Hak
cipta ©Sulaiman Djaya
Di
kota Damas itu, sementara pasukan Siis tengah dalam perjalanan mereka menuju
negeri Suryan, Ilias dan Jenderal Reham mendapatkan informasi yang sangat
berharga dari salah-seorang intelijen negeri Suryan bahwa pasukan Siis pimpinan
Rakab itu juga disokong oleh Dagoner dari negeri Turik.
Berdasarkan
laporan intelijen yang memberikan informasi kepada Ilias dan Jenderal Reham
itu, Dagoner dari negeri Turik mendukung pasukan Siis karena ‘disuap’ oleh negeri
Amarik dengan bayaran yang cukup besar dan menggiurkan, juga mendapatkan
kompensasi dari negeri Najdan, dan negeri Asrail, sehingga markas pelatihan
pasukan Siis cadangan telah disiapkan di negeri Turik. Selain itu, Dagoner juga
memiliki kepentingan untuk memerangi bangsa Rudik ketika ia mendukung pasukan
Siis pimpinan Rakab yang bengis dan keji itu. Sebab, bangsa Rudik memang
dikenal ‘bermusuhan’ secara politik dengan bangsa Turik untuk yang terbilang
lama hingga saat ini.
Ketika
mengetahui hal tersebut, Ilias pun mengirimkan utusan khusus untuk menyampaikan
informasi penting itu ke negeri Farsa, ke Jenderal Roshtam agar dikirim pasukan
khusus tambahan sebagai tindakan preventif alias jaga-jaga demi sekali
kemungkinan yang bisa saja terjadi tanpa terduga, setelah Ilias mendapatkan
persetujuan dari semua yang hadir dalam rapat rahasia di kota Damas di negeri
Suryan itu.
Rapat
rahasia dan terbatas di kota Damas itu pun berhasil memutuskan untuk mencegat
dan memberi kejutan demi menyambut kedatangan pasukan Siis pimpinan Rakab, yang
setiap pasukannya langsung dipimpin Jenderal Ilias dan Jenderal Reham sendiri.
Sementara divisi-divisi yang lain, yang bukan merupakan dua pasukan utama yang
mereka bentuk berdasarkan strategi yang mereka godok dalam rapat rahasia itu,
dipimpin masing-masing oleh empat orang kepercayaan Jenderal Reham dan dua
orang kepercayaan Jenderal Ilias.
Tanpa
sepengetahuan Ilias, informasi yang ia kirim melalui seorang utusan ke Negeri
Farsa itu disampaikan juga kepada dua adiknya, Hagar dan Sophia, ketika
informasi itu telah sampai kepada Jenderal Roshtam. Tentu saja, setelah mengetahui
informasi dari Jenderal Roshtam tersebut, mereka memutuskan untuk memberitahu
Misyaila dengan kembali mengirim burung Hudan kesayangan mereka agar
menyampaikan pesan dari mereka.
Di
kota Damas di negeri Suryan itu, Jenderal Ilias dan Jenderal Reham menyepakati
bahwa mereka terlebih dahulu mengirim empat battalion pasukan untuk mencegat
secara tak terduga alias memberi kejutan yang akan menyakitkan pasukan Siis
pimpinan Rakab. Empat battalion itu masing-masing dikirim di perbatasan kota
Alepp dan Kota Hama, satu battalion yang lebih besar di kirim ke kota Ramad,
satu battalion menengah di kirim ke kota Palma, dan satu battalion lagi di
kirim ke kota Daraa, sebelum pada akhirnya serangan yang jauh lebih keras dan
mematikan akan dilakukan oleh Ilias dan Jenderal Reham sendiri.
Salah-satu
strategi pengiriman battalion itu dengan cara diam-diam, dan mereka telah
dibekali untuk membuat sekian jebakan dan perangkap untuk menyambut kedatangan
pasukan Siis pimpinan Rakab yang kini mendapat dukungan juga dari Dagoner,
seorang penguasa negeri Turik yang terkenal bermusuhan dengan bangsa Rudik itu.
Sementara Jenderal Ilias dan Jenderal Reham sendiri masing-masing mengirim
pasukan khusus rahasia untuk membuat kekacauan di kota Nakara di negeri Turik
dan di kota Rajna di negeri Najdan. Sedangkan masing-masing mereka telah
menyiapkan diri dengan pasukan khusus masing-masing dalam rangka menggempur
pasukan Siis dari udara bila pasukan Siis itu telah sampai di beberapa kota di
negeri Suryan.
Di
tempat lain, di negeri Farsa di kota Naheret, Hagar dan Sophia telah mengirim
si burung Hudan untuk kembali memberikan atau menyampaikan kabar kepada
Misyaila tentang situasi dunia yang akan terjadi. Dengan patuh dan tanpa ragu,
si burung Hudan itu segera melesat cepat menuju ke sebuah negeri di mana
Misyaila tinggal dan berada, ke negeri yang jalur dan arahnya kini telah ia
hapal dengan sangat baik melalui perjalanan intuitif dan telepatik sebelumnya.
Di
sisi lain, pasukan Siis yang kini jumlahnya lebih besar dan lebih banyak telah
berhasil mendarat di negeri Suryan tanpa perlawanan yang berarti sama-sekali,
yang tentu saja hal itu di luar dugaan mereka yang mengira akan mendapatkan perlawanan
dalam pendaratan mereka, yang memang hal itu ‘disengaja’ oleh Jenderal Ilias
dan Jenderal Reham sendiri untuk melawan dan menghajar mereka di darat, karena
mereka jauh lebih paham dan lebih mengenal negeri mereka sendiri ketimbang
pasukan Siis, dan karena itu, melancarkan serangan di darat jauh lebih baik
bagi mereka dan pasukan-pasukan mereka ketimbang melakukannya di laut, di mana
peperangan di laut akan membutuhkan banyak kendaraan amfibi dan atau
kapal-kapal laut, sementara negeri Suryan sendiri dapat dibilang tidak memiliki
peralatan lengkap yang dibutuhkan untuk melancarkan serangan di laut.
Dengan
semangat yang gegap-gempita, menggebu, dan persenjataan lengkap, pasukan Siis
itu turun dari kapal raksasa yang mengangkut mereka. Barisan pasukan Siis
pimpinan Rakab itu tampak besar dan begitu banyak dengan pakaian khas mereka
dan rambut mereka yang seperti mirip rambut gimbal, sebuah pasukan yang tak
ragu lagi, akan dapat menguasai negeri Suryan dengan mudah dengan jumlah dan
kekuatan mereka serta lengkapnya persenjataan mereka, bila tak ada perlawanan
yang gigih dan sebanding dari pihak lawan-lawan mereka.
Persis
setelah Misyaila mendapatkan kabar dari si burung Hudan yang datang kepadanya
atas keinginan Hagar dan Sophia itu, Misyaila pun memutuskan untuk terlebih
dahulu menuju ke Negeri Telaga Kahana, sebelum memenuhi permintaan Hagar dan
Sophia.
Keputusan
Misyaila itu tak lain dan tak bukan karena ia telah lama menahan kerinduan
untuk bersua dengan Siswi Karina dan Zipora, terutama Zipora yang meski tak
mengungkapkan kesedihannya, Misyaila tahu bahwa ada benih-benih duka dalam hati
Zipora setelah ia berpisah dengan ketiga anak kesayangannya: Ilias, Hagar, dan
Sophia. Untung saja, benih-benih luka itu sedikit terobati dengan kehadiran Siswi
Karina, sehingga ia tak menjadi lapuk karena kesepian yang harus ia tanggung.
Dengan
kereta kuda ajaib super cepat kesayangannya itu, Misyaila pun melesat
menerbangkan kereta kudanya bersama-sama dengan terbangnya si burung Hudan,
meski mereka harus berpisah pada separuh jalan, karena si burung Hudan harus
memberi laporan kepada Hagar dan Sophia, setelah ia melaksanakan tugas yang
diembankan kepadanya.
Saat
mereka berangkat bersama-sama itu, pagi baru saja terbangun, sementara
benih-benih embun masih tampak melekat di milyaran daun-daun yang sunyi dan
tampak masih tertunduk dengan santun. Tentu saja cuaca masih terasa dingin bagi
si burung Hudan, namun tak begitu dingin bagi Misyaila yang mengenakan pakaian
bulu yang cukup tebal.
Dan
di hari itu ada yang berbeda bagi si burung Hudan, sebab kini ia telah memiliki
sedikit tambahan kesaktian, setelah Misyaila menyentuhkan tangan ajaibnya ke
tubuh si burung Hudan, sehingga ia tak lagi akan merasakan kelelahan meski
terbang dalam jarak yang sangat jauh, sejauh apa pun perjalanan yang ia tempuh
sebagai si burung yang bekerja sebagai penyampai pesan dan berita.
Jauh
sebelum siang menjadi genap, alias ketika hari berada di antara batas pagihari
dan sianghari, mereka pun telah sampai ke tempat tujuan mereka masing-masing:
Misyaila telah sampai di Negeri Telaga Kahana dan si burung Hudan telah sampai
di kota Naheret di negeri Farsa.
Di
negeri Telaga Kahana itu, Zipora cukup merasa terkejut dengan kehadiran Misyaila.
“Aku tak menyangka kau akan datang tanpa kuduga,” ujar Zipora.
“Berterimakasih-lah kepada anak-anakmu, Zipora!” balas Misyaila, “Sebab
kedatanganku ini sangat berkaitan dengan kabar yang disampaikan kedua putri
kesayanganmu, Hagar dan Sophia, di negeri Farsa.” “Berkaitan dengan apa itu?”
Tanya Zipora. “Putra kesayanganmu, Ilias, kini telah menjadi seorang jenderal,
dan saat ini ia tengah mendapatkan tugas dari negeri Farsa untuk membantu
negeri Suryan dari gempuran para penjajah yang berusaha menaklukkan negeri
tersebut.”
Ada
rasa bangga sekaligus rasa khawatir dalam hati Zipora ketika mendengar tentang
kabar putra kesayangannya tersebut. Bagaimana pun bagi Zipora, Ilias adalah
harapan terakhir yang akan menjadi pemimpin di keluarganya sekaligus meneruskan
kepemimpinan almarhum suaminya di Negeri Telaga Kahana, sebagaimana juga yang
diharapkan oleh warga alias para penduduk Negeri Telaga Kahana yang memiliki
kekayaan Kristal yang diinginkan bangsa Amarik itu.
“Ilias
terlalu cepat dewasa,” kata Zipora. “Tak usah kau khawatirkan Ilias, Zipora!”
sergah Misyaila, “percayalah, setelah ia dididik cukup lama di Negeri Farsa, ia
akan mampu menjaga dan mengurus dirinya sendiri, dan kelak ia akan dapat
diandalkan untuk meneruskan tugas almarhum suami tercintamu!”. “Kekhawatiranku
cukup beralasan, Misyaila!” balas Zipora, “ia adalah satu-satunya putraku dan
satu-satunya yang menjadi harapanku agar ia benar-benar mau pulang ke negerinya
sendiri untuk meneruskan tugas almarhum suamiku!”. “Sudahlah, jangan kau bebani
dirimu dengan segala kekhawatiranmu, lebih baik kita berdoa saja bagi semua
anak-anakmu!”
Pada
saat itu pula, Misyaila menyempatkan untuk menyapa sahabatnya, Siswi Karina,
setelah sekian lama mereka tak bersama. “Bagaimana dengan keadaanmu, Siska?”
Tanya Misyaila. “Aku cukup bahagia di sini, dan mendapatkan banyak pelajaran
berharga dari Zipora.” Mendengar jawaban Siswi Karina itu, Zipora tampak
sedikit tersipu, dan hal itu pun diketahui oleh Misyaila. “Syukurlah jika
demikian!” ujar Misyaila, “dan aku harap kalian telah menjadi sahabat satu sama
lain setelah sekian lama hidup bersama.”
Di
tempat lain, di kota Naheret di negeri Farsa, si burung Hudan menceritakan
semua perihal tugas yang telah dilaksanakannya untuk memberi kabar kepada
Misyaila seperti yang diperintahkan Hagar dan Sophia. Ia ceritakan dan
sampaikan kepada Hagar dan Sophia bahwa Misyaila saat itu tengah berada di
Negeri Telaga Kahana untuk menjenguk dan mengunjungi ibunda Hagar dan Sophia.
Tak
ragu lagi, Hagar dan Sophia merasa sangat gembira dengan apa yang diceritakan
si burung Hudan. Betapa kangen dan rindunya mereka kepada ibunda mereka, rasa
rindu yang selama ini mereka tanggung dengan sabar demi menuntut ilmu di negeri
Farsa. Karena rasa gembira itulah, mereka pun menghadiahi kalung Kristal yang
memiliki daya magis dan kekuatan mantra ajaib kepada si burung Hudan. Hadiah
kalung Kristal tersebut tentu saja sangat bernilai istimewa, sebab kalung
Kristal itu merupakan salah-satu warisan Zipora bagi Sophia dan Hagar. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar