(Gambar: Panji Kesultanan Perlak, Kesultanan Banten, dan Kesultanan
Cirebon)
Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah dikenal sebagai orang yang
paling dekat dan paling dicintai oleh Rasulullah SAW. Banyak riwayat dan hadis
yang menjelaskan tentang hal ini. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa
Rasulullah SAW mendapat kiriman daging burung panggang. Nabi SAW mengatakan
bahwa dia hanya akan memakan daging itu bersama dengan orang paling beliau
cintai dan paling dicintai oleh Allah. Kepada Anas bin Malik yang sehari-hari
bekerja sebagai pembantu di rumah Nabi, beliau bersabda bahwa orang yang akan
datang ke rumah ini adalah orang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Anas menanti-nantikan kedatangan orang itu. Dalam hati kecilnya, ia
berharap, semoga orang yang dimaksudkan adalah salah seorang sanak keluarganya.
Ketika sedang termenung, mendadak ia mendengar suara ketukan pintu. Anas
membukakan pintu. Ia kecewa karena yang datang ternyata Ali bin Abi Thalib. Ali
meminta izin bertemu Rasul. Anas menjawab bahwa Nabi sedang sibuk dan tidak
bisa diganggu. Pintu rumah Rasul kembali ditutup.
Beberapa saat kemudian, kembali terdengar suara ketukan pintu. Anas
bergegas membukakannya. Ia kembali kecewa karena ternyata Ali-lah yang datang.
Tiga kali berturut-turut, Ali datang dan Anas tidak memberinya izin berjumpa
dengan Rasulullah. Pada kali ketiga, Rasul bertanya kepada Anas, “Siapakah yang
ada dibelakang pintu.” Anas menjawab, “Ali.” Rasul menyuruh Ali masuk dan
bersabda bahwa Ali adalah orang yang paling dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Pengorbanan yang dipersembahkan Ali untuk Islam dalam disaksikan
dalam semua sisi kehidupan manusia mulai ini. Perang Khandak atau Perang Parit
adalah saksi nyata dari perngorbanan besar yang dipuji oleh Rasulullah. Saat
itu, ketika kaum kafir Quresy berhasil mengajak sejumla suku-suku Arab untuk
menyerang Madinah pada tahun ke-5 hijriyah, sekitar 10 ribu pasukan kafir
mengepung kota itu.
Pengorbanan untuk Islam
Untuk pertahanan mengadapi pasukan sebesar itu, atas saran Salman
dan perintah Rasulullah SAW, kaum muslimin menggali parit. Meski demikian, ada
beberapa jawara Quresy yang berhasil menyebrangi parit melalui bagian yang
relatif sempit. Salah satu diantara mereka adalah Amr bin Abdi Wadd, yang
dikenal sebagai jawara Arab tertangguh masa itu.
Ketika berhasil menyeberangi parit, Amr berteriak-teriak menantang
siapa saja yang berani berhadapan dengannya. Kebisuan menyelimuti barisan kaum
muslimin yang tahu dengan benar siapa Amr bin Abdi Wadd. Tiba-tiba Ali memecah
kebisuan dan menyatakan kesiapannya bertarung dengan Amr. Dengan memakai serban
yang dililitkan oleh Rasul di kepalanya, pemuda putra Abu Thalib itu melangkah menjawab
tantangan Amr.
Kepergian Ali ke medan laga ditatap oleh Rasul yang bersabda, “Ini
adalah pertarungan antara keimanan murni dan kekafiran murni.” Debu-debu
beterbangan menyelimuti medan pertarungan dua jawara dari dua barisan yang
berseteru dan menghalangi tatapan ribuan pasang mata. Hanya gemerincing suara
benturan pedang yang terdengar. Tiba-tiba, suara takbir menggema yang
menandakan bahwa Ali berhasil menghabisi Amr.
Kemenangan Ali atas Amr dalam kondisi seperti itu, mendapat pujian
Nabi SAW. Beliau bersabda, “Pukulan pedang Ali pada perang Khandak lebih mulia
dari ibadah seluruh manusia dan jin.”
Pada tahun ke-7 hijriyah, setelah mendengar berita persiapan kaum Yahudi
Khaibar untuk menghabisi kota Madinah, Rasulullah SAW mengirim pasukan untuk
menyerang mereka. Satu persatu benteng Khaibar jatuh ke tangan kaum muslimin.
Namun gerakan pasukan Islam terhenti setelah dua hari berturut-turut gagal
menundukkan benteng yang terkuat. Akhirnya, Nabi SAW bersabda bahwa esok beliau
akan menyerahkan panji perang kepada orang yang menyintai Allah dan Rasul serta
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia adalah orang yang tidak akan mundur
sebelum berhasil menguasai benteng itu.
Esoknya, oleh Nabi, panji perang itu diserahkan kepada Ali bin Abi
Thalib as. Di tangan Ali, benteng terkuat Khaibar berhasil dikuasai dan kaum
Yahudi di kawasan itu bertekuk lutut di hadapan kekuatan Islam. Kekalahan
Yahudi Khaibar berarti kekalahan Yahudi di seluruh negeri Hijaz.
Perang Hunain adalah cerita lain yang mengisahkan ketegaran Ali
dalam membela agama Allah. Perang Hunain terjadi setelah penundukan kota Mekah
oleh pasukan muslimin. Dengan pasukan besar, sebagian kaum muslimin merasa
tidak ada kekuatan di Arab yang bisa mengalahkannya. Namun tanpa diduga,
barisan kaum muslimin diobrak-obrik oleh suku Hawazin dan Tsaqif. Barisan yang
semula rapi itu mendadak kacau dan sebagian besar orang lari menyelamatkan diri
dari serbuan suku Hawazin dan Tsaqif.
Hanya beberapa orang yang tetap menyertai Rasulullah SAW,
diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib dan Abbas bin Abdul Mutthalib. Saat
itulah Nabi memerintahkan Abbas untuk memanggil kembali orang-orang yang
terikat dengan baiat Ridhwan. Akhirnya, sedikit demi sedikit mereka yang lari
kembali ke barisan dan siap menghadapi musuh.
Kepahlawanan dan kesetiaan Ali kepada Allah dan Rasul-Nya tidak
diragukan oleh siapapun. Nama Ali membuat gentar setiap musuh Islam. Untuk
itulah, ketika Nabi SAW membawa pasukan besar ke arah Tabuk, beliau
memerintahkan Ali untuk tinggal di Madinah dan mengamankan kota ini dari
konspirasi kaum munafikin yang ingin membuat kekacauan. Kehadiran Ali di
Madinah di saat Nabi SAW dan sebagian besar kaum muslimin pergi ke Tabuk telah
mengacaukan rencana kaum munafikin. Karenanya mereka menebar isu miring bahwa
Rasul tidak lagi memerlukan Ali dalam perang Tabuk karena perjalanannya yang
panjang dan panas yang membakar. Mereka juga menebar kasak-kusuk bahwa Ali meminta
untuk tinggal di Madinah dengan anak-anak kecil dan kaum wanita di saat semua
orang pergi menanggung kesusahan ke Tabuk.
Mendengar isu itu Ali mengejar Nabi SAW sampai ke daerah Juhfah
yang terletak beberapa kilometer dari kota Madinah. Kepada utusan Allah itu,
Ali menyampaikan isu yang beredar di Madinah. Nabi bersabda, “Wahai Ali, tidak
bersediakah engkau memiliki posisi di sisiku sama seperti Harun di sisi Musa,
hanya saja tidak ada nabi setelahku?”
Ali as Setelah Kepergian Nabi SAW
Tahun 10 hijriyah, Nabi SAW bersama para sahabatnya melakukan
ibadah haji. Musim haji tahun itu, hanya dihadiri oleh mereka yang telah
memeluk agama Islam. Sejarah mencatat, bahwa lebih dari 100 ribu muslim ikut
menyertai rasulullah SAW dalam ibadah haji yang disebut dengan hajjatul wada’
ini. Hajjatul Wada berarti haji perpisahan, karena setelah tahun itu umat Islam
ditinggalkan oleh pemimpin mereka, Rasulullah SAW yang wafat hanya selang
beberapa bulan sepulangnya dari haji ini.
Seperti yang telah kami singgung dalam searah kehidupan rasul SAW,
di tengah perjalanan pulang ke Madinah, Nabi mendapatkan wahyu untuk
menyampaikan pesan penting Tuhan. Untuk melaksanakan perintah itu, beliau
menyuruh para sahabatnya untuk berhenti di tempat yang dikenal dengan nama
Ghadir Khum. Di sanalah beliau menyampaikan hadisnya yang terkenal, “Man Kuntu
Maulahu fahadza Aliyyun maulah.” Barang siapa yang menjadikanku sebagai
pemimpin maka Ali adalah pemimpinnya juga. Hadis ini difahami sebagai pengumuman
dari Nabi bahwa sepeninggal beliau Ali-lah yang akan memimpin umat Islam.
Di penghujung bulan Shafar tahun 11 hijriyah, Nabi SAW menerima
panggilan Sang Khalik untuk menghadap-nya. Beliau wafat meninggalkan umatnya
setelah menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Umat Islam bagai anak-anak
yatim yang kehilangan orang tua mereka. Untuk itulah sejumlah orang berkumpul
di sebuah balairung yang disebut dengan nama Saqifah bani Saidah. Pertemuan itu
dihadiri oleh sejumlah orang Anshar dan beberapa orang muhajirin. Meski sempat
terjadi keributan, pertemuan itu menghasilkan keputusan mengangkat Abu bakar
sebagai khalifah pengganti Rasulullah untuk memerintah atas umat.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah di saat jenazah suci
Rasulullah SAW belum dimakamkan, cukup mengejutkan bagi para sahabat yang lain.
Sebagian dari mereka masih meyakini bahwa Rasul sudah menjelaskan siapakah yang
bakal menjadi penerus beliau. Namun segala penentangan terhadap keputusan itu
tidak membuahkan hasil apapun. Beberapa bulan setelah wafatnya Rasul, Ali dan
para pengikutnya mengulurkan tangan baiat kepada Abu Bakar. Sejarah mencatat
bahwa sepeninggal Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib yang dikenal sebagai
jawara tangguh dan pewaris ilmu Rasulullah SAW, hidup menyendiri. Beliau lebih
menyibukkan diri dengan ibadah, menulis Al-Quran, bekerja dan mengajarkan ilmu
kepada orang-orang tertentu, semisal Abdullah bin Abbas. Hubungan Ali dengan
khalifah Abu Bakar tidak banyak dicatat oleh sejarah. Sepeninggal khalifah Abu
Bakar, Umar yang menjadi khalifah kedua banyak memanfaatkan ilmu dan nasehat
Ali. Ketika akan menyerang Persia, sesuai dengan saran Ali, Umar tidak
menyertai pasukannya. Dalam banyak kasus, Umar juga membatalkan keputusannya
ketika ada penentangan dari Ali. Kata-kata Umar yang terkenal, “Jika tidak ada
Ali, Umar pasti binasa,” atau ungkapan, “Semoga Allah tidak menguji dengan satu
maslah tanpa kehadiran Abul Hasan” diabadikan oleh para sejarawan.
Menjelang kematiannya, khalifah Umar menunjuk enam orang sahabat,
yatiu Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin
Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf sebagai anggota syura.
Tugas syura ini adalah memilih salah seorang diantara mereka sebagai khalifah.
Dengan ketentuan yang telah ditetapkan, Abdurrahman bin Auf mengulurkan
tangannya untuk membaiat usman. Keputusan itulah yang akhirnya ditetapkan dan
Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga.
Di masa kekhalifahan Utsman bin Affan, Ali tidak banyak memegang
peranan, sebab khalifah ketiga ini lebih mengutamakan sanak familinya dari pada
orang lain termasuk dalam masalah pemerintahan. Ketidakpuasan umum terhadap
kinerja khalifah dan para pejabat pemerintahan saat itu, telah memunculkan
kebangkitan massa. Meski termasuk tokoh yang paling vokal terhadap
penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan saat itu, Imam Ali
as tetap berusaha mencegah terjadinya aksi pembunuhan terhadap khalifah. Semua
upaya dilakukannya termasuk memerintah putra-putranya untuk mengirimkan air dan
makanan ke rumah khalifah yang dikepung massa. Namun, takdir berkehendak lain
dan khalifah Usman terbunuh di tengah kerusuhan tersebut.
Ali Dibaiat Sebagai Khalifah
Masyarakat umum yang merasakan kekosongan kepemimpinan menyerbu
rumah Ali dan mengajukan baiat mereka. Putra Abu Thalib menolak baiat tersebut
dan meminta umat untuk membaiat orang selain dirinya. Ketika desakan massa
semakin kuat, Ali menerima baiat mereka. Praktis dengan baiat yang dilakukan
umat secara aklamasi terhadap dirinya, Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah kaum
muslimin.
Kebijakan pertama yang dilakukan Ali adalah mencopot para pejabat
yang tidak layak lalu mengganti mereka dengan orang-orang yang cakap dan adil.
Imam Ali yang dikenal dengan keadilannya juga mencabut undang-undang yang
diskriminatif. Beliau memutuskan untuk membatalkan segala konsesi yang
sebelumnya diberikan kepada orang-orang Quresy dan menyamaratakan hak umat atas
kekayaan baitul mal.
Fitnah Jamal
Sikap inilah yang mendapat penentangan sejumlah orang yang selama
bertahun-tahun menikmati keistimewaan yang dibuat oleh khalifah sebelumnya.
Ketidakpuasan itu kian meningkat sampai akhirnya mendorong sekelompok orang untuk
menyusun kekuatan melawan beliau. Thalhah, Zubair dan Aisyah berhasil
mngumpulkan pasukan yang cukup besar di Basrah untuk bertempur melawan khalifah
Ali bin Abi Thalib.
Mendengar adanya pemberontakan itu, Imam Ali mengerahkan
pasukannya. Kedua pasukan saling berhadapan. Ali terus berusaha membujuk
Thalhah dan Zubair agar mengurungkan rencana berperang. Beliau mengingatkan
keduanya akan hari-hari manis saat bersama Rasulullah SAW dan berperang melawan
pasukan kafir.
Meski ada riwayat yang menyebutkan bahwa himbauan Imam Ali itu
tidak berhasil menyadarkan kedua sahabat Nabi itu, tetapi sebagian sejarawan
menceritakan bahwa Thalhah dan Zubair saat mendengar teguran Ali, bergegas
meninggalkan medan perang.
Perang tak terhindarkan. Ribuan nyawa melayang sia-sia, hanya
karena ketidakpuasan sebagian orang terhadap keadilan yang ditegakkan oleh Imam
Ali as. Pasukan Ali berhasil memukul mundur pasukan yang dikomandoi Aisyah,
yang saat itu menunggang unta. Perang Jamal atau Perang Unta berakhir setelah
unta yang dinaiki oleh Aisyah tertusuk tombak dan jatuh terkapar. Sebagai
khalifah yang bijak, Ali memaafkan mereka yang sebelum ini menghunus pedang
untuk memeranginya. Aisyah juga dikirim kembali ke Madinah dengan dikawal oleh
sepasukan wanita bersenjata lengkap. Fitnah pertama yang terjadi pada masa
kekhalifahan Imam Ali as berhasil dipadamkan. Namun masih ada kelompok-kelompok
lain yang menghunus pedang melawan Ali yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai
poros kebenaran.
Fitnah Shiffin
Setelah api fitnah pasukan Jamal berhasil dipadamkan, pemerintahan
Imam Ali as kembali diguncang oleh pemberontakan pasukan Syam pimpinan Muawiyah
bin Abi Sufyan. Perang ini terjadi setelah Muawiyah yang menjabat sebagai
gubernur Syam sejak masa khalifah Umar bin Khatthab, menolak berbaiat dan tidak
bersedia tunduk kepada pemerintahan Imam Ali as. Saat Imam Ali melalui sepucuk
surat memintanya untuk berbaiat, Muawiyah mengumpulkan warga Syam di masjid dan
mengatakan bahwa ia akan menuntut darah khalifah Usman yang dibunuh oleh para
pemberontak.
Muawiyah mendapat dukungan warga Syam yang siap melakukan
pembalasan atas darah khalifah. Pasukan Syam telah disiagakan untuk
memberontak. Berita akan kesiapan pasukan Syam sampai ke telinga Imam Ali as.
Beliau segera memanggil para sahabatnya untuk meminta pendapat mereka mengenai
rencana serangan ke Syam. Sebagian besar sahabat mendukung rencana itu, bahkan
beberapa diantaranya mencaci pasukan Syam. Imam melarang mereka dan mengatakan
bahwa beliau tidak menyukai orang yang suka mencaci. Ammar bin Yasir, salah
seorang sahabat besar Nabi SAW dan pengikut setia Imam Ali as turut menyatakan
dukungan. Setelah Imam Ali as yakin bahwa Muawiyah hanya mengenal bahasa
kekerasan, beliau mengumumkan rencananya menyerang Syam kepada seluruh warga.
Al-Hasan dan Al-Husein as, dua putra Imam Ali as memikul tugas mengajak
masyarakat untuk menyertai pasukan Kufah menuju Syam.
Mendengar kesiapan pasukan Kufah, Muawiyah mengumpulkan warga Syam
di masjid. Di atas mimbar masjid Syam, dia mengangkat tinggi-tinggi sebuah baju
yag berlumur darah seraya mengatakan, “Inilah baju khalifah Usman yang masih
berlumur darah.” Muawiyah mengajak warga Syam untuk menyertai pasukannya
menyerang pasukan Irak yang dipimpin oleh Imam Ali as.
Dua pasukan besar Syam dan Kufah bertemu. Kepada para sahabatnya,
Imam Ali berpesan untuk tidak memulai perang sebelum pasukan Syam menyerang.
Tanggal 1 Shafar tahun 37 hijriyah, kedua pasukan terlibat pertempuran sengit.
Perang yang dikenal dengan nama perang Shiffin ini berlangsung cukup lama.
Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Diantara mereka yang gugur di pasukan
Imam Ali adalah Ammar bin Yasir, Khuzaimah yang disebut nabi dengan nama dzu
syahadatain atau orang memiliki dua syahadah, Uwais Al-Qarani, seorang arif
yang dipuji Nabi serta sejumlah sahabat besar lainnya.
Ketika Muawiyah menyaksikan keletihan dan ketidakmampuan pasukannya
untuk melanjutkan perang, ia memerintahkan orang-orangnya untuk mengangkat
Al-Qur’an di atas tombak seraya memekikkan suara gencatan senjata. Tipu
muslihat itu berhasil membuat pasukan Kufah ragu melangkah. Mereka tertipu oleh
tipu daya ini dan tidak lagi mengacuhkan perintah Imam Ali as untuk melanjutkan
perang. Ketidakpatuhan pasukan Kufah kepada pemimpinnya memaksa Imam Ali as
untuk menerima ajakan damai yang sebenarnya hanyalah tipu muslihat Muawiyah
untuk lolos dari kekalahan yang sudah di depan mata dalam perang Shiffin.
Gencatan senjata dilanjutkan dengan masing-masing pasukan
mengirimkan juru runding. Muawiyah menunjuk Amr bin Ash yang dikenal licik ke
meja perundingan. Sementara Imam Ali menunjuk Abdullah bin Abbas yang di
kalangan Quresy dikenal sebagai orang cerdik dan arif. Tetapi lagi-lagi,
pasukan Irak menentang keputusan Imam Ali. Dengan berdalih bahwa Ibnu Abbas
adalah anggota pasukan Irak, maka dia tidak berhak duduk di meja perundingan.
Mereka lantas memilih Abu Musa Al-Asy’ari yang tidak terlibat dalam perang
Shiffin. Imam Ali yang kecewa dengan sikap pasukannya yang tidak lagi
menghiraukan pemimpin mereka mengatakan, “Silahkan lakukan apa yang kalian
inginkan.”
Dalam perundingan itu, Amr bin Ash dan Abu Musa sepakat untuk
bersama-sama mengumumkan pencabutan jabatan Imam Ali dan dan Muawiyah. Setelah
terlebih dahulu Abu Musa menyatakan keputusan menurunkan Ali dari khilafah, Amr
dengan licik menyatakan bahwa dia menunjuk Muawiyah untuk menjadi pemimpin dan
khalifah atas umat Islam.
Fitnah Nahrawan
Peristiwa hakamiyyah atau perundingan setelah perang Shiffin
menjadi percikan awal munculnya kelompok baru yang dinamakan Khawarij. Kelompok
ini mengangkat slogan “Tidak ada keputusan kecuali keputusan Allah.” Dengan
slogan ini mereka menyatakan penentangan atas keputusan Imam Ali yang bersedia
berunding dengan Muawiyah. Setelah mendengar jawaban dan keterangan dari
khalifah ini, sebagian besar orang yang semula bergabung dengan kelompok itu
memisahkan diri dan kembali ke barisan Imam Ali as.
Tak lama kemudian Khawarij membentuk pasukan dan memilih salah
seorang diantara mereka sebagai pemimpin. Pasukan ini bergerak ke arah daerah
bernama Nahrawan. Siapa saja yang ditemui dan menyatakan mendukung kepemimpinan
Imam Ali as tidak selamat dari tebasan pedang mereka. Keberingasan Khawarij
membulatkan tekad Imam Ali untuk menghabisi mereka.
Saat dua pasukan berhadapan, sekali lagi Ali menasehati mereka
untuk kembali ke jalan yang benar. Kelompok demi kelompok memisahkan diri dari
pasukan khawarij, sampai jumlah mereka berkurang menjadi hanya 1.800 penunggang
kuda dan 1.500 pejalan kaki. Imam Ali berpesan kepada pasukannya yang berjumlah
14 ribu orang untuk tidak memulai perang. Khawarij secepat kilat menyerang
dengan beringas dan dengan cepat pula barisan mereka kucar kacir. Pasukan ini
lumpuh hanya beberapa saat setelah perang dimulai. Dari barisan Imam Ali hanya
kurang dari 10 orang yang gugur. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 9 Shafar
tahun 38 hijriyah.
Warga Kufah Khianati Khalifah
Hasil keputusan perundingan antara Amr bin As dan Abu Musa
Al-Ashari tidak bisa diterima oleh Imam Ali. Beliau segera mengeluarkan
pengumuman tentang rencana menyerang kembali Syam. Akan tetapi hasutan
orang-orang semisal Asyats bin Qais membuat orang-orang yang berada di barisan
Imam Ali mengambil keputusan untuk kembali ke Kufah dengan alasan letih
menghadapi peperangan. Hanya sekitar 300 orang yang memenuhi panggilan khalifah
untuk berkumpul di kamp Nukhailah bersama beliau.
Ketidakloyalan warga Kufah kepada pemimpin mereka cukup memukul
perasaan Imam Ali. Beliau terpaksa kembali ke Kufah dan urung menyerang Syam
dengan jumlah pasukan yang hanya segelintir orang saja. Imam Ali kecewa dan
mengecam sikap warga Kufah tersebut.
Wafat Imam Ali As
Setelah perang Nahrawan berakhir, Imam Ali as kembali mengimbau
umat untuk bersiap-siap menyerang Muawiyah di Syam yang melakukan pembangkangan
dan merusak persatuan kaum muslimin. Namun seruan beliau itu tidak mendapat
sambutan masyarakat luas. Sejumlah orang seperti Asy’ats bin Qais sangat
berperan dalam mengendurkan semangat para pendukung khalifah untuk kembali
menyusun kekuatan di bawah kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib as. Akibatnya,
dengan alasan letih karena perang, mereka memilih untuk meninggalkan pemimpin
mereka di kamp Nukhailah. Menyaksikan kondisi yang demikian, Amirul Mukminin
terpaksa kembali ke Kufah.
Imam Ali as memendam kekecewaan yang mendalam terhadap warga Kufah.
Berkali-kali beliau mengecam warga kota itu karena ketidakloyalan mereka kepada
khalifah. Dalam sebuah khotbahnya, beliau mengatakan, “Aku terjebak di tengah
orang-orang tidak menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian
yang tidak mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak
melakukan tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama yang kalian
yakini dan mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah kalian?”
Pada kesempatan yang lain beliau berkata, “Wahai umat yang jika aku
perintah tidak menggubris perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab
panggilanku! Kalian adalah orang-orang yang kebingungan kala mendapat
kesempatan dan lemah ketika diserang. Jika sekelompok orang datang dengan
pemimpinnya, kalian cerca mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat,
kalian menyerah. Aku tidak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian.
Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara.”
Meski kecewa akan sikap dan perlakuan warga Kufah terjhadap
dirinya, Imam Ali as terus berusaha menyadarkan mereka dan menggerakkan
semangat mereka untuk kembali berjihad di jalan Allah. Dalam banyak kesempatan,
beliau mengingatkan mereka akan kebenaran yang berada di pihaknya dan bahwa
berperang melawan Muawiyah adalah tugas suci yang harus dilaksanakan, sebab
Muawiyah memecah belah umat dan berusaha menyebarkan kebatilan di tengah umat.
Berbeda dengan kondisi Kufah, di Syam, Muawiyah menikmati kesetiaan
warga di negeri itu yang siap mengorbankan nyawa deminya. Muawiyah yang
mendengar berita pengkhianatan warga Kufah terhadap pemimpin mereka, berusaha
memanfaatkan kesempatan itu untuk mengguncang dan merongrong pemerintahan Ali
bin Abi Thalib as. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penyerangan ke
sejumlah wilayah kekuasaan khalifah yaitu Jazirah Arabia dan Irak. Dengan cara
ini, Muawiyah berupaya menjatuhkan mental para pendukung Ali. Usaha Imam Ali as
untuk kembali menyusun kekuatan, mulai menampakkan hasil. Kelompok demi
kelompok menyatakan kesediaan mereka untuk bergabung dengan pasukan beliau.
Upaya menggalang kekuatan terus dilakukan oleh orang-orang dekat dengan Imam
Ali as, termasuk kedua putra beliau Al-Hasan dan Al-Husein as. Dalam kondisi
seperti itu, Allah ternyata berkehendak lain. Setelah berjuang sekian tahun
menjaga amanah imamah yang diberikan oleh Rasulullah, dan setelah menyaksikan
pengkhianatan demi pengkhianatan orang-orang di sekelilingnya, Imam Ali a.s.
harus menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.
Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 hijriyah. Amirul Mukminin
Ali as keluar dari rumahnya menuju masjid Kufah untuk memimpin shalat subuh
berjamaah. Di tengah shalat, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya,
sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahi putra Abu Thalib
itu. Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid. Jemaah masjid tersentak
mendengar suara Ali, “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah
meraih kemenangan.”
Ali roboh di mihrabnya dengan luka yang parah, sementara warga
dengan cepat menangkap sang pembunuh yang tak lain adalah Abdurrahman bin
Muljam, seorang khawarij. Al-Hasan membawa ayahnya ke rumah. Berita itu segera
menyebar di seluruh penjuru kota Kufah. Berbagai usaha dilakukan untuk
menyelematkan jiwa Imam Ali as. Tetapi takdir Allah berkehendak lain. Ali bin
Abi Thalib gugur syahid pada tanggal 21 Ramadhan atau dua hari setelah
peristiwa pemukulan itu terjadi.
Sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, Amirul Mukminin
mewasiatkan beberapa hal kepada putra-putranya dan kepada umat. Di antara pesan
beliau adalah menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan
anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang
merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat,
memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf
dan nahi munkar.
Menurut sejumlah riwayat, Imam Ali as menghembuskan nafasnya yang
terakhir ketika bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan
membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal
mitsqala dzarratin syarran yarah.” Artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan
sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan
keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”
Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Ali as sejak lama telah
mengetahui kapan dan bagaimana beliau akan meneguk cawan syahadah. Suatu
ketika, Nabi Muhammad SAW menjelaskan kemuliaan bulan Ramadhan kepada para
sahabatnya. Kepada Nabi, Ali bertanya, di bulan suci ini, amalan apakah yang
terbaik? Rasul SAW menjawab, “Meninggalkan perbuatan dosa.” Mendadak mata Nabi
berkaca-kaca. Ali menanyakan apa yang membuat beliau menangis? Rasul menjawab,
bahwa Ali kelak akan dibunuh di bulan Ramadhan.
Kepergian Imam Ali as meninggalkan kedukaan yang mendalam di tengah
umat Islam. Betapa tidak, Ali adalah orang yang mewarisi ilmu Nabi dan pemimpin
besar umat ini. Akan tetapi, beliau ternyata harus meninggalkan ummat setelah
mengalami berbagai macam pengkhianatan dan fitnah. Kondisi yang ada saat itu
memaksa keluarga besar Rasulullah untuk memakamkannya di malam hari secara
diam-diam di luar kota Kufah. Tempat itu di kemudian hari menjadi sebuah kota
bernama Najaf.
Keutamaan dan Keagungan Imam Ali AS
1- Kepahlawanan dan Pengorbanan
Ali bin Abi Thalib adalah sosok manusia yang sempurna dari semua
sisi. Kebesarannya diakui oleh kawan maupun lawan. Tidak ada seorangpun yang
dapat melukiskan keagungan dan keutamaannya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW
bersabda kepada Ali, “Wahai Ali tidak ada yang mengenal Allah dengan sebenarnya
kecuali aku dan engkau. Tidak ada yang mengenalku dengan sebenarnya kecuali
Allah dan engkau, dan tidak ada yang mengenalmu dengan sebenarnya kecuali Allah
dan aku.”
Untuk itu, apa yang coba kami angkat dalam kesempatan ini, tak lain
adalah upaya untuk mengenalkan sosok agung yang pernah ada di tengah umat Islam
ini, sekaligus menghiasi pertemuan kita ini dengan nama Ali bin Abi Thalib.
Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda, “Menyebut Ali termasuk amal ibadah.”
Keutamaan pertama Imam Ali bin Abi Thalib adalah keberanian,
kepahlawanan dan pengorbanannya dalam membela Rasulullah dan ajaran yang beliau
bawa. Sejarah menyebutkan bahwa ketika berada di Mekah dan diboikot oleh
Quresy, Rasulullah SAW bersama pamannya Abu Thalib dan keluarga besar Bani
Hasyim tinggal di lembah atau Syiib Abu Thalib. Masa yang sulit itu berlangsung
selama tiga tahun. Setiap malam, karena khawatir akan keselamatan Rasulullah
SAW, Abu Thalib memerintahkan beberapa orang termasuk Ali untuk tidur di
pembaringan Rasul, secara bergilir.
Malam ketika Nabi Muhammad SAW hendak pergi meninggalkan rumah
menuju Madinah, beliau memerintahkan Ali untuk berbaring di tempat tidur Nabi
dan mengenakan selimut beliau, padahal puluhan pemuda Arab sedang menunggu di
luar dengan pedang terhunus untuk secara serentak menyerang rumah Nabi dan
membunuh beliau. Pengorbanan Ali di malam itu disanjung oleh Allah dan
diabadikan di dalam Al-Qur’an.
Ketika pasukan muslim yang berjumlah sedikit untuk pertama kalinya
bertemu dengan pasukan kafir Quresy yang jumlahnya tiga kali lebih besar di
Badr, Ali dengan keberanian dan kepahlawanan yang tertandingi berhasil
menyungkurkan jawara-jawara kafir Quresy semisal Walid, Syaibah, Ash, Handhalah
dan Naufal. Sejarah bahkan mencatat bahwa setengah dari 70 korban tewas di kubu
pasukan Quresy, tersungkur setelah terkena sabetan pedang Ali.
Di Uhud, ketika pasukan kafir Quresy berhasil membuat barisan
muslimin kocar-kacir, bahkan banyak yang melarikan diri, Ali tetap menyertai
Nabi dan berperang dengan gigih di sisi orang yang ia cintai itu. Di tangan
Ali-lah pasukan Quresy yang mengepung dan berusaha membunuh Nabi, berhasil
dipukul mundur. Di medan yang penuh hiruk pikuk itu, luka-luka yang ada di
sekujur tubuhnya, tidak membuat kendur semangat Ali untuk berkorban dan membela
Rasulullah SAW. Di Uhud inilah terdengar suara Jibril yang memuji Ali dengan
mengatakan, “Tidak ada pahlawan seperti Ali dan tidak ada pedang seperti Dzul
Fiqar.” Tahun kelima Hijriyah, di saat kaum kafir dengan pasukannya yang
berjumlah besar mengepung Madinah dan tertahan karena benteng parit yang dibuat
kaum muslimin, Ali menunjukkan kepahlawanan dengan melawan Amr bin Abdi Wadd,
jawara Arab yang sangat ditakuti. Ketika kuda tunggangannya, berhasil melompati
parit, dengan congkak, Amr menantang siapa saja yang berani bertarung
dengannya. Tantangan itu ia ulangi tiga kali berturut-turut, dan tiga kali pula
Ali menyatakan kesiapannya untuk menjawab tantangan itu. Rasul mengizinkan dan
Ali berhasil memenggal kepala Amr setelah melalui pertarungan yang sengit.
Kisah kepahlawanan Ali terulang di Khaibar ketika beliau berhasil
menundukkan benteng Khaibar yang paling kuat, padahal pasukan muslim telah dua
kali gagal mendudukinya. Dalam perang itu, Marhab bin Abi Marhab, jawara Yahudi
Khaibar tersungkur setelah pedang Ali memilah tubuhnya menjadi dua bagian.
Padahal saat bertarung dengan Ali Marhab mengenakan pakian besi yang menutupi
seluruh tubuhnya.
Di Hunain, ketiika pasukan muslimin yang berjumlah sepuluh ribu
orang diserang secara mendadak oleh suku Hawazin dan sebagian besar dari mereka
lari tunggang-langgang meninggalkan Nabi, Ali bersama segelintir orang tetap
berada di sisi Rasulullah SAW. Tebasan pedang Ali yang menjungkalkan Abu
Jarwal, pahlawan kaum kafir di Hunain, berhasil menyiutkan nyali musuh-musuh
Rasulullah dan mengundang pasukan muslim yang lari untuk kembali menyusun
barisan.
Apa yang disebutkan tadi hanyalah sedikit contoh dari kepahlawanan
dan pengorbanan besar Ali bin Abi Thalib untuk agama Allah dan ajaran
Rasulullah SAW. Tidak sedikit pujian yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya dalam
Al-Qur’an dan hadis mengenai pengorbanan Ali di jalan Allah ini.
2- Keluasan dan kedalaman Ilmu
Keutamaan Imam Ali as berikutnya adalah keluasan ilmu beliau. Sejak
masa kanak-kanak, Ali selalu menyertai Rasulullah SAW ke manapun beliau pergi
bahkan dalam sebuah ungkapannya, Imam Ali menyatakan bahwa beliau sering diajak
Nabi SAW berkhalwat dan beribadah di gua Hira yang berada di luar kota Mekah.
Imam bahkan menuturkan bahwa beliau merasakan kehadiran malaikat Jibril yang
membawa wahyu untuk Nabi SAW di gua itu. Dengan menyertai Nabi, Ali menimba
ilmu-ilmu ilahiyah dari manusia paling agung di dunia itu. Ali pernah
mengatakan bahwa Nabi mengajarinya seribu macam ilmu yang masing-masing
memiliki cabang seribu.
Di hadapan sahabat-sahabatnya, Nabi SAW berulang kali bersabda
bahwa beliau adalah kota ilmu yang pintunya adalah Ali bin Abi Thalib as. Sabda
Nabi ini dibenarkan oleh para sahabat yang menyaksikan sendiri betapa Ali
adalah satu-satunya orang sepenninggal Nabi yang menjadi rujukan dalam berbagai
hal. Bahkan para khalifah, khususnya khalifah Umar bin Khattab sering meminta
pendapat Ali dalam memghambil keputusan. Lebih jauh Umar mengatakan, “Jika
tidak ada Ali maka celakalah Umar.”
Pernyataan Ali yang meminta umat untuk bertanya kepadanya sebelum
mereka kehilangan dirinya, adalah ungkapan yang diabadikan oleh para sejarawan
dan ahli hadis. Ali dikenal sebagai bapak dari berbagai cabang ilmu. Abdullah
bin Abbas yang dikenal sebagai guru besar tafsir Al-Qur’an sepanjang sejarah,
adalah orang yang berguru kepada Ali. Abul Aswad Al-Duali, sasterawan besar Arab
dan penyusun ilmu Nahwu adalah murid Imam Ali as. Bahkan, beliaulah yang
memerintahkan dan menuntun Abul Aswad untuk menyusun ilmu Nahwu. Kepada sahabat
dekatnya yang bernama Kumail bin Ziyad, Imam Ali as pernah menjelaskan
kemuliaan ilmu dibanding harta. Kemudian beliau menunjuk dadanya secara
mengatakan, “Di sini terpendam ilmu yang sangat luas. Andai saja aku menemukan
orang yang bisa menerimanya.”
3- Kedermawanan
Imam Ali bin Abi Thalib as dikenal sebagai orang yang sangat
dermawan bahkan di saat beliau sedang bergelut dengan kesulitan hidup
sekalipun. Sering beliau memberikan makanannya kepada orang lain dan tidur
dalam keadaan lapar. Perilaku Rasul yang sering mengganjalkan batu di perut
beliau untuk menahan lapar karena lebih mementingkan orang lain, menjadi
teladan baginya. Banyak Ayat Al-Quran yang turun memuji kedermawanan Imam Ali.
Salah satu kisah termasyhur yang diabadikan oleh Al-Qur’an dan ditulis dengan
tinta emas oleh para sejarawan adalah kisah turunnya surah Al-Insan.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika, Imam Ali as dan keluarganya
bernadzar akan berpuasa tiga hari setelah Allah memberikan kesembuhan kepada
dua anaknya, Hasan dan Husein yang saat itu sedang sakit. Setelah keduanya
sembuh, Imam Ali melaksanakan nadzar itu. Beliau bersama istri, dua anak dan
bahkan pembantunya yang bernama Fidldlah menjalankan ibadah puasa tiga hari.
Saat itu di rumah beliau hanya ada persediaan makanan yang sangat terbatas.
Hari pertama, ketika hendak berbuka puasa, seseorang mengetuk pintu
rumah beliau. Imam Ali membuka pintu. Setelah mengucapkan salam, orang tersebut
mengatakan bahwa dia adalah orang miskin yang sedang kelaparan. Mendengar
penuturannya, Ali as memerintahkan untuk memberikan makanan yang telah tersedia
kepada si miskin. Malam itu keluarga beliau hanya cukup berbuka dengan air.
Kejadian serupa terulang lagi. Pada hari kedua seorang anak yatim
dan hari ketiga seorang tawanan datang meminta sekedah kepada keluarga suci
ini. Imam Ali memberikan makanan itu kepada mereka. Kedermawanan Ali dan
keluarganya ini di saat mereka sedang memerlukan, dipuji oleh Allah swt. Surat
Al-Insan atau Ad-Dahr turun berkenaan dengan peristiwa ini. Saat seorang
pengemis meminta sekedah kepada orang-orang yang sedang berada di masjid Nabi,
tidak ada seorang pun yang menaruh perhatian kepadanya. Ali yang sedang
menunaikan salat sunnah di masjid, saat ruku’ mengulurkan tangannya kepada si
peminta sedekah. Orang tersebut lantas mengambil cincin yang ada di jari Imam
dan pergi meninggalkan masjid. Kejadian itu direkam dalam Al-Qur’an Al-Karim.
Allah swt berfirman, “Sesungguhnya pemimpin kalian adalah Allah, Rasul dan
orang yang beriman yang menunaikan salat dan membayar zakat saat sedang ruku’.”
Mengenai kedermawanan beliau, Muawiyah yang dikenal sebagai musuh
Ali nomor satu, mengatakan, “Jika Ali memiliki dua buah rumah yang satu terbuat
dari emas dan yang satu lagi terbuat dari kayu, dia akan bersedekah dengan
rumah emas itu sampai tidak tersisa sedikit pun darinya.”
4- Kezuduhan
Keutamaan lain Imam Ali as adalah kezuhudan beliau. Sering Imam Ali
menyatakan bahwa dirinya tidak akan bisa digoda oleh kemewahan dunia. Dalam
sebuah riwayat disebutkan, bahwa Imam Ali mengatakan, “Wahai dunia, godalah
orang selain aku. Aku telah menceraimu dengan tiga kali talak. Tidak mungkin
engkau akan kembali kepadaku. Umurmu terlalu singkat dan kehidupanmu hina.”
Menu makanan Imam Ali setiap harinya hanya sekerat roti kering
dengan garam atau cuka. Beliau tidak pernah membiarkan perutnya dipenuhi
makanan atau minuman. Pakaian yang beliau kenakan terbuat dari kain kasar.
Meski duduk sebagai khalifah dan memegang seluruh kekayaan negara atau baitul
mal beliau tidak pernah tergoda oleh gemerlap dinar yang ada di dalamnya.
Diceritakan bahwa ketika menghitung uang baitul mal untuk dibagikan kepada
rakyat, beliau bersujud kepada Allah sebagai tanda syukur karena tidak tergoda
oleh harta yang ada di hadapannya.
Suatu kali, ketika Ali mengerahkan pasukan ke Basrah untuk
memadamkan fitnah perang Jamal, sekelompok jemaah haji mendirikan kemah di
dekat kemah pasukan beliau. Mereka ingin bertemu dengan khalifah. Ibnu Abbas
yang meruapakan salah seorang sahabat dan murid dekat Imam Ali bergegas
memberitahu beliau. Saat itu Imam sedang menjahit sepatunya. Setelah selesai,
sambil menunjuk ke arah sepatu itu, beliau bertanya kepada Ibnu Abbas, berapa
harga sepasang sepatu ini?
Ibnu Abbas menjawab harga sepatu yang sudah kumal seperti ini tidak
lebih dari setengah Dirham. Imam Ali as mengatakan, “Demi Allah, sepatu ini
jauh lebih berharga bagiku dibanding jabatan khilafah, kecuali jika dengan
khilafah ini aku dapat menegakkan keadilan dan menumpas kebatilan.”
5- Taqwa dan Keimanan yang Tinggi
Imam Ali bin Abi Thalib as juga dikenal sebagai orang yang banyak
beribadah. Malam hari merupakan saat yang paling indah bagi beliau untuk
bermunajat dan berkeluh kesah dengan Tuhannya. Ketika sedang menunaikan salat
tidak ada apa pun yang dilihatnya kecuali kemuliaan dan keagungan Allah swt.
Diceritakan bahwa pada suatu malam di saat perang Shiffin berkecamuk, Imam Ali
as tenggelam dalam kekhusyukan ibadah. Mendadak sebuah panah menerjang dan
menancap di kaki beliau. Sahabat beliau yang menyaksikan kejadian itu, menarik
anak panah tersebut ketika Imam sedang dalam keadaan salat. Karena
kekhusyukannya, Imam Ali tidak merasakan sakit saat anak panah itu menancap
kemudian dicabut dari kakinya.
Munajat dan doa-doa yang diajarkan Imam Ali kepada para sahabatnya
telah dibadaikan dalam buku-buku riwayat Islam. Doa-doa itu mengandung makna
yang sangat dalam dan mengajarkan bagaimana tata krama dan cara seorang hamba
berdoa dan bermunajat dengan sang Khaliq. Imam Ali juga mengajarkan bagaimana
hendaknya seorang pecinta sejati melantunkan pujian kepada Tuhannya. Bahkan
Imam Ali Zainal Abidin yang sepanjang sejarah dikenal sebagai orang yang paling
banyak beribadah mengatakan, “Tidak ada seorangpun yang bisa menandingi ibadah
Ali bin Abi Thalib as.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar