Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2008)
Ratusan tahun silam, di
sebuah ruang perpustakaan kastil indah di Bordeaux, seperti yang diceritakan
kembali oleh Alain de Botton, Michel de Montaigne menulis tentang Thales, yang
terdengar sebagai sebuah sindiran dengan jalan memuji sahabat sang filsuf, ketimbang
filsuf itu sendiri: “Aku selalu merasa
senang pada gadis dari Miletus yang memandangi sang filsuf, ketika sang filsuf
dengan matanya yang menerawang ke atas mengukur kubah langit, seolah hendak
mengingatkan sang filsuf bahwa sudah cukup waktu untuk menentukan sesuatu di
atas awan bila ia telah menghitung segala sesuatu yang berada di depan kakinya”,
ujar Montaigne dalam Essays-nya.
“Kau pun dapat melakukan celaan yang sama sebagaimana gadis dari Miletus
itu melakukannya kepada Thales, untuk menghadapi setiap orang yang mendalami
filsafat dalam pelupaan, orang yang gagal melihat dan menyaksikan kenyataan
yang terletak di depan kakinya”, lanjut Montaigne.
Orang yang membaca fragmen
yang ditulis Montaigne tersebut tanpa terlebih dahulu mengetahui siapa sesungguhnya
Montaigne, mungkin akan terlalu dini menilainya sebagai orang yang anti-teori
atau pun anti-pemikiran. Tetapi Montaigne sendiri tentulah tidak demikian.
Ekstremitas kejujuran Montaigne biar bagaimana pun lahir dari seseorang yang
cukup lama menggeluti dunia baca dan pemikiran.
Di usia tujuh tahun ia
telah menamatkan Metamorphoses-nya Publius Ovidius Naso alias Ovid, dan sejak
usia enam belas tahun, ia telah menamatkan seri lengkap karya-karya Publius
Virgilius Maro alias Virgil si penulis Aeneid. Dengan demikian, skeptisisme
Montaigne tetaplah didasarkan pada pengalaman pembacaan dan empirisisme
perjalanan hidupnya yang memang kemudian menggemari petualangan dan bepergian
ke daerah-daerah terpencil dan pegunungan.
Masa-masa muda Montaigne
dijalani dengan membaca karya-karya Plautus, Homer, Plutarch, dan tentu saja Al-Kitab
terutama Kitab Si Pengchotbah alias Ecclesiastes.
Montaigne memang ingin
menginstropeksi pemikiran yang malah menjauhkan manusia dari kehidupan dan
hasratnya untuk bebas dari penderitaan yang tidak produktif. Meski demikian,
kesangsian dan instrospeksi Montaigne itu tetap merupakan ikhtiar dan kerja
intelektual demi mencari perspektif dan paradigma baru pemikiran dan
kerja-kerja intelektual, memberinya relevansi pragmatis dan kesepadanan dengan
kenyataan keseharian yang dijalani manusia, hingga dapat mengurangi kesenjangan
antara ilmu pengetahuan dan kehidupan keseharian manusia itu sendiri.
Dan sebagaimana kita tahu,
bertahun-tahun kemudian, esei-esei yang ditulis Montaigne itu, di kemudian hari
dibaca dan disuarakan kembali oleh Nietzsche, sang fisluf Jerman yang
kontroversial itu.
Dalam Essays-nya itu,
Montaigne memang seringkali berbicara tentang celah, kerentanan, dan bahkan
ketidakmemadaian ilmu pengetahuan yang terlampau menjauhkan diri dari kenyataan
kehidupan manusia itu sendiri: paradigma yang kadang sepihak, perspektif yang
kadang memilih dan semena-mena.
Instropesksi dan kritik
Montaigne itu mengingatkan saya pada Epicurus dalam hal penekanannya untuk
mempertimbangkan dan tidak mengabaikan sisi manusiawi dari ilmu pengetahuan dan
kerja intelektual. Sebuah anjuran yang belakangan ini menjadi wawasan
filosofis-nya Richard Rorty dalam konteks masyarakat demokratis-liberal.
Dalam esei-esei yang
ditulisnya itu, Montaigne bertanya: “Apakah
kita berani mengakui bahwa manfaat akal yang kita junjung tinggi dan karenanya
kita menganggap diri kita sebagai penguasa segala makhluk? Apakah manfaat
pengetahuan, jika demi dirinya sendiri, kita kehilangan ketenangan dan
kepercayaan diri yang mestinya kita miliki? Apa guna akal jika sikap kita tak
lebih baik dari babi yang diceritakan Pyrrho?”
Seberapa pun ekstrem dan
kekanakkannya pertanyaan-pertanyaan Montaigne tersebut, tetaplah merupakan
kejujuran untuk mengakui unsur-unsur yang begitu akrab dengan kondisi manusiawi
kita: “Kita telah menunjukkan
ketidakkonsistenan, kekhawatiran, keraguan, kepedihan, takhayul, ketakutan
mengenai apa yang terjadi”, tulisnya.
Seperti kita tahu,
esei-esei Montaigne salah-satunya merupakan upayanya untuk mengkritik
pandangan-pandangan konvensional yang dia baca dan yang dia alami dalam
keseharian yang dia saksikan dan yang dia dengar. Bahkan menurutnya apa yang
dipercayai orang-orang semasa hidupnya tak lebih merupakan sejumlah kekeliruan
yang diiyakan begitu saja tanpa pemeriksaan.
Bahkan pada
konteks-konteks esei-eseinya yang lain, Montaigne berbicara layaknya seorang
antropolog-naturalis bahwa kehidupan manusia seperti halnya makhluk-makhluk
hidup lainnya dapat juga dipahami sebagai sejumlah adaptasi-adaptasi yang
berkesinambungan, dan pemikiran hanyalah salah-satu caranya.
Nada-nada yang disuarakan
Montaigne tersebut di kemudian hari kembali didengungkan dalam esei-esei
pendeknya Nietzsche yang aforistis, yang adalah salah-seorang pengagum
kecerdasan Montaigne sebagai pengamat dan penulis yang nakal dan tangkas dalam
mencerap pemikiran dan kenyataan keseharian.
Setelah beberapa tahun
menghabiskan waktu-waktu kesehariannya di ruang perpustakaan pribadinya itu,
Montaigne yang ingin mengisi masa-masa pensiunnya dengan membaca dan
mendedikasikan dirinya demi ilmu pengetahuan, merasa gelisah dan tak puas
dengan buku-buku yang dibacanya, lalu mengekspresikan kejengkelan dan
kegelisahannya dengan menulis esei, mengkritik Cicero yang menurutnya kurang
memperhatikan hal-hal remeh dalam keseharian kehidupan manusia itu sendiri: “Lelaki adalah makhluk celaka yang cuma
mendengar dirinya sendiri dengan angkuh”, keluhnya, “Pada kenyataannya, ribuan perempuan desa hidup lebih cerdas dan
bahagia, lebih meyakinkan dan lebih konsisten ketimbang Cicero”.
Di ruang perpustakaan
pribadi yang terletak di lantai tiga kastil indah miliknya itu, demikian
sebagaimana dinarasikan kembali oleh Alain de Botton, Montaigne tiba-tiba
dibanjiri skeptisisme setelah melahap buku-buku kanon yang dibacanya selama
berjam-jam di hampir setiap hari kehidupan masa pensiunnya tersebut, ia
meragukan keabsahan dan relevansi tulisan-tulisan para pemikir dan filsuf yang
dikaguminya, dan ia berusaha menengok ke aspek-aspek manusiawi itu sendiri,
hingga ia pun sempat menulis sebuah puisi satir yang sarkastis:
“Di atas singgasana tertinggi di dunia, kita
bertahta, tetapi tetap di atas anus kita”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar