Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘ulama, faqih, dan filsuf Syi’ah)
Musim panas akan segera
berakhir. Namun sengatan udaranya masih terasa mencekik penduduk kota Madinah.
Kering sepanjang tahun, dan harga barang-barang yang semakin mahal, menambah
penderitaan penduduk kota itu.
Musim memetik kurma tiba.
Penduduk Madinah baru hendak bernafas lega. Tiba-tiba Nabi – disebabkan berita
dan ancaman pasukan Romawi terhadap kaum Muslimin yang berdomisili di Timur
Laut– mengumandangkan jihad dan memerintahkan kaum Muslimin bersiap siaga.
Penduduk Madinah baru
melalui musim kemarau dan ingin menikmati buah–buahan yang segar. Tidak mudah
memang, meninggalkan panen dan buah-buahan, terlebih lagi setelah melewati
musim kemarau; lalu berjalan ke Syam dalam jarak yang begitu jauh.
Orang-orang munafik
mempunyai alasan untuk melakukan provokasi. Namun udara panas musim kemarau dan
usaha provokasi orang-orang munafik, tidak dapat menghambat kepergian pasukan
Islam yang berjumlah 30.000 orang, untuk menghadapi kemungkinan serangan
pasukan dari Romawi itu.
Nabi dan sahabat –
sahabatnya bergerak melalui padang pasir, dibawah panas terik matahari dan
kekurangan kendaraan serta bekal yang dibawa. Hal ini sebenarnya, tidak kurang
bahayanya dari ancaman musuh itu sendiri. Di tengah jalan, sebagian yang lemah
iman merasa menyesal setibanya di medan. Tidak diduga, tiba – tiba seseorang
yang bernama Ka’ab bin Malik pulang.”
“Biarlah, kata Nabi.“
Kalau memang kehadirannya akan membawa kebaikan, Allah tentu akan
mengembalikannya kepada kalian, dan jika tidak, berarti Allah telah
menyelamatkan kalian dari bahayanya.” Tidak lama kemudian, sahabat yang lain
berkata; “Ya Rasulullah, Mararah bin Rabi’ juga pulang.”
“Biarlah, kalau memang
kehadirannya membawa kebaikan, Allah tentu akan mengembalikannya kepada kalian:
dan jika tidak, berarti Allah telah menyelamatkan kalian dari bahaya.” Sejenak
kemudian, sahabat berkata lagi, “Ya Rasulullah, Hilal bin Umayyah juga pulang!”
Rasulullah tetap menjawab seperti yang dikatakannya untuk dua orang sebelum
ini.
Sementara itu, unta Abu
Dzar yang tadinya berangkat bersama–sama dengan rombongan kafilah, tiba–tiba
mogok di tengah jalan. Betapapun Abu Dzar berusaha menggerakkan untanya itu,
namun hasilnya tetap saja sia–sia. Tiba–tiba sahabat sadar bahwa Abu Dzar
ternyata tidak ada. “Ya Rasulullah, Abu Dzar juga tidak ada!” Mereka
berteriak.”
Dengan tenang Nabi
menjawab: “Biarkanlah! Kalau memang kehadirannya akan membawa kebaikan, Allah
tentu akan mengembalikannya kepada kalian, dan jika tidak, berarti Allah telah
menyelamatkan kalian dari bahayanya.”
Betapapun Abu Dzar
berusaha untuk mendorong untanya agar dapat mengejar kafilah, namun hasilnya
masih tetap sia–sia. Akhirnya diambilnya barang–barangnya, dan dia berjalan
kaki meninggalkan untanya. Matahari dengan dahsyatnya menyengat kepala Abu
Dzar. Dia amat sangat kehausan. Tidak dihiraukannya dirinya lagi. Yang
dipikirkannya hanyalah keinginannya untuk segera sampai ke kafilah Nabi dan
sahabat–sahabatnya, serta bergabung dengan mereka.
Dengan semangat baja. Abu
Dzar terus melangkahkan kakinya menelusuri padang pasir. Entah bagaimana.
Tiba–tiba matanya
terpandang pada segumpalan awan yang hinggap di suatu sudut langit. Abu Dzar
berkesimpulan bahwa hujan baru saja turun, beberapa saat lalu. Dibelokkannya
jalannya ke arah itu. Di sana dia menjumpai batu besar yang menampung sedikit
sisa–sisa hujan. Abu Dzar menghirupnya sedikit, dan tidak meneguknya sampai
puas. “Sebaiknya air ini kubawakan untuk Rasulullah, mungkin beliau merasa haus
dan tidak mempunyai persediaan air yang cukup,“ pikirnya.
Dituangkannya air itu ke
dalam qirbah (tempat air) yang dibawanya, lalu dipikulnya bersama–sama barang
bawaannya yang lain. Dengan semangat yang tinggi, dia menelusuri tinggi
rendahnya padang pasir, hingga dari kejauhan, tampak bayangan hitam pasukan
kaum Muslimin. Hatinya semakin bergelora, dan dia memacu jalannya lebih cepat
lagi.
Dari jauh pula, salah
seorang prajurit Islam melihat bayangan hitam tengah mendekati mereka. “Ya
Rasulullah! Seakan–akan ada seseorang yang tengah datang ke arah kita,” katanya
kepada Nabi. “Alangkah baiknya kalau itu Abu Dzar, “ jawab Nabi. Bayangan tadi
bertambah dekat. Tiba–tiba seseorang berteriak: “Demi Allah, dia adalah Abu
Dzar!”
Lalu Nabi berkata: “Semoga
Allah ampunkan Abu Dzar. Abu Dzar hidup sendirian, mati sendirian, dan akan
dibangkitkan sendirian.” Nabi menyambut Abu Dzar. Diambilnya pikulan Abu Dzar
dari pundaknya, lalu diletakkannya di tanah. Karena terlalu letih dan haus, Abu
Dzar pun terjatuh tanpa daya. “Ambilkan air. Beri dia minum, dia sangat haus.”
“ Ya Rasulullah, aku punya
air,” sahut Abu Dzar. “Engkau mempunyai air, tapi kau tidak minum?” Tanya Nabi.
“Betul Ya Rasulullah. Demi Allah, tadi aku melihat batu besar yang menampung
air dingin sekadarnya. Setelah kuhirup sedikit, kukatakan kepada diriku:
tenggorokan ini tidak akan meneguknya sebelum kekasihku, Muhammad Rasulullah,
meneguknya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar