Oleh Ahmad Fadhil, M. Hum (Pengajar Filsafat dan Konseling Islam di
IAIN Maulana Hasanuddin Banten)
Imam Khomeini terlihat
sedang berwudhu. Fisiknya yang sudah lemah membuat ia nampak dapat digoyang-goyang
oleh angin. Pengawal pribadinya melihat itu, dan berkata dalam hati, “Bagaimana
orang yang lemah seperti ini dapat membuat Amerika ketakutan?” Lalu si pengawal
melihat Khomeini menghampiri dan berkata kepadanya, “Apakah engkau ingin membuat
takut Amerika?” Si pengawal menjawab, “Ya.” Khomeini berkata, “Kalau begitu,
engkau harus memperkuat hubunganmu dengan Allah.”
Bangsa Iran dan para
pengagum Khomeini kini sedang memperingati 19 tahun wafatnya beliau. Ia wafat
pada tanggal 3 Juni 1989. Revolusi Islam yang dipimpinnya berhasil memantik
kekuatan tersembunyi bangsa Iran dan menempatkan mereka di deretan negara maju
dan masuk ke pentas perimbangan kekuatan internasional sebagai aktor utama.
Tidak disangsikan bahwa dalam rentang waktu 29 tahun umur revolusi ini, sudah
banyak kemajuan yang telah diraih oleh bangsa Iran. Penguasaan sain dan
teknologi yang dimahkotai dengan masuknya Iran ke deretan negara pemilik
teknologi nuklir dan luar angkasa—sebagai contoh—menuntut adanya kekuatan yang
besar di level rakyat.
Bagaimana hal ini terjadi?
Bagaimana pesan sederhana seperti pentingnya setiap muslim memperkuat
hubungannya dengan Allah seperti terungkap dalam fragmen di atas mampu membuat
Iran mewujudkan langkah besar secara politik dan ilmiah, sehingga negara-negara
imperialis itu sekaligus terkejut dan bingung, membuat kita tertuntut untuk
mengetahui siapa dan apa peran Khomeini bagi bangsa Iran?
Sekelumit Biografi
Ayatullah Ruhullah
al-Musawi al-Khomeini lahir pada tanggal 24 September 1902 di Khomein, kota di
dekat Isfahan, 30-40 km dari Teheran. Beberapa bulan setelah kelahirannya,
ayahnya, Ayatullah Mushthafa Khomeini meninggal, sehingga ia diasuh oleh ibu
dan bibinya. Pada usia 15 tahun, ia kehilangan ibu dan bibinya dalam satu
tahun.
Hingga berusia 18 tahun,
ia tinggal dan belajar di Khomein. Pada tahun 1921, ia pergi ke Irak untuk
belajar. Tidak lama di sana ia langsung pulang ke Qum. Di Qum, ia belajar
bahasa Arab, logika, teologi, matematika, astronomi, filsafat, irfan. Di antara
gurunya adalah Ayatullah Shahabadi dan Ayatullah Tabrizi.
Pada usia 27 tahun ia
mulai mengajar pada bidang-bidang teosofi, fiqih, dan etika.
Sedari muda, ia sudah
melawan gerakan anti agama, korupsi, dan penyimpangan baik sosial maupun
teologis. Ia menulis buku Kasyf al-Asrâr dan menulis 27 kejahatan
Mohammad Reza Shah.
Pada tahun 1960, ia terjun
ke kancah perjuangan praktis dengan menentang UU yang menyatakan bahwa pemilih
dan kandidat tidak mesti muslim. Ia mengundang para marja ke rumahnya dan
mengajak mereka bersatu menentang UU tersebut. Hasilnya, rakyat turun
berdemonstrasi hingga UU itu dibatalkan.
Pada tahun 1963 pemerintah
menyerang Madrasah Faidhiyah hingga menewaskan beberapa pelajar. Khomeini
berpidato dan menyingkap hubungan rahasia Iran dengan Israel. Tanggal 15 Juni
1963, pukul 03.00, rumah Khomeini dikepung, lalu ia ditangkap dan dibawa ke
Teheran. Ketika masyarakat tahu ia ditangkap, mereka turun ke jalan-jalan di
Qum dan Teheran. Ribuan dari mereka terbunuh. Karena tekanan rakyat, pemerintah
membebaskan Khomeini dan menetapkan tahanan rumah baginya.
Pada tahun 1964,
pemerintah mengeluarkan satu UU yang membuat Khomeini sangat marah. Ia mengirim
utusan ke daerah-daerah untuk mengabarkan bahwa ia akan berpidato menyikapi UU
tersebut. Ia mengecam Amerika, ditangkap lagi, lalu diasingkan ke Ankara,
Turki. Ia diasingkan di Turki selama 9 bulan. Reza Shah kaget bahwa rakyat
semakin melawan. Pada masa ini, Khomeini menulis Tahrir al-Wasilah,
risalah praktis yang ditulis sebagai syarat untuk menjadi marja. Di buku ini,
berbeda dengan buku-buku marja lainnya, ia menulis tema jihad dan amar makruf
nahi munkar.
Masih pada tahun 1964,
Khomeini diasingkan ke Najaf. Dari Najaf, ia tetap menjaga hubungan dengan
kader-kader revolusi dan keluarga syuhada.
Pada tahun 1967, terjadi
perang antara Israel dengan negara-negara Arab. Khomeini bertemu dengan
tokoh-tokoh perjuangan Palestina dan berfatwa, “Menolong Palestina dan Libanon
hukumnya wajib.” Inilah pertama kalinya seorang marja mengeluarkan fatwa dalam
bidang ini. Pada saat itu, pemerintah Iran sangat dekat dengan Amerika. Amerika
mengirim bantuan senjata, pesawat tempur, dan minyak ke Israel lewat Iran.
Pada tanggal 23 Oktober
1977, Mushthafa, anak Imam Khomeini terbunuh. Imam diberi tahu. Ia hanya diam,
lalu tangannya memegang tanah, lalu berkata, “Ini adalah rahmat Allah.” Banyak
orang yang tidak mengerti mengapa ia berkata seperti itu. Kemudian mereka
mengerti bahwa kesyahidan itu adalah salah satu kunci keberhasilan revolusi,
sebab selama 13 tahun sebelumnya, pemerintah melarang rakyat Iran membicarakan
Khomeini. Dengan kematian ini, rakyat Iran mengadakan berbagai acara keagamaan.
Nama Khomeini dibicarakan di berbagai tempat. Pemerintah marah. Rakyat terus
berdemo. Tapi, kali ini dengan cara yang berbeda. Bila ada yang mati syahid,
upacara besar-besaran diadakan pada hari ke 3, 7, dan 40.
Imam Khomeini terus
mengirimkan pesan-pesan berisi dukungan revolusi rakyat. Pemerintah Iran mengganti
Perdana Menteri dan para pejabat tinggi untuk menenangkan rakyat. Pemerintah
Irak mengusir Imam ke Kuwait. Kuwait melarang Khomeini masuk ke wilayah mereka.
Maka, ia pergi ke Paris. Pemerintah Perancis melarangnya melakukan aktivitas
politik. Khomeini menjawab, “Ini aneh dan bertentangan dengan UU dan jiwa
demokrasi kalian.” Di Paris ia mengadakan berbagai pertemuan dan membahas masa
depan gerakan revolusi. Reza Shah membebaskan tahanan politik dan menjanjikan
perubahan. Tapi rakyat tidak percaya. Akhirnya Shah pergi ke Amerika dan
Khomeini kembali ke Iran. Pada tanggal 12 Februari 1979 Khomeini tiba di Iran
setelah 15 tahun hidup dalam pengasingan. Sekitar 4-6 juta orang menyambutnya.
Sekelumit Pemikiran
Menurut Khomeini, politik
tidak sekadar mengatur dan memerintah negara dan masyarakat serta memberikan
servis dan fasilitas bagi mereka, melainkan juga melatih dan mengembangkan
kemampuan jiwa dan sumber daya mereka. Dalam pengertian inilah ia mengusung
jargon Imam Ali, السياسة أفضل العمل, “Politik adalah pekerjaan yang paling mulia.”
Kemuliaan politik ini bersumber dari subjek utama politik menurut Islam adalah
mendidik jiwa masyarakat untuk menjalankan ajaran-ajaran kebaikan. Hak
pemerintahan adalah milik Allah. Tapi untuk mengatur manusia, maka diperlukan
manusia juga. Jadi, jantung politik adalah melatih jiwa manusia. Di sinilah
terlihat signifikansi dan kesucian “politik suci”. Imam Hasan mengatakan,
“Politik tidaklah seperti yang mereka gambarkan. Politik adalah sesuatu yang
suci. Karena itulah Allah menyebut kita politisi.”
Ketika Khomeini dipenjara,
salah seorang agen SAVAK menemuinya dan memintanya untuk meninggalkan arena
politik dengan alasan politik penuh dusta, tipu daya, dan korupsi.
Tindakan-tindakan jelek seperti ini hanya pantas dilakukan orang yang bukan
ulama. Khomeini menjawab bahwa politik dalam pengertian tersebut memang tidak
pernah ia intervensi, karena ia tidak mempercayai politik yang demikian. Yang
ia percayai dan ajarkan adalah politik yang suci, dan karena itu tidak dapat ia
tinggalkan.
Dengan dasar ini, Khomeini
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengatur keimanan mereka. Ia
mengatakan, “Berpartisipasilah dalam setiap pemilu. Meninggalkan politik adalah
salah satu dosa terbesar. Sebab, ketika engkau mengisolasi diri, orang lain
akan berkuasa dan mengaturmu. Bagaimana mungkin Islam tidak peduli pada
politik, sementara Islam menyuruh shalat jamaah, shalat Jumat, dan haji?
Negara-negara super powerlah yang berusaha menjauhkan kita dari politik. Ada
dua juta orang berkumpul di Mekkah setiap tahun. Tapi kita menyia-nyiakan
kesempatan ini untuk mengenalkan problem muslim satu sama lain, amar makruf
nahi munkar ….” Ia mengatakan, “Islam bukan sekadar ritual. Islam tidak jauh
dari politik dan usaha membangun pemerintah yang kuat. Islam adalah sebuah
rezim. Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan.”
Khomeini menyeru umat
Islam untuk memiliki kepribadian yang merangkum tujuan-tujuan luhur para nabi.
Setiap muslim harus mewakafkan hidupnya untuk tujuan ini, lalu bekerja sekuat
tenaga untuk menyukseskan misi meluhurkan kalimat tauhid, menegakkan kedaulatan
Tuhan di bumi, membela kaum tertindas, membungkam dan memberangus kaum tiran
dalam berbagai manifestasinya, dan memastikan hal ini bertahan setelah kematian
dengan membentuk generasi yang melanjutkan misi ini betapa pun lamanya waktu
dan besarnya pengorbanan.
Ia berpesan kepada rakyat
Iran bahwa berbagai beban, kesulitan, pengorbanan, tebusan, dan keterhimpitan
yang mereka tanggung sesuai dengan kadar keagungan tujuan dan nilai serta
ketinggian cita-cita mereka. Apa yang diperjuangkan adalah ajaran paling luhur
yang pernah ada sejak dunia tercipta hingga akhir masa, yaitu ajaran tauhid
yang termanifestasi di dalam ajaran Nabi Muhammad saw. Usaha semua nabi dan
wali adalah untuk merealisasikan tujuan ini, karena ajaran ini yang membawa
manusia kepada kesempurnaan yang mutlak. Ajaran inilah yang membuat makhluk
yang terbuat dari tanah menjadi lebih mulia daripada para malaikat.
Dari wasiat ini jelas
bahwa tujuan revolusi adalah mendidik dan membimbing perjalanan manusia dari
dunia “debu” ke dunia “malakut” yang luhur; membentuk masyarakat dan mencipta
lingkungan yang tidak disembah di dalamnya kecuali Allah, sehingga cahaya
ubudiyah, keikhlasan, dan kepercayaan kepada kegaiban menghilangkan kegelapan
hawa nafsu dan syahwat duniawi; menerangi pandangan manusia dengan cahaya
keindahan kebenaran di alam wujud; mengembalikan kedaulatan tauhid dan
aspek-aspek transendennya di dalam berbagai aktivitas manusia dan relasi
masyarakat.
Dengan dasar ini, tidak
aneh jika revolusi yang dipimpinnya mendapat perhatian besar dari kalangan
pemikir, filosof, dan politikus muslim atau bukan, karena ia tidak serupa
dengan revolusi mana pun sebelumnya. Sepanjang sejarah, revolusi adalah upaya
mengganti rezim politik, membangkitkan kaum tertindas untuk melawan orang-orang
kaya, atau membebaskan diri dari penguasa kolonialis-imperialis. Revolusi Islam
Iran, selain bertujuan merobohkan rezim politik, sosial, dan imperialis, juga
mengandung makna lain, yaitu menumbangkan kebudayaan dan pandangan hidup
tertentu dan menggantinya dengan yang lain. Dari budaya materialis hewani ke
budaya spiritualis insani.
Pasca Revolusi, yang
terjadi di Iran adalah implementasi konsep Wilayat Faqih. Dasar teori ini
adalah asumsi bahwa Nabi memiliki tiga tugas. Pertama, mengajarkan agama.
Kedua, membangun dan mengatur pemerintahan. Ketiga, memutuskan masalah-masalah
antar individu dalam relasi-relasi sosial. Nabi sudah melakukan tiga tugas itu.
Khomeini percaya bahwa ide pemisahan agama dengan politik adalah produksi
Barat, karena Barat percaya bahwa untuk meraih kemajuan mereka harus
meninggalkan agama. Dalam keyakinan Syiah, tugas ini dilanjutkan oleh para imam
maksum. Nah, pada masa kegaiban imam maksum, faqih mengemban tugas yang sama
dengan mereka, karena hukum Islam harus terus ditegakkan, dan tidak ada satu
pun ajaran agama yang boleh dihentikan pelaksanaannya kapan saja.
Khomeini menanamkan
kesadaran bahwa rezim para mulla ini pasti menjadi sasaran dendam pihak-pihak
yang ingin menanggalkan semua makna kehidupan manusia selain satu makna, yaitu
kemajuan, tapi bukan dalam arti kemajuan manusia dan spiritualitasnya,
melainkan kemajuan kekayaan kaum elit dan kemajuan kesusahan mayoritas wong
cilik; pihak-pihak yang tidak menyisakan kesenangan bagi kaum mayoritas kecuali
kenikmatan berbelanja atau kebahagiaan konsumeristik. Ia juga memprediksi bahwa
Iran akan menjadi sasaran tembak dan dianggap sebagai pihak yang bertanggung
jawab atas segala bentuk perlawanan terhadap dominasi Amerika di dunia.
Untuk mengantisipasi hal
tersebut, Khomeini menyerukan kemandirian dalam arti yang seluas-luasnya. Ia
mengatakan, “Sayang sekali, banyak orang teralienasi dari jati dirinya sebagai
muslim. Kita harus percaya diri. Jangan pernah menyangka negara lain akan
memajukan negeri kita. Kita harus bekerja sendiri untuk memajukan negeri kita.”
Untuk memiliki kemandirian, Khomeini menjelaskan lima syarat yang harus
dipenuhi: 1) Percaya kepada Allah, 2) Percaya kepada diri sendiri, 3) Sanggup
menanggung atau memiliki toleransi yang besar terhadap beragam kesulitan, 4)
Memiliki harapan, 5) Menunggu. Tentang syarat kelima, yaitu menunggu, bisa
diberikan catatan di sini sebagai sesuatu yang sangat penting dalam ajaran
Syiah, yakni menunggu kedatangan Imam Mahdi. Bagi Syiah, “menunggu” adalah
salah satu jenis ibadah.
Dengan konsep kemandirian
ini, setiap individu harus bisa mandiri, yakni memenuhi kebutuhan dirinya
sendiri dengan dirinya sendiri. Setiap keluarga harus bisa mandiri. Setiap
masyarakat harus mandiri. Setiap kota harus mandiri. Dan bangsa juga harus
mandiri. Walhasil bangsa Iran telah berhasil melakukan dua hal, yaitu
memanfaatkan keahlian putra bangsa dan menyerap kebaikan asing atau Barat.
Ada sebuah kisah, Imam Ali
dicela oleh orang-orang Bashrah karena pakaiannya tidak bagus. Imam Ali
menjawab, “Janganlah kalian mencela aku, sebab bajuku ini dibuat oleh istriku
sendiri.” Imam Baqir mengatakan, “Tuhan menyuruh salah seorang nabinya, ‘Peringati
umatmu untuk tidak memakai baju musuh-Ku, tidak makan makanan musuh-Ku, tidak
minum minuman musuh-Ku. Jika tidak, maka mereka adalah musuh-Ku.”
Imam Khomeini, saat
memimpin revolusi Iran, tidak mengandalkan apa pun kecuali seruan kembali
kepada Islam otentik yang dibawa oleh Muhammad saw. Ketika menegaskan hal ini,
dia tidak melakukan sesuatu yang asing dalam agama Islam. Ia hanya ingin agar
umat berkomitmen kepada kesadaran dan keterjagaan dalam menerima Islam sebagai
akidah, syariat, dan akhlak, serta menghindari semua bentuk sikap serba
berlebihan atau serba kekurangan (ifrath dan tafrith) yang
sayap-sayapnya menaungi kondisi umat Islam di zaman modern.
Berkaitan dengan sikap seimbang
ini, Khomeini berkata, “Melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika dan
budaya, meskipun demi terwujudnya tujuan Islami, adalah tidak dapat dibenarkan
dan bertentangan dengan uslub-uslub Islam.” Dengan penegasan ini, ia
menempatkan diri di bawah kebijakan politik Imam Ali sekaligus menarik garis
pemisah antara metode perjuangannya dengan sikap-sikap pragmatisme politik. Ia
berpesan kepada kader-kader revolusi, “Akibat dari sikap ekstrem apa pun pasti
tidak baik.”
Di sini Khomeini mengingatkan
peran para ulama untuk mengingatkan kaum Muslim setiap kali mereka merasakan
bahaya yang mengancam Islam dan al-Quran agar mereka tidak dipersalahkan di
hadapan Allah. Ulama bertugas memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Untuk
itu, mereka harus mempelajari dan meneliti ajaran-ajaran Islam dengan cara-cara
terbaik, lalu mentransfernya kepada masyarakat. Sangat ironis jika ada banyak
lembaga keislaman, tapi ternyata masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran
yang sangat minim mengenai Islam. Selain itu, mereka harus berjuang bersama
masyarakat dalam melawan intervensi pemikiran dan budaya yang bertentangan
dengan Islam.
Selain mengingatkan bahaya
kesembronoan dan ketidakpedulian dalam menyikapi wacana-wacana krusial Islam,
Khomeini mengingatkan bahaya tunduk kepada Islam yang ia sebut “Islam Amerika”.
Program kaum imperialis di bawah pimpinan Washington ini telah berhasil
mengentaskan fron-fron ekstrem yang gemar mengkafirkan sesama muslim,
mencederai citra Islam yang otentik, dan mengosongkannya dari pilar-pilar
utamanya. Di sinilah ulama berperan membimbing umat untuk memilah akidah yang
shahih, menghancurkan dinding-dinding kebodohan dan khurafat, dan mengantar
kepada jernihnya mata air Islam otentik yang dibawa oleh Muhammad saw.
Penutup
Khomeini berhasil memimpin
revolusi karena kepribadiannya sama dengan pikiran dan ucapannya. Menguatkan
hubungan dengan Allah SWT dan sekaligus memutuskan hubungan dengan
musuh-musuh-Nya—simbol terbesarnya adalah kaum imperialis dan Zionis—adalah
kunci kekuatan pribadi maupun masyarakat. Di sinilah makna pemilahan term
ibadah dan ubudiyah. Mayoritas muslim sudah melaksanakan ibadah. Ini tidak
cukup. Dengan ubudiyah, seorang muslim beribadah tidak pada waktu-waktu
tertentu saja, melainkan 24 jam sehari. Ibadah laksana memandang lautan,
sedangkan ubudiyah laksana berada di dalam lautan.
Wasiat Khomeini ini
relevan bagi kita, orang-orang Islam Indonesia yang kerap menjadi korban atas
apa yang terjadi di berbagai tempat atas nama Islam, padahal Islam terbebas
sama sekali darinya, yang telah membawa petaka bagi kaum muslimin maupun non
muslim. Tapi jelas bahwa pesan ini akan hidup di tengah-tengah kita hanya jika
para ulama, pemikir dan politisi muslim, serta para penganut Islam peduli,
sadar, paham, dan bersatu padu dalam menjalankan peran dan tanggung jawab
keagamaan mereka. Dengan demikian kita pun berhasil menjadi juru dakwah yang
terhormat dari sebuah agama yang terhormat. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar