Hak
cipta ©Sulaiman Djaya (2011)
Sebagaimana
jamak kita maphumi, setiap kenyataan dan peristiwa akan senantiasa bersifat
subjektif bagi setiap orang atau pengamat yang berbeda alias berlainan. Begitu
pula suatu “sunnah alam” yang sama, semisal hujan yang dibicarakan dalam diari
singkat ini, tak selamanya memberikan dan menghadirkan keintiman dan suasana
yang seragam ketika ia hadir dan datang kepada kita untuk yang pertama-kalinya
atau untuk yang kesekian-kalinya.
Bagi
saya sendiri, dan tentu saja saya tidak tahu bagi Anda, hujan saya pahami
sebagai waktu dan semesta yang tumpah, sebagai aksara yang lahir untuk menjadi
kata, menjadi kalimat, singkatnya menjadi sajak. Ini adalah momen ketika saya
berada di ruang baca dan meja menulis saya.
Pada
saat itu, lewat jendela kaca, saya menyempatkan diri untuk merenungi dan
memandangi mereka. Menyimak riuh dan gemericik suara mereka, persis ketika
kelahiran dan kematian hadir bersamaan dalam waktu –persis ketika waktu sedang
berhenti.
Dan
tentu saja, adakalanya mereka menawan saya dalam momen-momen yang lain, seperti
ketika saya duduk atau menunggu di halte busway, di kota Jakarta yang tak
bahagia itu, dalam keadaan kedinginan –dan saya yakin Anda pernah mengalami
momen ini. Ketika mereka mengguyur jalanan aspal dan gedung-gedung bertingkat
yang angkuh dan bisu.
Dalam
keadaan seperti itu, Anda kadang merasa kesal, jenuh, atau bosan, tak lain
karena pada momen itu, mereka menghadirkan dan menghunjamkan kesepian ke dalam
perasaan dan hati Anda, kedalam jantung eksistensi Anda yang rentan. Kecuali
jika Anda menerima dan mengintiminya sebagai momen puitik.
Kehadiran
mereka, ternyata “menciptakan” ragam momen eksistensial dan suasana bathin bagi
ragam orang di ragam tempat dan “waktu”. Momen eksistensial bagi seorang
kekasih yang memiliki janji atau jadwal untuk bertemu kekasihnya, contohnya.
Bagi mereka yang hendak ke tempat kerja atau bagi mereka yang hendak pulang
dari tempat kerja, dan lain sebagainya.
Tetapi
lain di kota lain pula di desa (di sebuah kosmik ruang-waktu di mana saya
menulis diari singkat ini), hujan adalah momen puitik dan peristiwa bahasa,
sejumlah perumpamaan kosmis dan spiritual, di mana kematian dan kelahiran,
hadir dan datang secara serentak, persis ketika waktu berhenti, dan bahasa
kembali ke rahimnya sebagai puisi. Bahasa itu adalah perpaduan kematian dan
kelahiran –yang kita sebut waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar