Kadang aku merasa sesuatu begitu berharga justru di saat
sudah lewat dan tak ada, di saat sudah berubah. Yang kumaksudkan adalah sebuah
tempat di mana aku dilahirkan sebagai seorang bocah dan lelaki remaja yang
akrab dengan rindang dan keteduhan pepohonan sepanjang jalan.
Masa-masa ketika malam-malam belajarku ditemani lampu-lampu
buatan ibuku sendiri yang menggunakan bahan bakar minyak tanah atau minyak yang
dibuat oleh ibuku sendiri dari kelapa bila ibuku tak memiliki uang membeli
minyak tanah, hingga asapnya yang hitam dapat menghitamkan bambu-bambu
penyangga genting-genting rumah kami yang sederhana. Seringkali juga mengotori
buku-buku catatan dan buku-buku pelajaranku. Apalagi bila sepanjang musim
hujan, kami harus menjaga nyalanya dengan cara memberinya pelindung agar tidak
padam oleh hembusan angin. Wajar saja bila sepanjang musim hujan pula ibuku
selalu merasa was-was karena ia juga harus mempersiapkan dan menabung kayu-kayu
bakar kering untuk keperluan menyalakan tungku.
Setiap malam
minggu aku dan teman-temanku bermain di mana kami bersembunyi di antara
pohon-pohon pisang dan pohon-pohon lainnya yang ada di belakang rumah-rumah
penduduk kampung kami, sementara satu orang teman kami harus mencari kami.
Siapa yang ketemu dan tertangkap olehnya akan dapat hukuman untuk mencari kami
pada giliran berikutnya. Berbeda dengan sekarang yang hampir setiap sudut malam
di kampung kami teraba cahaya listrik, ketika itu jam sembilan malam seperti
tengah malam yang gelap, kecuali bila sedang terang bulan. Ketika itu kami
dilarang ke luar rumah hingga melewati jam sembilan malam. Dan hampir setiap
minggu kami mendengar cerita tentang pembunuhan atau pun pencurian di
kampung-kampung tetangga yang kami dengar dari orang tua-orang tua kami dan
orang-orang yang lebih tua dari kami.
Sementara itu,
selain malam minggu alias enam malam sebelum-sebelumnya, kami akan pergi ke
rumah ustadz kami untuk belajar al Qur’an hingga jam sembilan malam setiap kali
selesai menunaikan sembahyang magrib di mesjid kampung kami yang masih
sederhana. Biasanya ustadz kami akan mengajarkan kami dengan berpasang-pasangan
untuk maju ke depannya secara bergiliran alias bergantian sesuai dengan siapa
saja di antara kami yang terlebih dulu datang dan hadir di aula rumahnya.
Karena itulah aku sering berusaha untuk datang pertama kali agar aku segera
menghadapnya dan bisa lekas pulang untuk belajar di rumah sembari sesekali
memandangi kegelapan langit malam melalui jendela yang sengaja kubuka tanpa
sepengetahuan ibuku. Entah kenapa aku tak terpengaruh oleh cerita-cerita
tentang hantu perempuan berambut panjang yang telah bertahun-tahun menjadi
cerita favorit ibu-ibu di kampungku. Kebiasaan itu kulakukan karena rumahku
terletak sendirian di seberang sungai yang relatif memiliki tanah dan halaman
yang lebih luas ketimbang rumah-rumah penduduk lainnya yang berdekat-dekatan
satu sama lainnya.
Ustadz kami pun terbilang galak sampai-sampai ia tak pernah
lupa untuk memegang sebatang lidi dengan tangan kanan-nya. Untungnya aku cepat
bisa menirukan apa yang diucapkan dan dibacakannya, yang artinya aku jarang
terkena lecutan ringan atau pun keras sebagaimana yang menimpa kebanyakan
teman-temanku yang memang lambat belajar membaca al Qur’an sesuai dengan apa
yang diucapkan dan dibacakannya atau ketika mereka diminta untuk membacanya
sendiri. Masa-masa belajar al Qur’an itu kujalani selama sebelas tahun bila
dijumlah dengan masa dua tahun aku belajar al Qur’an pada ibuku sendiri di saat
aku memasuki usia lima tahun. Mungkin karena aku terlebih dahulu belajar dari
ibuku-lah, aku tak lagi mengalami kesulitan yang berarti ketika aku belajar al
Qur’an pada dua ustadz di kampungku untuk masing-masing selama enam tahun dan
tiga tahun.
Pagi hari dan sore hariku begitu akrab dengan
burung-burung, angin yang datang dan bergelombang di antara ilalang bukit, dari
pematang-pematang dan hamparan sawah-sawah. Sementara itu suara-suara gemeritik
para serangga dan suara-suara gemeletak para katak akan riuh terdengar di malam
harinya hingga ke kamar tempatku belajar dan tidur, terlebih mereka akan
terdengar lebih riang dan riuh sepanjang musim hujan.
Setiap hari
Senin pagi dan Kamis pagi di depan halaman rumahku yang memang berbatasan
dengan jalan di mana rumahku terletak di salah sudut perempatan jalan,
orang-orang akan menawarkan barang-barang kerajinan rumah tangga hasil kerja
mereka siang dan malam. Maklum, hari Senin dan Kamis merupakan hari pasar di
mana banyak orang-orang dari kampung-kampung tetangga berlalu-lalang sejak
subuh hingga jam sepuluh untuk pergi ke pasar. Ada yang berjalan kaki dan ada
juga yang mengendarai sepeda mereka. Tetapi kebanyakan adalah berjalan kaki,
terutama ibu-ibu yang membawa barang-barang yang akan mereka jual di pasar.
Ketika itu ibuku akan memakaikan baju seragam sekolah dasarku sebelum berangkat
ke sawah bersama kakakku di masa-masa mencangkul, membajak, dan menggarap
sawah. Aku hanya akan dapat giliran membantu keluargaku di waktu sore harinya
setelah aku pulang sekolah dan makan siang (Sulaiman Djaya)
1 komentar:
Kelak, jika ingin seperti masa lalu lagi, kita pasang audio player yang dapat menirukan suara burung di pagi hari. Kalau malam, kita pasang lampu elektrik yang dapat diatur pencahayaannya sehingga persi damar; baik cahaya maupun bentuknya
Posting Komentar