Banten Raya, 16 Agustus 2014
Sebagai seorang penulis,
arsitek, budayawan, sekaligus rohaniwan, YB Mangunwijaya merupakan sosok
penulis yang prolifik sekaligus figur inter-(multi) disipliner. Secara pribadi,
Romo Mangun adalah salah-satu penulis Indonesia yang merupakan tempat saya
belajar (membaca), tentu saja melalui tulisan-tulisannya yang humoris itu.
Tentu ada beberapa alasan kenapa saya belajar darinya. Contohnya, saya justru
menemukan spirit Islam saya melalui sikap dan tulisannya yang mempraksiskan
agama dan spirit religius keteladanan. Romo Mangun, demikian akrab disebut dan
disapa, menjadikan praksis agama sebagai rahmat bagi mereka yang hidup, membela
mereka yang lemah dan tertindas. Sebuah spirit dan praksis religius yang juga
tentu saja saya dapatkan pada diri Rasulullah, Imam Ali, dan Imam Husain, yang
dalam bahasa kerennya adalah agama yang membebaskan dan mencerahkan, yang kalau
dalam bahasa para mahasiswa/i” disebut “theology of liberation” alias teologi
pembebasan atau yang dalam bahasa Romo Mangun sendiri disebut “teologi
pemerdekaan”.
Dalam tulisan-tulisan dan
sikap Romo Mangun, saya menemukan dan mendapatkan kesepadanan nilai dan spirit
apa yang dikatakan Imam Ali, “Barangsiapa yang diam di hadapan penindasan dan
kezaliman, maka sama saja bekerjasama dengan penindasan dan kezaliman”, yang
edisi lengkapnya dapat kita baca dalam Nahjul Balaghah. Dan juga perkataan Imam
Ali lainnya, “Jadikanlah dirimu sebagai timbangan dalam hubunganmu dengan orang
lain, dan cintailah orang lain itu sebagaimana engkau mencintai dirimu
sendiri”.
Akan tetapi, mengingat
banyak dan beragamnya minat dan konsen tulisan-tulisan dan karya-karya Romo
Mangun, tulisan ini tak hendak mengeksplorasi atau mengkespose spirit dan
praksis religius Romo Mangun secara khusus, namun lebih pada upaya untuk
mencoba menziarahi visi dan ideologi estetik Romo Mangun sebagai penulis dan
sastrawan, meski spirit dan praksis religius dan minat lain Romo Mangun lainnya
dalam tulisan ini pada akhirnya akan terbicarakan juga dengan sendirinya
sebagai pelengkap dan cermin pinjaman untuk meneropong “dunia” tulisan-tulisan
Romo Mangun. Tak lain karena spirit dan praksis religius Romo Mangun itu
sendiri merupakan kosmos dan wawasannya yang akan membentuknya sebagai seorang
penulis dan pemikir kebudayaan, juga erudisinya dalam isu-isu yang lain.
Sebagaimana ia ungkapkan
dalam salah-satu esainya berjudul “Novel Saya dan Lakon Wayang” (Jurnal Kalam
Edisi 9 Tahun 1997, hal. 54-58) itu, Romo Mangun secara gamblang menegaskan
visi dan posisi estetiknya yang yang berusaha menjembatani dan melampaui dua
ideologi besar yang populer dalam sastra Indonesia: Lekra dan Manikebu, meski
ia tak menyebut dua ideologi estetik itu secara eksplisit. Dalam esainya itu
Romo Mangun menegaskan diri bahwa ikhtiarnya dalam menulis prosa tidak ingin
jatuh pada gagrak “sastra pop” namun pada saat yang sama berusaha menjadikan
realitas kehidupan keseharian, terutama dunia dan kehidupan wong cilik, sebagai
bahan dan materi tulisan prosa-prosanya, bahkan juga esai-esainya. Visi dan
pilihannya itu, seperti telah disebutkan, tak terlepas dari spirit religius
Romo Mangun sendiri, terlebih posisinya sebagai seorang imam diosesan Katolik,
yang berusaha “membumikan” ajaran dan nilai-nilai keagamaan dalam praktek
emansipatif, pencerahan, dan pembebasan masyarakat, yang dalam istilah theology
of liberation lazim disebut sebagai teologi yang berpihak kepada mereka yang
tertindas dan terpinggirkan.
Sastra dan Wayang
Dalam esai berjudul Novel
Saya dan Wayang yang menerang-jelaskan ihwal visi estetik dan proses kreatifnya
itu Romo Mangun berusaha mengkomunikasikan spirit, visi, dan bentuk
prosa-prosanya yang banyak mengambil khazanah dan wawasan dari wayang. Sebagai
seorang yang lahir, hidup, dan akrab dengan kebudayaan Jawa, Romo Mangun adalah
penulis yang berhasil, minimal dalam beberapa novel-nya semisal Burung-burung
Manyar, menuliskan dan menarasikan relevansi dan universalisme nilai-nilai
humanistik kebudayaan lokal bangsa sendiri. Ia sendiri dengan terus-terang
menyatakan dalam esainya tersebut bahwa lakon dan tokoh prosa-prosanya tak lain
“nasion Indonesia” dengan jalan menggambarkan dan menarasikan wong cilik, meski
dalam kritik dan ulasan B. Rahmanto (Y.B. Mangunwijaya: Dunia dan Karyanya, Grasindo
2001, hal. 87) wong cilik atau masyarakat bawahnya novel-novelnya Romo Mangun
bukanlah para tokoh utama, tetapi lebih merupakan tokoh-tokoh tambahan. Tetapi
menurut saya hal itu tidak berlaku bagi sejumlah cerita pendek yang ditulisnya
yang memang menjadikan orang-orang kelas bawah, seperti pengamen, pelacur,
gembel, badut, gelandangan dan lainnya di kelas yang sama, sebagai tokoh-tokoh
utama sejumlah cerpennya, seperti dalam buku kumpulan cerpennya yang berjudul
Rumah Bambu (KPG, Mei 2006). Dan bila dilihat dari segi visi estetik,
pilihannya pada wayang sebagai khazanah dan wawasan kosmologis prosa-prosanya,
sebagaimana ia nyatakan langsung dengan lantang dan blak-blakkan, lebih karena
menginginkan prosa-prosanya sebagai sastra adilihung, seni yang berpamor:
“Kita tahu bahwa dalam
penghayatan pertunjukkan wayang kulit cara melihat siluet-siluet serba asbtrak
itu diharapkan terasa pemaknaannya yang lebih dalam daripada bila orang melihat
boneka-boneka wayang secara konkret wadak. Berkat pencahayaan blencong boneka
wayang yang terbuat dari kulit dihadirkan sebagai bayangan, dengan kata lain
bebas dari kewadakannya, alias dirohanikan. Bukan wujud, bentuk, warna dan
cerita wadaknya yang punya arti dan dicari, akan tetapi pemaknaan serta
pelambangannya. Itulah mengapa lakon yang dipilihnya pun tidak sembarangan.
Selalu disesuaikan dengan peristiwa yang sedang dirayakan: kelahiran bayi atau
pernikahan, hari ulang tahun kemerdekaan dst. Demikianlah wayang, kita tahu
semua, lebih dari cuma pertunjukan, melainkan sebenarnya suatu upacara ibadat
sakral yang memiliki pamor rohani” (Jurnal Kalam Edisi 9 Tahun 1997, hal.55).
Tampak jelaslah kepada
kita, wayang yang diterangkan, diimajinasikan, dan diangankan Romo Mangun
tersebut adalah wayang dalam mulanya yang ideal dan klasik, bukan yang dekaden
seperti beberapa pentas dan pegelaran wayang belakangan ini. Dan ia mengkritik
keras wayang yang telah dekaden tersebut:
“Kini pertunjukan wayang
kulit sayang sekali sudah dibuat dekaden, hanya dilihat sebagai pertunjukan hiburan
belaka, serba dagelan bahkan pemenuhan nafsu-nafsu haus sensasi dan sering
pelampiasan porno, pop komersial belaka dan dangkal karena unsur sakralnya
sudah dilempar keluar. Keris tanpa pamor. Hanya besi runcing saja” (Ibid).
Beberapa kali, dalam esainya
itu, Romo Mangun menekankan “pelambangan” dalam wayang yang menurutnya sepadan
dengan simbolisme dalam sastra, yang kemudian ia perbandingkan dengan
arsitektur Borobudur:
“Setiap lakon pasti
mempunyai makna serta pelambangannya. Namanya saja wayang, yang tentulah punya
arti umum: bayangan, ialah bayangan yang menunjuk kepada sesuatu yang
meng-atas-i cerita. Dalam seni tari ada istilah greget. Dalam pertunjukan
wayang kulit, rakyat duduk di sisi dalang, pesinden, para penabuh gamelan, dan
boneka-boneka wayang kulit yang biasanya tampak dilukis beraneka-warna dan emas
perada; jadi wayang dalam bentuk wadaknya yang konkret (rupa-datu: bagian bawah
candi Borobudur). Sedangkan tuan rumah dan para tamu terhormat di balik kelir
melihat wayang dalam bentuk bayangan-bayangan siluet saja pada kain kelir,
tanpa warna-warni serta bentuknya yang konkret (a-rupa-datu: bagian teratas
candi Borobudur)” (Ibid, h. 54).
Memadukan kosmos wayang
dan lanskap visi estetik sastra yang digali dari kosmos wayang tersebut dalam
pandangan Romo Mangun tak lain karena baik wayang maupun sastra menampilkan
sejumlah tokoh, cerita, dan kosmos atau dunia cerita yang pada dasarnya tidak
berbeda, hingga dalam konteks ini baik wayang atau pun prosa, terutama novel,
sama-sama menyuguhkan kisah dan adegan yang melibatkan tokoh-tokoh dalam suatu
konteks pengisahan dan “kosmos”, yang pada saat bersamaan baik kisah dan adegan
dalam wayang dan kisah serta adegan dalam prosa (novel) merupakan cermin moral
dan refleksi pemahaman dan penghayatan bathin yang dipinjam sebagai pelambangan
hidup dan dunia tempat kita berada ini. Namun, tentu saja, unsur dan spirit
moral dan reflektif prosa-prosa Romo Mangun tidak serta-merta terjebak atau
jatuh dalam “moralisme” yang dangkal dan artifisial alias verbal semata.
Seperti dapat kita baca dalam beberapa novelnya dan sejumlah cerita pendeknya
itu, prosa-prosa Romo Mangun lebih merupakan dunia-dunia dan kisahan-kisahan
yang menyentil kita untuk peka, bersimpati, dan sekaligus berpihak kepada
mereka yang kalah dan tidak beruntung, “yang bernasib sunyi” dan yang
tertindas. Meskipun demikian, prosa-prosanya tidak kehilangan humor di saat
berkisah dan bercerita tentang sebuah jaman, dunia dan tokoh-tokoh yang
acapkali tragis. Suasana humor yang rileks sekaligus satiris, komedis, dan
parodis itu, misalnya, dapat kita baca dan kita rasakan dalam “Pohon-pohon
Sesawi” (KPG 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar