Oleh Sulaiman Djaya (petani & penyair)
Upaya
untuk menyingkap misteri semesta atau jagat raya telah dilakukan oleh
peradaban-peradaban Mesir, Babilonia, Persia, Yunani hingga sekarang ini –di
mana dulu peradaban-peradaban Mesir, Babilonia, Persia, dan Yunani tersebut
sangat menaruh perhatian pada ilmu perbintangan dan upaya untuk memecahkan
misteri kosmik itu sendiri secara keseluruhan.
Kita
tahu, jika kita pernah membaca filsafat Yunani, contohnya, salah-satu konsen (minat dan perhatian) para
filsuf Yunani (di masa lampau) adalah pada persoalan “mencari tahu” “Ada yang
primordial”, yang kemudian kita kategorikan sebagai filsafat alam Yunani.
Mazhab Milesia, contohnya, disibukkan dengan usaha mereka untuk menjelaskan
(melakukan eksplanasi) tentang keteraturan dan ragam “Ada” atau struktur “Ada”
–bukan “Ada” itu sendiri. Mereka berusaha menemukan apakah substansi
primer yang mendasari segala proses dan perbedaan perubahan bentuk di alam atau
di semesta.
Ada ragam atau variasi
dalam mazhab tersebut. Thales, misalnya, mengatakan bahwa substansi primer alam
atau “Ada” adalah air. Anaximenes berpendapat bahwa substansi primer itu adalah
udara. Sedangkan Anaximandros berpendapat bahwa substansi primer itu adalah
Apeiron atau “yang tak terbatas”.
Sementara itu, Pythagoras
yang konsen dengan studi matematika dan astronomi, melakukan analisa ragam
eksistensi dalam sistem prinsip-prinsip forma. Menurutnya prinsip forma inilah
yang mendasari hakikat segala sesuatu dan segala proses di dunia. Pythagoras
juga berpendirian bahwa realitas bisa dijelaskan dengan angka-angka dan bisa
diukur secara matematik –yah dengan angka-angka tersebut. Ia berpandangan alam
dibangun berdasarkan harmoni serta mengatakan bahwa musik dan nada-nada adalah
cerminan alam.
Murid dan penerusnya,
yaitu Philolaus, bahkan mengatakan bahwa bumi berotasi pada porosnya –yang
menyebabkan pergantian waktu siang dan malam. Dalam hal ini, Philolaus
mempercayai bahwa semesta adalah sistem ruang-ruang. Mazhab Milesia memang
disibukkan dengan usaha untuk menemukan “Ada yang primordial” yang mendasari
gerak dan perubahan semesta, namun mereka mengabaikan masalah utama perubahan
itu sendiri. Di sini, Heraklitus kemudian menyatakan bahwa “alam adalah perubahan
tanpa akhir”, di mana segala sesuatu datang dan pergi. Heraklitus masyhur
dengan doktrin Panta Rhei-nya:
“Segalanya berkembang, engkau tak mungkin berdiri dua kali di sungai yang sama
dalam waktu yang sama”.
Heraklitus memang filsuf
yang mengajarkan tentang perubahan yang terus menerus dalam alam, yang bisa
ditangkap oleh akal dan pemahaman orang bijak, semacam filsuf atau ilmuwan.
Hanya saja, pandangan Heraklitus kemudian mendapatkan penolakan di kalangan
Mazhab Elea, di mana dua tokoh utamanya adalah Zeno dan Parmenides. Parmenides
sendiri hidup dalam dua pandangan antara doktrin Heraklitus mengenai perubahan
yang terus-menerus dan doktrin Xenophanes tentang ide Satu Tuhan yang tidak
berubah, dan kemudian Parmenides menyatakan bahwa yang mendasari alam adalah
“Ada” yang abadi dan tidak berubah.
Ketegangan antara
pandangan Heraklitus dan Mazhab Elea tersebut kemudian disintesiskan oleh
Anaxagoras dengan ajaran pluralisme-nya. Ia menolak ajaran esensi kesatuan dari
semua “Ada”, di mana menurutnya segala sesuatu adalah keragaman yang tak
terbatas dalam jumlah dan jenisnya, yang kemudian kita kenal sebagai pluralisme
kualitatif. Sebagai contoh: kayu, besi, rambut, darah, dan lain sebagainya tak
mungkin direduksikan satu sama lainnya. Inilah yang disebut oleh Anaxagoras
sebagai benih-benih eksistensi (seeds of
existence), di mana segala sesuatu memiliki benih-benih eksistensinya
sendiri –yang tak bisa direduksikan ke dalam jumlah. Dan ini pula-lah yang
diklaim sebagai keadaan primordial “Ada” oleh Anaxagoras, yang di sisi lain ia
sebut sebagai Nous (gerak atau pikiran) yang mengoperasikan aktivitas kosmik.
Hasrat
untuk mengetahui misteri alam semesta itu pun terus berlanjut. Ratusan tahun sebelum Sir Isaac Newton
mengemukakan hukum gerak dan sang jenius Albert Einstein mengemukakan Teori
Relativitas, misalnya, Al-Kindi menyatakan: “Waktu, ruang, gerakan, dan benda, semuanya relatif dan tak absolut.
Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda dengan gerakan; gerakan dengan benda.
Jika ada gerakan, di sana perlu benda; jika ada sebuah benda, di sana perlu
gerakan” (Al-Falsafa Al-Ula). Sementara itu, Nichomachus of Gerasa dalam
Arithmetic-nya menyatakan: “Alam seakan diatur sesuai dengan angka oleh Sang
Maha Pencipta –karena pola-polanya telah ditentukan. Seperti goresan-goresan
awal sebuah lukisan –oleh dominasi angka yang telah ada sebelumnya di dalam
‘pikiran’ Tuhan Sang Pencipta alam” (Arithmetic I, 6).
Di abad
ke-16 –yang lazim kita kenal sebagai Abad Inkuisisi di Eropa itu, Nicolaus
Copernicus dengan berani mengemukakan teori dan pandangannya bahwa matahari
tidak mengelilingi
bumi sebagaimana yang dinyatakan Ptolomeus dan dipercayai Gereja, tapi bumi-lah
yang justru mengelilingi matahari. Kesimpulan Heliosentrisnya itu ia dapatkan
berdasarkan observasi dan perhitungan matematis, hanya saja ia tidak menerbitkan
karyanya kala itu karena khawatir inkuisisi Gereja akan menimpa dirinya.
Seabad
kemudian setelah temuan Nicolaus Copernicus itu –tepatnya di abad 17, Galileo
Galilei dengan teleskop ciptaannya mampu membuktikan teori dan pandangan
Nicolaus Copernicus tersebut dengan lebih meyakinkan, bahwa bumi mengelilingi matahari, yang
juga menyebabkan terjadinya siang-malam secara bergiliran selama 24
jam. Karena kegigihan dan pembelaannya tersebut, Galileo Galilei dijatuhi
hukuman penjara seumur hidup oleh Gereja. Sementara itu, seorang pendeta
Dominikan yang juga membenarkan teori-nya Nicolaus Copernicus tersebut, yaitu
Giordano Bruno (1548-1600) dibakar hidup-hidup di tiang pancang oleh Gereja di
tahun 1600.
Di abad
modern, apa yang pernah dilakukan Copernicus dan Galileo itu kemudian dilakukan
juga oleh Edwin Hubble, di mana pada tahun 1929, Edwin Hubble menciptakan
teleskop di abservatoriumnya di Mountwilson, California. Dan setelah
selama berbulan-bulan melakukan pengamatan alias observasi, ia menemukan bahwa
bintang-bintang dari hari ke hari semakin menunjukkan spektrum merah. Dalam hal
ini, menurut Hukum Fisika, jika benda semakin menjauhi titik pengamatan, maka
akan menunjukkan spektrum merah, sedangkan benda yang mendekati titik
pengamatan menunjukkan spektrum biru.
Penemuan
ini sangat penting, karena hal itu menunjukkan alias membuktikan bahwa
benda-benda luar angkasa kian hari semakin saling menjauhi satu sama lainnya. Singkatnya, alam
semesta semakin meluas dan mengembang, dan hal ini menggugurkan pandangan yang
menyatakan bahwa alam semesta atau jagat raya statis atau tetap sebagaimana
yang dikemukakan Immanuel Kant.
Terkait
hal ini, Stephen Hawking pernah menyatakan: “Pada
awal-mula jagat-raya, segala sesuatu saling berdekatan –sehingga pada saat itu
sangat banyak ketidakpastian, serta ada sejumlah keadaan yang mungkin ditempuh
jagat-raya. Setiap keadaan awal yang berbeda-beda ini pastilah telah berkembang
menjadi sejumlah sejarah yang berbeda-beda untuk jagat-raya. Kebanyakan dari
sejarah tadi, sejarah garis besar mempunyai kemiripan. Masing-masing terkait
dengan sebuah jagat yang seragam dan mulus –dan terus memuai.
Persis
dengan temuannya itulah, Edwin Hubble menyatakan: “Jagat-raya memuai!” Dan kala
itulah Edwin Hubble kemudian melakukan perhitungan mundur (yang kemudian
kesimpulannya persis dengan apa yang dikatakan Hawking di kemudian hari itu),
yaitu jika dari hari ke hari benda-benda angkasa semakin menjauh berarti
dahulunya benda-benda angkasa bermula dari sesuatu yang padu (satu)
dan kemudian meledak dengan kecepatan yang luar biasa. Ledakan inilah yang
kemudian kita kenal dengan nama “Big Bang” (Dentuman Akbar).
Tentu
saja temuan ini sangat mengejutkan, karena menurut perhitungan yang cermat,
para ilmuan umumnya dan fisikawan khususnya, menyimpulkan bahwa sesuatu yang
padu (satu) itu haruslah bervolume nol –yang artinya jika suatu benda
bervolume nol maka ia berawal dari ketiadaan.
Tapi
Edwin Hubble bukanlah orang pertama yang menemukan hal tersebut, melainkan si
jenius Albert Einstein, di mana melalui perhitungannya yang cermat, Albert
Einstein telah memperhitungkan bahwa ruang angkasa tidak statis –melainkan terus
meluas alias berkembang, di saat para ilmuwan umumnya dan fisikawan khususnya
masih berpegang pada kepercayaan bahwa alam semesta bersifat statis (tidak
berawal dan kekal). Dan pendapat tentang alam semesta yang statis ini
dikemukakan oleh para pendukung evolusionis-materialis (atheis). Singkatnya,
Albert Einstein mematahkan pandangan kaum evolusionis materialis ketika teori
dan pendapatnya dibenarkan oleh eksperimentasi Edwin Hubble.
Namun,
apakah hal itu cukup bagi kemenangan Einstein? Jawabannya tentu saja belum
–sebab jika jagat-raya atau alam semesta bermula dari ledakan, tentu ada
sisa-sisa ledakannya, sebagaimana dinyatakan seorang fisikawan Amerika yang
bernama George Gamov itu? Nah, di tahun 1965, dua orang ilmuwan alias dua
fisikawan, yaitu Arnold Pengias dan Robert Wilson, dalam observasi mereka
menemukan sisa-sisa radiasi yang tersebar di ruang angkasa. Dan berkat penemuan
mereka itu, mereka berdua pun memperoleh anugerah Nobel.
Dan tak
hanya itu saja, karena di tahun 1989, NASA meluncurkan satelit ke luar angkasa
untuk meneliti tentang gejala radiasi alam semesta. Saat itu, melalui
sensor-sensor yang dipasang di satelit yang disebut sensorkobe, mereka
menangkap adanya radiasi sisa-sisa ledakan besar yang menyebar di seluruh ruang
angkasa.
Tak ayal,
penemuan hasil observasi langsung ini menghebohkan dunia dan media massa. Atas
temuan ini, Stephen Hawking menyebutnya sebagai penemuan terbesar dalam bidang
astronomi di abad ini, bahkan mungkin sepanjang masa. Barangkali kita belum lupa dengan apa yang pernah
dikatakan Karl Raimund Popper itu, bahwa salah-satu metode kerja sains adalah
falsifikasi, di mana sebuah teori (atau temuan) akan gugur jika ada teori atau
temuan lainnya yang menggugurkan atau membuktikan kekeliruannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar