Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2009-2010)
“Hari ini kuulurkan tangan pada ikal sang
kebetulan, atau cukup cerdik untuk menuntun dia, seperti menuntun seorang anak,
cukup cerdik untuk memperdayanya. Hari ini aku sudi ramah pada segala yang tak
kuselamatdatangi, bahkan pada nasib enggan kuberduri….karena jiwa inilah aku
dipanggil Si Bahagia” (Nietzsche).
Sebagaimana judul tulisan ini, saya berusaha
melihat Nietzsche sebagai penyair, meski pada akhirnya kapasitasnya sebagai
filsuf juga akan terbicarakan dengan sendirinya bersama tulisan ini. Baiklah
saya mulai saja.
Di Sils-Maria, di mana lembah-lembah pegunungan,
seperti yang selalu dipujinya, senantiasa memberikan kesegaran pagi hari dan
keindahan sore hari, seorang lelaki menyewa sebuah rumah kecil, tepatnya sebuah
villa mungil, demi meluangkan waktu-waktu jedanya untuk merenung dan menulis
dalam kesehariannya. Seorang lelaki itu bagi saya memanglah seorang yang
sengaja uzlah dari keramaian, seorang professor muda yang meninggalkan
universitas tempat ia mengajar filologi. Seorang lelaki itu bagi saya lebih
sebagai seorang “nabi” tanpa agama, atau katakanlah seorang biarawan tanpa
gereja.
Lelaki yang merujukkan dirinya pada figur
Zarathustra itu di kemudian dikenal sebagai maestro pembalikan, pendiri mazhab
kecurigaan, seperti yang diakuinya sendiri. Seorang proto-dekonstruksionis dan
seorang stylish yang hebat. Seseorang, yang dalam bahasanya Hollingdale, telah
menyatukan berpikir dan merasakan, gairah dan intelegensia, seorang lelaki yang
dapat demam karena sebuah gagasan yang dicintainya dengan sungguh-sungguh. Saya
membayangkan seorang lelaki itu merenung sendirian di dalam kamar villanya,
sembari sesekali pena yang terjepit di sela-sela jari jemarinya terus bergerak
pada kertas, sesekali bangkit dari duduknya untuk sejenak, atau cukup lama,
memandangi bintang-bintang malam dari jendela. Lalu ia menulis sebuah stanza:
“Kini
nyatalah semua mata air-mata air yang tercurah berbicara lebih keras. Dan
begitulah jiwaku adalah sebuah mata air yang tercurah. Kini semua nyanyian para
pecinta pun terjaga. Begitulah jiwaku adalah nyanyian seorang pecinta. Sesuatu
yang tak terpuaskan, tak bisa terpuaskan, berada dalam diriku, ingin berbicara.
Sebentuk rasa lapar akan cinta berada dalam diriku, ia sendiri bertutur bahasa
cinta. Akulah cahaya itu, dan akulah malam! Tapi inilah kesendirianku,
berselimutkan cahaya. Dan seandainya aku adalah buram kegelapan, niscaya
kusesap susu-susu cahaya dan kan kuberkati kalian bintang-bintang kecil
berkedip dan ulat-ulat pendar di atas –dan berbahagia dengan anugrah-anugrah
cahayamu. Tetapi aku hidup di dalam cahayaku sendiri, dan kuteguk kembali dalam
diriku nyala-nyala yang berpencar dari diriku.”
Ia memilih Zarathustra lebih karena alasan
yang sifatnya hiperbolik, sebagai contoh pandangan dan wawasan yang ingin
dilawannya sekaligus yang hendak dijadikan sebagai titik pemberangkatannya.
Obsesinya pada persoalan moralitas mungkin sangat berkaitan-erat, jika tidak
saling mengandaikan dan menguatkan, dengan sinisme dan perhatiannya yang intens
pada Kristianitas yang menurutnya hanya mengajarkan manusia-manusia lemah dan
mentalitas budak.
Tetapi lepas dari soal di atas, Nietzsche bagi
saya adalah seorang asketik dan pertapa yang sebenarnya, seorang pertapa yang
patah hati dan amat kesepian, seorang pertapa yang mengisi pagi dan sorenya
dengan mendaki dan berjalan di antara lereng-lereng dan lembah-lembah yang ia
gambarkan sendiri dengan tokoh Zarathustra-nya, sementara di waktu-waktu
malamnya asik menulis aforisma, esei-esei pendek, dan puisi. Seorang pertapa
yang darinya saya menemukan relung-relung terdalam bahasa yang menawarkan
sebuah khasanah yang sebelumnya tak saya dapatkan.
Di tangannya, bahasa dan kata-kata menjadi
sangat tajam, padat, menghunjam, sinis, dingin dan menggigil, sarkastis,
sekaligus panas dan membara seperti api. Ia pun, bagi saya, lebih mirip seorang
pertapa yang hidup dalam kepasrahan total dalam kesehariannya, kepasrahan yang
anehnya menurut saya lebih mirip pelarian yang bimbang. Ecce Homo adalah
salah-satu karyanya yang paling memikat saya sebagai seorang pembaca yang
ketika itu terpikat dengan caranya menuturkan gagasan dan ejekan yang
diungkapkannya untuk membantah, mengkritik, dan menolak gagasan-gagasan para
pemikir dan filsuf sebelumnya.
Rasa ingin tahu saya lebih jauh pada
pemikiran-pemikiran dan karya-karya Nietzsche mungkin berkat para filsuf yang
merujukkan dan mengakui sumbangan Nietzsche dalam proyek pemikiran mereka
semisal Heidegger, Foucault, dan Derrida, untuk menyebut tiga filsuf yang
sepanjang pengetahuan saya paling setia menapak karir pemikirannya dalam
warisan Nietzsche. Heidegger mengembangkan kritiknya atas metafisika, Derrida
mengambil dekonstruksinya, dan Foucault menerapkan telisik arkeologis dan
genealogisnya untuk membedah struktur dan kesejarahan terbentuknya pengetahuan
dan bagaimana kebenaran dilegitimasi. Para filsuf yang menurut saya juga setia
sebagai para “master pencuriga” dari tradisi “school of suspicion”, sebuah
istilah yang dikemukakan oleh Nietzsche sendiri dalam esei pendahuluan bukunya
yang berjudul Human, All Too-Human.
Pernah juga saya membayangkan Nietzsche adalah
reinkarnasi Isa al Masih dan Sokrates di jamannya, meski dua tokoh tersebut
adalah orang-orang yang dikritiknya dengan tajam dan pedas. Subjektivitas saya
itu karena melihat sisi perlawanannya terhadap mainstream wawasan jaman di mana
ia hidup, sebuah perlawanan yang juga pernah dilakukan Isa al Masih dan
Sokrates. Begitu pun sebaliknya, saya merasakan adanya kekaguman tersembunyi
dalam diri Nietzsche kepada Isa al Masih dan Sokrates, di mana dalam Ecce Homo,
Human All-Too Human, Thus Spoke Zarathustra, Beyond Good and Evil, Gay Science,
dua tokoh tersebut terus menjadi tema tulisan-tulisan dan kritikannya.
Di dalam The Birth of Tragedy, misalnya,
Nietzsche menyebut Sokrates sebagai sang ironis sejati yang penuh teka-teki,
selain membahas Homerus, Silenus, dan Arsilokus, yang sama penuh teka-tekinya
dengan Isa al Masih sebagai The Crucified alias yang tersalib. Secara pribadi
sebagai seorang yang lebih berminat pada aspek-aspek sugestif dan afektif
penulisan dan strategi penuturan, saya mengakrabi Nietzsche lebih pada
keindahan puitis sajak-sajak dan esei-eseinya, seakan saya sedang membaca surat
cinta seseorang kepada kekasihnya, dan seakan saya tengah mendengarkan curhat,
keluh-kesah, dan ungkapan-ungkapan perasaan lainnya.
Di tangan Nietzsche, tulisan dan pemikiran
menjadi demikian bernyawa, hidup, dan bergairah, kadang sejuk dan adakalanya
garang dan menghentak-hentak seperti gerakan yang cepat dan bersemangat, kadang
terasa senyap dan sedih, kadang begitu gembira dan menyala-nyala. Dalam hal ini
saya menyukai bait-bait yang ada dalam Zarathustra berikut:
“Ketika udara terasa jernih, ketika kesejukan
embun bercucuran ke bumi, tak terlihat dan tak terdengar, kesejukan embun pun
mengenakan sepatu-sepatu lembut, seperti segala yang lembut menyejuk: Apakah
kemudian kau pun ingat, betapa dulu pun kau haus, mendamba cucuran airmata
surgawi dan butiran-butiran embun, hangus dan letih, sementara di atas
jalan-jalan kuning penuh rumput, berpencaran buih-buih cahaya matahari petang
yang nakal, menembusi pohon-pohon gelap” (Nyanyian
Kesenduan, Bagian 3), “Jika kucintai laut, dan segala yang seperti laut,
dan paling mencintainya ketika ia dengan amarah membantahku: jika dalam diriku
ada kegembiraan dalam mencari segala yang menghempas layar-layar ke arah yang
tak diketemukan, jika kegembiraan seorang pelaut tak kudapati dalam
kerianganku, jika nanti kegembiraanku telah berseru: pantai telah menghilang
dan belenggu penghabisan terlepas dariku” (Nyanyian
Tujuh Meterai, Bagian 5).
Di tangan Nietzsche, semua aspek dan sisi
terdalam bahasa ditawarkan, sesekali subversif dan destruktif, dan di lain kali
terasa dingin dan penuh teka-teki, berdusta, menertawakan dan bercanda,
seringkali nakal dan tangkas. Begitulah, sebagai seorang stylish yang handal
dan hebat, tulisan-tulisan dan gaya penuturan dan pengungkapannya yang jernih
dan menghunjam mampu dengan cepat melahirkan kepekaan dan kuriositas baru pada
perasaan saya sebagai seorang pembaca, gagasan-gagasan yang dimunculkan dan
ditawarkannya memiliki daya tembus dan daya gugahan yang kuat, argumentasinya
padat dan tidak bertele-tele. Bagi saya, bahasa Nietzsche memang setara dengan
kekuatan bahasa kitab suci yang enigmatik sekaligus ironik dan argumentatif.
Konon ia pun seringkali membawa kertas-kertas,
semacam buku catatan harian, ketika ia berjalan-jalan sendirian menyisiri
pedesaan di Swiss, yang dengan kertas-kertas tersebut ia dapat segera
menuliskan gagasan-gagasan, pengalaman-pengalaman yang ia dapatkan dan ia
rasakan seketika itu, dan menuliskan ide-ide yang muncul di saat berjalan-jalan
itu dalam bentuk tulisan aforistis –yang dengan catatan-catatan aforistis yang
ditulisnya itu tanpa ia sadari telah menjadikan dirinya sebagai seorang
revolusioner bahasa yang tak tertandingi di abad ke-19.
Tetapi ada satu hal yang membuat saya berpikir
lain, yaitu gagasannya tentang Will to Power, yang menurut Heidegger merupakan
gagasan inti dan sentral pemikirannya, bagi saya lebih merupakan sebuah
konsolasi dari kepasrahan, kesulitan, dan keterbatasan kesehariannya ketika ia
begitu sangat produktif menulis. Cetusan-cetusan untuk bersikap afirmatif dan
berkata “ya” pada realitas dan eksistensi terdengar dalam pencerapan saya lebih
sebagai sebuah afirmasi pada kesepian dan kesunyian yang dijalaninya selama ia
menghabiskan waktu-waktu kesehariannya untuk menulis Human All To-Human dan
Thus Spoke Zarathustra yang saya sukai itu.
Meski demikian, ketika saya tak sepenuhnya
sepakat dengan sistematisasi yang dilakukan Heidegger yang mengkutubkan pada
aspek Will to Power-nya, toh Hollingdale telah mengobati saya dengan pemilahan
tematik yang dilakukannya, di saat saya masih menganggap tulisan-tulisan
Nietzsche lebih sebagai kawah bahasa yang menggelora dan membara, seperti yang
ia gambarkan sendiri dalam stanza-nya: “tapi aku sendiri adalah cahaya-cahaya
yang tercurah”.
Menurut Hollingdale, ada tiga tema dan
konsentrasi yang intens dan konsisten dalam tulisan-tulisan Nietzsche. Pertama, penghancuran semua konsep yang
selama sebelumnya selalu dirujuk dan dijadikan acuan untuk mengukur segala hal.
Kedua, kritik atas moralitas dengan
menunjukkan basis-basis dan sisi-sisi nir-moral dalam hidup dan eksistensi,
sekaligus juga kritik atas rasionalisme dengan menunjukkan dan mengemukakan
aspek-aspek dan segi-segi irrasional makhluk hidup dan hidup itu sendiri, dan
yang Ketiga, adalah upayanya untuk
melawan oposisi-oposisi konseptual antara dunia yang lebih mulia dan yang
rendah, yang material dan yang spiritual. Paparan Hollingdale tersebut
mengingatkan saya pada apa yang juga ingin dilakukan Jacques Derrida dengan
dekonstruksinya.
Dalam pengakraban saya, mungkin seperti halnya
orang-orang lain yang membaca Nietzsche, sumbangan terbesar Nietzsche selain
kekuatan inspiratifnya untuk pemikiran, adalah pada pembentukan bahasa dan gaya
penulisan, secara oratorik atau pun retorik. Seperti yang juga ditegaskan
Derrida, bahasa Nietzsche menurut saya adalah bahasa yang lahir dari keintiman
dengan kerentanan sekaligus kejernihan. Bahasa yang kadang heran dan kadang
sedih, seperti ketika ia berbicara tentang dirinya dan nasib yang dijalaninya,
yang ia tuangkan dalam pendahuluan bukunya, Human All Too Human: “How he loves
to sit sadly still, to spin out patience, to lie in the sun! Who understand as
he does the happiness that comes in winter, the spots of sunlight on the
wall!”.
Bahasa yang melawan sekaligus pasrah:
“….Enough, I am still living; and life is, after all, not a product of
morality: it wants deception, it lives on deception….but there you are, I am
already off again, am I not, and doing what I have always done, old immoralist
and bird-catcher that I am –speaking unmorally, extramorally, beyond good and
evil?-” Bahasa yang berkelana dan menjelajah: “Almost all the problem of
philosophy once again pose the same form of question as they did two thousand
years ago: how can something originate in its opposite, for example rationality
in irrationality, the sentient in the dead, logic in unlogic, disinterested
contemplation in covetous desire, living for others in egoism, truth in error?”
Bahasa yang arkeologis dan genealogis:
“Mankind like to put question of origins and beginnings out of mind….man has
for long ages believed in the concepts and names of things as in aeternae
veritates ha has appropriated to himself….he really thought that in language he
possessed knowledge of the world”. ”Bahasa yang alegoris sekaligus hiperbolik:
“Supposing that truth is woman (Bayangkanlah seandainya kebenaran itu seorang
perempuan)”. Atau: “Kebenaran adalah sepasukan metafor yang terus bergerak”.
Bagi saya, karya-karya Nietzsche adalah
perayaan suara-suara yang saling menegaskan sekaligus menegasikan, saling
mencederai sekaligus mengobati, pembalikan dan kesaling-silangan yang bertumpuk
sekaligus berceceran, sejumlah sketsa dan figura-figura impresionistik dan eskpresionistik
pada saat bersamaan dan bergantian. Caranya mengemukakan kelemahan dan
kesalahan sebuah gagasan yang ingin ditolak dan dikritiknya lebih dekat pada
Montaigne, salah seorang penulis yang dikaguminya selain Abbe Galiani, Goethe,
dan Stendhal alias Henry Beyle. Kegigihannya untuk mematangkan gagasan-gagasan
yang ditulisnya memang seperti kegigihan seniman yang dikaguminya, Raphael.
Tulisan-tulisannya lahir dari seorang lelaki
yang terlampau gelisah dan bergolak secara bathin, dari seorang lelaki yang
sangat kesepian. Tyler T. Roberts mengatakan, misalnya, dalam
tulisan-tulisannya Nietzsche mengimajinasikan dan memperlakukan filsafat dan
pemikiran sebagai sejumlah praktek asketisme dan pembentukan hidup. Pendapat
Tyler T. Roberts tersebut salah-satunya ia contohkan dengan The Gay
Science-nya, di mana Nietzsche menurutnya bersuka-cita dalam “saturnalia”,
sebentuk jiwa yang sabar dalam menghadapi penderitaan, kesepian, dan tekanan
yang berkepanjangan –yang dalam bahasanya Tyler T. Roberts, tulisan dan
pemikiran Nietzsche dapat dibayangkan sebagai “sebuah perahu kehidupan yang
berlayar di antara gelombang badai kekecewaan dan keputusasaan tiada akhir yang
secara paradoks dipenuhi dengan cinta, kegembiraan, dan keriangan yang
memabukkan”.
Di dalam wawasan pemahaman seperti itulah,
ujar Tyler T. Roberts, filsafat dan pemikiran di tangan Nietzsche merupakan
seni olah spiritual (the art of transfiguration) melalui ikhtiar terus-menerus
demi memperbaiki dan memperindah tubuh sekaligus menajamkan pikiran dalam
proses spiritualisasi dirinya sendiri. Atau seperti yang dikatakan sendiri oleh
Nietzsche: “tarian adalah cita-cita, seni seorang filsuf dan kesalehannya yang
paling nyata”. Tarian yang dapat juga dimengerti sebagai sikap afirmatif kepada
bumi dan hidup. Berkata “ya” dengan riang pada eksistensi dan kehidupan.
Meski demikian dan bagaimana pun, saya sendiri
merasa was-was ketika membaca imperatif ritual yang dikumandangkannya dalam The
Gay Science, “apakah yang paling suci dan paling tinggi dari semua yang
dimiliki dunia, yang telah berlumur darah, bahkan telah mati tertikam pisau
kita: Siapakah yang akan membersihkan darahnya dari kita? Air apakah yang
tersedia untuk membersihkan diri kita sendiri? Perayaan penebusan dosa jenis
apa, permainan keramat apa yang harus kita temukan?”
Selanjutnya dari segi sumbangan pemikirannya,
bila kita merujuk kepada pendapat-pendapat para pemikir dan filsuf yang
meneruskan warisan khasanah dan wawasannya, tulisan-tulisan Nietzsche menolak
dikotomi konseptual dan menghancurkan fondasi-fondasi yang selama sebelumnya
diyakini benar, yang di tangan Heidegger diistilahkan dengan destruksi dan di
tangan Derrida bernama metode dan praktik dekonstruksi, sementara Nietzsche
sendiri menyebutnya “berfilsafat dengan palu”, persis seperti ketika seseorang
menghancurkan sebuah ikon berhala (pemikiran) yang ternyata di dalamnya
gerowong setelah dihantam palu. Ia sendiri memang dinamit dan palu, seperti
dikumandangkannya sendiri, yang telah menyadarkan banyak penulis dan pemikir
dari “kelelapan dogmatis” (dogmatic slumber).
Di Sils-Maria itu, yang sebenarnya tidak
terlalu jauh dari Saint-Moritz tempat Giovanni Segantini bekerja dan mengisi
waktu-waktu kesehariannya untuk melukis, Nietzsche menulis Thus Spoke
Zarathustra, The Gay Science, Beyond Good and Evil, On The Genealogy of Morals,
dan Twilight of the Idols. Sils-Maria dan pegunungan Alpen, yang sebagai sebuah
kehidupan dan keseharian, yang kalau menurut Alain de Botton, juga cukup
mempengaruhi tulisan-tulisannya, selain Lou-Andreas Salome, kesan-kesan ala
esai-nya Montaigne seperti yang ia tuliskan di dalam Ecce Homo, On Genealogy of
Morals, Human All Too Human, dan Untimely Meditations. Hingga dapatlah
dikatakan Nietzsche adalah penyair dan pemikir yang sangat intim dengan alam
dan keseharian, semisal yang diungkapkannya di dalam Ecce Homo:
“Yang tahu bagaimana menarik nafasnya dari
karya-karyaku akan mengetahui bahwa ia adalah udara ketinggian….filsafat yang
saya pahami dan saya hidupi sampai saat ini, adalah kehidupan penuh sukarela
dalam salju dan pegunungan”. Atau
seperti yang ia tuliskan dalam Human All Too Human: “Di pegunungan kebenaran,
engkau tak akan pernah mendaki sia-sia, entah karena engkau mendaki lebih
tinggi hari ini, atau karena engkau melatih kekuatanmu hingga sanggup mendaki
lebih tinggi di esok hari”.
Sils-Maria, alam dan kesehariannya bagi
Nietzsche, sebagaimana Saint Moritz bagi Giovanni Segantini, menurut saya
adalah lanskap dan inspirasi penting untuk tulisan-tulisan Nietzsche ketika ia
seringkali menekankan pentingnya sikap afirmatif pada hidup dan eksistensi
meski dijalani dalam penderitaan dan kesahajaan. Begitu pun menurut Tyler T.
Roberts, kritik dan penolakannya pada Kristianitas ketika itu lebih karena
Nietzsche memandang dan merasakannya sebagai sejumlah imperatif pengingkaran
pada takdir hidup dan bumi, kristianitas menurut Nietzsche lebih cenderung
menjadikan dirinya (kristianitas) sebagai sumber paling potensial penyakit
penyangkalan hidup yang menginfeksi dan melemahkan kehidupan manusia.
Untuk menafikan kenyataan Kristianitas yang
ditolaknya itu, Nietzsche mengumandangkan kebalikannya seperti yang
diungkapkannya melalui figur Zarathustra yang dipinjamnya: “Hal terdalam yang
kucintai hanyalah kehidupan –justru ketika aku membencinya”. Di mana pada saat
yang sama ketika ia membenci Kristianitas kita bisa menangkap paradoksnya,
lanjut Tyler T. Roberts, ketika Nietzsche memuji Isa al Masih sebagai “spirit
bebas yang sebenarnya berdiri dan berada di luar agama (beyond religion)”.
Dengan demikian, asketisme (kepertapaan) ala
Nietzsche merupakan kebalikan dari asketisme Schopenhauer, yang menurut
Nietzsche malah meneguhkan penyangkalan pada hidup dan eksistensi. Dalam hal
inilah “ateisme” Zarathustra-nya Nietzsche bagi saya lebih terasa sebagai upaya
pencarian spritualitas baru bagi dunia modern. Sampai-sampai Schleiermacher
memandang ateisme Nietzsche merupakan klimaks dari suara-suara jamannya,
mengingat menurut Schleiermacher, yang mengkritik agama atau pun kristianitas
bukan hanya Nietzsche, meski daya ledaknya menemukan momentumnya dalam
karya-karya Nietzsche. Ketika memang pada kenyataannya agama atau pun
Kristianitas di abad 19 berada pada praktek-praktek dan sikap-sikap “membunuh
dirinya sendiri” dan berada dalam “kebimbangan dan disorientasi”.
Setidak-tidaknya, sebagaimana kita tahu, pada
tataran instropeksi dan otokritik dalam Kristianitas tersebut juga dilakukan
Soren Kierkegaard. Begitu juga menurut saya, bisa jadi bahasa-bahasa Nietzsche
yang berkobar dan bergolak dalam setiap pernyataannya adalah bentuk lain
pencarian aspek penghiburan justru ketika ia sendiri ingin menggantikan dan
menolak aspek-aspek konsolatif agama yang menurutnya lebih mengajarkan pelarian
dan penolakan dari dan pada dunia dan eksistensi, seperti yang ia kumandangkan
dengan Zarathustra-nya: “Akulah Zarathustra, penyokong hidup, pembela yang
menderita, penyokong siklus”.
Ketertarikan Nietzsche pada setiap ikhtiar
manusia dalam memahami dan menerjemahkan eksistensi dan penderitaan itu sendiri
sebenarnya sudah ia lakukan ketika Nietzsche membedah dan menafsirkan arti
tragedi bagi orang-orang Yunani dengan The Birth of Tragedy-nya, yang
menurutnya kegandrungan orang Yunani pada tragedi mencapai puncaknya pada abad
ke 5 M dapat dibaca dan dipahami sebagai upaya mereka untuk mencari pengobatan
dan penghiburan akibat perang Median (Persia) yang membuat orang-orang Yunani
berada dalam dua pilihan dan ancaman yang sama-sama dilematis, militerisme dan
penaklukan. Begitu pun gejala-gejalanya, menurut Nietzsche, yang tak lain demam
nasionalis alias pengkultusan negara dan tanah air, dan kecanduan revolusioner
alias penolakan terhadap negara dan tanah air, telah menjebak mereka pada dua
bahaya yang sama-sama kuatnya: Apollonisme yang berlebihan dan Dionysianisme yang
berlebihan. Situasi dan keadaan itu menurut Nietzsche sendiri mirip situasi dan
keadaan Jerman ketika mengalami ancaman kekuatan Prancis.
Lebih lanjut, sebagaimana yang ia paparkan
dalam The Birth of Tragedy-nya itu, tragedi menurut Nietzsche mentransformasikan
kondisi manusia, di mana lagu, paduan suara, dan tarian-nya mengungkapkan
kekejaman Ada (eksistensi). Sementara paduan suara merupakan penerjemah dari
“Ada” yang bermain dengan penampilannya, musik itu sendiri adalah bahasa dari
“Ada”, dari keinginan tersembunyi dalam individu.
Sedikit-banyaknya, hasil pembacaan dan
penerjemahan Nietzsche atas tragedi Yunani itulah yang memungkinkan ia
mengatakan bahwa bangsa Yunani-lah yang paling memahami dan menyadari kengerian
dari eksistensi, pesimisme mereka justru mencerminkan kedalaman, kedalaman yang
dalam pandangan Nietzsche bertolak belakang dengan rasionalitas dan optimisme
Sokrates dan Euripides. Wajar saja bila Nietzsche lebih memuji Sophocles dan
Aeschylus, sementara Euripides menurutnya orang yang telah memudarkan dan
melemahkan tragedi Yunani itu sendiri karena telah menghilangkan musik dan
menggantikannya dengan dialog, juga menghilangkan dan mengganti paduan suara
dengan tokoh utama.
Penghilangan musik itu dalam pandangannya
justru telah menghilangkan tafsir atas kebenaran yang tidak rasional dari
kondisi manusiawi itu sendiri. Sebagai seorang penulis dan pemikir yang
mencintai dan memahami musik dengan intens dan intim, Nietzsche telah begitu
akrab dengan gaya dan teknik transposisi, di mana teknik reiterasi atau
pengulangan mampu menghasilkan dan melahirkan kesan atau perasaan yang sama
sekaligus baru, ketika melodi yang sama akan terdengar berbeda. Ketika sebait
musik yang ditransposisikan dapat berubah atau tetap pada nada semula, ketika
kunci yang berbeda bisa memberikan efek dalam menciptakan suasana yang tinggi
atau pun rendah, seperti ketika musik dimainkan dalam kunci minor akan terasa
menyedihkan dan akan menyeramkan ketika dimainkan dalam kunci mayor.
Setidak-tidaknya, tulisan-tulisan Nietzsche
dengan gaya dan kesannya yang kadang panas dan dingin itu bisa dibaca dalam
strategi, teknik, mode, dan gaya musikal. Filsafatnya merupakan sebuah
rekonseptualisasi antara raga dan spirit, spirit yang bila meminjam
perkataannya Walter Kaufmann tak ubahnya sebuah instrument kehidupan dalam
usahanya untuk meningkatkan diri sendiri.
Sepanjang pengalaman pembacaan saya,
tulisan-tulisan Nietzsche memang tak ubahnya sejumlah komposisi musik yang
adakalanya tegang dan tinggi, adakalanya pasrah dan meminta untuk dikunjungi
dan disimak dengan sabar dan hati-hati. Kadangkala cepat dan kadangkala lambat
seperti ketika kita berada dalam dingin musim hujan. Untuk mencerna dan
memahami tulisan-tulisannya, pembaca harus menyerah pada komposisi-komposisi
dan nada-nada gubahan yang disusunnya, kita harus masuk dan menjadi pengunjung
dunia-dunia imajinasi musikal tulisan-tulisannya. Di sana kita akan menjumpai
Haydn, Mozart, Vivaldi, Bach, Beethoven, dan yang lainnya.
Esei-esei Nietzsche telah memberikan saya
bagaimana cara menulis yang personal dan hidup, seperti ketika saya membaca
Daybreak-nya: “I shall now tell you what I was after down there –here in this
late preface which could easily have become a funeral oration: for I have
returned and, believe it or not, returned safe and sound. Do not think for a
moment that I intend to invite you to the same hazardous enterprise.
Atau ketika saya memaca Human All Too
Human-nya: “And in fact I myself do not believe that anyone has ever before
looked into the world with an equally profound degree of suspicion, and not
merely as an occasional devil’s advocate, but, to speak theologically, just as
much as an enemy and indicter of God; and anyone who could divine something of
the consequences that lie in that profound suspiciousness, something of the
fears and frosts of the isolation to which that unconditional disparity of view
of condemns him who is infected with it, will also understand how often, in an
effort to recover from myself, as it were to induce a temporary self-forgetting,
I have sought shelter in this or that –in some piece of admiration or enmity or
scientifically or frivolity or stupidity; and why, where I could not find I
needed….If he has for long hardly dared ask to himself: why so apart? so alone?
renouncing everything I once reverenced? renouncing reverence itself? why this
hardness, this suspiciousness, this hatred for your own virtues? –now he dares
to ask it aloud and hears in reply something like an answer.
Ketika membaca esei-esei Nietzsche, saya seakan
tengah membaca catatan-catatan yang sangat pribadi seseorang yang hidup dalam
kesendirian dan kebimbangan. Ada gelora yang melawan sekaligus ada keluh-kesah,
ketika dalam esei-eseinya keriangan dan kesedihan sama-sama memiliki ruang yang
berimbang, sebentuk perlawanan dalam kepasrahan.
Tulisan-tulisan Nietzsche, dalam pencerapan
saya, adalah sejumlah nuansa dan suasana musikalitas seorang lelaki yang
teramat sepi dan pasrah, seorang pertapa yang terjebak dalam relung-relung
kesunyian yang paling dalam dan dingin. Esei-esei Nietzsche bagi saya adalah
sejumlah pengakuan otobiografis, yang anehnya menjadi sedemikian terlibat
dengan teramat akrab dan intim dengan filsafat, bukan hanya sebagai sekian
analisis, tetapi lebih sebagai upaya tanpa henti untuk memahami eksistensi dan
kehidupan.
Kehidupan dan keseharian Nietzsche seolah
musik yang tak pernah berhenti yang telah terlanjur memabukkan dan meminta
untuk terus dinyanyikan kapan saja dan di mana saja ia berada, relung bathin
Nietzsche adalah musik itu sendiri –yang tersusun dan lahir dari sekian
kegelisahan dan pencarian spiritual seorang lelaki yang telah mengambil pilihan
untuk uzlah dan mengasingkan diri di Sils-Maria. Sementara itu pada
tulisan-tulisannya, saya mendapatkan dan merasakan bahasa yang telah menjadi
“seorang pribadi” dan “sebentuk karakter kejiwaan” dalam proses pembentukan dan
pencarian diri yang intens dan tak kenal lelah –ia adalah “dunia” sekaligus
“rahim”, di mana “konsep kebahasaan” tak semata hanya dipahami dan diposisikan
sebagai medium, tetapi lebih sebagai suara-suara yang lebih mirip sejumlah
gubahan, komposisi, suasana, dan nada-nada.
Bahasa dalam tulisan-tulisan Nietzsche adalah
musik dan puisi itu sendiri. Selain itu, metafora dan hiperbola yang
dipraktikkannya untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pun memadatkan pemaknaan
dan maksud yang ingin disampaikannya juga banyak meminjam dari alam dan
keseharian: “Seandainya kita hanyalah ladang subur, kita tak akan membiarkan
kotoran apapun menjadi tak berguna, dan berusaha melihat dalam setiap
peristiwa, sesuatu dan orang, bisa bermanfaat seperti pupuk”, dan: “Seseorang
dapat mengalahkan hasrat orang lain seperti peladang. Sedikit saja yang
mengetahui cara mengolah dan mengendalikan tekanan amarah, kemalangan,
keseriusan, kesombongan, hingga sama-sama produktif dan bermanfaatnya dengan
tanaman indah di terali rumah kita”.
Di Sils-Maria itulah Nietzsche menulis
aforisma-aforisma yang banyak mengambil kiasan dan perumpamaannya dari setiap
yang ada dalam jangkauan pandangan matanya dan yang membangkitkan minatnya
layaknya seorang pertapa yang memang mengintimi dan mengakrabi keseharian dan
kehidupan sekitarnya di mana ia melangkah dan berada. Seorang pertapa yang selalu
membawa pena dan catatan harian.
Terus terang, ketika saya membaca esei-esei
atau pun puisi-puisi yang ditulis Nietzsche, sedikit banyaknya saya merasakan
kekaburan untuk membedakan antara karya dan riwayat, sebab begitu eratnya, atau
katakanlah begitu tak terpisahkannya antara figur dan tulisan dalam kasus
tulisan-tulisan Nietzsche. Sebab tulisan-tulisan atau pun puisi-puisinya telah
sedemikian memiliki “kepribadian” yang karakternya tak lain adalah Nietzsche
sendiri.
Dalam esei-eseinya atau puisi-puisinya,
erotisme dan kepedihan atau pun kesepian, saling menyumbang dan saling
melahirkan. Puisi-puisi yang ditulisnya acapkali telah menjelma sejumlah figur
dan karakter, tetapi yang anehnya, figur-figur dan karakter-karakter itu tetap
kembali kepada Nietzsche sebagai seseorang yang tengah diceritakannya, dan si
pencerita itu tak lain adalah Nietzsche sendiri. Ia memang acapkali berbicara,
atau lebih tepatnya berujar, tentang pentingnya bersikap afirmatif pada hidup
meski dalam deraan derita dan kesepian, tetapi tak juga bisa diingkari, bahwa
ujaran-ujaran yang dikemukakannya seringkali adalah sebuah cerita tentang
riwayat Nietzsche sendiri. Estetika sebagai penghiburan diri, estetika yang
diimajinasikan oleh Nietzsche sendiri, yang kadangkala ia anggap sebagai
praktek transfigurasi alias olah tubuh yang berhadapan sekaligus berdiam dalam
hidup, yang kadangkala ia anggap sebagai wujud riil dari sikap afirmatif yang
ia gagas dan yang ia percayai itu.
Tetapi tidakkah justru karena demikian ada
ironi dan kontradiksi terselubung dalam esei-esei otobiografis dan puisi-puisi
Nietzsche? Yang justru menggambarkan Nietzsche sebagai seseorang yang kecewa
pada hidup, dan bahkan kurang bersikap santai pada keseharian? Karena hal itu
pula, saya berani berkata bahwa teks terselubung dalam tulisan-tulisan
Nietzsche adalah “perempuan” yang dimaknakan sebagai gairah dan afirmasi,
tetapi di dalamnya adalah pengalaman kekecewaan, yang anehnya karena
demikianlah esei-esei dan puisi-puisinya terasa sublim dan indah: “Pada rekah fajar,
saat hiburan embun ke bumi berjingkat, tak terdengar tak terlihat, –sebab
embun, sang pelipur berkasut halus layaknya penghibur lembut- ingatkah kau,
wahai kalbu membara, betapa dulu kau dahagakan airmata surgawi dan tetes embun,
meranggas lungkrah dahaga, ketika di jalan kering rumputan, sorot keji mentari
malam membara dengki menyilaukan, mengepungmu dari sela hitam pohonan”.
Suara-suara kekecewaan sang pencinta yang
kesepian itu telah dialihkan dengan begitu indah, dengan begitu sangat imajis
dan surealis, hingga menghasilkan bunyi-bunyi dan suara-suara yang memiuh dan
menyelam.
Dalam pembacaan saya, puisi-puisi Nietzsche,
bahkan esei-esei otobiografisnya sekalipun, mestilah juga dilihat sebagai tubuh
yang bercerita, tubuh Nietzsche itu sendiri. Rasa kecewanya, kesepian dan
pelariannya, hasrat-hasratnya dan ambisi-ambisinya, yang justru merupakan
sekian upaya untuk mendapatkan penghiburan diri dan alternatif untuk
mendapatkan pemuasan yang tak pernah merasa genap, meski Nietzsche sendiri
menyebutnya sebagai 'amor fati atau pun afirmasi': “Datanglah, wahai sentosa
kencana! Kau benih nikmat kematian yang paling rahasia! Terlalu lekaskah
kumelangkah? Kini, saat kakiku lungkrah, barulah tatapmu sanggup mengajariku,
barulah bahagiamu sanggup mengajariku”. “….kini perahuku menunggu. Badai dan
tualang tak mungkin ia lupakan! Cita dan harapan telah karam, jiwa dan laut
terbentang tentram”. “Tak pernah kurasa sedekat ini manis kepastian, sehangat
ini tatap mentari: –Bukankah es di puncakku masih membara?”.
Ketika kita membaca larik-larik sajak di atas,
bukankah di sana ada amarah, ada suara-suara kekecewaan yang disulap menjadi
sedemikian sublim dan indah. Dan itu pula yang akan saya sebut sebagai puisi
yang telah memiliki tubuhnya sendiri. Nietzsche adalah seorang penyair yang
paling jujur yang pernah saya baca. Kejujuran yang disulap menjadi imajisme dan
surealisme, bahkan sedemikian simbolik, yang acapkali terasa enigmatik dan
penuh teka-teki, sebagaimana ia menjuluki dirinya sendiri sebagai “hewan
teka-teki”. Kepedihan yang disembunyikan melalui erotisme, yang malah saling
menyetubuhi satu sama lainnya.
Membaca tulisan-tulisan dan puisi-puisi
Nietzsche, mau tak mau saya sendiri harus membayangkan sebagai seorang pribadi
yang selalu dirundung gelisah, bukan oleh apa-apa, tetapi oleh gairah artistik
dan estetis untuk terus-menerus mencari sebuah wawasan yang bisa dipercayai
oleh diri saya sendiri di saat saya merasa tak puas atau merasa ada yang keliru
dalam konvensi-konvensi nilai dan kepercayaan di jaman dan tempat di mana saya
hidup sebagai seorang penyair atau pun seorang penulis.
Secara umum, dalam pembacaan saya, kata-kata
penting yang tak bisa diabaikan begitu saja ketika membaca tulisan-tulisan atau
pun puisi-puisi Nietzsche adalah tubuh, tari, dan musik, sebab seringkali
Nietzsche sendiri menggunakan kata-kata tersebut sebagai konsep sekaligus
kiasan untuk menyampaikan atau pun menjelaskan apa yang ingin
dikomunikasikannya sejauh filsafat dan estetika yang dipahaminya sebagai
afirmasi dan transfigurasi.
Bahkan ia selalu berbicara tentang bagaimana
seseorang bisa bergembira meski dalam kemalangan, asketisme yang tidak
didasarkan pada dogmatisme. Juga penolakannya terhadap agama lebih karena agama
yang sejauh dipahami dan dialaminya dalam kenyataannya adalah sejumlah ajaran
dan nilai yang membenci tubuh dan menganjurkan untuk menolak dunia, sejenis
ressentment alias mentalitas budak yang reaktif yang di dalamnya terkandung
juga hasrat untuk berkuasa, untuk mengalahkan sang tuan.
Hingga Nietzsche sendiri berpendapat bahwa
ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin agama merupakan topeng dari hasrat kuasa para
pendeta. Hanya saja hasrat tersebut menimpakan dan menyebarkan negativitas pada
kehidupan, bukannya berkata “ya” pada hidup itu sendiri. Tetapi meskipun
demikian, sebagaimana kajian hermeneutisnya Tyler T. Roberts, kita akan gegabah
jika menempatkan Nietzsche secara ekstrem dan berhadap-hadapan antara yang
religius dan yang sekuler. Sebab menurut Tyler T. Roberts, Nietzsche mestilah dilihat
di antara keduanya. Artinya, ateisme-nya Nietzsche dengan kumandang Tuhan telah
mati-nya itu lebih diarahkan pada kenyataan-kenyataan doktrin dan praktek agama
yang menurutnya justru memusuhi hidup dan keseharian.
Demikianlah menurut saya sebagai seorang
pembaca, tulisan-tulisan Nietzsche adalah gairah erotisme itu sendiri, erotisme
yang acapkali dipupuk dari kesepian dan penderitaan ketika menjalani
tahun-tahun produktifnya dalam kesendirian, di mana penghiburan kesehariannya
ia gunakan dengan berjalan kaki sendirian di antara lembah-lembah di Sils-Maria
atau di tempat-tempat yang dikunjunginya sembari selalu membawa buku catatan
tempat ia menuangkan dan menuliskan ide-ide dan gagasan-gagasan yang terbersit
di benaknya, yang muncul begitu saja, yang didapatnya ketika berjalan-jalan itu
dengan segera, hingga karena itulah ia menuliskannya secara padat dan
aforistik, mirip kata-kata mutiara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar