Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2010)
Ketika saya membaca tulisan-tulisannya Nietzsche,
tentulah bacaan saya yang saya tuliskan kembali adalah sebuah tafsir alias
interpretasi, yang dalam hal ini, dapatlah dikatakan bahwa apa yang saya
tuliskan tentang tulisan-tulisan Nietzsche pada akhirnya adalah “pembacaan”
saya sendiri tentang dan atas tulisan-tulisan Nietzsche.
Dalam “menafsir Nietzsche” ini, misalnya,
banyak tulisan-tulisan yang melahirkan filsafat dan analisis baru atau
menghasilkan filsafat baru, seperti yang dilakukan Jacques Derrida dan Michel
Foucault, dan tak jarang pula yang sifatnya artifisial. Beberapa penulis dan
filsuf bahkan “menuduh” filsafat Nietzsche tak harus ditanggapi dengan serius,
sebutlah Bertrand Russell yang menganggap remeh tulisan-tulisan Nietzsche.
Namun, seperti yang kita ketahui, filsafat Nietzsche memiliki pengaruh yang
sangat luar biasa dalam disiplin filsafat itu sendiri, hingga dalam ranah
sastra dan kebudayaan, bahkan hingga saat ini.
Salah-satu sumbangan terpenting Nietzsche
adalah ketika ia menguak, atau katakanlah berhasil menyingkap, bahwa “klaim
kebenaran” bersifat relasional atau tak akan ada dan tidak hadir karena dirinya
sendiri. Klaim kebenaran acapkali merupakan kedok motif dari kekuasaan yang
ingin mengambil manfaat darinya. Inilah yang kemudian menginspirasi Michel
Foucault dengan genealogi dan arkeologi pengetahuan yang dikemukakan dan
dikembangkannya. Misalnya Nietzsche menulis:
“Para filsuf hanyalah orang-orang yang
menunjukkan sebagai para pencari kebenaran. Dalam kenyataan, kebenaran yang
mereka nyatakan memiliki keterkaitan dengan keberadaan mereka, dan juga dengan
konstitusi fisiologis mereka. Para filsuf bukanlah individu-individu yang
objektif, mereka tidak terpisah dari permasalahan, dan pengetahuan mereka
bersumber dari kepentingan diri sendiri….
Mereka menggunakan nalar setelah adanya fakta.
Abstraksi berasal dari keinginan-keinginan hati mereka. Dari itu filsafat
menjadi samaran ringkasan dari suatu pernyataan pribadi….
Gagasan fisiologis kita terkait dengan
tata-bahasa –yang terpusat pada subjek yang tidak memungkinkan kita untuk
memahami hubungan yang secara radikal berbeda dengan dunia…..Karena alasan
inilah, status dari pernyataan filsafat bukanlah sebagai kebenaran atau
kepastian, tetapi sebagai interpretasi (penafsiran) yang kita berikan pada
dunia”.
Bertahun-tahun kemudian, salah-seorang filsuf
yang terinspirasi olehnya dan menimba ilmu dari filsafatnya, yaitu Michel
Foucault (yang analisis filsafatnya kemudian digunakan sebagai alat analitik
dan basis argumentative oleh Edward W. Said untuk mengurai praktek wacana dan
diskursus dalam keterkaitaanya dengan ideologi dan kekuasaan yang dituangkan
dalam Orientalism), menyatakan:
“Kebenaran berpusat pada bentuk diskursus
ilmiah dan institusi yang memproduksinya. Ia adalah subjek bagi rangsangan
konstan ekonomi dan politik. (Kebutuhan akan kebenaran sama banyaknya dengan
produksi ekonomi atau kekuasaan politik); ia adalah objek difusi besar-besaran
dan konsumsi besar-besaran (yang beredar melalui perangkat pendidikan dan
informasi yang meluas secara relatif dalam lembaga sosial, tanpa ada batas yang
tegas); ia diproduksi dan ditransmisikan di bawah apparatur sentral dan
dominan, jika bukan malah eksclusif, dari segelintir aparatur besar politik dan
ekonomi (universitas, militer, tulisan, media)”.
Singkat kata, Nietzsche menyingkap bagaimana
kekuasaan lah yang memproduksi kebenaran, ketika ia mengumandangkan bahwa
kehendak manusia yang paling besar bukanlah untuk survival, tapi untuk berkuasa
(Will To Power), yang di tangan Foucault menjadi genealogi dan arkeologi
pengetahuan, di mana pengetahuan dan klaim kebenaran tidak berdiri sendiri dan
tidak hadir begitu saja tanpa relasi dengan sesuatu dan hal-hal yang di luar
dirinya.
Istilah Nietzsche untuk menyebut problem
relasi dan tafsir tentang “kebenaran” itu adalah “perspektivisme”, di mana
segala pandangan tentang dunia menurutnya, adalah ciptaan atau produk
serangkaian kepentingan-kepentingan. Dalam hal ini, sebagaimana yang kemudian
dikembangkan filsafatnya Michel Foucault dan Jacques Derrida, genealogi
(pengetahuan) mencakup pembongkaran nafsu-nafsu dan kebutuhan-kebutuhan
manusiawi di mana “klaim kebenaran” diproduksi oleh institusi kekuasaan, media,
universitas, atau etika. Lagi-lagi, ada motif “Will To Power” dalam klaim
kebenaran yang diproduksi dan dinyatakan, atau disebarkan oleh mereka yang
memiliki kepentingan dengannya.
Tak ragu lagi, inilah sumbangan Nietzsche yang
juga sangat penting, yaitu pada studi analisis wacana dan diskursus dalam
masyarakat mutakhir kita. Sebagai contoh bagaimana media menjadi alat kekuasaan
dan korporasi, di mana wacana-wacana yang disebarkan media seringkali atas
dasar kepentingan korporasi dan kekuasaan, seperti yang diungkap Noam Chomsky,
sebab seringkali media-media memang kepunyaan para korporat dan korporasi.
Contoh terbaik untuk “kasus” ini adalah
politik Amerika, yang haruslah diakui “menguasai” jaringan-jaringan
korporasi-korporasi dan media-media raksasa, perusahaan-perusahaan
multinasional yang tak segan-segan “mempraktikkan” kekuatan dan kekerasan demi
kepentingan material mereka, semisal untuk mendapatkan bahan mentah dan minyak
yang mereka butuhkan.
Bila saya mengutip secara bebas wawasan dan
pembacaannya Heidegger dan Derrida, bahasa dan tulisan-tulisan Nietzsche adalah
bentuk bahasa dan gaya tulisan yang puitis-meditatif, bahasa yang
menginstrospeksi dirinya sendiri, bahasa yang bertualang dan mencari sejumlah
kemungkinan-kemungkinan bagi pemuasan dan kritik-diri. Dan selanjutnya, bagi
saya sendiri, ketika membaca tulisan-tulisan Nietzsche, saya seolah-olah tengah
membaca sejumlah cerita dalam catatan harian seorang lelaki yang memang
kesepian, yang kadang begitu sedih, dan kadang-kadang begitu gembira penuh
humor, canda, dan bermain-main layaknya seorang penari yang asik menari-nari
dalam kesendirian.
Dengan demikian dapatlah dikatakan
tulisan-tulisan Nietzsche adalah tulisan-tulisan yang berpribadi dan acapkali
juga memiliki banyak karakter dari seseorang yang terlampau mencintai
pertanyaan dan koreksi-instrospektif: “But will our philosophy not thus become
a tragedy? Will truth not become inimical to life, to the better man?”, Nietzsche:
Human, All Too Human. “A question seems to lie heavily on our tongue and yet
refuses to be uttered: whether one could consciously reside untruth?” (ibid).
Itulah salah-satu contoh kritiknya terhadap
pemikiran yang terlampau mengorbankan keseharian, seolah-olah pemikiran dapat
terbebas begitu saja dari kenyataan yang lebih akrab dengan kita, hingga kita
tak perlu terlampau membela “kebenaran” dengan kematian seperti yang dilakukan
Sokrates, sebab anggapan-anggapan kita tentang kebenaran lebih merupakan
kekeliruan yang dipercaya untuk sementara sebelum muncul yang lain yang lebih
selaras dengan keseharian kita sendiri, dan yang tentu saja lebih meyakinkan.
Kebenaran adalah kekeliruan yang dipercaya karena ia untuk sementara berfungsi
memelihara hidup manusia, karena sifat relasionalnya yang pas secara pragmatis,
dan bukan tak mungkin ia pun kelak akan tak berguna untuk masa yang akan
datang. Atas dasar itulah Nietzsche mengejek dengan nakal mereka yang terlampau
dogmatis.
Bahkan dari Nietzsche-lah kita mendapatkan
wawasan mencerahkan bahwa pemikiran tak mungkin dilepaskan dari
persoalan-persolan fiksional, bahasa, dan penulisan itu sendiri. Seperti kita
tahu, gagasan ini di kemudian hari dikembangkan lebih jauh dan lebih jelas oleh
Derrida dan Rorty. Pengandaian-pengandaian dalam pemikiran dapat juga dipahami
sebagai pergulatan kita dengan bahasa:
“Man has for long ages believed in the
concepts and names of things as in aeternae veritates he has appropriated to
himself….he really thought that in language he possessed knowledge of the world
[Human, All Too Human: On First and Last Things]”.
Nietzsche mencurigai para penulis dan pemikir
yang terobsesi klaim-klaim kebenaran sebagai sesuatu yang memiliki asal-usul
historis dan muasal arkhaik yang asali dan tak tergugat, klaim kebenaran yang
seakan-akan absolut, tunggal, atau pun universal: “The whole of teleology is
constructed by speaking of the man of the last four millennia as of an eternal
man towards whom all things in the world have had a natural relationship from
the time he began. But everything has become: there are no eternal facts, just
as there are no absolute truths. Consequently what is needed from now on is
historical philosophizing, and with it the virtue of modesty [ibid].
Hasrat pencarian asal-usul yang Platonist
tersebut memang telah disadari Nietzsche sebagai pakem pemikiran dan filsafat
yang akan dikritik dan ditolaknya sebagai sejumlah kekeliruan yang membuat
pemikiran terasa kurang rendah hati dan kurang jujur pada situasi dan
kondisinya yang manusiawi. Di pengantar bukunya, Human, All Too Human itu, ia
pun mengeluh: “All philosophers have the common failing of starting out from
man as he is now and thinking they can reach their goal through an analysis of
him [ibid]”.
Seperti kita tahu, di esei pertama yang ia
beri judul On First and Last Things dalam bukunya yang berjudl Human, All Too
Human itu, Nietzsche mengejek dengan riang dan nakal metafisika, atau apa yang
di kemudian hari dijuluki Derrida sebagai logosentrisme, sejenis wawasan dan
klaim yang terlampau mempercayai sesuatu yang ajeg dan yang asali, dengan modus
membalikkan dan menertawakannya: “Almost all the problems of philosophy once
again pose the same form of question as they did two thousand years ago: how
can something originate in its opposite, for example rationality in
irrationality, the sentient in the dead, logic in unlogic, disinterested
contemplation in covetous desire, living for other in egoism, truth in error?
Metaphysical philosophy has hitherto surmounted this difficulty by denying that
the one originates in the other and assuming for the more highly valued thing
miraculous source in the very kernel and being of ‘thing in itself’ [ibid].
Esei-esei Nietzsche memukau saya dan enak
dibaca, terutama esei-esei yang ditulisnya untuk setiap pengantar dan pembukaan
buku-bukunya, sebelum ia memasuki dan menenggelamkan diri ke dalam wawasan
pemikiran yang enigmatik dan aforistik. Pemikiran yang seakan-akan sengaja
mengarungi kegelapan dan kebisuan malam-malamnya sebagai seorang lelaki yang
setia dengan kesendirian. Seringkali membuat saya sendiri besimpati dengan
tuturan dan cerita-cerita latar-belakang yang dikisahkannya:
“From this morbid isolation, from the desert
of these years of temptation and experiment, it is still a long road to that
tremendous overflowing certainty and health which may not dispense even with
wickedness, as a means and fish-hook of knowledge, to that mature freedom of
spirit which is equally self-mastery and discipline of the heart and permits
access to many and contradictory modes of thought – to that inner spaciousness
and indulgence of superabundance which excludes the danger that spirit may even
on its own road perhaps lose itself and become infatuated and remain seated
intoxicated in some corner or other, to that superfluity of formative,
curative, moulding and restorative force which is precisely the sign of great
health, that superfluity which grants to the free spirit the dangerous
privilege of living experimentally and of being allowed to offer itself to
adventure….[Human, All Too Human: Preface].
Derrida menyebut gaya bahasa dan tulisan
Nietzsche sebagai teks dan praktek tulisan yang merayakan kontradiksi dan
perbedaan dalam dirinya sendiri. Sedangkan Richard Schacht memahami Human, All
Too Human-nya sebagai “monument of crisis”, mungkin karena ditulis dalam
masa-masa kesepian dan dekadensi kesehatannya, dan tentu saja sebagaimana
Richard Schacht membacanya, krisis yang dipahami Nietzsche sendiri sebagai
krisis kultural dan intelektual Eropa selama menulis buku-bukunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar