Oleh Annemarie
Schimmel (Islamolog & pengkaji sufisme)
Syah
Abdul Lathif menyedikan dua bab untuk berbicara tentang pertempuran Karbala,
dan tentang bagaimana Al-Hurr bergabung dengan para pejuang “bagaikan seekor
anai-anai bergabung ke api lilin.” Yakni siap mengorbankan dirinya dalam
pertempuran. Tapi menjelang akhir puisi, aspek mistiknya sekali lagi menjadi
menonjol; mereka yang “berperang di jalan Tuhan” mencapai surga, dan
para bidadari mengikatkan ikat-ikat pinggang dari untaian mawar pada mereka,
sebagaimana layaknya para mempelai pria. Bahkan lebih dari itu:
Surga adalah tempat mereka; dengan berbondong-bondong mereka pergi ke
surga,
Mereka telah lenyap dalam Tuhan, dengan-Nya mereka telah menjadi
Dia......
Para
pahlawan itu, yang tidak pernah memikirkan nasib diri mereka sendiri, tapi
hanya memikirkan cinta kepada Tuhan, yang membuat mereka menghadapi semua
kesulitan, akhirnya mencapai tujuan mereka, yaitu fana fi Allah, yaitu lenyap
dalam Tuhan dan tinggal terus di dalam-Nya. Syah Abdul Lathif telah mengubah
kehidupan para Imam, khususnya kehidupan Imam Husain, menjadi model bagi semua
sufi yang berjuang, entah dalam jihad kecil (jihad-i asghar) ataupun jihad
besar (jihad-i akbar), untuk mencapai kelenyapan final dalam Tuhan, suatu
persatuan yang begitu sering diungkapkan oleh para Sufi dalam citraan cinta dan
kebersatuan cinta. Dan secara pasti bukanlah kebetulan jika penyair Sindhi kita
telah menerapkan nada Husaini, yang pada mulanya dimaksudkan untuk puisi-puisi
ratapan bagi Husain, pada cerita tentang pahlawan wanita kesayangannya, Sassui,
yang melenyapkan dirinya dalam pencariannya yang terus-menerus dan berani
terhadap kekasihnya, dan akhirnya dia berubah menjadi kekasihnya itu.
Penafsiran
Syah Abdul Lathif atas nasib Imam Husain sebagai model cinta yang menderita,
dan dengan demikian sebagai model jalan mistik, merupakan sekeping kesusastraan
yang sangat mengesankan. Ia belum pernah ada yang melebihi, meskipun sesudahnya
sejumlah penyair dari kalangan kaum Syi’ah telah mengarang elegi-elegi tentang
Karbala. Yang paling masyhur diantara mereka adalah Tsabit ‘Ali Syah
(1740-1810), yang spesialisasinya adalah genre suwari, yaitu puisi yang
dialamatkan kepada sang pengendara kuda, Husain, yang dulu pernah menaiki
punggung Nabi dan kemudian menunggangi kudanya dengan gagah berani di medan
pertempuran, Genre ini, dan juga bentuk-bentuk lain yang lebih umum, tetap
lestari dalam bahasa Sindhi sepanjang abad ke-18 dan 19, dan bahkan hingga masa
kita sekarang ini (Sachal Sarmest, Bedil Rohriwaro, Mir Hasan, Syah Naser,
Mirza Baddhal Beg, untuk menyebut sedikit nama saja, yang sebgaian adalah
sufi-sufi Sunni). Tema suwari diperinci dengan mudahnya oleh Sangi, yang adalah
Abdul Husain, si pangeran dari Talpur, yang kepadanya bahada Sindhi berutang
budi berupa beberapa nyanyian yang sangat indah dan menyentuh hati yang
dikarang untuk menghormati sang pangeran para syuhada, dan yang sangat
menekankan segi-segi mistik dari peristiwa Karbala. Di sini Husain ditempatkan
dalam hubungan dengan Nabi.
Sang pangeran telah melakukan mikraj-nya di tanah Karbala,
Kuda Syah telah mencapai pangkat Buraq.
Maut
telah membawa Imam Husain, yang saat itu mengendarai kudanya yang bernama
Dzuljanah, menuju hadirat Ilahi sebagaimana halnya Buraq yang bersayap telah
membawa Nabi ke hadirat Tuhan dalam perjalanan malam dan kenaikannya ke langit.
Sangi
juga tahu, sebagaimana banyak pengarang Syi’ah sebelum dia, bahwa menangis demi
Imam Husain akan mendatangkan imbalan berupa tertawa di Akhirat, dan bahwa
perenungan sejati atas rahasia pengorbanan dalam cinta bisa membawa sang
pencinta ke hadirat Ilahi, di mana pada akhirnya, seperti dikatakannya,
Dualitas menjadi jauh, dan diapun mencapai kesatuan.
Tema
Husain sebagai model mistik bagi semua orang yang ingin menempuh jalan cinta
sangat menonjol dalam puisi lembah Indus dan dalam puisi populer kaum India
Muslim, yang pemikirannya diresapi oleh ajaran kaum Sufi, dan yang baginya,
seperti halnya bagi para Sufi Turki dan bagi Fariduddin Attar (serta sejumlah
besar sufi lainnya), penderitaan Imam Husain dan Husain b. Manshur Al-Hallaj
merupakan paradigma kehidupan mistik. Namun ada juga cara lain untuk memahami
peran Husain dalam sejarah masyarakat-masyarakat Islam. Lebih penting lagi,
cara tersebut ditunjukkan oleh Muhammad Iqbal, yang tak pelak lagi adalah
seorang filsuf dan penyair Sunni. Pada awal tulisan ini telah disebutkan bahwa
dialah yang memandang sejarah Ka’bah sebagai didefinisikan oleh dua
pengorbanan, yaitu pengorbanan Islam pada awalnya, dan pengorbanan Husain b.
Ali pada akhirnya (Bal i Jibril, hal.92). Tetapi hampir dua dasawarsa
sebelumnya Iqbal menulis baris-baris puisinya, dia telah mempersembahkan sebuah
bab yang panjang kepada Husain dalam Rumuz-i bekhudi (hal.126 dst). Di sini,
Husain dipuji, lagi-lagi dalam kosa-kata mistik, sebagai imam-nya para pecinta,
anak laki-laki sang perawan, bunga kebebasan di taman Nabi.Sementara
ayahnya, Hazrat Ali, dalam penafsiran mistik, adalah huruf ba’ dalam bismillah,
maka sang anak (Husain) menjadi teridentifikasi dengan “sembelihan besar
(kurban agung),” suatu campuran yang indah dari penafsiran mistik dan
penafsiran Qur’ani. Tetapi, seperti halnya para pendahulunya, Iqbal juga hendak
berisyarat kepada kenyataan bahwa Husain, sang pangeran dari umat terbaik, dulu
biasa menggunakan punggung Nabi sebagai kendaraannya. Dan paling indah adalah
gambaran cinta cemburu yang menjadi.
Bagi Iqbal, kedudukan Husain di komunitas Muslim adalah sama sentralnya
dengan kedudukan surah Al-Ikhlas dalam Al-Qur’an.
Selanjutnya,
Iqbal kembali kepada topik kesayangannya, yaitu pertentangan yang terus-menerus
antara kekuatan positif dengan kekuatan negatif, antara nabi dan wali di satu
pihak dengan para penindas dan kaum kafir di pihak lain. Husain dan
Yazid berdiri pada jalur yang sama seperti Musa (Husain) dan Fir’aun (Yazid bin
Muawwiyah). Selanjutnya, Iqbal menunjukkan bagaimana khilafah
dipisahkan dari tuntunan-tuntunan Al-Qur'an dan berubah menjadi kerajaan yang
bercorak duniawi dengan munculnya daulat Bani Umayyah, dan disinilah Husain
muncul bagaikan awan tebal pembawa hujan, lagi-lagi citraan hujan yang membawa
rahmat yang selalu bertentangan secara mengesankan dengan kondisi
kering-kerontang dan suasana penuh kehausan dalam adegan aktual Karbala. Darah
Husain-lah yang turun sebagai hujan di padang pasir Karbala dan meninggalkan
bunga-bunga tulip merak di sana.
Kaitan
antara bunga-bunga tulip dalam pakaian mereka yang berwarna merah dengan
pakaian syuhada yang berlumuran darah telah menjadi citraan favorit puisi
Persia sejak paling tidak abad ke-15, dan manakala orang berpikir tentang posisi
sentral yang ditempati bunga tulip dalam pemikiran dan puisi Iqbal sebagai
bunga manifestasi api Ilahi, sebagai lambang semak yang Terbakar di Gunung
Sinai, dan sebagai bunga yang melambangkan pertumbuhan khudi (=diri) manusia
yang mandiri dalam situasi dan kondisi yang paling sulit, --manakala kita
mempertimbangkan semua aspek bunga tulip ini, maka kita akan mengerti mengapa
si penyair menjadikan Imam Husain “menanam bunga-bunga tulip di padang
pasir Karbala.” Barangkali kemiripan antara bunyi la ilah dengan bunyi
kata lala (bunga tulip), serta kenyataan bahwa kata la memiliki nilai numerik
yang sama dengan kata Allah, yaitu 66, mungkin telah meningkatkan penggunaan
Iqbal atas citraan tersebut dalam kaitan dengan Imam Husain, yang darahnya “menciptakan
padang rumput,” dan yang membangun bangunan “La ilaaha illa Allah.”
Tetapi
sementara penyair-penyair mistik yang terdahulu biasa menekankan pesona Husain
sebagai model bagi sang mistikus yang, melalui pengorbanan diri, akhirnya
mencapai kesatuan dengan Tuhan, maka Iqbal –secara bisa dipahami—menekankan
pokok persoalan lain: “Mengangkat pedang adalah pekerjaan mereka yang berperang
demi kejayaan agama, dan melestarikan tata-tertib yang telah diciptakan Tuhan.”
“Darah Husain, seperti adanya dia, telah menuliskan tafsir mengenai kata-kata
ini, dan dengan demikian membangunkan suatu umat yang sedang tidur.”
Lagi-lagi,
kesejajaran dengan Husain b. Manshur Al-Hallaj tampak nyata (setidaknya pada
Husain b. Manshur dalam cara di mana Iqbal menafsirkan dia: dia juga mengklaim,
dalam Falak-i musytari dalam Javidnama, bahwa dia telah datang untuk
menghidupkan kembali manusia-manusia yang mati ruhaninya, dan karenanya dia
harus menderita). Tetapi, ketika Husain b. Ali menghunus pedang, pedangnya
Tuhan, dia menumpahkan darah manusia-manusia yang sibuk dengan, atau tertarik
pada, hal-hal selain Allah. Secara grafis, kata la pada awal kalimah syahadat
menyerupai bentuk sebilah pedang (lebih tepatnya, pedang bermata dua, seperti
Dzulfiqar), dan pedang ini memberantas segala sesuatu yang disembah selain
Allah. Ia ada pernyataan profetik “Tidak” terhadap apapun yang mungkin dipandang
oleh manusia, selain Allah. Dengan menggunakan pedang “Tidak” dan dengan
kesyahidannya, Husain menuliskan kata-kata “kecuali Allah” (illa Allah) di atas
pasir, dan dengan demikian menuliskan judul rancangan cerita yang dengannya
kaum Muslimin mendapatkan keselamatan.
Dari
Husain-lah, kata Iqbal, kita mengetahui rahasia-rahasia Al-Qur’an, dan meskipun
kejayaan Syams dan Baghdad serta keindahan Granada mungkin bisa dilupakan
orang, namun tali-tali senar alat-alat musik kaum Muslim masih akan tetap
menyuarakan nada-nada Husain, dan imam akan tetap segar berkat seruan adzannya.
Jadi,
Husain mengumpulkan dalam dirinya semua cita yang mesti dimiliki oleh seorang
Muslim sejati, seperti yang digambarkan Iqbal: keberanian dan kejantanan, dan
lebih dari segalanya, pengabdian kepada pengakuan akan keesaan Tuhan yang
mutlak; tidak dalam pengertian menjadi satu dengan-Nya dalam fana sebagaimana
yang dinyanyikan oleh para penyair sufi, melainkan sebagai pembawa kabar
gembira, yang dengan kesyahidannya tidak saja merupakan seorang pahlawan
syahid, tapi pada saat yang sama juga seorang saksi akan keesaan Tuhan, dan
dengan demikian menjadi model bagi semua generasi keum Muslim.
Seperti
yang dikatakan Iqbal, memang benar bahwa tali-tali gitar kaum Muslim masih
menyuarakan nama Husain, dan kita bisa menutup uraian ini dengan bait yang
terakhir dari bab yang dipersembahkan kepadanya dalam Rumuz-i Bekhudi:
Duhai batu safir, duhai utusan dari mereka yang jauh,
Bawalah air mata kami ke debunya yang suci.
Sumber: Al-Serat, Vol. XII (1986)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar