Oleh Sulaiman Djaya
(Sumber: Radar Banten, 31 Oktober
2015)
“Sesungguhnya sehari di
sisi Tuhan-mu seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung” (al Haj:
47). Kebanyakan orang, biasanya, terjebak dalam definisi mekanik ketika mereka
“memahami” waktu. Misalnya, waktu dipahami sebagai “jam”. Karena itu,
seringkali imajinasi dan pikiran orang terpenjara oleh definisi-definisi
mekanis tersebut. Padahal, “waktu” tidak-lah mekanik, acapkali lebih bersifat
batin dan puitis, semisal yang diungkapkan Alan Lightman.
Di sini, barangkali kita pun
bertanya: mungkinkah waktu didefinisikan? Jawabannya antara ya dan tidak. Para
fisikawan, misalnya, menyatakan bahwa keberadaan waktu bersifat “relasional”
dalam jagat ini, dan bila waktu dipahami atau dimengerti sebagai durasi, hal
itu pun akan berbeda di setiap tempat, seperti waktu di bumi tidaklah sama
dengan waktu di angkasa sana. Al-Qur’an yang suci menegaskan: “Sesungguhnya
sehari di sisi Tuhan-mu seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung”
(al Haj: 47). “Yang datang dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik.
Malaikatmalaikat dan Jibril naik menghadap kepada Tuhan
dalam sehari yang kadarnya lima-puluh ribu tahun” (70: 3-4).
Kita bisa bayangkan,
berdasarkan penegasan al-Qur’an yang suci itu, satu hari di suatu kawasan di
angkasa sana, yang kita belum tahu di mana itu, sama dengan lima-puluh ribu
tahun di bumi, di planet biru-hijau di mana kita hidup, berada, mengalami
rasa-senang, kesedihan, jatuh cinta, putus-asa, atau marah. Sementara itu, di
bumi sendiri, pengalaman dan pemahaman kita akan waktu tergantung pada aspek
fisik dan psikis (bathin) kita. Misalnya, waktu terasa berjalan lambat (lama)
ketika kita menderita dan terasa berjalan cepat ketika kita sedang mengalami
kesenangan.
Penerimaan dan pengalaman
kita tentang waktu, contohnya, tidak sama ketika kita sedang sakit dan ketika
sedang bersama kekasih yang dirindu dan dicinta. Ada waktu mekanis yang
sifatnya birokratis dan tak lebih sebuah alat ukur yang terbuat dari mesin, dan
ada waktu psikis (bathin) yang dialami secara unik dan berbeda oleh
masing-masing kita sesuai konteks dan pengalaman kita sendiri yang sifatnya
subjektif dan individual.
Ada waktu yang dihitung
dan ada waktu yang dilupakan dan dikenang. Kita tahu bahwa sehari-semalam
adalah 24 jam secara mekanis, bahwa satu tahun adalah 12 bulan berdasarkan
kalkulasi almanak, tapi ada waktu yang “di-ingat” dan “dikenang” oleh kita,
meski hal itu kita sebut masa silam atau ingatan. Waktu seperti inilah yang ada
dalam musik, dalam nada-nada, dalam roman, atau dalam gubahan-gubahan sajak,
yang senantiasa dibaca dan dibaca lagi, meski digubah dan ditulis di masa-masa
yang lampau.
Dalam arti ini, waktu
bukanlah sesuatu yang dihitung secara mekanik dan matematik, tetapi yang tetap
dan tidak bergerak ke mana-mana. Sebab yang bergerak secara bergiliran hanyalah
rotasi siang-malam dan putaran jarum-jarum jam dan hitungan angka-angka di saat
waktu itu sendiri adalah “diam”.
Dalam fiksi-fiksi sains,
contohnya, semisal yang ditulis oleh H.G. Wells dan Jules Verne, diceritakan
dan digambarkan bagaimana seorang insinyur dan ilmuwan membuat dan menciptakan
“mesin waktu” yang akan membuat kita si pengguna dan pengendaranya bisa kembali
ke masa silam sekaligus bisa ke masa depan –membelakangi sekaligus mendahului
waktu yang pergi dan datang, agar kita bisa memperbaiki kesalahan dan
kekeliruan di masa silam sekaligus sanggup “mendahului” waktu yang akan datang.
Tentu saja hal itu
merupakan sebuah alegori ketika manusia ingin “menekuk” dan “melipat” waktu,
sekaligus ingin menjadi “penguasa” masa silam dan masa depan. Ingin menjadi
makhluk super cerdas yang sanggup melawan hukum fisika atau “takdir kosmik”
yang menjadi “hukum pasti” yang tak bisa “dibengkokkan” dan “dirubah” oleh
kita.
Tentang waktu yang ingin
ditaklukkan oleh H.G. Wells dan Jules Verne itu, Alfred Lord Tennyson pun
berdendang: “Kuarungi masa depan, sejauh mata manusia memandang, melihat visi
dunia, dan segala keajaiban yang mungkin terjadi”, yang mengingatkan kita
kepada anekdot sains yang dikutip oleh Lawrence M. Krauss dalam Fisika Star
Treknya: “Suatu ketika hiduplah seorang wanita bernama Bright –dan ia berkelana
melampaui kecepatan cahaya. Suatu hari ia berangkat, dengan kecepatan relatif
terhadap waktu, dan kembali pada malam sebelum keberangkatan”, atau sebagaimana
yang ditulis oleh Alan Lightman dalam Mimpi-Mimpi Einstein-nya bahwa mereka
yang hidup di gunung-gunung lebih awet muda dan tidak cepat menua ketimbang
yang hidup di kota-kota. Di lembar-lembar Mimpi-Mimpi Einstein-nya itu, Alan
Lightman pun menulis:
“Andaikan manusia hidup
selamanya. Secara unik, warga di tiap kota terbagi menjadi dua: Kelompok
Belakangan dan Kelompok Sekarang. Kelompok Belakangan bersikukuh untuk tidak
perlu buru-buru kuliah di universitas, belajar bahasa asing, membaca karya
Voltaire atau Newton, meniti karir, jatuh cinta, berkeluarga. Untuk semua itu,
waktu tak terbatas. Kelompok Belakangan dapat dijumpai di setiap toko atau di
setiap jalanan, mereka berjalan santai dengan busana longgar. Kelompok Sekarang
beranggapan bahwa dengan kehidupan yang abadi mereka bisa melakukan apa saja
yang mereka inginkan. Ada tumpukan karir yang jumlahnya tak terhingga, menikah
dalam kali kesekian yang tak terbayangkan, dan pandangan politik terus
berganti. Mereka secara teratur membaca buku-buku terbaru, belajar tata cara
perdagangan baru, bahasa-bahasa baru. Demi mencucup sari madu kehidupan yang
tak terbatas itu, Kelompok Sekarang bangun lebih pagi dan tak pernah bergerak
lamban….
Seandainya waktu berwujud
burung bulbul. Waktu berdetak, bergerak, dan melompat bersama burung-burung itu
– yang bergerak cepat, sangat gesit, dan sulit ditangkap. Tiap lelaki dan
perempuan mendambakan seekor burung, karena dengan mengurung seekor burung
bulbul dalam guci maka waktu berhenti dan membeku bagi orang-orang yang
menangkapnya. Anak-anak, yang cukup gesit untuk menangkap burung, tidak
tertarik menghentikan waktu. Bagi mereka, waktu bergerak terlalu lambat. Mereka
selalu terburu-buru dari satu kejadian ke kejadian lain, tak sabar menanti hari
ulangtahun dan tahun baru, tak sabar menunggu lebih lama lagi. Kelompok tua
mati-matian menginginkan waktu berhenti, tetapi mereka terlalu renta dan lamban
untuk menangkap burung apapun. Bagi mereka, waktu berlalu demikian cepat. Mereka
berhasrat menahan satu menit saja, untuk minum teh saat sarapan pagi, atau
membantu seorang cucu yang kesulitan melepaskan seragamnya, atau menatap
pemandangan senja saat matahari di musim dingin memantul dari hamparan salju
dan menerangi ruangan musik dengan cahayanya….
Dunia tanpa ingatan adalah
dunia saat ini. Masa silam hanya ada dalam buku-buku, dokumen-dokumen. Untuk
mengenali diri sendiri, setiap orang membawa Buku Riwayat Hidup yang penuh
dengan sejarah masing-masing. Dengan membaca buku itu tiap hari, ia mencari
tahu kembali identitas orangtua mereka, apakah dirinya berasal dari golongan
atas atau bawah, apakah prestasinya di sekolah memuaskan atau memprihatinkan,
apakah ia telah mencapai sesuatu dalam hidupnya. Di satu kafe di bawah rimbun pohon
di Brunngasshalde, terdengar jerit pilu seorang lelaki yang baru saja membaca
bahwa ia pernah membunuh orang, desah seorang perempuan yang menemukan dirinya
pernah dipacari seorang pangeran, teriakan bangga seorang perempuan yang
menyadari dirinya pernah menerima penghargaan tertinggi dari universitasnya 10
tahun lalu. Seiring waktu, Buku Riwayat Hidup itu menjadi demikian tebal
sehingga tak mungkin lagi dibaca seluruhnya. Lalu, muncullah pilihan….
Para lanjut usia memilih
membaca halaman awal agar dapat mengenali diri mereka dalam kemudaan. Beberapa
orang memutuskan untuk sama sekali berhenti membaca. Mereka meninggalkan masa
lalu. Apapun yang terjadi di hari kemarin, kaya atau miskin, terpelajar atau
bodoh, congkak atau rendah hati, pernah kasmaran atau patah hati, tak lebih
dari angin lembut yang menari-narikan rambut mereka. Merekalah orang-orang yang
menatap tajam pada mata kita dan menggenggam tangan kita erat-erat. Merekalah
orang-orang yang melepas kemudaan dengan langkah tanpa beban. Merekalah orang-orang
yang telah belajar untuk hidup di dunia tanpa ingatan”.
Singkatnya, waktu adalah
juga imajinasi. Dan salah-seorang fisikawan yang dikenal memiliki imajinasi
yang kuat itu adalah Albert Einstein, hingga Lawrence M. Krauss, sang penulis
Fisika Star Trek itu pernah berseloroh: “Sama seperti para pengarang, ia tak
berbekal apa pun selain imajinasi”. Dalam hal inilah, sains dan sastra, sebagai
contohnya, sama-sama dimungkinkan oleh rahim yang sama, yaitu imajinasi. Dan
memang, Einstein pernah terus-terang berujar, “Imajinasi itu lebih penting
ketimbang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu terbatas, sedangkan imajinasi
mengelilingi dunia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar