Hak
cipta ©Sulaiman Djaya (2010)
Berdasarkan
riwayat keluarga, aku lahir menjelang fajar. Suatu ketika, saat aku sendirian
menjelang siang, aku merangkak sampai di tengah jalan di depan rumah. Padahal
di tepi jalan itu ada saluran irigasi yang cukup lebar dan dalam, yang
barangkali aku dapat saja tercebur jika tak diketahui oleh orang kampung yang
lewat dan segera mengangkatku dan menggendongku –demikian menurut cerita
beberapa orang di kampung kepadaku ketika aku telah dewasa.
Aku
terlahir dari keluarga miskin dan rumahku berada sendirian di tepi jalan dan
sungai, tidak seperti orang-orang kampung lainnya. Mayoritas keluarga dari
pihak ibuku tidak merestui pernikahan orang tua kami, dan karenanya aku selalu
dikucilkan oleh mereka dalam hal-hal urusan keluarga kakekku dari pihak ibuku.
Meskipun
demikian, orang-orang di kampungku, terutama kaum perempuan dan ibu-ibu, sangat
menghormati ibuku dan aku. Kakek dari pihak ibuku mirip orang Arab dan
berhidung mancung, dan tipikal fisik kakek dari pihak ibuku itu menurun
(diwariskan) kepada anak-anak pamanku (adik ibuku) yang semuanya berhidung
mancung –hingga sepupu-sepupuku (anak-anak paman, adik ibuku) mirip orang-orang
Iran dan Arab.
Dan
memang, semua orang di kampungku mengatakan bahwa pamanku (adik ibuku) adalah
lelaki paling ganteng di kampungku, hingga banyak perempuan yang suka
kepadanya. Hanya saja, Tuhan menjodohkannya dengan perempuan Betawi.
Nama
kakekku dari pihak ibuku adalah Haji Ali, orang yang pendiam dan sangat tekun
bekerja sebagai petani dan perajin perabot rumah-tangga dari bambu dan
pohon-pohon pandan. Seringkali, bila ibuku menyuruhku untuk meminjam beras
kepadanya, ia sedang menganyam bakul dan tampah dari bilah-bilah pohon-pohon
bambu, dan hanya berhenti bekerja bila waktu sholat saja. Sesekali aku harus
menunggunya pulang dari sawah, dan pada saat itu aku diajak ngobrol oleh nenek
tiriku (yang kurang kusukai). Maklum, nenekku sudah meninggal ketika aku lahir.
Berkat
kekayaan kakekku dari pihak ibuku itulah, pamanku (adik ibuku) bisa menempuh
pendidikan di perguruan tinggi swasta di Jakarta hingga menjadi sarjana strata
satu, hingga ia menjadi satu-satunya orang di kampungku yang kuliah, dan
kakekku tentu saja satu-satunya orang di kampungku yang bisa meng-kuliahkan
anaknya di perguruan tinggi.
Namun
demikian, meski kakekku orang kaya, keluargaku hidup dalam kemiskinan dan
keterbatasan karena keluargaku tidak mau mengandalkan kekayaan kakekku.
Menurutku hal itu terjadi karena keluarga kami “disisihkan” oleh keluarga besar
kami karena mereka tidak menyetujui pernikahan orang tua kami. Dan karena itu
ibuku harus bekerja keras menjadi petani dan menanam apa saja yang dapat dijual
dan menghasilkan uang, seperti menanam sayur-sayuran, kacang dan rosella.
Ibuku
adalah perempuan yang dicintai oleh orang-orang di kampungku –terutama oleh
kaum perempuan. Dan setelah ia wafat, penghormatan orang-orang kampung itu
beralih kepadaku. Barangkali karena orang-orang di kampung tahu bahwa yang
seringkali bersamanya saat ibuku bekerja di sawah-sawah mereka adalah aku.
Ia
adalah tipe perempuan yang tidak suka mengobrol dan bergosip, dan hanya akan
keluar rumah jika ada keperluan penting saja atau jika hendak membeli kebutuhan
bagi dapur dan untuk mendapatkan bahan pelengkap makanan untuk makan kami. Ia
sempat mengajar ngaji beberapa tahun sebelum akhirnya berhenti karena alasan
harus mengoptimalkan keluarga dan harus istirahat karena telah banyak bekerja.
Di
masa-masa sulit, ibu-ibu atau perempuan-perempuan di kampung akan bertanya
kepada ibuku apakah kami punya beras untuk kebutuhan keluarga, dan karena
itulah aku seringkali membawakan gabah-gabah mereka ke tempat penggilingan
–yang berkat kerjaku membawa gabah mereka dengan menggunakan sepeda itu, kami
mendapatkan beberapa liter beras sebagai upah.
Di
masa-masa panen, ibu-ibu dan kaum perempuan di kampungku juga akan mengajak
kami untuk turut memanen padi di sawah-sawah mereka, dan aku pula yang selalu
ikut dengan ibuku. Dari pekerjaan itulah kami mendapatkan beberapa karung gabah
(mendapatkan 1/4 bagian) –sesuai dengan kemampuan kami memanen padi di
sawah-sawah mereka, sebagai bagi hasil dari kerja kami membantu memanen padi
mereka.
Demikianlah
cara-cara orang-orang di kampung menolong kami. Itu adalah masa-masa ketika
adik-adikku belum lahir, dan bapakku seringkali tidak ada di rumah, yang
karenanya sampai saat ini, aku adalah orang yang kurang menghormati bapakku.
Sehingga, dalam banyak hal, ketidaksetujuan keluarga besar kami dari pihak
ibuku, akhirnya dapat kumaphumi.
Sementara
itu, di masa-masa senggang dari musim panen padi hingga waktunya menanam padi
kembali, ibuku akan menanam kacang, kacang panjang, kangkung, dan juga rosella,
yang kemudian akan ia jual kepada orang-orang kampung, dan tak jarang-orang di
kampungku dan orang-orang di kampung tetangga datang langsung kepada kami untuk
membeli bahan-bahan pangan yang dihasilkan ibuku itu.
Dari
penjualan kacang, kacang panjang, kangkung, dan rosella (yang diolah menjadi
kopi oleh ibuku dan kami itu)-lah, kami mendapatkan uang untuk membiayai
sekolahku dan sekolah kakak perempuanku.
Jika
aku lebih dekat dan lebih menghormati ibuku, tentu karena bagiku ibuku lah yang
dapat kukatakan sebagai orang yang setia dan punya komitmen, ketimbang bapakku
yang ber-poligami dan sering tidak ada di rumah di masa kanak-kanak dan
remajaku.
Selain
menanam sejumlah sayuran dan yang lainnya, ibuku juga berusaha beternak,
seperti memelihara ayam dan unggas, yang ketika besar dapat dijual kepada
orang-orang yang lewat yang hendak ke pasar atau sepulang mereka dari pasar.
Ternak-ternak kami itu terutama sekali akan banyak yang membelinya di hari-hari
besar keagamaan, atau bila orang-orang di kampung hendak melaksanakan pesta
pernikahan anak mereka atau mengkhitankan anak mereka.
Dan
aku pula yang seringkali membantu ibuku untuk menangkap ayam-ayam itu bila
mereka kebetulan sedang dikeluarkan dari kandang saat ada orang yang hendak
membelinya tanpa diduga. Begitulah masa kanak dan masa remajaku yang lebih
banyak dihabiskan dengan ibuku –selain ibuku juga lah orang pertama yang
mengajariku membaca dan mengaji al Qur’an serta mengajariku tatacara sholat.
Di
era 80-an itu, selain ibuku, yang bekerja keras mencari uang untuk memenuhi dan
mencukupi kebutuhan keluarga kami adalah kakak pertamaku (aku adalah anak
ketiga dari lima bersaudara), seperti mengangkut batu-bata ke mobil truck,
mencetak batu-bata, dan yang lainnya. Dapat dikatakan, di masa-masa itu, aku
dan kakak pertamaku (lelaki) berbagi kerja dan tugas sesuai dengan kemampuan
kami, di mana aku sering bertugas membantu ibuku bekerja di sawah atau
menyirami tanaman yang ia tanam di samping rumah kami, di saat kakak pertamaku
mencari uang dengan pekerjaan-pekerjaan lain.
Bertahun-tahun
kemudian, tepatnya di era 90-an, ketika industri mulai banyak yang hadir di
sekitar tempat kami (meski agak jauh), yaitu ketika kakak pertamaku yang hanya
bersekolah sampai di sekolah menengah pertama, diterima menjadi karyawan
(buruh) di sebuah perusahaan kontraktor yang tengah membangun sebuah pabrik
kertas.
Keberuntungan
pun terus berlanjut, kala masa kerja kakakku di perusahaan kontraktor tersebut
berakhir karena pembangunan pabrik itu telah rampung, ia pun lalu diterima
sebagai karyawan pabrik kertas (yang dibangun perusahaan kontraktor itu), siap
beroperasi dan melakukan produksi.
Tak
ragu lagi, keadaan itu telah memperbaiki keadaan ekonomi keluarga kami dan aku
pun bisa meneruskan pendidikanku ke sekolah menengah pertama setelah lulus
sekolah dasar, tepatnya di SMPN 1 Kragilan. Aku termasuk orang yang beruntung
dapat melanjutkan di sekolah menengah pertama negeri, karena dengan demikian,
aku dapat melanjutkan pendidikanku dengan cukup murah, di saat sejumlah kawanku
banyak yang harus di sekolah swasta, semisal di SMP PGRI Kragilan (yang
biayanya lebih tinggi).
Sekedar
informasi tambahan, pendidikan sekolah dasarku hanya kutempuh selama lima
tahun, karena aku tak perlu menempuh kelas dua sekolah dasar berdasarkan
pertimbangan kepala sekolah dan para guru. Selama lima tahun menempuh
pendidikan sekolah dasar itulah aku selalu mendapatkan ranking (peringkat
pertama) dan lulus di sekolah dasar (SDN Jeruk Tipis 1 Kragilan) itu dengan
peringkat pertama dan mendapatkan nilai tertinggi dibandingkan murid-murid yang
lain.
Di
saat aku duduk di kelas lima sekolah dasar di SDN Jeruk Tipis 1 itu pula, aku
sempat menjadi juara pertama lomba cerdas cermat untuk mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam di tingkat Kecamatan dan juara satu tingkat Kabupaten untuk
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Sementara
itu, selama dua tahun menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, aku
harus berjalan kaki sejauh lima kilometer lebih menuju sekolahku. Bila ada
mobil truck yang lewat atau melintas di saat aku berangkat atau pulang sekolah,
aku pun akan menumpang mobil tersebut. Sebenarnya saat itu aku ingin sekali
memiliki sepeda ketika melihat banyak teman-temanku di sekolah memiliki sepeda,
namun aku tak berani memintanya kepada ibuku. Bagiku aku sudah sangat beruntung
dapat meneruskan pendidikanku, yang seringkali aku pun telat membayar iuran sekolah,
seperti membayar SPP atau biaya ujian.
Masalahnya
adalah ketika aku harus bersekolah dengan jalan kaki itu harus kujalani di
masa-masa musim hujan. Di masa-masa hujan itulah biasanya ketidakhadiranku di
kelas lebih banyak. Sebagai gantinya aku harus belajar di rumah lebih keras
untuk mengejar materi-materi mata pelajaran mata pelajaran yang tertinggal
ketika aku tidak dapat hadir di kelas. Tentu saja, prestasiku di sekolah
menengah pertamaku tidak sama ketika aku di sekolah dasar. Ketika menempuh pendidikan
di sekolah menengah pertama, paling-paling peringkatku di antara 7 atau 9,
kalah dengan anak-anak kota yang buku-buku mata pelajarannya lebih lengkap.
Tak
jarang aku harus meminjam buku-buku teman-temanku untuk sehari atau dua hari
agar dapat kusalin di buku-buku catatanku, yang dengan demikian aku tak mesti
membeli buku-buku paket yang seringkali diwajibkan sekolah untuk membelinya
dari sekolah. Pihak sekolah pun menjadi maklum ketika kujelaskan keadaan yang
sebenarnya ketika aku sering tidak membeli sejumlah buku paket –kecuali untuk
buku matematika dan fisika yang mau tak mau aku harus membelinya dari uang
jajan yang kutabung diam-diam alias tak kugunakan untuk jajan.
Suatu
ketika, di tengah perjalanan pulang sekolah, tiba-tiba turun hujan lebat, dan
aku berteduh di bawah naungan ranting-ranting, dahan-dahan, dan daun-daun
sepohon lebat di tepi jalan.
Memang,
selama separuh perjalananku sebelumnya, langit tampak mendung, dan kupikir
hujan baru akan turun sesampainya aku di rumah, sebuah praduga dan perkiraan
sepihak yang sungguh keliru dan kusesali. Maklum, kala itu akau ingin segera
pulang ke rumah.
Malangnya
aku. Hujan itu ternyata berlangsung cukup lama, sekira setengah jam lebih. Dan
saat itulah aku dirundung kesepian dan ketakutan.
Tak
ada kendaraan atau orang yang melintas selama hujan lebat itu turun dan
tercurah cukup deras dan riuh. Saat itulah aku serasa tengah berada di dalam
dunia yang sangat sunyi. Barangkali pada saat itu pula hatiku berdo’a.
Manusia
ternyata harus bersabar dan berdo’a ketika kejadian dan peristiwa yang tak
menyenangkan menimpanya. Bahkan, kebahagiaan yang kita alami dan kita rasakan
akan lebih bermakna setelah kita mengalami dan merasakan penderitaan.
Setelah
hujan lebat itu reda, aku menggerakkan dan melangkahkan kedua kakiku dalam
keadaan tubuh menggigil kedinginan, hingga gigi-gigiku sesekali bergemeretak.
Untungnya kala itu, ada mobil truck pengangkut pasir melintas, dan aku
dibolehkan duduk menumpang di kursi sopir dan temannya –dan itulah berkah yang tak
kuduga pula.
Sesampainya
di rumah, aku segera melepaskan baju seragam sekolahku dan langsung kuserahkan
kepada ibuku, dan ibuku menjemur baju seragam sekolahku itu di dapur, di
sebatang bambu yang melintang di atas dapur agar cepat kering dengan bantuan suhu
dapur bila ibuku memasak dengan menggunakan kayu bakar di tungku-tungku dapur,
karena keesokan harinya aku harus mengenakan baju seragam sekolahku tersebut.
Ketika
itu rumah kami yang sederhana hanya berlantai tanah, tanpa semen atau keramik
seperti saat ini (seperti saat aku menulis catatan ini). Di lantai tanah itulah
akan menggelar tikar pandan bila kami akan tidur.
Sementara
itu, kebutuhan makan kami sehari-hari telah disediakan oleh apa saja yang kami
tanam, seperti sayur-sayuran yang kami tanam, semisal bayam, kangkung, kacang,
tomat, cabe rawit, dan lain sebagainya, di mana ibuku seringkali membuat menu
makanan seperti sambal dari cabe rawit, tomat, garam yang dibeli dari warung,
dan kulit buah rosella berwarna merah yang kami tanam sendiri.
Dalam
setiap waktu makan, ibuku akan selalu membuat atau memasak sayur dari bayam
atau kangkung yang dicampur bawang yang ditanam sendiri dan garam yang dibeli
dari warung. Kalau pun sesekali kami makan lauk, paling-paling ikan asin, tahu,
dan tempe yang dibeli dari pedagang keliling yang menggunakan sepeda.
Keberuntungan
lainnya, sesampainya di rumah setelah diguyur hujan lebat itu, adalah ketika
buku-buku catatan sekolahku tidak ikut basah karena kubawa dan kubungkus dengan
kantong plastik.
Ide
untuk menggunakan kantong plastik yang agak tebal dan cukup besar untuk
buku-buku itu berasal dari ibuku, dan terbukti lebih hebat dibandingkan
teman-temanku yang menggunakan tas yang tembus air, hingga buku-buku mereka
basah bila mereka kehujanan.
Di
sekolah menengah pertama itulah aku bergabung dengan geng anak-anak Kragilan
Utara, seperti Saifuddin (yang hingga sekarang masih sesekali berkunjung
kepadaku), Mohammad Atta, Suradi Partawijaya, dan lain-lain, yang acapkali
clash dan berkompetisi dengan geng anak-anak Kragilan Selatan (yang kebanyakan
anak-anak mapan dan berasal dari lingkungan kota).
Geng
anak-anak Kragilan Utara (anak-anak kampung) inilah yang selalu menang bila
terjadi clash dengan anak-anak Kragilan Selatan (anak-anak kota), karena
memiliki fisik yang jauh lebih kuat dibanding mereka (dibanding anak-anak
kota), seperti Mohammad Atta dan Suradi Partawijaya.
Dapat
dikatakan, geng kami adalah geng yang paling ditakuti di sekolah menengah
pertamaku, dan orang yang paling lemah secara fisik di geng kami adalah aku,
tapi yang paling kuat secara intelektual, hingga anggota geng kami akan
bertanya kepadaku bila mereka kesulitan untuk mencerna dan memahami mata
pelajaran-mata pelajaran di sekolah kami.
Begitu
pula, mayoritas anggota geng kami adalah anak-anak tetangga kampungku,
anak-anak yang dibesarkan oleh alam pedesaan, di mana kami disatukan oleh
latar-belakang kami dan keinginan agar tidak dilecehkan anak-anak kota yang
acapkali kurang ajar terhadap anak-anak kampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar