muhammad SAW adalah
Ali bin Abi Thalib. Kami mengutamakannya atas semua sahabat karena Allah dan
Rasul-Nya mengutamakan-Nya. Dan kami mempunyai dalil aqli dan naqli, AlQuran
dan Sunnah dalam hal ini. Dalil-dalil ini tidak dapat diragukan kebenarannya,
lantaran bersifat mutawatir dan sahih dalam jalur sanad kami, dan hatta dalam
jalur sanad Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Para ulama kami telah menulis berbagai buku
tentang hal ini. Ketika pemerintahan Bani Umayyah coba menghapuskan kebenaran
ini dan memerangi Amir al-Mukminin Ali dan anak-anaknya serta membunuh mereka
bahkan mencaci dan melaknatnya di atas mimbar-mimbar kaum muslimin serta
memaksa mereka untuk berbuat serupa, melihat ini maka Syi'ah Ali dan para
pengikutnya, semoga Allah meridhai mereka, tetap mengikrarkan bahwa beliau
adalah Waliyullah, karena seorang muslim yang sejati dilarang mencaci
Waliyullah. Hal ini dilakukan sebagai bantahan mereka terhadap penguasa yang
zalim saat itu hingga kemuliaan yang sebenarnya dapat dikembalikan kepada
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukminin saja; dan biarlah ia wujud sebagai
bukti sejarah kepada segenap kaum muslimin yang datang berikutnya, agar mereka
tahu tentang kebenaran Ali dan kebatilan musuh-musuhnya."
"Para fuqaha (ahli fiqih) kami mengatakan bahwa syahadat
kepada wilayah Ali di saat azan adalah sunnat semata-mata, dan dengan niat
bahwa ia bukan bagian dari azan atau iqamah. Apabila seorang muazin menganggap
bahwa itu adalah bagian dari azan dan iqamah maka azannya dianggap tidak sah.
Dan hal-hal sunnat dalam ibadah dan mu'amalat banyak sekali jumlahnya. Seorang
muslim akan diberi ganjaran jika melakukannya dan tidak akan berdosa apabila
meninggalkannya. Sebagai contoh, dalam suatu hadis disebutkan bahwa usai
mengucapkan syahadat kepada Allah dan Muhammad dalam azan, disunatkan juga
bersyahadat (bersaksi) bahwa surga itu adalah benar; neraka itu adalah benar;
dan Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya."
Kukatakan bahwa para ulama kami mengajarkan bahwa Sayyidina
Abubakar as-Shiddiq adalah khalifah yang paling utama, kemudian Sayyidina Umar
al-Faruq, Sayyidina Utsman baru kemudian Sayyidina Ali, semoga Allah meridhai
mereka semua.
Sayed diam sejenak. Kemudian berkata: "Mereka boleh berkata
apa saja tetapi jauh sekali untuk bisa membuktikannya secara valid. Di samping
ia bertentangan dengan apa yang tertulis dalam kitab-kitab mereka yang sahih
dan muktabar. Di sana tertulis bahwa manusia yang paling utama adalah Abubakar,
kemudian Utsman. Tidak ada kata-kata Ali sama sekali. Justru Ali dijadikan
sebagai manusia awam semata-mata. Namun para ahli sejarah juga menyebutnya
lantaran menyebut-nyebut para khulafa' rasyidin saja."
Aku tanyakan juga tentang tanah yang digunakan untuk sujud, atau
yang biasa disebut dengan Turbah Husainiyah. Beliau menjawab:
"Pertama-tama wajib diketahui bahwa kami bukan sujud kepada tanah, seperti
yang disangka oleh mereka yang benci pada Syi'ah, tapi kami sujud di atas
tanah. Sujud hanya untuk Allah semata-mata. Apa yang terbukti secara dalil bagi
kami dan juga di sisi Ahlu Sunnah bahwa yang utama adalah sujud di atas tanah
atau di atas sesuatu yang tumbuh dari tanah, tapi bukan sejenis dari bahan
makanan. Selain dari itu tidak sah sujud di atasnya. Dahulunya Rasulullah SAW.
duduk di atas tanah dan menjadikan sebongkah tanah sebagai tempat sujudnya.
Beliau juga mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya demikian juga sehingga mereka
sujud di atasnya, dan di atas batu-batu kecil. Baginda melarang mereka sujud di
atas ujung bajunya. Hal ini diketahui sangat lumrah sekali di sisi kami."
"Imam Zainal Abidin dan Sayyid as-Sajidin Ali bin Husain a.s.
mengambil tanah dari kuburan ayahnya Abu Abdillah al-Husain as-Syahid sebagai
turbahnya. Ini karena tanahnya bersih dan suci dan telah disiram oleh darah Sayyidis-syuhada' (penghulu
para syahid). Dan para syi'ahnya meneruskan kebiasaan ini sehingga ke hari ini.
Kami tidak mengatakan bahwa sujud di atas selainnya bermakna tidak sah. Sujud
akan sah di atas sebarang tanah atau sebarang batu yang suci, sebagaimana ia
juga akan sah sujud di atas tikar atau tempat ambal yang dibuat dari pelepah
kurma dan sejenisnya."
Kutanyakan lagi tentang peringatan Sayyidina Husain a.s, kenapa
Syi'ah menangis dan memukul-mukul dada sehingga berdarah? Bukankah ini haram di
dalam Islam. Nabi juga telah bersabda: "Bukan dari golongan kami mereka
yang memukul-mukul pipi dan mengoyak-ngoyak baju serta melakukan seperti
perbuatan Jahiliah."
Sayed menjawab : "Hadis itu memang sahih, tapi ia tidak dapat
diterapkan untuk peringatan Abu Abdillah al-Husain. Mereka yang menyeru pada
perjuangan Husain dan mengikut jejaknya, perbuatan ini bukan sejenis perbuatan
Jahiliah. Lalu di dalam mazhab Syi'ah ada manusia yang beragam, ada yang alim
dan ada juga yang jahil. Kesemua mereka mempunyai rasa emosi. Jika di dalam
mengingat kesyahidan Husain dan apa yang terjadi kepada keluarganya serta para
sahabatnya, -yang dibunuh atau yang ditawan- lalu perasaan emosinya menguasai
mereka, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhannya. Karena niat
mereka adalah fi sabilillah semata-mata. Dan Allah memberikan ganjaran kepada
hambahamba- Nya sekadar niatnya masing-masing. Seminggu yang lalu saya membaca
suatu kenyataan resmi dari pemerintahan Mesir sempena kematian Jamal Abdul
Nasir. Dikatakan bahwa mereka telah mencatat delapan kasus bunuh diri karena
mendengar kematian Jamal Abdul Nasir. Ada yang menerjunkan diri dari atas
bangunan yang bertingkat; ada yang menerjunkan diri ke bawah rel keretapi dan
sebagainya. Adapun mereka yang terluka jumlahnya cukup banyak. Ini saya
sebutkan sebagai contoh bagaimana emosi manusia kadang-kadang bisa menguasai
manusia itu sendiri. Jika manusia muslim sampai membunuh diri lantaran kematian
Jamal Abdul Nasir, padahal dia mati secara wajar, maka tidak ada hak bagi kita
untuk menghukumi bahwa Ahlu Sunnah adalah salah. Dan tidak ada hak bagi Ahlu
Sunnah juga menghukumi saudara-saudara mereka dari Syi'ah salah lantaran
menangisi Sayyid as-Syuhada' al-Husain. Mereka meratapi penderitaan Husain
sampai sekarang. Rasulullah sendiri pernah menangis untuk Husain, dan Jibril
juga menangis karena tangisnya Rasulullah."
"Kenapa Syi'ah menghiasi kuburan wali-wali mereka dengan emas
dan perak sementara ia haram di dalam Islam?" Tanyaku lagi.
"Ini tidak hanya ada di dalam Syi'ah dan juga tidak haram.
Lihatlah masjid-masjid saudara kami dari golongan Ahli Sunnah, di Iraq, Mesir,
Turki atau negara-negara Islam yang lain. Rata-rata dihiasi dengan emas dan
perak. Begitu juga dengan masjid Rasulullah SAW. di Madinah al-Munawwarah dan
Baitullah al-Haram di Mekah yang setiap tahun dipakaikan dengan perhiasan emas
yang baru dengan perbelanjaan berjuta-juta. Ini tidak hanya ada pada mazhab
Syi'ah saja."
"Ulama-ulama Saudi berkata bahwa mengusap tangan diatas kubur,
minta doa dari orangorang yang shalih serta mengambil berkat dari mereka semua
itu adalah syirik kepada Allah. Bagaimana pendapat Anda dalam hal ini?"
"Jika mengusap tangan di atas kubur dan menyebut nama-nama
penghuninya dengan niat bahwa mereka memberi manfaat atau mendatangkan
madharaat (kerugian), maka tak ragu-ragu lagi ia adalah syirik. Orang-orang
muslim adalah orang yang muwahhid (bertauhid) dan mengetahui bahwa Allah
sajalah yang memberi manfaat atau madharrat. Mereka menyeru para wali dan imam
a.s. semata-mata sebagai wasilah atau perantara mereka kepada Allah SWT. Ini
tidak syirik. Kaum muslimin, Sunnah dan Syi'ah, sepakat dalam hal ini sejak
zaman Rasul sehingga sekarang. Melainkan Wahhabiah atau ulama-ulama Saudi
seperti yang Anda sebutkan. Mereka telah melanggar ijma' kaum muslimin dengan
mazhab mereka yang baru muncul di abad ini. Mereka telah memfitnah kaum
muslimin dengan akidah mereka ini, mengkafirkan mereka dan bahkan menghalalkan
darah mereka. Para jemaah haji Baitullah al-Haram dipukul lantaran mereka
berkata: Assalamu
Alaika Ya Rasulullah. Dan tidak diperkenankan siapapun untuk menyentuh
kuburan suci Nabi Muhammad SAWW. Mereka telah berdiskusi dengan ulama kami
beberapa kali, tapi mereka tetap sombong untuk menerima kebenaran."
"Sayed Syarafuddin, seorang di antara ulama Syi'ah ketika
pergi haji ke Baitullah al-Haram di zaman raja Abdul Aziz Al Saud, adalah di
antara ulama ke istana raja untuk merayakan Hari Raya Aidul Adha bersama raja.
Ketika tiba gilirannya untuk bersalaman dengan raja, dihadiahkannya kepada raja
sebuah mushaf Al Quran yang bercover kulit binatang. Raja menerima hadiah
mushaf tersebut lalu diciumnya dan diletakkannya di atas dahi sebagai tanda
penghormatan dan pentakziman. Sayed Syarafuddin kemudian berkata ketika itu:
"Wahai Raja, kenapa Anda mencium kulit dan mengagungkannya. Bukankah ia
hanya berupa kulit kambing, tidak lebih?" "Yang kumaksudkan adalah
pentakziman kepada Al Quran al- Karim yang ada di dalamnya, bukan kepada kulit
ini." jawab Raja. Sayed Syarafuddin berkata: "Anda bijak hai Raja.
Begitulah juga ketika kami mencium pintu-pintu kuburan Nabi atau
dinding-dindingnya. Kami tahu bahwa itu semua adalah besi yang tidak memberi
sembarang manfaat atau mudharrat. Kami bermaksud mencium orang yang ada di
balik besi dan kayu- kayu itu. Kami bermaksud mentakzim-kan Rasulullah SAW,
sebagaimana Anda bermaksud mentakzimkan Al Quran dengan mencium kulit kambing
yang membungkus Al Quran ini." "Para hadirin mengucapkan takbir
sebagai tanda kagum atas Sayed ini. Mereka berkata: Anda benar, Anda benar.
Akhirnya raja terpaksa mengizinkan para jemaah haji untuk melakukan tabarruk
(mengambil berkat) dari peninggalan-peningalan Nabi SAW. sehinggalah datang
raja berikutnya. Kemudian ia dilarang kembali."
"Perkara yang sebenarnya bukan karena mereka takut kaum
muslimin akan syirik kepada Allah. Tetapi disana ada motivasi politik untuk
menguasai kaum muslimin dan memperkuat kerajaan mereka. Sejarah adalah
sebaik-baik bukti atas apa yang mereka lakukan terhadap ummat Muhammad SAW
"
Aku tanya juga tentang tarikat-tarikat Sufi. Jawabnya singkat,
"Ada yang positif dan ada juga yang negatif. Yang positif seperti membina
diri dan mendidiknya untuk sederhana di dalam hidup dan bersikap zuhud atas
kenikmatan-kenikmatan dunia serta melatih diri untuk berangkat tinggi ke alam
ruh yang suci. Sementara yang negatif seperti menyendiri dan lari dari realitas
kehidupan, terbatas hanya berzikir kepada Allah secara lafzi dan sebagainya.
Islam seperti yang diketahui mengabsahkan yang positif dan membuang jauh-jauh
yang negatif. Kita layak mengatakan bahwa semua prinsip Islam adalah
positif." (*Penulis buku Akhirnya Kutemukan Kebenaran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar