Pembai’atan Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah adalah contoh
pertama pemilihan umum dalam sejarah Islam dan momentum paling demokratis dalam
sejarah agama ini. Hal yang tidak pernah dialami oleh ketiga khalifah
sebelumnya. Kaum muslimin sangat gembira dengan baiat yang mereka lakukan.
Harapan mereka adalah dengan Ali bin Abi Thalib akan terbentuk pemerintahan
yang sah dan adil, kekhalifahan adalah penolong kaum lemah dan tertindas. Umat
begitu gembira ketika Ali bin Abi Thalib menerima kekhalifahan sebagaimana yang
diceritakan oleh beliau dalam ucapannya, “Pembaiatan kaum muslimin
terhadapku membuat mereka begitu gembira. Anak-anak terlihat senang sementara
orang-orang tua badan mereka bergetar saking gembiranya. Semua orang sangat
berhasrat untuk melakukan baiat bahkan orang sakit”
Kekacauan menguasai kota Madinah setelah pembunuhan Usman bin
Affan. Semua mata mengarah kepada Ali bin Abi Thalib. Hanya Ali bin Abi Thalib
yang mampu menyelamatkan umat Islam. Tak ada seorang pun yang berani mengklaim
dirinya lebih berhak menjadi khalifah setelah perjalanan kekhalifahan menemui
berbagai masalah sulit. Situasi politik juga tidak memberi kesempatan kepada
Usman bin Affan untuk mengambil sikap menentukan khalifah setelahnya
sebagaimana yang telah dilakukan oleh kedua khalifah pendahulunya. Empat
kandidat lainnya yang tersisa tidak merasa memiliki kelayakan untuk menjadi
khalifah. Sekali lagi hal itu dikarenakan kondisi negara dan pemerintahan yang
semakin kompleks. Negara dan pemerintah membutuhkan seorang pemimpin yang
memiliki kekuatan yang dapat membangkitkan kembali umat Islam setelah
kemunduran dan kemerosotan. Umat membutuhkan seorang pemimpin yang mampu
mengatasi krisis dan melindungi umat dari kehancuran. Pemimpin dengan kriteria
tersebut hanya dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib AS.
Seluruh kaum muslimin bergerak menuju Ali bin Abi Thalib dan
memaksanya untuk menerima tongkat estafet kekhalifahan. Namun Imam Ali bin Abi
Thalib menerima mereka dengan keraguan. Mereka telah mencampakkan dirinya dari
kekhalifahan sementara ia adalah pemilik aslinya. Saat ini mereka datang
memintanya menjadi khalifah setelah terjadi penyimpangan yang cukup dalam dan
setelah semua mengalami kebingungan dan masalah yang saling tumpang tindih
telah sedemikian mengakar tanpa memiliki jalan keluar. Pada akhirnya Ali bin
Abi Thalib berkata kepada mereka, “Kalian tidak membutuhkanku untuk
menyelesaikan permasalahan yang kalian hadapi. Aku bersama kalian, siapa saja
yang kalian pilih aku pasti akan menerimanya, maka gunakanlah hak pilih kalian”.
Ali kemudian menambahkan,“Bila kalian tidak melakukannya, dan tetap memaksa
untuk memilih aku, maka aku lebih baik menjadi pembantu khalifah ketimbang
menjadi khalifah”.
Imam Ali bin Abi Thalib As menjelaskan kepada mereka akan apa yang
bakal terjadi, “Wahai kaum muslimin kalian sedang menghadapi masalah
yang memiliki banyak penafsiran di mana hati sulit untuk meyakininya dan akal
tidak mampu bersamanya”. Menghadapi paksaan kaum muslimin untuk
menjadikannya sebagai khalifah pada akhirnya Ali bin Abi Thalib menerimanya seraya
berkata, “Aku menerima menjadi pemimpin kalian. Namun, aku akan berbuat
sesuai yang aku ketahui. Bila kalian meninggalkan aku maka aku hanyalah salah
satu dari kalian tidak lebih. Ketahuilah! Aku lebih mengetahui dan lebih taat
dari orang yang kalian pilih sebelumnya”. Kaum muslimin semakin bertambah
jumlahnya yang menghendaki Ali bin Abi Thalib menerima kekhalifahan. Hal itu
tergambar pada ucapannya,“Pada hari pembaiatan mayoritas masyarakat muslim
berduyun-duyun mengitari diriku. Saking banyaknya jumlah orang yang ingin
berbaiat sehingga hampir saja Hasan dan Husein terinjak-injak oleh mereka dan
sorbanku ditarik-tarik sehingga sobek dari dua bagian. Aku seperti merasa di
tempat peternakan di mana masyarakat seperti sejumlah besar kambing dan aku sebagai
penggembala”.
Imam Ali bin Abi Thalib tidak rakus akan kekuasaan, namun ia sangat
berharap mampu menyelamatkan yang tersisa dari umat Islam, dan melindungi
syariat Islam dari penyimpangan. Ali bin Abi Thalib menerima kekhalifahan namun
meminta waktu hingga keesokan harinya untuk memberikan jawaban dan meminta agar
bai’at kaum muslimin dilakukan secara terbuka di masjid, menolak metode baiat
Saqifah (pemilihan Abu Bakar), wasiat (pemilihan Umar) dan syura (pemilihan
Usman). Dan pada waktu yang bersamaan Ali bin Abi Thalib memberikan kesempatan
lagi kepada umat untuk menguji emosi dan kemantapan umat Islam untuk tunduk
kepadanya. Sebelumnya teks-teks Nabi Saw yang berkenaan dengan penegasan
kekhalifahan dirinya telah disingkirkan oleh umat yang menyebabkan mereka
tersesat. Dari sini Ali bin Abi Thalib berkata,“Demi Allah! Aku tidak
mendekati kekhalifahan kecuali karena khawatir akan niat buruk kepada umat
Islam dari kambing-kambing gunung yang kafir dari Bani Umayyah yang siap
mempermainkan Kitab Allah”. Kondisi kritis berkat penetrasi Bani Umayyah di
pusat-pusat pemerintahan dan ketamakan mereka yang luar biasa akan kekuasaan
saat hilangnya kesadaran akan Islam di masyarakat Islam.
Menjelang keesokan harinya mayoritas kaum muslimin mengerubungi
Imam Ali bin Abi Thalib As yang berjalan ke arah masjid. Dia naik ke atas
mimbar dan berpidato, “Wahai kaum muslimin! Masalah kekhalifahan ada di
tangan kalian. Tidak ada seorang pun yang berhak selain orang yang kalian
pilih. Kemarin, kita telah berpecah belah dan aku sangat membenci menjadi
khalifah bagi kalian dalam kondisi seperti itu. Aku enggan memerintah kalian.
Ketahuilah, Aku tidak berhak untuk mengambil harta kalian. Bila kalian ingin
aku duduk saja untuk kalian. Bila tidak maka aku tidak akan mengambil apapun
dari kalian”. Semua yang hadir berteriak dengan suara yang satu dan
lantang, “Perilaku kami yang meninggalkanmu sebagai pemimpin pada waktu
yang lalu. dan mereka menambahkan, 'Sekarang kami membaitmu berdasarkan kitab
Allah. Ali bin Abi Thalib kemudian menuntaskan omongan mereka dengan berkata,
'Ya Allah Engkau adalah saksi atas apa yang mereka ucapkan”. Orang-orang
berdesak-desakan bagaikan gelombang menuju Ali bin Abi Thalib untuk
membai’atnya. Orang pertama yang membaiat Ali bin Abi Thalib adalah Thalhah, ia
pula yang paling pertama melanggar sumpah setianya dan memerangi Ali di
kemudian hari. Orang kedua yang membaiat Ali adalah Zubair. Kemudian secara
berturut-turut mereka yang ikut di perang Badar, kaum Muhajirin dan Anshar yang
diikuti oleh masyarakat lainnya yang berasal dari luar.
Pembai’atan Ali bin Abi Thalib adalah contoh pertama pemilihan
umum. Hal yang tidak pernah dialami oleh ketiga khalifah sebelumnya. Kaum
muslimin sangat gembira dengan baiat yang mereka lakukan. Harapan mereka adalah
dengan Ali bin Abi Thalib akan terbentuk pemerintahan yang sah dan adil,
kekhalifahan adalah penolong kaum lemah dan tertindas. Umat begitu gembira
ketika Ali bin Abi Thalib menerima kekhalifahan sebagaimana yang diceritakan
oleh beliau dalam ucapannya,“Pembaiatan kaum muslimin terhadapku membuat
mereka begitu gembira. Anak-anak terlihat senang sementara orang-orang tua
badan mereka bergetar saking gembiranya. Semua orang sangat berhasrat untuk
melakukan baiat bahkan orang sakit”.
Para pelanggar baiat
Sudah menjadi hal yang alami akan ada individu-individu yang
berseberangan dengan kebenaran dengan berbagai alasan yang dimiliki; lemahnya
keyakinan, adanya kedengkian dan kepentingan. Sekalipun Imam Ali bin Abi Thalib
adalah khalifah yang sah seperti disebutkan dalam riwayat-riwayat dan sejarah
Islam pun menegaskan hal itu bahwa Ali bin Abi Thalib adalah sebaik baik orang
yang melindungi umat dan Islam sepeninggal Nabi. Ali bin Abi Thalib memiliki
potensi dan kelayakan untuk itu dibandingkan kaum muslimin yang lain. Terlihat
bagaimana umat Islam menerima dan membaiatnya dengan senang hati. Akan tetapi
ada sekelompok kecil kaum muslimin yang sesat dan pengecut dalam menghadapi
kebenaran dan mulai kembali dan mengingkari baiat yang telah dilakukan.
Pengingkaran kelompok kecil ini sedikit banyaknya merusak
kesepakatan umat dan sebuah tantangan atas baiat yang telah dilakukan. Untuk
itu mereka mulai mencari cara baru untuk menyebarkan fitnah dan usaha agar
senantiasa terjadi konflik internal antar sesama kaum muslimin. Orang-orang itu
antara lain Saad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Umar, Kaab bin Malik, Muslimah
bin Mukhlid, Abu Said Al-Khudri, Muhammad bin Muslimah, Nu'man bin Basyir,
Rafi' bin Khadij, Abdullah bin Salam, Kudamah bin Mazh'un, Usamah bin Zaid,
Al-Mughirah bin Syu'bah, Suhaib bin Sinan dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Sebagian
dari mereka kemudian menyesali pelanggaran atas baiat yang telah dilakukan.
Imam Ali bin Abi Thalib menerima taubat mereka tanpa sedikit pun melakukan
tindakan balas dendam. Ali bin Abi Thalib menyerahkan penilaian terhadap mereka
ke tangan umat Islam.
Halangan-halangan dalam perjalanan pemerintahan Imam
Ali
Imam Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah kaum muslimin setelah
seperempat abad diasingkan dari arena politik dan kepemimpinan akan umat.
Keduanya, politik dan kepemimpinan umat telah menyimpang dari kebenaran selama
dua puluh lima tahun. Penyimpangan selama seperempat abad ini adalah faktor
penghambat terbesar yang melemahkan setiap pengambilan Keputusan dalam menghadapi
peristiwa-peristiwa yang terjadi di zaman pemerintahannya. Selama dua puluh
lima tahun orang-orang telah terbiasa melihat Ali sebagai rakyat biasa bukan
penguasa. Menjadi rakyat biasa di tangan orang-orang yang kualitasnya di bawah
dirinya. Sebagaimana juga pada sejumlah orang telah tumbuh rasa untuk
berlomba-lomba mencapai kekuasaan untuk mewujudkan kepentingan pribadi. Zubeir
adalah contohnya. Zubeir ketika di Saqifah adalah seorang yang memperjuangkan
hak Imam Ali bin Abi Thalib di hadapan kelompok yang ingin meraih kekuasaan,
namun setelah itu ia menjadi penentang Imam Ali untuk meraih kekuasaan. Begitu
juga Muawiyah, At-Thaliq ibnu At-Thaliq (ia dan ayahnya termasuk yang masuk
Islam karena adanya amnesti dari Rasulullah dan mereka yang diberi amnesti
disebut At-Thaliq), setelah beberapa tahun memerintah menjadi sebuah kelompok
yang kuat yang dapat mengancam pemerintah pusat.
Salah satu penghalang gerakan reformasi Imam Ali bin Abi Thalib
adalah adanya sekumpulan sahabat yang mengambil posisi sebagai oposannya garis
sesat yang sebagian besar mereka merupakan sahabat Rasulullah saw. Kedekatan
mereka dengan Rasulullah sebelumnya yang membuat banyak orang tertipu dan
membuat masalah menjadi sedemikian kompleks untuk keberlangsungan pemerintahannya.
Sebagai tambahan, luas wilayah pemerintahan Islam di masa pemerintahan Abu
Bakar tidak lebih dari Jazirah Arab dan Irak. Sementara pada zaman khalifah Ali
bin Abi Thalib AS. luas teritorial pemerintahan Islam telah mencakup Afrika
Utara, Asia Tengah ditambah seluruh Jazirah Arab, Irak dan Syam. Yang masuk
Islam pun semakin beragam. Mereka yang baru masuk Islam sebelumnya melakukan
perjanjian dengan Islam di bawah pemerintahan yang tidak sah dan maksum, bahkan
pemerintahan yang telah menyimpang dari ajaran yang asli dari Islam. Imam Ali
bin Abi Thalib ketika menjadi khalifah, pekerjaan pentingnya adalah
mengembalikan pamor pemerintahan Islam sesuai dengan ajaran Islam dengan cepat
sekalipun ada pertikaian-pertikaian internal kaum muslimin sebagai berikut:
1.Menghancurkan sistem kelas sosial berdasarkan kesukuan yang
dicanangkan khalifah-khalifah sebelumnya dengan cara:
a. Tidak adanya perlakuan khusus bagi sebuah golongan tertentu.
Semua diperlakukan secara sama dalam pemberian dari Baitul Mal. Ini sesuai
dengan Sunah Rasul saw yang kemudian diacuhkan oleh para khalifah sebelumnya.
Ali bin Abi Thalib telah menjelaskan dalam khotbahnya tentang kebijakan
distribusinya yang bersumber dari hukum Allah 'Sesungguhnya yang paling mulia
dari kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa'. Imam Ali bin Abi Thalib
AS. berkata, 'Ketahuilah, setiap orang menjawab seruan Allah dan Rasul-Nya
kemudian ia membenarkan agama kami, dan masuk dalam agama kami, mengarah pada
kiblat yang sama dengan kami, maka hak-haknya secara Islam harus dipenuhi.
Kalian adalah hamba-hamba Allah. Harta yang ada adalah milik Allah. Harta
tersebut akan dibagikan kepada kalian secara sama. Tidak ada seorang pun yang
akan diperlakukan secara khusus sehingga mendapatkan lebih dari yang lain.
Kelak, orang yang bertakwa akan mendapat balasan yang lebih baik di sisi
Allah'.
b. Menarik kembali harta-harta yang dibawa lari dari Baitul Mal di
zaman Usman bin Affan. Imam Ali bin Abi Thalib AS. mengumumkan bahwa harta apa
saja yang diambil dari Baitul Mal secara tidak sah, sangat banyak terjadi di
zaman Usman bin Affan, harus dikembalikan. Harta yang disebut Imam Ali bin Abi
Thalib lebih banyak berada di kelompok yang selalu mendekati dan mengitari
khalifah dan Usman bin Affan memang memanjakan mereka agar tetap loyal
dengannya. Imam Ali bin Abi Thalib berkata, 'Ketahuilah, setiap apa saja yang
diambil oleh Usman bin Affan dan setiap harta yang diberikan kepada orang lain
dan itu berasal dari Baitul Mal, maka itu semua harus dikembalikan. Kebenaran
tidak bisa dianulir oleh apapun sekalipun aku menemukannya telah dipakai untuk
biaya perkawinan, pembelian budak dan telah dibagi di negeri-negeri niscaya aku
akan mengembalikannya. Dalam keadilan ada kelapangan. Barang siapa yang melihat
keadilan membuat hidupnya sempit maka berbuat kezaliman lebih sempit lagi
buatnya'.
Kebijakan moneter yang diterapkan Imam Ali bin Abi Thalib membuat
gerah Quraisy. Sejumlah tokoh Quraisy yang terkena peraturan Imam Ali bin Abi
Thalib tidak taat dengan perintah tersebut bahkan bersikap sombong dan tetap
merasa sebagai orang-orang terpandang, seperti: Marwan bin Al-Hakam, Thalhah
dan Zubeir. Mereka percaya betul bahwa Imam Ali bin Abi Thalib secara serius
akan melaksanakan keputusannya. Melihat itu mereka mulai melakukan
manuver-manuver untuk menciptakan fitnah terhadap pemerintahan Imam Ali bin Abi
Thalib. Suatu hari, Thalhah dan Zubeir mendatangi Imam Ali bin Abi Thalib
mengkritik kebijakannya. Akhirnya terjadi dialog di antara mereka. Keduanya
berkata, 'Kami memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah saw, termasuk
yang dahulu masuk Islam dan melakukan jihad. Dengan berpatokan pada itu,
mengapa engkau memberikan kepada kami dari Baitul Mal dengan bagian yang sama
dengan orang lain. Umar dan Usman tidak pernah memberikan kami sama dengan yang
lainnya. Mereka pasti memperlakukan kami secara khusus dengan memberikan kepada
kami lebih dibandingkan yang lain.
Imam Ali bin Abi Thalib dengan tenang menjawab, 'Ini adalah
Al-Quran. Kalian berdua lihat sendiri berapa bagian kalian dan ambillah sesuai
dengan hak kalian. Mereka menyela, 'Tapi kami termasuk orang yang paling dahulu
masuk Islam? Ali menjawab, 'Dibandingkan denganku? Mereka serentak menjawab,
'Tidak'. Tapi kekerabatan kami dengan Nabi! Ali menjawab lagi, 'Lebih dekat
dari kekerabatanku dengan Nabi? Kembali mereka menjawab, 'Tidak'. Namun
bagaimana dengan jihad dan perjuangan kami? Ali sekali lagi berkata, 'Jihad
kalian lebih dariku? Serempak mereka berdua menjawa, 'Tidak'. Imam Ali bin Abi
Thalib AS. kemudian berkata, 'Demi Allah! Bagian dan upahku sama dengan yang
lainnya'.
c. Persamaan di depan hukum Allah:
Imam Ali bin Abi Thalib AS. tidak pernah lupa dengan penerapan
syariat sekalipun di zaman khalifah sebelumnya. Ia selalu menghukumi dan
memutuskan dengan benar dan adil ketika yang lain tidak mampu melakukannya. Hal
yang sama dilakukannya ketika menjabat sebagai khalifah muslimin sehingga ia
dikenal dan dijadikan contoh sebagai orang yang paling wara' dan takwa dalam
kelompok orang-orang yang ingin menegakkan keadilan dan kebenaran. Imam Ali bin
Abi Thalib adalah manifestasi keadilan syariat ilahiah dan kekuatan Islam yang
mampu mendirikan negara yang berisi kebebasan, keamanan dan keadilan. Untuk
mewujudkan keadilan, Imam Ali bin Abi Thalib tidak merasa berat untuk
melaksanakan hukum baik bagi dirinya, keluarga dan sahabat-sahabatnya. Salah
contohnya adalah ketika seorang Yahudi mengadukannya ke peradilan dalam masalah
baju perang Imam Ali bin Abi Thalib yang hilang.
Pemutusan hukum yang dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib
bersumber dari kedalaman syariat Islam dan keluasan ilmu beliau tentang agama
dan masalah-masalah keduniaan. Hal itu menunjukkan keterjagaannya (ishmah)
dalam berpikir dan berbuat.
2. Pengaturan sistem manajemen dan pengembalian kewibawaan negara
secara terpusat:
Imam Ali bin Abi Thalib AS. ketika menjadi khalifah mulai mencopot
satu persatu gubernur-gubernur yang diangkat oleh Usman bin Affan. Ali bin Abi
Thalib menggantikan mereka dengan orang-orang yang lebih layak dan mampu
bekerja. Mereka adalah orang-orang yang dipercayai oleh kaum muslimin. Ali
kemudian melantik dan mengutus Usman bin Hanif Al-Anshari menggantikan Abdullah
bin 'Amir di propinsi Basrah. Untuk daerah Kufah Ali mengirim Imarah bin Syahab
sebagai pengganti Abu Musa Al-Asy'ari. Ubaidillah bin Abbas dikirim ke Yaman
menggantikan Ya'la bin Munabbih. Abdullah bin Saad yang sebelumnya diangkat
oleh Usman sebagai gubernur Mesir digantikan oleh Ali bin Abi Thalib dengan
mengirim gubernur barunya yang bernama Qais bin Saad bin Ubadah. Tidak lupa
dikirim ke Syam seoang gubernur baru bernama Sahl bin Hanif sebagai pengganti
Muawiyah bin Abi Sufyan. Semua ini dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib
karena kebusukan pemerintahan sebelumnya dan tidak sehatnya manajemen
pemerintah. Usman telah mengangkat Ya'la bin Munabbih sebagai penjaga Baitul
Mal di Yaman namun yang dilakukannya adalah membawa lari semua harta yang ada.
Di sisi laiin, Muawiyah bersikeras untuk tetap berkuasa di Syam dan tidak taat
kepada pemerintah pusat dengan kekuatan militernya berusaha mencegah Sahl bin
Hanif untuk melaksanakan tugasnya.
Dalam memilih dan mengangkat pejabat baru, Imam Ali bin Abi Thalib
melakukannya dengan sangat teliti dan obyektif. Semua itu dilakukan karena
kepedulian yang dalam terhadap penerapan syariat Islam dalam jajaran
pemerintahnya yang baru. Ali bin Abi Thalib mengembalikan kepercayaan kaum
Anshar kepada diri sendiri dan meninggikan semangat dan rohani mereka dengan
menyertakan mereka berpartisipasi dalam pemerintahannya. Sebagaimana di sisi
yang lain, Imam Ali bin Abi Thalib tidak akan menerima oknum-oknum yang
memiliki catatan negatif dan memiliki kecenderungan menyimpang. Imam Ali bin
Abi Thalib telah bertekad bulat untuk menghapuskan kebobrokan yang selama ini
terjadi. Ali bin Abi Thalib menolak memberikan waktu kepada Muawiyah bin Abu
Sufyan untuk tetap bercokol di Syam tanpa harus menunggu pemerintahannya kokoh
terlebih dahulu setelah itu baru melakukan tindakan pencopotan.
Imam Ali bin Abi Thalib berusaha menaikkan kewibawaan pemerintah
pusat atas pemerintahan Syam setelah Muawiyah bin Abu Sufyan menolak untuk
melakukan baiat. Untuk itu, Ali bin Abi Thalib memberikan bendera kepada
anaknya Muhammad bin Al-Hanafiah, Abdullah bin Abbas mengiringi pasukan dari
sisi kanan dan Umar bin Abi Salamah di sisi kirinya. Ali bin Abi Thalib juga
memanggil Abu Laila bin Umar bin Al-Jarrah dan memutuskannya memimpin pasukan
di front terdepan. Setelah itu, Ali bin Abi Thalib berpidato di hadapan
penduduk Madinah dan memberi semangat mereka untuk berperang dengan Muawiyah.
Namun sebelum pasukan bergerak ke arah Syam ada kabar yang memberitakan
bagaimana Thalhah dan Zubeir keluar dari Madinah menuju Bahsrah menjadi oposan
pemerintah setelah dengan licik keduanya meminta izin dari Ali bin Abi Thalib
untuk melakukan umrah. Karena izin umrah maka Ali bin Abi Thalib memberi izin
keduanya untuk tidak ikut dalam pasukan namun ternyata itu hanyalah siasat
mereka saja. Imam Ali bin Abi Thalib dengan cepat memberi ultimatum kepada
mereka untuk tidak melanggar perjanjian baiatnya.
Poros perbuatan Imam Ali bin Abi Thalib Kepada Umat
Terdapat sebuah kepastian akan dalam syariat Islam adanya seorang
pribadi yang mampu melindungi sendi-sendi agama Islam dan keberlangsungannya
dalam kehidupan. Mampu menghadapi serangan arus yang beragam setelah
meninggalnya Rasulullah saw sang pemimpin. Teks-teks menetapkan bahwa
pribadi-pribadi tersebut adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya kelak.
Dalam melatih proses hubungan antara pemimpin dan rakyat dalam bingkai risalah
Islam dituntut adanya seorang Imam maksum (yang terjaga dari salah dan dosa)
yang berada di ujung piramida kekuasaan. Akan tetapi, setelah meninggalnya
Rasulullah saw, ada elemen-elemen lain yang tidak memiliki kualifikasi ikut dan
campur tangan dalam masalah ini. Itu terjadi dalam kondisi yang sangat kompleks
dan kemudian elemen asing ini yang malah menjadi orang nomor satu dalam
piramida kekuasaan Islam. Namun pun demikian, hal itu tidak mencegah Imam Ali
bin Abi Thalib untuk tetap memainkan peranannya. Dan karena periode yang ada
(tiga khalifah) memiliki kekhasannya sendiri-sendiri menuntut Imam Ali bin Abi
Thalib berbeda-beda pula dalam menyikapinya. Namun dari semua itu dapat dilihat
bahwa sikap dan perbuatan Imam Ali bin Abi Thalib terfokus pada dua poros dalam
usahanya untuk menangkal arus penyelewengan umat dan melindungi akidah dan
kepercayaan yang mereka miliki. Kedua poros tersebut sebagai berikut:
Poros pertama: upaya menguasai kontrol pemerintahan dan
memimpin masyarakat meningkatkan kemampuan dan bangkit bersama umat dalam
keberlangsungan perjalanannya menuju tujuan transendennya yang telah diwajibkan
oleh Allah swt. Imam Ali bin Abi Thalib telah berbuat sebisa mungkin berkaitan
dengan masalah ini setelah wafatnya Nabi Muhammad saw secara langsung. Beliau
sendiri menjelaskan usahanya ini dengan ucapannya, 'Seandainya tidak karena
keberadaan orang yang ingin melakukan baiat hadir, tidak karena para penolong
terhadap argumentasi bagiku telah sempurna dan bila Allah tidak mengambil janji
dari ulama untuk berhadapan dengan kekenyangan orang-orang zalim dan kelaparan
orang-orang mazlum niscaya aku akan membiarkan dan tidak mengambil tanggung
jawab kekhalifahan ini'.
Imam Ali bin Abi Thalib berusaha untuk memobilisasi masa secara
besar-besaran, namun ia tidak dapat melakukannya sampai berhasil dikarenakan
beberapa sebab sebagai berikut:
1. Tidak adanya kesadaran umat dalam peristiwa Saqifah dan apa yang
terjadi di sana dimulai dengan persekongkolan untuk menguasai kekuasaan dan
bimbingan yang salah yang secara tersirat pada bagian besar dari umat.
2. Tidak adanya pemahaman yang benar tentang peran dan tanggung
jawab Imam dan Imamah (kepemimpinan). Masyarakat Islam memahaminya sebagai
masalah pribadi dengan tujuan individual. Sementara hakikatnya tidak demikian.
Keikutsertaan Imam dalam menghadapi para penguasa dengan landasan kesadaran
akan risalah Islam dan dengan iradah dan kehendak yang jujur demi
keberlangsungan agama Islam yang suci sebagaimana ia disyaratkan oleh Allah
jauh dari kekotoran dan penyimpangan. Imam akan mengorbankan segalanya demi tujuan
mulia ini bahkan bila itu harus dengan taruhan hak-hak pribadinya sekalipun.
Tolok ukur adalah keselamatan risalah Islam dan keberlangsungannya berdasarkan
prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan ilahi. Imam sendiri berkata, 'Pahamilah
kebenaran niscaya engkau akan memahami siapa orangnya'. Dan Rasulullah saw
telah bersabda, 'Ali senantiasa bersama kebenaran kapan dan di manapun saja
kebenaran berada'.
Sebagaimana Imam Ali bin Abi Thalib berbuat dengan cakupan dimensi
yang luas dan meliputi seluruh level masyarakat dan berhasil mensinkronkan
antara teori dan penerapannya. Imam Ali bin Abi Thalib mendidik para sahabat
untuk memahami bahwa kehidupan mereka memiliki tujuan untuk menyukseskan
risalah Islam dan bukan para sahabat yang memikirkan pribadinya saja yang
terombang ambing ke sana dan kemari tanpa arah yang pasti. Terlihat Imam Ali
bin Abi Thalib siap menyerahkan kepemimpinan dengan syarat perjalanannya sesuai
dengan sebelumnya ketika Rasulullah menanamkannya dan tidak mencederai risalah
Islam dan masyarakat.
3. Endapan budaya jahiliah yang telah kronis dalam pemikiran umat
Islam. Zaman belum lama berlalu namun umat masih belum menyadari akan kedalaman
risalah Islam, Rasul dan peran seorang Imam. Mereka menggambarkan bahwa di
zamannya Nabi telah berwasiat kepada Imam Ali bin Abi Thalib hanya sekedar
proses menetapkan seorang kandidat buat salah satu dari anggota keluarganya.
Nabi dianggap bertujuan untuk menghidupkan kembali masa keagungan keluarga yang
memiliki angan-angan untuk berkuasa sebagaimana kebiasaan mayoritas para
penguasa sebelum Nabi Muhammad saw dan sesudahnya.
4. Peran kaum munafikin dan ketamakan mereka dalam usaha untuk mengguncang
stabilitas keamanan, sosial, aparatur negara dan juga negara. Mereka berusaha
untuk semakin intens masuk ke dalam melakukan penetrasi bila pemerintah lemah
dan menyimpang.
5. Secara psikologis, aparatur negara dan mereka yang memimpin
negara tidak benar-benar sehat. Mereka senantiasa merasa lemah dan kurang
dengan derajat yang cukup tinggi di hadapan Imam Ali bin Abi Thalib.
Senantiasa, bagi mereka, Imam Ali bin Abi Thalib adalah bahaya laten. Itu
dimulai dari keberadaannya, kejujuran, perjuangan, keterusterangan,
kegagahberaniannya dan umurnya yang masih muda. (Sebagaimana termuat dalam
surat Muawiyah kepada Muhammad bin Abu Bakar).
Poros kedua: Tahap ini adalah penerapan ketika rencana-rencana
poros pertama tidak berhasil mencapai tujuan. Pada poros kedua ini Imam Ali bin
Abi Thalib berusaha untuk membentengi umat dari kehancuran total sekaligus
memberikan kekebalan secukupnya untuk tetap bertahan dalam gesekan yang terjadi
dalam menghadapi ujian setelah kelompok yang tidak memiliki kualifikasi
menguasai pemerintahan dan berupaya untuk menarik umat Islam dari jalan
kebenaran.
Imam Ali bin Abi Thalib berusaha keras untuk memperdalam risalah
Islam baik secara pemikiran, semangat dan politik ke dalam barisan kaum
muslimin serta memberikan pilihan lain akan wajah Islam yang hakiki tentang
sistem pemikiran Islam dengan metode sebagai berikut:
1. Campur tangan secara positif dalam kebijakan pemerintah yang
menyeleweng setelah mereka tidak mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah
baik yang sederhana maupun kompleks. Imam Ali bin Abi Thalib memberikan advis
kepada mereka bagaimana cara yang tepat dan benar untuk menyelamatkan umat dari
kesesatan dan keterasingan. Peran yang coba dimainkan oleh Imam Ali bin Abi
Thalib di sini seperti seorang partner yang ikut campur tangan untuk meluruskan
sebuah masalah.
Imam Ali bin Abi Thalib ikut campur tangan dalam rangka menjawab
kerancuan yang terjadi pada mereka yang mengingkari risalah Islam. Tentunya ini
setelah mereka yang duduk dalam pemerintahan hingga khalifah sendiri tidak
mampu untuk memberikan jawaban yang tepat. Tidak cukup itu saja, Imam Ali bin
Abi Thalib juga mengambil peran sebagai konsultan khalifah dalam bidang militer
dan ekonomi. Sejarah juga mencatat sumbangan pemikiran Imam Ali bin Abi Thalib
dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum dan peradilan.
2. Mengarahkan kebijakan politik khalifah dan mencegah penyimpangan
agar tidak semakin melebar dengan semakin intens melakukan nasihat. Metode ini
terlihat nyata pada masa pemerintahan Usman bin Affan ketika ia tidak lagi mau
menerima nasihat dan peringatan orang lain.
3. Menyodorkan sebuah teladan tentang Islam dan bentuknya yang
hakiki tentang prinsip-prinsip dan bingkai pemerintahan dan masyarakat Islam.
Usaha Imam Ali bin Abi Thalib dalam hal ini dapat terwujud dalam masa
pemerintahannya. Atas dasar inilah mengapa ia menerima menjadi khalifah setelah
sebelumnya menolak. Imam Ali bin Abi Thalib telah mencoba memainkan peran
seorang pemimpin politik yang cerdas dan bersikap adil, menjadi contoh bagi
manusia yang ingin diwarnai oleh syariat Islam. Imam Ali bin Abi Thalib adalah
contoh yang perlu diteladani untuk sampai pada tujuan risalah Islam. Ia seorang
manusia yang ma'sum, terjaga dari kesalahan dan dosa baik dalam pemikiran,
penerapan dan perilaku.
4. Mendidik dan menyiapkan kader dari sekelompok kaum muslimin yang
berkualitas dan baik yang nantinya dapat membantunya mewujudkan penerapan
reformasi dan perubahan. Dan itu dilakukannya bersamaan dengan pergerakannya di
tengah-tengah umat untuk mematangkan pemikiran dan perluasan kelompok yang
lebih sadar dan sehat. Diharapkan kondisi ini bisa tetap bertahan dan
berlangsung melintasi sejarah hingga sampai kepada generasi yang akan datang
untuk tetap berlaku dan berbuat sesuai dengan garis dan metode Islam.
5. Menghidupkan kembali Sunah Rasulullah saw dan menegaskan
pentingnya, menyusun dan perhatian yang lebih kepada Al-Quran baik dari sisi
pembacaan, penghafalan, penafsiran dan penyusunannya. Tidak lain dikarenakan
keduanya adalah tiang syariat dan agama. Umat harus mengetahui hakikat Al-Quran
dan Sunah sebagaimana keduanya diturunkan dan sebagaimana keduanya diinginkan
untuk difahami.
Kebudayaan Islam di Masa Pemerintahan Para Khalifah
Problem paling krisis yang dihadapi oleh risalah dan akidah Islam
adalah adanya sekelompok orang yang tidak memiliki kualifikasi dan idiot yang
hendak melindungi dan menerapkannya. Ketika mereka yang tidak layak memangku
kekuasaan diminta untuk memberi pandangan tentang Islam dan sejauh mana
penguasaan mereka, bila tidak mampu menjawab atau sekurang-kurangnya terdiam
tentu ini akan membangkitkan keraguan di hadapan masyarakat yang pada
gilirannya mengguncangkan kepercayaan mereka kepada agama dan kemampuannya
untuk dapat diterapkan dalam kehidupan. Dari sini, keraguan kemudian berubah
menjadi kondisi yang menjadikan umat mengambil jarak dengan Islam atau
setidak-tidaknya mencoba melindungi agama pada medan pertempuran dan krisis
yang lebih luas. Oleh karena untuk menanggulangi hal ini, Rasulullah saw
menangani semua problem yang tidak jelas bahkan misterius yang muncul di
berbagai tempat dalam kehidupan umat sekaligus menunjukkan sikap yang
transparan berkaitan dengan Islam. Sikap yang sama juga dapat disaksikan dalam
perilaku Imam Ali bin Abi Thalib sepeninggalnya di sela-sela pemerintahan tiga
khalifah sebelumnya ketika mereka menunjukkan kelemahannya di hadapan
masyarakat baik dari sisi keilmuan maupun dalam penerapan. Ketika Imam Ali bin
Abi Thalib memegang kendali kekuasannya kewibawaan Islam kembali muncul di
tangannya dengan mengkaji dan menjawab semua permasalahan yang muncul di
zamannya.
Ketika kelompok penguasa mendapatkan dirinya tidak mampu dan tidak
layak bahkan secara keilmuan tidak bisa apa-apa, mereka kemudian mencoba
menerapkan kebijakan-kebijakan lain untuk mengalihkan perhatian masyarakat akan
kelemahan ini. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain:
1. Mencegah penebaran hadis-hadis Rasulullah saw yang berisikan
pengarahan tentang keilmuan dan dorongan meraih kesadaran dan aktif dalam
kehidupan. Sebagai tambahan, dengan menyembunyikan hadis-hadis Rasulullah saw
mengumumkan secara transparan bahwa Ahli Bayt yang diinginkan dan layak menjadi
pemimpin dan khalifah bukan mereka. Dari sini terbongkar pula rahasia dari
semboyan 'Hasbuna Kitabullah' (kami cukup dengan Al-Quran) yang disampaikan
untuk menantang Rasulullah yang dalam keadaan sakit ingin menuliskan sesuatu
agar umat tidak tersesat sepeninggalnya.
Tampaknya pembatasan atau pelarangan penyebaran hadis-hadis Nabi
dimulai sebelum kejadian itu. Semuanya ini dimulai ketika Quraisy melarang
Abdullah bin Umar dan bin Al-'Ash untuk menulis hadis. Sebagaimana kemudian
para penguasa membakar buku-buku yang memuat tulisan hadis-hadis Rasulullah
saw.
2. Fenomena pelarangan pertanyaan kepada mereka yang tidak
diketahui jawabannya tentang makna ayat-ayat Al-Quran. Gejala ini memiliki arti
mengosongkan umat dari semangat mengkaji, meneliti dan mempelajari Al-Quran
setelah Sunah nabi dicampakkan dari sisi Al-Quran. Pada akhirnya, perhatian
hanya ditujukan kepada sisi lahir Al-Quran tanpa pendalaman dan pemahaman
terhadap ayat-ayat dan hukum-hukumnya. Umar bin Khatthab mewasiatkan para
pegawainya dengan ucapannya, 'Biarkan Al-Quran, riwayatkan saja hadis-hadis
Rasulullah saw dan aku adalah bagian dari kalian'. Tidak itu saja, ia juga
menyiksa setiap orang yang bertanya kepadanya tentang tafsir dari ayat-ayat
Al-Quran'.
3. Pembukaan pintu ijtihad yang menentang teks-teks wahyu. Abu
Bakar telah melakukan ijtihad dalam beberapa masalah. Salah satunya adalah
penyitaan warisan Nabi Muhammad saw, menahan dan mencegah Ahli Bayt untuk
mendapatkan haknya dari khumus (seperlima), membakar rumah Fathimah Az-Zahra
AS. Fatwanya tentang masalah Kalalah dan fatwanya tentang warisan seorang
nenek. Hal yang sama juga dilakukan oleh Umar bin Khatthab. Ia membedakan
pemberian dari Baitul Mal menyimpang dari Sunah Rasulullah saw. Umar bin
Khatthab berijtihad melarang dan mengharamkan dua mut'ah; mut'ah haji dan nikah
mut'ah dan masih banyak lagi ijtihad yang dilakukannya sebagaimana dituturkan
dalam buku An-Nash wa Al-Ijtihad. Tidak ketinggalan Usman pun melakukan ijtihad
dengan memberhentikan Ubaidillah bin Umar dari jabatannya, pentawilan terhadap
sejumlah hukum-hukum yang telah jelas berbeda dengan apa yang telah ditentukan
oleh Rasulullah saw sehingga kaum muslimin bangkit dan melakukan kudeta
terhadapnya.
Semua masalah ini dan yang lain-lainnya memunculkan sejumlah
masalah dan musibah terhadap pemerintah dan masyarakat. Kesemua ini termasuk
inti masalah yang menyebabkan penyimpangan jalur yang harus ditempuh oleh Islam
yang pada gilirannya menjerumuskan semuanya dalam fitnah dan kesesatan
sebagaimana yang diucapkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib:
'Penyebab munculnya fitnah dikarenakan hawa nafsu yang diikuti,
pelaksanaan bid'ah pengganti wahyu ilahi sehingga Al-Quran tidak lagi diikuti
bahkan dipalingkan. Orang-orang menjadikan sekelompok orang sebagai pemimpin
dengan dua alasan ini dan bukan alasan yang dibenarkan oleh agama. Seandainya
kebatilan tidak dicampurkan adukkan dengan kebenaran, niscaya bagi mereka yang
mencari kebenaran tidak akan tersesat. Seandainya kebenaran dipisahkan dari
kebatilan niscaya musuh-musuh Islam tidak mampu berbicara apa-apa. Namun yang
terjadi adalah mereka meramu sebagian dari kebenaran dengan sebagian dari
kebatilan. Pada waktu itulah, setan menguasai teman-temannya. Hanya orang-orang
yang mendapat kasih dayang dan rahmat-Nya yang dapat selamat'.
Usaha keras Imam Ali bin Abi Thalib Menghidupkan
Kembali Syariat Islam
Imam Ali bin Abi Thalib AS. melihat kewajiban paling pertamanya
yang harus dilakukannya setelah meninggalnya Rasulullah saw adalah menjaga
syariat Islam dari penyimpangan serta melindungi pemerintahan Islam agar tidak
mendapat masalah dan tetap berjalan. Imam Ali bin Abi Thalib telah berusaha
semaksimal mungkin di masa pemerintah tiga khalifah sebelumnya dengan mencoba
melupakan kepedihan akibat haknya yang dirampas dalam mengatur urusan umat
islam secara langsung. Ia pada masa itu tidak sempat menjadi pemimpin umat
namun tetap melaksanakan langkah besar dalam menghidupkan Sunah Rasulullah saw
dan ketika berdakwah menuju kehidupan selalu bernaung di bawah Sunah Nabi.
Tentunya tanpa melupakan perhatian terhadap Al-Quran, tafsirnya, pendidikan
umat dan memperbaiki kebobrokan kapan ditemukannya. Langkah-langkah yang telah
ditempuh oleh Imam Ali bin Abi Thalib dapat dilihat sebagai berikut:
1. Membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada umat dan
masyarakat Islam untuk berdialog dan mempertanyakan tentang Al-Quran dan Sunah
serta segala sesuatu yang berhubungan dengan syariat Islam dengan cara ilmiah
dan umum mencakup memberikan jawaban kepada penentang dan musuh-musuhnya yang
membencinya.
2. Perhatian kepada para pembaca Al-Quran dan melindungi kehidupan
mereka karena mereka mengikuti sunah Rasulullah saw dalam mengajarkan Al-Quran.
Pengajaran membaca Al-Quran yang dibarengi dengan belajar memperdalam serta
memahami dan mengamalkan apa yang tertera di dalamnya.
3. Perhatian dengan cara membaca Al-Quran bagi mereka yang bukan
Arab atau orang-orang yang tidak dapat mengucapkan bahasa Arab dengan baik dan
betul. Imam Ali bin Abi Thalib AS. kemudian menyusun ilmu Nahwu untuk menuntun
pengucapan yang benar akan Al-Quran.
4. Imam Ali bin Abi Thalib AS. mengajak kaum muslimin untuk
meriwayatkan hadis-hadis Rasulullah saw, menyusun dan mempelajarinya. Beliau
sendiri berkata, 'Ikatlah ilmu dengan menuliskannya'.
5. Imam Ali bin Abi Thalib memfokuskan Al-Quran dan Sunah
Rasulullah saw sebagai sumber perundang-undangan. Di sisi lain, sumber-sumber
seperti Istihsan, Qiyas dan lain-lainnya oleh Imam Ali bin Abi Thalib
ditetapkan bukan sebagai sumber hukum syariat.
Sebagaimana Imam Ali bin Abi Thalib berusaha untuk menghidupkan
kembali Sunah Rasulullah dalam perilaku, ibadah dan akhlaknya. Ia berupaya
untuk mengobati gejala dan perilaku bid'ah yang muncul dalam syariat Islam
sebagai hasil ijtihad dari ketiga khalifah sebelumnya.
6. Imam Ali bin Abi Thalib mampu membangun dan menyiapkan
sekelompok kaum muslimin sebagai kadernya yang bergerak di tengah-tengah
masyarakat Islam untuk ikut memberikan sumbangan dalam eksperimen kepemimpinan
dalam Islam dan ikut dalam melindungi masyarakat Islam.
Tampaknya Imam Ali bin Abi Thalib AS. memulai proses menuju tujuan
yang diinginkan semenjak kehidupan Rasulullah saw bahkan sesuai dengan perintah
Nabi sendiri. Terlihat bagaimana Nabi memberikan kepada Ali bin Abi Thalib
tanggung jawab masalah-masalah penting untuk melindungi kaum muslimin yang
memiliki kesadaran untuk menyesuaikan derap langkahnya dengan Islam. Nabi juga
mendorong kaum muslimin untuk berbuat dan bersikap sesuai dengan jalur Imam Ali
bin Abi Thalib sehingga terbentuk sekelompok sahabat yang dikenal dengan
sebutan Syi'ah Ali (pengikut Ali) dalam kehidupan Rasulullah saw seperti; Ammar
bin Yasir, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghiffari, Jabir bin Abdullah
Al-Anshari, Al-Miqdad bin Al-Aswad dan Abdullah bin Abbas. Mereka ini dikenal
sebagai orang-orang yang tetap bertahan dengan jalur Imam Ali bin Abi Thalib di
segala kondisi bahkan dalam keadaan yang paling sulit sekalipun setelah
wafatnya Rasulullah saw.
Ketika Imam Ali bin Abi Thalib AS. menjadi khalifah, berkumpul di
sekelilingnya sekelompok kaum muslimin yang loyal kepadanya. Imam Ali bin Abi
Thalib semakin intens memperhatikan dan menyiapkan mereka untuk tugas-tugas
khusus. Imam Ali bin Abi Thalib mengajarkan mereka beragam ilmu yang dapat
diamalkan dalam berbagai dimensi kehidupan. Kader-kader Imam Ali bin Abi Thalib
kemudian sesuai dengan tugas mereka bangkit mulai berjuang untuk menguatkan
pilar-pilar Islam dan Imamah serta turut menjaga syariat Islam dari
penyimpangan. Sikap mereka berhadapan dengan pemerintah yang zalim menunjukkan
kepribadian agung mereka. Orang-orang yang pantas dianugerahi medali
kehormatan. Mereka itu seperti; Malik bin Al-Asytar, Kumail bin Ziyad
An-Nakha'i, Muhammad bin Abu Bakar, Hijr bin 'Adi, Amr bin Al-Humq bin
Al-Khuza'i, Sha'sha'ah bin Shuhan al-Abdi, Rasyid Al-Hijri, Hasyim Al-Mirqal,
Qanbar, Sahl bin Hunaif dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar