Oleh Dr. Muhammad Tijani as Samawi*
Selama tiga hari aku tinggal di rumah temanku. Seringkali
kurenungkan setiap ucapan yang kudengar dari mulut mereka. Aku merasa seakan
baru menemukan orang-orang asing yang datang dari bulan. Mengapa berita mereka
tidak sampai kepada kami melainkan yang buruk-buruk dan dusta saja? Mengapa
orang gemar membenci dan dengki pada orang-orang yang belum mereka kenal?
Betapa berlebihan fitnah-fitnah yang seringkali kami dengar tentang mereka;
bahwa mereka menyembah Ali, menempatkan imam-imam mereka setara dengan Tuhan,
mempercayai ‘hulul’ (inkarnasi) dan menyembah batu.
Ketika ayahku pulang haji, beliau bercerita bahwa orang-orang
Syi’ah datang ke pusara Nabi kemudian melemparinya dengan kotoran dan najis.
Karenanya mereka kemudian ditangkap oleh polisi-polisi Saudi dan dihukum mati.
Tuduhan-tuduhan seperti itu banyak dilemparkan pada mereka yang tak mungkin
kuceritakan di sini.
Tidak aneh kalau kemudian itu semua melahirkan rasa benci kaum
muslimin terhadap mereka. Bahkan sewaktu-waktu bisa memerangi mereka. Namun bagaimana
mungkin aku akan percaya pada fitnah-fitnah seumpama itu sementara mata dan
telingaku sendiri menyaksikan sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang mereka
katakan. Aku telah tinggal bersama mereka lebih dari satu minggu. Dan aku tidak
melihat atau mendengar dari mereka kecuali sesuatu yang rasional yang mampu
menembus akal-pikiran tanpa hambatan sedikitpun. Bahkan cara mereka beribadah,
sembahyang, berdoa, akhlak dan sikap hormat mereka kepada para ulama sangat
mengagumkanku, sampai aku sendiri sempat beranganangan untuk menjadi seperti
mereka.
Aku masih bertanya-tanya benarkah mereka membenci Rasulullah SAW?
Setiap kali aku sebut nama Muhammad untuk menguji mereka, serta merta mereka
akan sebut shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Mula-mula kupikir bahwa
mereka mungkin berpurapura. Tetapi dugaanku meleset setelah kubuka
lembaran-lembaran buku mereka yang kubaca. Di dalamnya tertulis sikap hormat
dan memuliakan Nabi lebih dari apa yang tertulis dalam kitab-kitab kami
sendiri. Mereka mengatakan bahwa Nabi itu ma’sum dalam segala hal, baik sebelum
beliau diutus sebagai Nabi atau sesudah diutus. Sementara Ahlu Sunnah Wal
Jamaah mengatakan bahwa Nabi ma’sum hanya ketika menyampaikan (wahyu) Al Quran
saja. Selebihnya beliau adalah manusia biasa yang juga bersalah. Seringkali
kita juga berdalih atas kesalahannya dengan membenarkan tindakan atau pendapat
sebagian sahabat. Dalam hal ini kita banyak mempunyai contoh. Namun orang
Syi’ah menolak mengatakan bahwa Nabi yang mulia pernah melakukan perbuatan yang
salah sementara para sahabat semuanya benar. Nah, bagaimana mungkin aku akan
mempercayai propaganda orang yang mengatakan bahwa orang-orang Syi’ah membenci
Nabi SAW?
Suatu hari dalam perbincanganku dengan temanku, aku meminta agar
beliau menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan tegas. Aku bertanya, “Benarkah
kalian (orang Syi’ah) meletakkan Ali r.a. setara dengan para nabi? Setiap kali
kalian menyebut nama Ali, kudengar kalian akan mengiringinya dengan kalimat
alaihissalam.”
“Ya, memang benar kami mengucapkan kalimat alaihissalam setiap kali
kami sebut nama Ali atau nama para imam dari keturunan Nabi SAWW. Hal itu tidak
berarti bahwa mereka adalah para nabi. Mereka adalah anak keturunan Nabi
Muhammad dan keluarganya di mana Allah perintahkan kita untuk mengirimkan
shalawat padanya. Dengan demikian maka boleh juga kita ucapkan kepada mereka
kalimat alaihimussholatu wassalam.”
“Tidak ya akhi,” jawabku. “Kami hanya mengkhususkan shalawat dan
salam kepada Nabi Muhammad dan para nabi sebelumnya saja. Ali dan anak-anaknya
r.a. tidak termasuk dalam kategori ini.”
“Kuharap Anda bisa membaca lebih banyak lagi agar dapat mengetahui
hakikat yang sebenarnya.”
“Kitab apa yang mesti aku baca. Bukankah Anda mengatakan bahwa
kitab-kitab karya Ahmad Amin tidak merujuk kepada Syi’ah. Demikian juga
kitab-kitab Syi’ah. Bagi kami kitab-kitab Syi’ah tidak mengandung kekuatan
hujjah dan tidak bisa dijadikan sebagai pegangan. Bukankah kitab-kitab Nasrani
mengatakan bahwa Isa pernah menyatakan dirinya:
“Sesungguhnya aku adalah anak Allah”. Sementara AlQuran -Kitab yang
paling benar menuliskan kata-kata Isa bin Maryam: “Aku tidak katakan kepada
mereka kecuali apa yang Kau perintahkan aku bahwa sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhan kalian.”
“Baik. Sungguh baik. Apa yang aku inginkan hanya ini, yakni
penggunaan akal dan logika serta berhujjah dengan AlQuran al-Karim dan Sunnah
yang sahih sebagaimana yang diperintahkan. Seandainya kita berdiskusi dengan
orang-orang Yahudi atau Nasrani, maka hujjah kita tentu akan lain lagi
bentuknya.”
“Di kitab mana saya bisa dapatkan kebenaran? Setiap pengarang,
setiap orang dan setiap mazhab mengaku dirinya pada jalan yang benar.”
“Aku akan tunjukkan padamu suatu dalil yang sangat nyata dan
disepakati oleh kaum muslimin dari berbagai mazhab. Sayangnya Anda juga tidak
mengetahuinya.”
“Tuhanku tambahkan padaku ilmu pengetahuan.” Jawabku singkat.
“Apakah Anda pernah baca tafsir ayat berikut: ‘Sesungguhnya Allah dan para
malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman
bershalawatlah kalian atasnya dan ucapkanlah salam’ (QS. Al-Ahzab: 56) Para
ahli tafsir, Sunnah dan Syi’ah, meriwayatkan bahwa sejumlah sahabat datang
kepada Nabi SAWW dan bertanya, ‘Ya Rasulullah, kami tahu bagaimana cara
mengucapkan salam kepadamu, tetapi kami tidak tahu bagaimana cara mengucapkan
shalawat kepadamu. Kemudian Rasulullah menjawab, ‘Katakanlah, ya Allah kirimlah
shalawat kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad, sebagaimana kau kirimkan
shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim di alam semesta. Sesungguhnya Kau
Maha Terpuji dan Maha Agung.’ Dan hadis lain, Jangan kalian ucapkan shalawat
kepadaku dengan shalawat yang terputus. Sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah apa
itu shalawat yang terputus?’ Baginda menjawab: ‘Kalian mengucapkan shalawat
kepada Muhammad, namun setelah itu kalian diam. Sesungguhnya Allah itu Maha
Sempurna dan tidak menerima melainkan yang sempurna juga.’”
Itulah mengapa para sahabat dan generasi berikutnya tahu bagaimana
cara mengucapkan shalawat kepada Rasulullah SAW secara sempurna. Imam Syafi’i
pernah berkata dalam sebuah syairnya:
Wahai keluarga Rasulullah
Mencintai kalian adalah fardu dari Allah di dalam Al Quran yang
diturunkan-Nya. Sudah cukup suatu keagungan bagi kalian siapa yang tidak
bershalawat kepada kalian maka tiada akan sah shalatnya.
Kata-kata itu benar-benar mengetuk telingaku dan menembus jauh ke
kedalam hatiku. Kudapati sebuah reaksi yang positif dalam jiwaku. Secara jujur
harus kuakui bahwa aku pernah membaca tulisan serupa itu dalam sebuah buku.
Tetapi aku tidak ingat nama kitab itu secara pasti. Aku katakan kepadanya bahwa
ketika kami mengucapkan shalawat kepada Nabi kami juga mengucapkan shalawat
kepada keluarganya dan seluruh sahabatnya. Kami tidak mengkhususkan salam
kepada Ali seperti yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah. “Apa pendapatmu
tentang Bukhari? Apakah beliau orang Syi’ah?” Tanyanya kepadaku. “Beliau adalah
seorang imam yang agung dari kalangan Ahli Sunnah Wal Jamaah. Kitabnya adalah
kitab yang paling sahih sesudah kitab Allah.” Jawabku.
Kemudian beliau berdiri dan mengambil kitab Shahih al-Bukhari dari
perpustakaannya. Dicarinya halaman yang diinginkannya lalu diberikannya
kepadaku untuk kubaca. Isinya: “Diriwayatkan oleh Fulan bin Fulan dari Ali
alaihis-salam.” Melihat ini rasanya aku tidak percaya sama sekali. Aku terkejut
bahkan ragu-ragu apakah benar kitab ini adalah kitab Shahih Bukhari.
Berkali-kali kulihat halaman dan nama buku. Memang itu adalah kitab Shahih
Bukhari. Ketika temanku menyadari keragu-raguanku, ia ambil kitab itu dari
tanganku dan dibukanya lagi halaman yang lain. Isinya: Diriwayatkan oleh Ali
bin Husain alaihimassalam. Waktu itu aku hanya bisa mengucap kalimat
Subhanallah. Kemudian beliau meninggalkanku dan melangkah keluar.
Aku terus berpikir dan membaca halaman-halaman yang ditunjukkannya
padaku berulangkali. Aku teliti cetakan mana yang menerbitkan kitab ini.
Kudapati ia dicetak oleh Syarikat al-Halabi Dan Anak-anak, di Mesir.
Ya Ilahi. Kenapa mesti kubantah dan bersikap sombong. Dia telah
memberiku suatu hujjah yang nyata dari kitab yang paling shahih di sisi kami.
Bukhari pasti bukan seorang Syi’ah. Beliau adalah salah seorang di antara
imam-imam Ahlu Sunnah dan ahli hadis yang agung. Apakah aku mesti menyerah pada
kebenaran ini, yakni mengatakan alaihissalam ketika menyebut nama Ali. Namun aku
masih merasa takut untuk berpegang pada hakikat ini. Karena mungkin ada hakikat
lain yang belum kuketahui. Yang pasti, aku telah kalah hujjah di hadapan
temanku sebanyak dua kali. Aku telah mengendurkan kepercayaanku akan kesucian
Abdul Qadir al-Jailani dan aku menerima bahwa Musa al-Kazim adalah lebih utama
darinya. Aku juga menerima kenyataan bahwa ucapan alaihissalam adalah benar.
Tetapi aku tidak mau menerima kekalahan yang lain. Aku yang sebelum ini dikenal
di Mesir sebagai orang alim, bahkan ulama-ulama al-Azhar memuji kehebatanku,
tiba-tiba hari ini kudapati diriku kalah dan tak berdaya. Dari siapa? Dari
mereka yang sebelum ini dan sampai sekarang masih kupercayai sebagai kelompok
yang salah. Aku telah terbiasa mendengar bahwa kalimat Syi’ah identik dengan
cacian.
Sungguh ini adalah sikap sombong dan ego, sikap fanatisme dan
angkuh. Ya Allah, bimbinglah aku. Bantulah aku dalam menerima kebenaran
walaupun pahit. Ya Allah, bukakanlah pandangan mata dan hatiku. Tunjukkanlah
aku ke jalan yang lurus. Jadikanlah aku di antara orang-orang yang mendengar
perkataan lalu mengikuti yang terbaik. Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami
kebenaran, lalu karuniakan kepada kami untuk mengikutinya. Perlihatkanlah juga
kepada kami kebatilan, lalu kurniakan kami untuk menghindarinya. Sambil
membaca-baca doa ini kami kembali pulang ke rumah. Temanku tersenyum. Katanya,
“Semoga Allah membimbing kita dan semua kaum muslimin. Allah telah berfirman
dalam kitab-Nya: ‘Dan barang siapa yang berjuang dijalan Kami, niscaya Kami
akan tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang baik.’ (QS. Al-Ankabut: 69) Kalimat berjuang di dalam ayat ini
bermaksud mengkaji ilmu yang mungkin akan menghantar pada suatu kebenaran. Dan
Allah SWT pasti akan menyampaikan kepada kebenaran bagi mereka yang mencari
kebenaran.” (*Penulis Buku Akhirnya Kutemukan Kebenaran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar