Radar Banten, 27 November 2014
“Jurnalisme hadir untuk
membangun masyarakat. Jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga Negara” (Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel). “Kebebasan pers bukanlah tujuan akhir, melainkan
alat untuk menciptakan masyarakat yang bebas. Cakupan dan hakikat jaminan konstitusional
terhadap kebebasan pers harus dipahami dalam kerangka tersebut” (Felix
Frankfurter).
Untuk memulai tulisan ini,
kita pertama-tama cukup tepat untuk mengajukan pertanyaan: kepada siapakah pers
dan para jurnalis mengabdi? Jawabnya, sebagaimana telah kita maphumi bersama,
tentu saja adalah kepada publik –atau katakanlah kepada masyarakat para
pembacanya. Dalam hal ini, pers pada dasarnya adalah institusi yang menjadi
“jembatan” ragam minat dan kepentingan, dan karenanya kerja tinta pers memang didasarkan
pada “objektivitas” dan “kebenaran” yang akan turut membentuk sehat dan
tidaknya, maju atau mundurnya sebuah masyarakat. Di sini, pers sebenarnya
memiliki fungsi dan posisi sebagai “penyuluh” dan “agen pencerahan” masyarakat,
persis seperti yang pernah dikatakan Bill Kovach, sang bapak jurnalisme dunia
itu, bahwa “semakin bermutu dan berkualitas jurnalisme di dalam suatu
masyarakat, maka semakin bermutu dan berkualitas pula informasi yang didapat
masyarakat”.
Meskipun demikian, yang
juga tak teringkari, di tengah hiruk-pikuk dunia pasar dan kapitalisme saat ini
yang tak imun dari ragam interest atau kepentingan, fungsi dan posisi pers atau
kaum jurnalis tak selamanya se-ideal yang dikatakan Bill Kovach tersebut.
Acapkali sejumlah media dan institusi pers di jaman ini tak sanggup mengelak
dari “keinginan” pihak-pihak tertentu yang memiliki “kepentingan subjektif”.
Juga, tak bisa diingkari, di jaman ini, ada banyak media dan institusi pers
yang memang milik pribadi, kelompok, komunitas tertentu, partai politik,
perusahaan dan lain sebagainya, yang lebih merupakan “corong” untuk menyuarakan
kepentingan mereka masing-masing.
Namun, tepat di sini-lah,
kehadiran institusi-institusi pers dan media yang “mengabdikan” dirinya bagi
bangsa dan masyarakat pembacanya tersebut akan memiliki posisi dan fungsi yang
seksi dan elegan, singkatnya fungsi yang mulia dan menjadi jembatan bagi
hadirnya pencerahan, objektivitas, dan akhirnya memberikan kontribusi bagi
kesehatan sebuah masyarakat karena netralitas-nya tersebut. Pada konteks ini,
pers dan kaum jurnalis sebenarnya juga menempati posisi sebagai “pengayom” dan
“pendidik” masyarakat pembacanya, “menyuguhkan” informasi-informasi serta
ulasan-ulasan atau pun opini-opini yang sehat dan bahkan mencerahkan.
Posisi dan fungsi
strategis media dan atau pers dan atau kaum jurnalis ini tak lain karena “kerja
tinta” mereka acapkali menjadi acuan bagi lahirnya suatu pandangan di dalam
masyarakat dan bahkan akan menentukan dan menggiring kebijakan atau keputusan
politis seperti apa di kalangan para pemimpin dan para birokrat. Dan posisi
serta fungsi ini tentu saja bukan posisi dan fungsi remeh yang harus dianggap
sepele begitu saja. Sementara itu, meski juga mengalami dilema yang tak jauh
berbeda, sebagaimana dikemukakan Bagir Manan (2012), kaum jurnalis sudah
selayaknya mematuhi kode etik yang mengikat wartawan atau jurnalis, semisal:
bahwa seorang jurnalis sudah semestinya menulis dan memberikan suatu berita
atau informasi yang faktual dan dapat dibuktikan, alias berdasarkan fakta dan
bukan fiksi belaka, dan juga wajib menjunjung tinggi independensi, sehingga
tidak menimbulkan “penyesatan” atau dis-informasi di kalangan masyarakat
pembacanya.
Dan persis inilah yang
disebut oleh Bagir Manan sebagai jurnalis yang merdeka, dalam arti jurnalis
yang bertanggungjawab, sebab banyak yang keliru memahami kebebasan ketika
sejumlah oknum mengabaikan responsibility (tanggungjawab) ini, hingga banyak
yang merasa bebas melakukan apa saja atau menulis apa saja, tetapi tidak
merdeka dan tidak memiliki spirit orang yang merdeka atau orang yang
bertanggungjawab, sehingga banyak yang terjerembab dalam apa yang lazim kita
sebut sebagai fenomena “kebablasan”.
Rasanya, dengan tulisan
ini, sekedar sebagai pengingat kembali, tak salah jika kita merenungkan lagi
sembilan elemen jurnalisme sebagaimana yang dikemukakan Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel, yaitu: Pertama, kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian
kebenaran. Kedua, loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara. Ketiga,
esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Keempat, jurnalis harus menjaga
independensi dari obyek liputannya. Kelima, jurnalis harus membuat dirinya
sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Keenam, jurnalis harus memberi
forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi. Ketujuh, jurnalis
harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan. Kedelapan,
jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional. Dan akhirnya,
kesembilan, jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya
(atau suara kejujuran batinnya).
Tak ragu lagi, seperti
dapat kita baca dan kita cermati bersama, sembilan elemen jurnalisme yang
dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tersebut sesungguhnya telah
merangkum sekaligus menjabarkan posisi dan fungsi institusi pers dan kaum
jurnalis, dan juga menerangkan bagaimana kerja dan metode jurnalisme itu
sendiri seyogyanya dilaksanakan dan diselenggarakan oleh pers atau media dan
jurnalis untuk mencapai kebajikan dan kebaikan bersama, yaitu kebaikan dan kebajikan
bagi seluruh unsur dan elemen masyarakat itu sendiri, yakni insitusi pers atau
media dan kaum jurnalis dan publik pembacanya. Sungguh ini sebuah fungsi dan
posisi yang sebenarnya mendekati “maqan profetik”, fungsi dan posisi yang
begitu mulia.
Dan sebelum mengakhiri
tulisan ini, barangkali kita perlu merenungkan apa yang pernah dikemukakan
Eugene Meyer, ketika ia menggambarkan komitmen dan dedikasi dirinya sebagai
jurnalis pada institusi pers atau media tempat ia bekerja dan mengabdi, saat ia
dengan lantang menyatakan keberpihakannya kepada publik pembacanya itu: “Dalam
mengejar kebenaran, surat kabar ini siap berjuang demi kemaslahatan publik”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar