Review dan ulasan Ini adalah bagian dari
pemeriksaan Islam Times atas gulungan kawat diplomat Amerika Serikat di
Jakarta yang jatuh ke tangan pengelola situs WikiLeaks dan kini bisa diakses
oleh siapa saja. Kami memutuskan memberi perhatian khusus di tengah keputusan
banyak media menutup mata pada informasi penting dalam dokumen. Inilah kisah
yang tak ingin didengar diplomat Amerika di Jakarta dan seluruh aset dan
orang-orang yang pernah dan mungkin masih bermitra dengan mereka, swasta,
partikelir, ataupun pejabat. Sebuah drama berbalut kasak-kusuk, spionase, dan
cerita tentang loyalitas yang tergadai.
Dalam tulisan sebelumnya, Islam Times telah memaparkan ‘kesalahan fantastis’ koran tersohor Australia, The Age, dalam memahami dan melaporkan isi sebuah kawat diplomat Amerika di Jakarta yang mereka dapatkan secara eksklusif dari WikiLeaks pada Maret 2011. Pemeriksaan lanjutan menunjukkan kalau koran menerapkan sejenis apartheisme atas mereka yang namanya muncul dalam telegram sebagai informan kedutaan. Koran The Age, misalnya, tak masalah memberitakan kedekatan khusus T.B. Silalahi (bekas pejabat istana) dan Yahya Asagaf (orang dekat Syamsir Siregar, bekas Kepala BIN) dengan kalangan diplomat Amerika di Jakarta. Tapi, saat yang sama, koran seperti sengaja menyembunyikan identitas Yenny Wahid dan Dave Laksono meski telegram yang menjadi rujukan mereka adalah telegram yang sama yang memuat cerita T.B. Silalahi dan Yahya.
Yenny Wahid, bedasarkan sebuah telegram bertajuk “A Cabinet Of One — Indonesia’s First Lady Expands Her Influence (dikawatkan dari Jakarta pada 17 Oktober 2007 dengan status “Rahasia” oleh Joseph Legend Novak, perwira politik kedutaan), adalah “staf kepresidenan yang mengklaim pada medio Juni 2007 kalau sejumlah keluarga Ibu Negara Kristiani Yudhoyono secara khusus mengincar peluang-peluang bisnis di Badan Usaha Negara”. Yenny, kata telegram, menggambarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bermain cantik, mendorong operator-operator terdekatnya (semisal Sudi Silalahi) di depan dan dia sendiri mempertahankan cukup jarak demi mencegah kemungkinan tersangkut.
Dalam tulisan sebelumnya, Islam Times telah memaparkan ‘kesalahan fantastis’ koran tersohor Australia, The Age, dalam memahami dan melaporkan isi sebuah kawat diplomat Amerika di Jakarta yang mereka dapatkan secara eksklusif dari WikiLeaks pada Maret 2011. Pemeriksaan lanjutan menunjukkan kalau koran menerapkan sejenis apartheisme atas mereka yang namanya muncul dalam telegram sebagai informan kedutaan. Koran The Age, misalnya, tak masalah memberitakan kedekatan khusus T.B. Silalahi (bekas pejabat istana) dan Yahya Asagaf (orang dekat Syamsir Siregar, bekas Kepala BIN) dengan kalangan diplomat Amerika di Jakarta. Tapi, saat yang sama, koran seperti sengaja menyembunyikan identitas Yenny Wahid dan Dave Laksono meski telegram yang menjadi rujukan mereka adalah telegram yang sama yang memuat cerita T.B. Silalahi dan Yahya.
Yenny Wahid, bedasarkan sebuah telegram bertajuk “A Cabinet Of One — Indonesia’s First Lady Expands Her Influence (dikawatkan dari Jakarta pada 17 Oktober 2007 dengan status “Rahasia” oleh Joseph Legend Novak, perwira politik kedutaan), adalah “staf kepresidenan yang mengklaim pada medio Juni 2007 kalau sejumlah keluarga Ibu Negara Kristiani Yudhoyono secara khusus mengincar peluang-peluang bisnis di Badan Usaha Negara”. Yenny, kata telegram, menggambarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bermain cantik, mendorong operator-operator terdekatnya (semisal Sudi Silalahi) di depan dan dia sendiri mempertahankan cukup jarak demi mencegah kemungkinan tersangkut.
Dave Laksono adalah putra Agung Laksono (bekas Ketua DPR) yang, dalam sejumlah telegram, digambarkan sebagai “operator politik Agung”. Dia lah yang menyebutkan kalau dalam sebuah pertemuan dengan Agung Laksno pada 5 Juni 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluhkan kegagalannya membangun benteng bisnis yang memadai. “Dave – yang tidak mengindikasikan apakah dia turut hadir dalam diskusi itu – bilang Yudhoyono merasa perlu “mengejar ketertinggalan” dan berspekulasi kalau Presiden SBY mungkin ingin memastikan kelak dia bisa mewariskan harta yang cukup besar untuk anak-anaknya.”
Dari pemeriksaan lebih jauh, Islam Times mendapati kalau dalam kawat ke Washington, pihak kedutaan juga menerapkan perlakukan berbeda atas informan mereka di Jakarta. Sebagian mereka sebut begitu saja, nama, jabatan ataupun profesi lalu informasi yang mereka bisikkan ke pihak kedutaan. Ini misalnya terjadi pada informan semacam Dave Laksono, T.B. Silalahi, Yahya Assegaf, Fachri Hamzah, Zulkiflimansyah dan masih banyak lagi. Tapi sebagian nama informan lainnya mereka sebut dengan catatan khusus, “Strictly Protect”, dan sejumlah nama lainnya lagi mereka beri catatan “Please Protect” dan inilah subjek seri tulisan kali ini.
Makna “Strictly Protect” & “Please Protect”
Belum ada informasi resmi, dan mungkin tak akan pernah ada, soal apa makna “Strictly Protect”, secara harfiah berarti “Lindungi dengan Ketat”, dan “Please Protect” (“Tolong Lindungi”) dalam telegram diplomat Amerika. Tapi sebagian kalangan percaya kalau kedua frase ini ‘sensitif’ dan merujuk pada orang-orang yang berbicara dalam kerahasiaan dengan pihak kedutaan. Ada pula yang berpendapat kalau kedua predikat itu berlaku bagi mereka yang memberi informasi secara reguler dan sensitif dan sebab itu lah kedutaan meminta Washington menjaganya rapat-rapat.
(Catatan Islam Times: keberadaan frase “Strictly Protect” dan “Please Protect” dalam telegram telah mendorong pejabat Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat dan kalangan “pegiat hak asasi” menyesalkan keputusan WikiLeaks memajang telegram tanpa sensor. Mereka bilang pemuatan nama bisa membawa dampak memukul bagi kalangan aktivis, jurnalis dan tokoh-tokoh masyarakat sipil yang menjadi informan kedutaan Amerika, utamanya mereka yang tinggal di negara “otoriter”).
Dari
pemeriksaan, Islam Times mendapati kalau frase “Strictly Protect” ada
di setengah lusin lebih telegram dari Kedutaan Amerika di Jakarta, sementara
“Please Protect” muncul dalam 38 telegram – dari total 3.059 telegram sekaitan
Indonesia sejauh ini.
Pemeriksaan
lainnya menunjukkan kalau pada setiap mereka yang berstatus khusus itu punya
kisahnya tersendiri, yang kemudian menjadi bagian dari informasi penting, dan
juga kabar burung, yang dikawatkan para diplomat Amerika di Jakarta ke boss-boss
mereka di Washington.
Berikut nama sejumlah pihak yang dalam telegram diplomat Amerika diberi predikat “Strictly Protect”:
Berikut nama sejumlah pihak yang dalam telegram diplomat Amerika diberi predikat “Strictly Protect”:
Yenny Wahid
Nama Yenny Wahid muncul di 16 kawat diplomatik, sejauh ini. (Sebagai perbandingan, “Dave Laksono” muncul di delapan telegram, “Yahya Asagaf” enam telegram, “T.B Silalahi” 17 telegram dan “Kristiani Yudhoyono” delapan telegram).
Diplomat
Amerika umumnya menggambarkan Yenny sebagai pejabat senior Partai Kebangkitan
Bangsa, sekali sebagai staf presiden (catatan: Yenny memang pernah bekerja
sebagai staf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), yang membagi banyak cerita,
termasuk kirsuh dualisme kepemimpinan di PKB, soal hubungan khusus FPI dan dan
pihak-pihak keamanan (polisi dan intelijen), soal dukungan diam-diam PKB pada
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (di saat Yenny Wahid menampilkan
diri di media sebagai musuh presiden) dan beberapa soal lainnya.
Namun
dari semua itu, di sebuah telegram (bertajuk “Indonesian Biographical And
Political Gossip, Q2 2006”, dikawatkan dari Jakarta pada 3 Juli 2006 oleh
perwira politik kedutaan, David R. Greenberg), frase “strictly protect” muncul
setelah penulisan nama Yenny: “Dalam sebuah pertemuan pada Juni, Deputi
Sekretaris Jenderal PKB Yenny Wahid (strictly protect) mengkonfirmasi ke kami
kalau orang dekat Yudhoyono yang telah menekan seorang jaksa untuk menjatuhkan
putusan yang merugikan Gus Dur dalam kasus yang telah disebutkan lebih dulu …
adalah Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi … .”
Eko Sandjojo
Sejauh ini, nama Eko Sandjojo hanya muncul sekali dalam kawat diplomatik: “Indonesian Biographical And Political Gossip, Q2 2006”, dikawatkan dari Jakarta pada 3 Juli 2006 oleh perwira politik kedutaan, David R. Greenberg. Dalam sub judul “PKB BUYS FAVORABLE COURT VERDICT”, Greenberg menulis: “Orang yang bersimpati pada Tuan Besar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdurrahman Wahid (alias Gus Dur), membayar hakim Rp 3 miliar (sekitar US$ 322.000), sebagai sogok guna memenangkan sebuah persidangan pada 2006, agar hakim memberi wewenangan sah kepengurusan pada kubu Wahid dan bukan pada musuh-muuhnya. Cerita ini datang dari Presiden Direktur Sierad, Eko Sandjojo (strictly protect), yang juga punya hubungan dekat dengan PKB. Eko mengklaim tahu informasi ini sebab salah seorang pengacara ternama, Soesilo Aribowo, yang juga bekerja untuk Eko (atau Sierad), telah menyalurkan uang itu ke hakim-hakim.”
Eko Sandjojo
Sejauh ini, nama Eko Sandjojo hanya muncul sekali dalam kawat diplomatik: “Indonesian Biographical And Political Gossip, Q2 2006”, dikawatkan dari Jakarta pada 3 Juli 2006 oleh perwira politik kedutaan, David R. Greenberg. Dalam sub judul “PKB BUYS FAVORABLE COURT VERDICT”, Greenberg menulis: “Orang yang bersimpati pada Tuan Besar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdurrahman Wahid (alias Gus Dur), membayar hakim Rp 3 miliar (sekitar US$ 322.000), sebagai sogok guna memenangkan sebuah persidangan pada 2006, agar hakim memberi wewenangan sah kepengurusan pada kubu Wahid dan bukan pada musuh-muuhnya. Cerita ini datang dari Presiden Direktur Sierad, Eko Sandjojo (strictly protect), yang juga punya hubungan dekat dengan PKB. Eko mengklaim tahu informasi ini sebab salah seorang pengacara ternama, Soesilo Aribowo, yang juga bekerja untuk Eko (atau Sierad), telah menyalurkan uang itu ke hakim-hakim.”
(Catatan Islam
Times: PT Sierad Produce Tbk adalah perusahaan pakan ternak yang sahamnya
diperdagangkan di bursa efek Jakarta.)
Poempida Hidayatulloh
Nama Peompida muncul di setidaknya sembilan kawat diplomatik. Diplomat Amerika memasang frase “Strictly Protect” untuk dia saat mengirim kabar berikut ke Washington pada 3 Juni 2006: “Bekas Komando Kopassus Prabowo Subianto kerap naik penerbangan komersil ke Bangkok untuk bersua pacarnya, seorang gadis Thailand yang tinggal di sana, menurut Deputi Bendahara Partai Golkar Poempida Hidayatulloh (strictly protect), yang sebelumnya punya hubungan dekat dengan Prabowo. Poempida mengklaim kalau Prabowo telah membuatkan sebuah perusahaan bisnis untuk pacarnya itu, dan pasangan itu cukup akrab hingga mereka semestinya sudah menikah andai Prabowo tak mencemaskan dampak berlanjut punya seorang istri berkewarganegaraan asing pada ambisinya merebut kursi kepresidenan.”
S. Eben Kirksey
Telegram menggambarkan dia adalah “seorang akademisi Amerika” yang ikut menulis laporan kemungkinan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam kasus terbunuhnya dua orang warga Amerika dan seorang warga lokal di Timika, Papua, pada tahun 2002.
Poempida Hidayatulloh
Nama Peompida muncul di setidaknya sembilan kawat diplomatik. Diplomat Amerika memasang frase “Strictly Protect” untuk dia saat mengirim kabar berikut ke Washington pada 3 Juni 2006: “Bekas Komando Kopassus Prabowo Subianto kerap naik penerbangan komersil ke Bangkok untuk bersua pacarnya, seorang gadis Thailand yang tinggal di sana, menurut Deputi Bendahara Partai Golkar Poempida Hidayatulloh (strictly protect), yang sebelumnya punya hubungan dekat dengan Prabowo. Poempida mengklaim kalau Prabowo telah membuatkan sebuah perusahaan bisnis untuk pacarnya itu, dan pasangan itu cukup akrab hingga mereka semestinya sudah menikah andai Prabowo tak mencemaskan dampak berlanjut punya seorang istri berkewarganegaraan asing pada ambisinya merebut kursi kepresidenan.”
S. Eben Kirksey
Telegram menggambarkan dia adalah “seorang akademisi Amerika” yang ikut menulis laporan kemungkinan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam kasus terbunuhnya dua orang warga Amerika dan seorang warga lokal di Timika, Papua, pada tahun 2002.
Saat
menuliskan nama Eben dalam telegram, diplomat Amerika memasang himbauan “please
strictly protect”. Islam Times mendapati kalau ada cerita
besar yang mengiringi masuknya nama Eben dalam telegram. Sebuah kontroversi
yang lain dan ini melibatkan nama Andreas Harsono, seorang yang dalam telegram
digambarkan sebagai “penulis freelance tersohor”, dan menjadi mitra Eben dalam
menulis laporan kontroversial soal insiden berdarah di Timika.
(Catatan
Islam Times: Lebih jauh soal laporan bersama Eben dan Andreas soal
insiden berdarah di Timika, berjudul Murder at Mile 63 bisa dilihat
di http://andreasharsono.blogspot.com/2008_08_01_archive.html
dan http://www.etan.org/news/2007/04mile63.htm)
Telegram bertajuk “Labor/human Rights Contacts Allege Harassment, Possibly By Goi Agencies”, dikawatkan dari Jakarta pada 2 September 2008, oleh perwira politik kedutaan, Joseph L. Novak, merangkum isi pertemuan antara pihak kedutaan dan Andreas pada 26 Agustus 2008. (Andreas digambarkan lebih jauh sebagai seorang tokoh pergerakan demokrasi dan kebebasan pers di era-Suharto dan juga sebagai penerima beasiswa ternama Nieman Fellow di Harvard University).
Telegram bertajuk “Labor/human Rights Contacts Allege Harassment, Possibly By Goi Agencies”, dikawatkan dari Jakarta pada 2 September 2008, oleh perwira politik kedutaan, Joseph L. Novak, merangkum isi pertemuan antara pihak kedutaan dan Andreas pada 26 Agustus 2008. (Andreas digambarkan lebih jauh sebagai seorang tokoh pergerakan demokrasi dan kebebasan pers di era-Suharto dan juga sebagai penerima beasiswa ternama Nieman Fellow di Harvard University).
Dalam
rangkuman atas laporan, Novak menulis: “Seorang penulis freelance ternama
Indonesia – dan seorang bekas fellow di Harvard – bilang ke Labatt (Labour
Attache, red. Islam Times) kalau dia percaya dia sedang dalam
intaian lembaga-lembaga intelejen pemerintah Indonesia. Dia bilang kalau ini
mungkin karena laporan investigasinya atas isu-isu hak asasi manusia. Dia
meminta USG (United Stated Goverment, red. Islam Times) menyimpan
rapat-rapat urusan ini sementara waktu agar tak menambah besar perhatian atas
dirinya. Kontak-kontak di organisasi buruh juga membisikkan ke Labatt seputar
apa yang mereka tuduhkan sebagai pengintaian dan pelecehan oleh lembaga-lembaga
intelijen. Jika akurat, kasus-kasus ini mungkin terkait dengan meningkatnya
kepekaan Pemerintah Indonesia menjelang Pemilu 2009 ….”
Telegram lebih jauh juga menjelaskan hal yang melatari terjadinya briefing Andreas pada pihak kedutaan. Kata telegram: Andreas mengirim sebuah pesan ke organisasi hak asasi manusia di Amerika, yang memuat kecemasannya, yang kemudian diteruskan oleh DRL (Departement of Right & Labour, red. Islam Times) ke Labatt. Harsono bilang ke Labatt kalau pihak kedutaan maupun DRL sebaiknya tak mengambil langkah apa pun yang bisa mengundang perhatian atas dirinya, dan pesan apapun yang mungkin kita sampaikan ke Pemerintah Indonesia atas nama dirinya mungkin tak akan membantu. Dia bilang dia tak begitu percaya kalau dirinya dalam bahaya meski dia sedikit cemas. Kami berjanji untuk bertemu secara reguler untuk memonitor situasi.”
(Catatan Islam Times: dari pemeriksaan arsip media Jakarta, Andreas pernah diberitakan bekerja untuk Human Right Watch, organisasi pemantau hak asasi berbasis New York. Dia juga belakangan sempat diberitakan sebagai pihak awal yang ikut mempublikasi video sadis pembantaian orang-orang Ahmadiyah di Banten ke situs YouTube.com yang kemudian memicu kehebohan publik lalu kecaman dari Kementrian Luar Negeri Amerika yang menuding minimnya perlindungan negara pada apa yang mereka sebut sebagai kelompok-kelompok minoritas. Pada 5 September, Kantor Berita 68H sempat mewawancarai Andreas, meminta komentarnya sekaitan apa yang mereka sebut keyakinan FPI kalau dokumen WikiLeaks hanya ‘permainan’ kedutaan Amerika. Andreas nampaknya belum sadar – atau mungkin pura-pura tidak tahu – kalau namanya ikut menghiasi dokumen WikiLeaks. Soal terakhir bisa dilihat di: http://www.kbr68h.com/berita/wawancara/11813-andreas-harsono-buktikan-kedekatan-polisi-fpi-)
Agus Mantik, A.S. Kobalen, Made Erata, Gusti Widana
Keempat nama ini hanya sekali muncul dalam telegram, yakni telegram bertajuk “Hindus Lament “islamization” Of Indonesia”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Sanjay Ramesh, pada 1 Februari 2007: “Pada 24 Januari, Poloff (political officer, red. Islam Times) menggelar pertemuan dengan beberapa pejabat Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) termasuk pimpinannya Agus Mantik, Direktur Komunikasi Internasional A.S. Kobalen, Kepala Pengurus Harian Made Erata, dan Sekretaris Jenderal Gusti Widana. (Strictly Protect)….”
Dalam rangkuman telegram, Ramesh menulis: “Beberapa pemimpin ternama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PDHI) bilang ke kami kalau komunitas Hindu menghadapi peningkatan diskriminasi di tangan sebuah pemerintah dan komunitas Muslim Indonesia yang gemar mengislamkan kalangan lain. Dalam sebuah diskusi pada 24 Januari, mereka mengklaim kalau “Islamisasi Indonesia” telah berujung pada sebuah peraturan pemerintah tentang pembangunan tempat beribadah, yang telah diberlakukan dan mereka anggap punya syarat-syarat yang berat bagi kelompok-kelompok agama minoritas yang ingin membangun tempat ibadah yang baru. Bos-bos PHDI menuduh kalau umat Hindu di Jawa yang ingin mendapatkan layanan publik, termasuk akte lahir dan surat nikah, menghadapi diskriminasi yang menyeluruh. Bos-bos PHDI bilang kalau nestapa umat Hindu hanya mendapat sedikit perhatian mengingat komunitas Hindu tak punya dukungan internasional dan sumber-sumber keuangan seperti halnya umat Kristiani….”
Georges Paclisanu
Nama Georges Paclisanu, boss besar Palang Merah Internasional, muncul dalam telegram bertajuk “Acehnese Villagers Exhuming Conflict Victims’ Graves”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Stanley J. Harsha, pada 18 Oktober 2006.
“Orang-orang desa di Aceh menggali kuburan mereka yang mati dibunuh dalam konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia, kata George Paclisanu (strictly protect), Kepala Delegasi Parang Merah Internasional (ICRC), ke kami belum lama ini,” kata telegram.
Telegram lebih jauh juga menjelaskan hal yang melatari terjadinya briefing Andreas pada pihak kedutaan. Kata telegram: Andreas mengirim sebuah pesan ke organisasi hak asasi manusia di Amerika, yang memuat kecemasannya, yang kemudian diteruskan oleh DRL (Departement of Right & Labour, red. Islam Times) ke Labatt. Harsono bilang ke Labatt kalau pihak kedutaan maupun DRL sebaiknya tak mengambil langkah apa pun yang bisa mengundang perhatian atas dirinya, dan pesan apapun yang mungkin kita sampaikan ke Pemerintah Indonesia atas nama dirinya mungkin tak akan membantu. Dia bilang dia tak begitu percaya kalau dirinya dalam bahaya meski dia sedikit cemas. Kami berjanji untuk bertemu secara reguler untuk memonitor situasi.”
(Catatan Islam Times: dari pemeriksaan arsip media Jakarta, Andreas pernah diberitakan bekerja untuk Human Right Watch, organisasi pemantau hak asasi berbasis New York. Dia juga belakangan sempat diberitakan sebagai pihak awal yang ikut mempublikasi video sadis pembantaian orang-orang Ahmadiyah di Banten ke situs YouTube.com yang kemudian memicu kehebohan publik lalu kecaman dari Kementrian Luar Negeri Amerika yang menuding minimnya perlindungan negara pada apa yang mereka sebut sebagai kelompok-kelompok minoritas. Pada 5 September, Kantor Berita 68H sempat mewawancarai Andreas, meminta komentarnya sekaitan apa yang mereka sebut keyakinan FPI kalau dokumen WikiLeaks hanya ‘permainan’ kedutaan Amerika. Andreas nampaknya belum sadar – atau mungkin pura-pura tidak tahu – kalau namanya ikut menghiasi dokumen WikiLeaks. Soal terakhir bisa dilihat di: http://www.kbr68h.com/berita/wawancara/11813-andreas-harsono-buktikan-kedekatan-polisi-fpi-)
Agus Mantik, A.S. Kobalen, Made Erata, Gusti Widana
Keempat nama ini hanya sekali muncul dalam telegram, yakni telegram bertajuk “Hindus Lament “islamization” Of Indonesia”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Sanjay Ramesh, pada 1 Februari 2007: “Pada 24 Januari, Poloff (political officer, red. Islam Times) menggelar pertemuan dengan beberapa pejabat Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) termasuk pimpinannya Agus Mantik, Direktur Komunikasi Internasional A.S. Kobalen, Kepala Pengurus Harian Made Erata, dan Sekretaris Jenderal Gusti Widana. (Strictly Protect)….”
Dalam rangkuman telegram, Ramesh menulis: “Beberapa pemimpin ternama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PDHI) bilang ke kami kalau komunitas Hindu menghadapi peningkatan diskriminasi di tangan sebuah pemerintah dan komunitas Muslim Indonesia yang gemar mengislamkan kalangan lain. Dalam sebuah diskusi pada 24 Januari, mereka mengklaim kalau “Islamisasi Indonesia” telah berujung pada sebuah peraturan pemerintah tentang pembangunan tempat beribadah, yang telah diberlakukan dan mereka anggap punya syarat-syarat yang berat bagi kelompok-kelompok agama minoritas yang ingin membangun tempat ibadah yang baru. Bos-bos PHDI menuduh kalau umat Hindu di Jawa yang ingin mendapatkan layanan publik, termasuk akte lahir dan surat nikah, menghadapi diskriminasi yang menyeluruh. Bos-bos PHDI bilang kalau nestapa umat Hindu hanya mendapat sedikit perhatian mengingat komunitas Hindu tak punya dukungan internasional dan sumber-sumber keuangan seperti halnya umat Kristiani….”
Georges Paclisanu
Nama Georges Paclisanu, boss besar Palang Merah Internasional, muncul dalam telegram bertajuk “Acehnese Villagers Exhuming Conflict Victims’ Graves”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Stanley J. Harsha, pada 18 Oktober 2006.
“Orang-orang desa di Aceh menggali kuburan mereka yang mati dibunuh dalam konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia, kata George Paclisanu (strictly protect), Kepala Delegasi Parang Merah Internasional (ICRC), ke kami belum lama ini,” kata telegram.
Isi telegram selebihnya menceritakan apa yang didengar dan dilihat sendiri oleh Georges saat menyaksikan pembongkaran kubur itu dalam sebuah kunjungan ke Aceh, plus penilaiannya atas dampak konflik di Aceh, sebuah isyarat adanya pelanggaran janji ‘kenetralan’ dalam kerja ICRC di Indonesia.
Wakil Indonesia dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan Timor Leste-Indonesia (CTF)
Dalam telegram bertajuk “East Timor/Indonesia Final Report Holds Goi Institutions Accountable”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Joseph Legend Novak, pada 24 April 2008, seseorang yang digambarkan sebagai “wakil Indonesia” di CTF menunjukkan ke seorang perwira politik kedutaan Excutive Summary laporan final CTF pada 22 April.
Kata telegram, laporan intinya menyebutkan kalau secara institusi, Pemerintah Indonesia, bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi berat di Timor Timur pada 1999. “Laporan menyebut personel militer, polisi dan pejabat sipil yang berkontribusi pada kekerasan via kerjasama mereka dengan milisi-milisi pro-integrasi.”
Telegram juga bilang: “Sumber orang Indonesia ini (strictly protect) telah meminta kalau semua referensi yang bisa merujuk pada dirinya dan fakta dari laporan yang kami lihat dirahasiakan mengingat laporan itu belum beredar secara resmi di pihak pemerintah Indonesia dan Timor Leste. Executive Summary dan naskah lengkap laporan final baru akan diserahkan ke presiden masing-masing negara dalam beberapa hari ke depan.”
Court Monitor
Court Monitor adalah nama sebuah lembaga berbasis Indonesia yang menyediakan jasa pengintaian dan pengamatan untuk Kedutaan Amerika. Ada sejumlah telegram yang menggambarkan tentang sepak terjang lembaga ini, meski tak ada satupun nama yang muncul tentang siapa sosok di baliknya.
Tapi sebuah telegram bertajuk “Terrorist Trials — New Funding Needed For Court Monitor”, dikawatkan oleh perwira politik kedutaan, Stan Harsha (kemungkinan ini nama pendek Stanley R. Harsha, red. Islam Times), pada 28 November 2007, dengan status RAHASIA, mungkin bisa memberi pengantar yang cukup.
Dalam
rangkuman telegram, Stanley menulis: “Dalam dua tahun terakhir, sebuah lembaga
sewaan lokal, Court Monitor, telah menyediakan informasi berharga sekaitan
persidangan hampir semua teroris paling berbahaya Indonesia. Di tengah kondisi
kas yang menipis, Kedutaan meminta pendanaan baru dari Departemen (Luar Negeri,
red. Islam Times) agar hubungan produktif ini bisa berlanjut.
Dengan dukungan dana Tahun Anggaran 2005, Court Monitor telah mengamati dan
secara rahasia melaporkan ke kami persidangan lebih dari 75 teroris, umumnya
terkait jaringan teror Jamaah Islamiyah, dan menyediakan ke kami salinan
dokumen pengadilan yang biasanya tak bisa diperoleh. Monitor juga telah membina
hubungan dengan pihak pengacara yang tergabung dalam Tim Pembela Muslim (TPM),
yang kemudian menjadi sumber informasi tambahan. Monitor adalah aset berharga
dalam upaya counter-terorisme Kedutaan di Indonesia, dan sebab itu menjadi
penting menjaga keberlanjutannya.”
Isi telegram memberi gambaran lebih dalam soal Court Monitor. Telegram menggambarkan tokoh utama dalam Court Monitor adalah “seorang perempuan” yang secara rutin menyediakan ke pihak Kedutaan informasi sekaitan dakwaan atas terdangka kasus-kasus terorisme, kualitas dakwaan, dan strategi tim pengacara yang terlibat. Perempuan ini – disebutkan juga digambarkan menyerahkan seabrek dokumen, termasuk dokumen dakwaan, replik, duplik, dan putusan pengadilan, sesuatu yang membuat Kedutaan punya “otoritas” dalam melaporkan jalannya persidangan.
Telegram juga bilang kalau hubungan sang perempuan pemilik Court Monitor dan Kedutaan “so sensitive” hingga tak dipublikasi dan identitasnya “strictly protected”. Informasi lain menggambarkan dia sebagai “perempuan Indonesia yang mampu berbahasa Inggris, punya latar belakangan hukum dan kehadirannya di banyak persidangan kasus terorisme menjadi leluasa dan tak mengundang perhatian sebab dia menggunakan jubah “penelitian hukum”, dan sebab itu pula kaitannya dengan Kedutaan tak terungkap. Telegram juga bilang kemampuan sang perempuan melakukan semua itu “sangat penting”, menghilangkan relevansi kedutaan mengirim orang ke persidangan yang justru bisa “memperkuat kredibilitas tim pengacara terdakwa terorisme”.
Telegram juga bilang kalau Kedutaan meminta pendanaan tambahan US$ 20.000 untuk “membina hubungan” dengan Court Monitor hingga dua tahun setelahnya. Kata telegram, angka itu adalah “investasi murah” untuk hasil yang “substansial”.
Dalam telegram lain, kedutaan menggambarkan perempuan pemilik Court Monitor bisa mengakses ‘pertahanan terdalam’ TPM, termasuk pembicaraan rahasia antara TPM dan para terdakwa yang mereka dampingi, tanpa identitasnya sebagai kontraktor untuk Kedutaan pernah terbongkar. Sang karyawan kontraktor juga disebutkan melaporkan banyak kerjasama dan kendala pihak kejaksaan dan Datasemen 88 dalam persiapan dakwaan atas para terdakwa kasus terorisme, kelemahan-kelemahan tim pengacara terdakwa.
(Catatan Islam Times: Islam Times sejauh ini tak menemukan ada referensi di media Jakarta soal Court Monitor sama sekali. Di sisi lain, sukar pula untuk membayangkan cerita yang hendak dibangun pihak kedutaan kalau seorang perempuan tangguh bisa mengikuti banyak persidangan kasus-kasus terorisme yang kerap berlangsung di hari yang sama di provinsi yang terpisah jauh. Ini kemudian membuka peluang hipotesa kalau Court Monitor bisa jadi adalah sebuah lembaga yang melibatkan banyak kepala dengan sang perempuan cakap berbahasa Inggris itu sebagai pimpinannya. Sekaitan dengan itu, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah reporter kami mendengar kalau Sydney Jones, peneliti Internasional Crisis Group, telah merekrut dan memperkerjakan wartawan dalam jumlah yang tak diketahui untuk mengumpulkan dokumen persidangan kasus-kasus terorisme, kurang lebih seperti gambaran kegiatan Court Monitor dalam kawat diplomat Amerika.
Isi telegram memberi gambaran lebih dalam soal Court Monitor. Telegram menggambarkan tokoh utama dalam Court Monitor adalah “seorang perempuan” yang secara rutin menyediakan ke pihak Kedutaan informasi sekaitan dakwaan atas terdangka kasus-kasus terorisme, kualitas dakwaan, dan strategi tim pengacara yang terlibat. Perempuan ini – disebutkan juga digambarkan menyerahkan seabrek dokumen, termasuk dokumen dakwaan, replik, duplik, dan putusan pengadilan, sesuatu yang membuat Kedutaan punya “otoritas” dalam melaporkan jalannya persidangan.
Telegram juga bilang kalau hubungan sang perempuan pemilik Court Monitor dan Kedutaan “so sensitive” hingga tak dipublikasi dan identitasnya “strictly protected”. Informasi lain menggambarkan dia sebagai “perempuan Indonesia yang mampu berbahasa Inggris, punya latar belakangan hukum dan kehadirannya di banyak persidangan kasus terorisme menjadi leluasa dan tak mengundang perhatian sebab dia menggunakan jubah “penelitian hukum”, dan sebab itu pula kaitannya dengan Kedutaan tak terungkap. Telegram juga bilang kemampuan sang perempuan melakukan semua itu “sangat penting”, menghilangkan relevansi kedutaan mengirim orang ke persidangan yang justru bisa “memperkuat kredibilitas tim pengacara terdakwa terorisme”.
Telegram juga bilang kalau Kedutaan meminta pendanaan tambahan US$ 20.000 untuk “membina hubungan” dengan Court Monitor hingga dua tahun setelahnya. Kata telegram, angka itu adalah “investasi murah” untuk hasil yang “substansial”.
Dalam telegram lain, kedutaan menggambarkan perempuan pemilik Court Monitor bisa mengakses ‘pertahanan terdalam’ TPM, termasuk pembicaraan rahasia antara TPM dan para terdakwa yang mereka dampingi, tanpa identitasnya sebagai kontraktor untuk Kedutaan pernah terbongkar. Sang karyawan kontraktor juga disebutkan melaporkan banyak kerjasama dan kendala pihak kejaksaan dan Datasemen 88 dalam persiapan dakwaan atas para terdakwa kasus terorisme, kelemahan-kelemahan tim pengacara terdakwa.
(Catatan Islam Times: Islam Times sejauh ini tak menemukan ada referensi di media Jakarta soal Court Monitor sama sekali. Di sisi lain, sukar pula untuk membayangkan cerita yang hendak dibangun pihak kedutaan kalau seorang perempuan tangguh bisa mengikuti banyak persidangan kasus-kasus terorisme yang kerap berlangsung di hari yang sama di provinsi yang terpisah jauh. Ini kemudian membuka peluang hipotesa kalau Court Monitor bisa jadi adalah sebuah lembaga yang melibatkan banyak kepala dengan sang perempuan cakap berbahasa Inggris itu sebagai pimpinannya. Sekaitan dengan itu, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah reporter kami mendengar kalau Sydney Jones, peneliti Internasional Crisis Group, telah merekrut dan memperkerjakan wartawan dalam jumlah yang tak diketahui untuk mengumpulkan dokumen persidangan kasus-kasus terorisme, kurang lebih seperti gambaran kegiatan Court Monitor dalam kawat diplomat Amerika.
Sydney Jones cukup fasih berbahasa Indonesia meski, harus kami
sebutkan, dia bukan warga negara Indonesia. Beberapa reporter kami juga
mendengar kalau beberapa wartawan dan peneliti yang bekerja untuk dia cukup
lihai untuk membangun kedekatan dan koneksi dengan kubu TPM. Dari pemeriksaan
dokumen WikiLeaks, Islam Times tidak ada atribusi “strictly protect” dalam
sejumlah telegram yang di dalamnya menyebut Sydney Jones. Namun, dalam beberapa telegram yang lain, ada
atribusi “Please Protect” untuk Sydney Jones.) (Bersambung ke Bag. 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar