(Gambar: Drawing karya seniman realis Iran, Iman Maleki)
Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2005-2006)
KADANG
Kadang ingin
kudengarkan saja rintik hujan
sembari
bersandar. Membiarkan bisu
mesra
membujukku.
Kadang aku
ingin bersama mereka,
merasa
bahagia di mana saja
dan tak
mempersoalkan kapan ingin tertawa,
kapan ingin
pergi dan terlambat pulang.
Kadang aku
hanya ingin percaya
jika saja
hidup seperti jingga
atau coklat
tua, niscaya gembira
seperti sisa
cuaca yang tak mesti
berarti
apa-apa.
Dan untuk
apa aku bertanya dan bertanya:
akankah aku
berhenti mengagumi
yang tak
terjawab ataukah tidak,
jika aku tak
mendengarkannya berbicara,
ketika
mereka mengajakku mesra berbincang
dan riang
seperti kanak-kanak yang bebas.
NOVEMBER
Betapa indah
putih yang beterbangan
dari ujung
senja
dan sisa
waktu
dari musim
yang sederhana.
Dari desir
dan gerak
yang tak
sempurna.
Dari
keluasan
yang
kupandang.
Langkah
ditunda, dan aku
terpesona:
bahwa dari keriangan
yang sama,
akan muncul kepedihan
yang
membuatmu heran
dan
bertanya. Lalu sekuat angan
kau pun berusaha
mengingat
sedikit
saja: dari hidup
yang kau
pikir tak sia-sia.
HUJAN
DALAM PUISI
Hujan
November yang sedih, hujan yang hanya ada dalam puisi,
hujan yang
malu-malu seperti dalam film-film romantis,
adalah hujan
yang menangis seperti seorang lelaki putus-asa
memikirkan
susunan angka untuk sebuah sajak yang ditulisnya.
Adalah hujan
yang kadang diam saja di depan halaman rumahmu,
kadang pergi
begitu saja dalam ragu.
Adalah hujan
yang mengagumi
keindahan
sepasang matamu saat kau bingung,
bimbang dan
berpikir sepertiku. Hujan yang tak peduli
meski malam
telah begitu sepi dan larut, dan kau pun begitu,
menimbang-nimbang
dan menghitung apa yang kau ingini.
Dan aku pun
begitu, seperti hujan yang hanya ada dalam puisi.
AGUSTUS
Barangkali
kegembiraanku yang paling ikhlas
adalah
kenangan sepohon songler di belakang rumah.
Beberapa
kepak unggas ke arah senja
seperti
nasib yang kadang malas beranjak.
Saat hujan
pun enggan usai,
aku tak tahu
apakah aku ketika itu
takut pada
sepi yang terbentang.
Mungkin
gerimisnya yang paling dingin
lebih mirip
sepasang bola matamu
membayangkan
rindu paling rimbun
ke arah
sosok gunung. Angin dari arah bukit
dan
bebatuan, sesekali menabrak
rindang
belukar. Setelah itu, tangan-tangan ibuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar