Banten Raya, 9 Agustus 2014
Sebagaimana telah
sama-sama kita ketahui, IMF (the International Monetary Fund) dan Bank Dunia
adalah lembaga dana moneter intemasional yang dalam misinya disebutkan untuk
memberikan bantuan kepada negara-negara yang tengah mengalami kesulitan
likuiditas keuangan atau menghadapi masalah moneter. Namun dalam kenyataannya,
IMF dan Bank Dunia, yang saham mayoritasnya sebesar 51 % dikuasai oleh
departemen keuangan Amerika Serikat, hanyalah kedok imperialisme melalui
penguasaan dan pengendalian lewat lembaga moneter dan perbankan. Begitu pula,
bagian terbesar dari saham the Fed dikuasai oleh para bankir raksasa Zionis
Yahudi. Dengan uang-kertas dolar yang ongkos cetaknya, tidak peduli berapa pun
nilai denominasinya di lembaran itu, hanyalah 3 sen dollar per lembar, hingga
secara praktis the Fed memiliki kekuasaan atas keuangan dunia hampir-hampir
tanpa biaya. Dan tentu saja, tidak dapat disangkal bahwa keduanya, baik IMF
maupun Bank Dunia, merupakan dua instrumen kekuasaan yang digunakan oleh Barat
(baca: kelompok Zionis) untuk menghancurkan negara-negara yang berdaulat agar
menjadi tidak lebih daripada sekedar teritori (ekonomi-keuangan) mereka, yang
pada gilirannya akan kehilangan kedaulatan politik mereka. Untuk mendalami
fokus ini, kita bisa membaca tulisan-tulisannya Joseph Stiglitz dan John
Perkins.
Joseph Stiglitz dan John Perkins
Sebagaimana yang pernah
dipaparkan Joseph Stiglitz dan John Perkins, ketika suatu missi IMF memasuki
suatu negara, mereka sebenarnya tidak lain menjalankan rancangan untuk
penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan untuk
meminjamkan uang. Lebih gamblangnya, seperti yang dituturkan Joseph Stiglitz
yang tak lain mantan Kepala Tim Ekonom Bank Dunia itu, IMF biasanya
mengembangkan program empat langkah. Langkah pertama adalah program Privatisasi
, yang menurut Stiglitz lebih tepat disebut dengan nama program ‘Penyuapan’.
Pada program ini perusahaan-perusahaan milik negara penerima bantuan IMF harus
dijual kepada swasta dengan alasan untuk mendapatkan dana tunai segar. Pada
tahapan ini menurut Stiglitz, “Kita bisa melihat bagaimana mata para pejabat
keuangan di negara penerima bantuan itu terbelalak, tatkala mengetahui prospek
‘pemberian’ 10% komisi beberapa milyar dolar yang akan dibayarkan langsung ke
rekening pribadi yang bersangkutan di suatu bank Swiss, yang diambilkan dari
harga penjualan aset nasional mereka tadi”. Apa yang dikatakan Joseph Stiglitz
itu tak jauh berbeda dengan yang pernah diungkap John Perkins dalam bukunya
yang berjudul The Economics of Hit Man itu: “Kami, pembunuh bayaran ekonomi,
adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan permasalahan ini
secara global, dan kami bekerja dengan berbagai cara. Tapi mungkin yang paling
umum adalah bahwa kami mengidentifikasi negara yang memiliki sumber daya yang
diinginkan oleh perusahaan-perusahaan Amerika kita, seperti minyak, dan
kemudian, mengatur pemberian pinjaman dalam jumlah yang besar untuk negara
tersebut dari Bank Dunia atau salah satu organisasi yang berhubungan
dengannya”.
Sebagai contoh, di mana
pemerintah Amerika Serikat, terlibat dalam kasus “penyuapan” terbesar yang
pernah ada, pada program “privatisasi” di Rusia pada tahun 1995, ketika
pemerintah Amerika Serikat menghendaki Yeltsin terpilih lagi. “Kami tidak
peduli kalau pemilihan itu adalah pemilihan yang korup. Kami ingin uang itu
sampai ke tangan Yeltsin melalui ‘bawah-meja’ untuk keperluan kampanyenya”.
Lebih khusus lagi, yang paling menyakitkan hati Joseph Stiglitz adalah
kenyataan bahwa oligarki Rusia yang didukung oleh Amerika Serikat itu menyapu
habis aset industri BUMN Rusia dengan akibat, korupsi tersebut memotong
pendapatan nasional Rusia tinggal hampir separuhnya saja yang menyebabkan
depresi ekonomi dan kelaparan.
Nah, sesudah program
“penyuapan” itu langkah kedua IMF/Bank Dunia adalah rencana “satu-ukuran yang
pas untuk menyelamatkan ekonomi anda” (all size – economic solution), yaitu
“Liberalisasi Pasar Modal”. Dalam teorinya, deregulasi pasar modal memungkinkan
modal investasi mengalir keluar-masuk. Namun, dan ini yang perlu diingat secara
cermat, dengan ditingkatkannya pemasukan modal investasi dari luar, pada
gilirannya akan menyebabkan pengurasan cadangan devisa negara yang bersangkutan
untuk mendatangkan aset melalui impor dari negara-negara yang ditunjuk oleh IMF
itu sendiri. Dan malangnya lagi, dalam kasus Indonesia dan Brazil, sebagai
contoh, lagi-lagi menurut Stiglitz, modal itu hanya keluar dan keluar, tidak
pernah balik atau kembali seperti yang diharapkan. Begitulah, ketika suatu misi
IMF memasuki suatu negara, mereka sebenarnya tidak lain menjalankan rancangan
untuk penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan
untuk meminjamkan uang.
Program Daur Uang Panas
Marilah kita kutip
pernyataan John Perkins (yang pernah ditugaskan di Jakarta, Indonesia), demi
melengkapi apa yang diungkap Joseph Stiglitz itu, “Tetapi uang yang dimaksud
tidak pernah benar-benar diberikan kepada negara peminjam. Sebaliknya uang
tersebut masuk ke perusahaan-perusahaan besar kita untuk membangun proyek infrastruktur
di negara tersebut, pembangkit listrik, kawasan industri, pelabuhan. Hal-hal
yang akan menguntungkan beberapa orang kaya di negara itu, di samping juga
memperkaya perusahaan-perusahaan Amerika kita. Tetapi pemberian pinjaman
tersebut sama sekali benar-benar tidak membantu sebagian besar orang di sana”.
Dalam hal ini, Stiglitz
menyebut program “privatisasi” ini sebagai daur “uang panas”. Dana tunai dari
luar masuk untuk spekulasi di bidang real-estate dan valuta, kemudian hengkang
bila ada tanda-tanda akan ada kerusuhan. Akibat dari yang pertama di atas dan
kedua ini, cadangan devisa negara bisa habis menguap dalam ukuran hari, bahkan
dalam hitungan jam. Dan bila hal itu sampai terjadi, maka untuk merayu kaum
spekulan untuk mau mengembalikan dana modal nasional, IMF menuntut
negara-negara debetor untuk menaikkan suku-bunga banknya menjadi 30%, 50%,
bahkan hingga 80%. Ketetapan itu diikuti dengan persyaratan kebijakan
deregulasi peraturan perbankan, diberlakukannya kebijakan uang ketat (austerity
policies), dihentikannya subsidi pada bidang-bidang yang berkaitan dengan
kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat. Dan lebih khusus pada kasus negara-negara
yang sedang berkembang, di mana program pembangunan bagian terbesar masih
menjadi tanggung-jawab negara, pemberlakuan politik uang ketat berdampak buruk
terhadap kehidupan sektor riil. Penghentian subsidi terhadap sektor strategis
seperti pangan, bahan bakar, transportasi, pendidikan, dan sebagainya,
misalnya, selalu berakhir dengan krisis politik di negara-negara yang
bersangkutan.
Singkatnya, pemasukan
modal investasi dari luar, meskipun tampaknya membantu untuk memperluas
kesempatan kerja, dalam kenyataannya persyaratan itu telah membunuh usaha atau
para pengusaha bumiputera setempat, yang pada gilirannya jatuh bergelimpangan,
karena belum mampu bersaing khususnya untuk pemasaran. Yang lebih ironis adalah
acapkali kebijakan seperti itu berakibat dengan penutupan pabrik-pabrik, karena
pemerintah tuan-rumah dan sektor swasta domestik tidak cukup memiliki modal. Contoh
paling mutakhir adalah bangkrutnya ekonomi Argentina pada bulan Januari 2002
yang menimbulkan situasi kekacauan politik dan sosial.
Pada tahapan ini IMF
menarik negara debetor yang tengah megap-megap itu ke langkah ketiga, yaitu
Pricing atau Penentuan Harga Sesuai Pasar”, sebuah istilah yang terbilang muluk
untuk program menaikkan harga komoditas strategis seperti pangan, air bersih,
dan BBM. Tahapan ini sudah dapat diprediksi akan menuju ke langkah
tiga-setengah, yaitu apa yang dinamakan oleh Stiglitz, “Kerusuhan IMF”, langkah
yang paling mengerikan, sebagaimana yang dituturkan John Perkins: “Dalam
kondisi seperti ini, kami para economic hitman akan mendatangi mereka dan akan
mengatakan. “Dengar! Anda memiliki hutang yang cukup besar kepada kami, dan anda
tidak sanggup membayar hutang anda tersebut. Jadi, kami meminta anda untuk
menjual minyak anda dengan harga yang murah kepada perusahaan-perusahan minyak
kami, begitu juga izinkan kami membangun sebuah pangkalan militer di negara
anda, anda harus mengirim pasukan untuk mendukung pasukan kami ke suatu tempat
di dunia seperti Irak, atau anda harus menggunakan suara anda untuk memilih apa
yang kami pilih pada voting yang dilakukan di PBB”.
Tentu saja, “kerusuhan
hasil ciptaan IMF” itu sudah bisa diprediksikan dan sangat menyakitkan hati.
Ketika suatu negara sudah jatuh pingsan (IMF) akan mengambil keuntungan dan
memeras sampai tetes darah terakhir yang masih ada pada negara debetor. Suhu
akan terus meningkat, dan pada saatnya ketel itu meledak”, seperti halnya
ketika IMF, yang lagi-lagi seperti dituturkan Joseph Stiglitz, mengharuskan
menghapus subsidi untuk beras dan BBM bagi kaum miskin di Indonesia pada tahun
1998. Indonesia meledak dengan kerusuhan. Dan masih ada contoh kasus lain,
semisal kerusuhan di Bolivia, sehubungan dengan kenaikan tarif air bersih pada
tahun 2001, dan pada bulan Februari 2002 kerusuhan di Ekuador karena kenaikan
harga gas dapur yang diperintahkan oleh Bank Dunia. Kesan yang ada ialah
kerusuhan itu memang direncanakan. Singkat kata, “tak ada makan siang gratis”
atau “tak ada bantuan yang tanpa pamrih”.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar