Setelah Fatimah as mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk
beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang
berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar Bin Khattab. Rasulullah
saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya
menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah as).”
Kemudian, Jibril as datang untuk mengabarkan kepada Rasulullah
saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib as. Tak
lama setelah itu, Ali as datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu
menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah as. Sang ayah pun menghampiri putri
tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali
bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan
keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan
engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah
datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan
ini?"
Fatimah as diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya
bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah tanda kerelaannya.”
Acara Pernikahan
Rasulullah saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang
menantu seraya berkata, “Bangunlah! Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah
la quwwata illa billah, tawakkaltu 'alallah.” Kemudian, Nabi saw menuntun Ali
dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya
keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya,
berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga
mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk.”
Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat
berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah
istrimu.” Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik
suami adalah suamimu”. Di tengah-tengah keramaian dan kerumunan wanita yang
berasal dari kaum Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim, telah lahir sesuci-suci
dan seutama-utamanya keluarga dalam sejarah Islam yang kelak menjadi benih bagi
Ahlulbait Nabi yang telah Allah bersihkan kotoran jiwa dari mereka dan telah
sucikan mereka dengan sesuci-sucinya.
Acara pernikahan kudus itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat
itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang
istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia
bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam
memerlukan pedang itu, dan setuju apabila Ali menjual perisainya. Setelah
menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang
tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah
tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini.
Kehidupan mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu
kamar, letaknya di samping masjid Nabi saw. Hanya Allah SWT saja yang
mengetahui kecintaan yang terjalin di antara dua hati, Ali dan Fatimah.
Kecintaan mereka hanya tertumpahkan demi Allah dan di atas jalan-Nya. Fatimah
as senantiasa mendukung perjuangan Ali as dan pembelaannya terhadap Islam
sebagai risalah ayahnya yang agung nan mulia. Dan suaminya senantiasa berada di
barisan utama dan terdepan dalam setiap peperangan. Dialah yang membawa panji
Islam dalam setiap peperangan kaum muslimin. Ali pula yang senantiasa berada di
samping mertuanya, Rasulullah saw.
Fatimah as senantiasa berusaha untuk berkhidmat dan membantu suami,
juga berupaya untuk meringankan kepedihan dan kesedihannya. Beliau adalah
sebaik-baik istri yang taat. Beliau bangkit untuk memikul tugas-tugas layaknya
seorang ibu rumah tangga. Setiap kali Ali pulang ke rumah, ia mendapatkan
ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan di sisi sang istri tercinta. Fatimah
as merupakan pokok yang baik, yang akarnya menghunjam kokoh ke bumi, dan
cabangnya menjulang tinggi ke langit. Fatimah dibesarkan dengan cahaya wahyu
dan beranjak dewasa dengan didikan Al-Qur'an.
Keluarga Teladan
Kehidupan suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua
kehidupan manusia untuk menjalin kehidupan bersama. Kehidupan keluarga dibangun
atas dasar kerjasama, tolong menolong, cinta, dan saling menghormati. Kehidupan
Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami istri yang
bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan rumah
tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu berupaya untuk mencari
keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada
suaminya.
Pembicaraan mereka penuh dengan adab dan sopan santun. "Ya
binta Rasulillah"; wahai putri Rasul, adalah panggilan yang biasa
digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa Fatimah. Sementara Sayidah Fatimah
sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya Amirul Mukminin”; wahai pemimpin kaum
mukmin. Demikianlah kehidupan Imam Ali as dan Sayidah Fatimah as. Keduanya
adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau pun bagi orang tua
terhadap anak-anaknya.
Buah Hati
Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya
yang oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali
atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan
Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat
Al-Qur'an. Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak
menjadikan keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Az-Zahra as. Rasul mengasuh
kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau
senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka
bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan
penuh kehangatan. Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as.
Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu
dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan
menyakiti hatiku.” Satu tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah
itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya
Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah as itu dengan nama-nama
tersebut. Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari
putrinya Fatimah Zahra as.
Kedudukan Fatimah Az-Zahra’ as
Meskipun kehidupan beliau sangat singkat, tetapi beliau telah
membawa kebaikan dan berkah bagi alam semesta. Beliau adalah panutan dan cermin
bagi segenap kaum wanita. Beliau adalah pemudi teladan, istri tauladan dan
figur yang paripurna bagi seorang wanita. Dengan keutamaan dan kesempurnaan
yang dimiliki ini, beliau dikenal sebagai “Sayyidatu Nisa’il Alamin”; yakni
Penghulu Wanita Alam Semesta. Bila Maryam binti ‘Imran, Asiyah istri Firaun,
dan Khadijah binti Khuwalid, mereka semua adalah penghulu kaum wanita pada
zamannya, tetapi Sayidah Fatimah as adalah penghulu kaum wanita di sepanjang
zaman, mulai dari wanita pertama hingga wanita akhir zaman.
Beliau adalah panutan dan suri tauladan dalam segala hal. Di kala
masih gadis, ia senantiasa menyertai sang ayah dan ikut serta merasakan
kepedihannya. Pada saat menjadi istri Ali as, beliau selalu merawat dan
melayani suaminya, serta menyelesaikan segala urusan rumah tangganya, hingga
suaminya merasa tentram bahagia di dalamnya. Demikian pula ketika beliau
menjadi seorang ibu. Beliau mendidik anak-anaknya sedemikian rupa atas dasar
cinta, kebaikan, keutamaan, dan akhlak yang luhur dan mulia. Hasan, Husain, dan
Zainab as adalah anak-anak teladan yang tinggi akhlak dan kemanusiaan mereka.
Kepergian Sang Ayah
Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah saw jatuh sakit, bahkan
beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang menimpanya. Fatimah as
bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk memulihkan kondisinya. Dengan
air mata yang luruh berderai, Fatimah berharap agar sang maut memilih dirinya
dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa ayahandanya. Tidak lama kemudian
Rasul saw membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu
dengan penuh perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan
ayat-ayat suci Al-Qur'an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an dengan suara
yang khusyuk.
Sementara sang ayah hanyut dalam kekhusukan mendengarkan
kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah Nabi. Beliau
ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan mendengarkan suara
putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil dan berada di samping
ayahnya di saat dewasa. Rasul saw meninggalkan dunia dan ruhnya yang suci mi’raj ke
langit. Kepergian Rasul saw merupakan musibah yang sangat besar bagi putrinya,
sampai hatinya tidak kuasa memikul besarnya beban musibah tersebut. Siang dan
malam, beliau selalu menangis.
Belum lagi usai musibah itu, Fatimah as mendapat pukulan yang lebih
berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan kedudukan. Setelah
mereka merampas tanah Fadak dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam
perkara khilafah (kepemimpinan), Fatimah Az-Zahra’ as berupaya untuk
mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian yang luar biasa. Imam
Ali as melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan Sayidah
Fatimah as secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar,
hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasul saw akan sirna, dan manusia akan
kembali ke dalam masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali as meminta istrinya yang mulia untuk menahan
diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci. Akhirnya, Sayidah
Fatimah as pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan kaum
muslimin akan sabda Nabi, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah, dan
kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah SWT.” Sayidah Fatimah as diam dan
bersabar diri hingga beliau wafat. Bahkan beliau berwasiat agar dikuburkan di
tengah malam secara rahasia.
Kepergian Putri Tercinta Rasul
Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian perlahan-lahan meredup.
Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra as sepeninggal Rasul saw. Ia tidak kuasa
lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta. Kesedihan
senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih ketika sampai pada
kalimat Asyhadu anna Muhammadan(r) Rasulullah. Kerinduan Sayidah
Fatimah untuk segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya.
Bahkan kian lama, kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah,
tidak lagi sanggup menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.
Demikianlah keadaan Sayidah Fatimah as saat meninggalkan dunia.
Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab
yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun. Yang
paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali
as, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala medan. Sayidah
Fatimah as memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya
akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami
agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih
misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang
dirinya. Fatimah Az-Zahra’ as senantiasa memberikan catatan kepada sejarah
akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam
pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Imam Ali as duduk di samping kuburannya,
diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Imam as mengucapkan
salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah ... dariku dan dari putrimu
yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menjumpaimu. "Duhai
Rasulullah! Telah berkurang kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah
berkurang pula kekuatanku ... Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu
yang telah menghancurkan hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang
akan menjawab. Salam sejahtera untuk kalian berdua!”
Riwayat Singkat Sayidah Fatimah as
Nama : Fatimah.
Julukan : Az-Zahra’, Al-Batul, At-Thahirah.
Ayah : Mahammad.
Ibu
: Khadijah binti Khuwailid.
Kelahiran : Jumat 20 Jummadil Akhir.
Tempat : Makkah Al-Mukarramah.
Wafat : Madinah Al-Munawarah,
Tahun 11 H.
Makam : Tidak diketahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar