Radar Banten, 27 April 2013
Memang tidak bisa
dipungkiri, konflik yang acapkali terjadi di dunia ini sedikit-banyaknya
melegitimasikan dirinya atas nama identitas dan lahir dari sikap-sikap dan
kepercayaan dogmatis, entah sebagai alasan yang sesungguhnya maupun yang
sekadar retorika permukaan semata. Identitas dan dogmatisme memang seringkali
memicu dan melahirkan konflik-konflik berdarah dalam sejarah ummat manusia.
Dari persoalan agama hingga persoalan-persoalan politik dan ekonomi. Tak
terkecuali juga persoalan-persoalan lainnya semisal budaya dan olahraga. Persis
pada soal-soal seperti itulah refleksi-refleksi diaris Amin Maalouf yang
terkumpul dalam bukunya yang berjudul In the Name of Identity dan wawasan
filsafatnya Richard Rorty dalam bukunya yang berjudul Contingency, Irony and
Solidarity itu terasa memberi wawasan yang cukup jernih dan segar tentang
persoalan-persoalan identitas dan sikap-sikap atau pun kepercayaan-kepercayaan
dogmatis yang acapkali memanen kekerasan dan kekejaman di negeri ini.
Pertama-tama kita simak
apa yang dikemukakan Amin Maalouf kepada pembacanya seputar identitas yang
memang seringkali memanen kekerasan dan ketidakadilan. Memahami identitas
sebagai sebuah pengertian yang tanpa persinggungan dan pengaruh pluralitas
perbedaan merupakan sebuah pengingkaran terhadap kenyataan hidup jaman ini,
demikian papar Amin Maalouf. Karena pada faktanya banyak sekali individu yang
menghidupi dan hidup dalam pertemuan dan percampuran dua atau lebih identitas.
Contohnya adalah Amin Maalouf sendiri yang memang seorang Kristen berdarah
Arab-Lebanon sekaligus warga negara Perancis dan menulis dalam bahasa Perancis.
Hal yang sama juga berlaku bagi seorang penulis semisal Salman Rushdi, Fawzi
Maalouf, atau Arundhati Roy, sebagai contoh-contoh penulis yang hidup dan
menghidupi percampuran sekian identitas dalam diri dan hidup mereka.
Refleksi-refleksi diaris
Amin Maalouf dalam bukunya yang berjudul In the Name of Identity itu juga
bercerita seputar pengalaman fisik dan bathinnya sebagai seorang Arab-Kristen
yang sekaligus sebagai seorang penulis dan warga negara Perancis. Dan itulah
identitas Amin Maalouf sebagai individu dan penulis. “Orang bertanya pada
saya”, tulis Maalouf, “apakah saya lebih Perancis atau lebih Lebanon? Dan saya
selalu melontarkan jawaban yang sama: Keduanya! Saya berkata demikian tidak
memaksudkan supaya jawaban saya terdengar adil dan berimbang, tetapi karena
jawaban yang lain sama artinya dengan kebohongan”. Demikian paparnya.
Berdasarkan pengalaman
fisik dan bathin itulah Amin Maalouf menolak bila identitas dipahami sebagai
konsep general yang mengingkari pengalaman-pengalaman khusus dan unik setiap
individu di belahan dunia mana pun. Kartu Identitas semisal KTP, sebagai
contohnya, mestilah lebih dipandang sebagai kebutuhan statistik saja ketimbang
sebagai definisi substantif seseorang yang menyandangnya. Sebab di jaman ini
sudah banyak sekali individu-individu yang sebenarnya hidup dengan sekian
identitas campuran dan menghidupinya dengan sukarela atau terpaksa. Karena itu
lagi-lagi kita akan berlaku dan bersikap tidak adil jika kita mengkutubkan
seseorang ke dalam satu pengertian identitas yang seakan-akan ajeg.
Orang-orang yang bisa
menerima kenyataan keberagaman dunia dan hidup jaman ini akan menjadi para
pemegang suluh antar komunitas dan budaya, demikian lanjut Amin Maalouf. Mereka
adalah orang-orang yang akan menjadi perekat masyarakat dan keberlangsungannya.
Sebaliknya, mereka yang tidak bisa menerima kenyataan keberagaman hidup saat
ini adalah orang-orang yang siap membunuh dan orang-orang seperti itu biasanya
merupakan kelompok atau golongan yang akan mengancam dan mematikan kesehatan
sebuah bangsa atau masyarakat.
Refleksi-refleksi Amin
Maalouf yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul In the Name of Identity itu
pas sekali dengan kenyataan beberapa tahun belakangan di negeri kita ini,
Indonesia, yang ramai didera peristiwa-peristiwa kekerasan dan kekejaman oleh
kelompok yang satu atas kelompok lainnya. Perbedaan identitas keagamaan
kerapkali dijadikan alasan teologis dan politis sebuah kelompok untuk melakukan
kekerasan dan kekejaman terhadap dan atas kelompok lainnya. Mereka berani tidak
mengindahkan hukum, yang sebenarnya merupakan tamparan terhadap para pemimpin
negeri ini. Sebab praktek-praktek kelompok-kelompok seperti itu tak ubahnya
mendirikan negara di dalam negara. Orang-orang seperti itu sebenarnya tidak
memposisikan diri mereka sebagai warga negara yang menghormati dan mematuhi
hukum.
Menghadapi dan menyikapi
praktek-praktek seperti itu mau tidak mau kita pun harus bangkit dan berjihad
untuk merubah wawasan dan kesadaran publik. Persis seperti yang digagas dan
disuarakan wawasan dan pemikiran filsuf Richard Rorty dalam bukunya yang
berjudul Contingency, Irony and Solidarity dan esai panjangnya yang berjudul
Consequences of Pragmatism itu.
Bersama Richard Rorty yang
diinspirasi oleh renungan-renungan filsafatnya Adorno dan Hannah Arendt, dan
pengalaman sejarah nasionalisme modern dan rezim kekuasaan politik otoritarianismenya,
kesadaran kita tergiring kepada pengalaman pahit abad 20, ketika kepercayaan
ideologis yang dogmatis malah memanen kekejaman dan kemalangan bagi jutaan
ummat manusia. Dalam esai panjangnya yang berjudul Consequences of Pragmatism
itu, Rorty menginterupsi kepercayaan dan pemahaman kita tentang apa yang kita
terima dan kita percayai sebagai kebenaran yang masih berbasis pendasaran
metafisik dan universalisme yang mengatasi sejarah alias tidak didasarkan pada
pengalaman kefanaan kita yang lebih nyata. “Truth is not the sort of thing one
should expect to have a philosphically interesting theory about”, tulis Rorty,
“truth is just the name of a property which all true statements share”. Dialog
dan sharing pemahaman, itulah kunci yang hendak ditawarkan Richard Rorty dalam
lingkungan sosial dan situasi epistemik dunia modern saat ini.
Tak hanya itu, dalam
ceramahnya yang berjudul Moral Universalism and Economic Triage itu, secara
terang-terangan Rorty mengatakan bahwa kita sudah bukan saatnya lagi bertanya
“apakah kita” seperti lazimnya filsafat tradisional, tetapi lebih baik bertanya
“siapakah kita”, di mana dengan pertanyaan kedua itu kita akan lebih menyadari
eksistensi dan posisi kita dalam keragaman dan situasi epistemik jaman ini. Di
sini, seperti yang ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Contingency, Irony
and Solidarity itu, kesadaran kita dibangun dari solidaritas dan kepekaan
sesama manusia yang sama-sama bisa merasakan sakit dan kecewa ketika didera dan
tertimpa kekejaman dan kekerasan.
Berpijak pada wawasan
Rorty dan Maalouf tersebut, kita memang mesti mencurigai setiap kepercayaan
atau ideologi dogmatis yang masih mengandaikan sebuah kebenaran tunggal yang
bersifat transhistoris, mengatasi segalanya dan tidak berpijak pada kefanaan
hidup kita. Bahkan jika kepercayaan-kepercayaan seperti itu malah masih terus
membenarkan dan mempraktekkan kekejaman dan kekerasan pada sesama manusia, maka
kita mestilah memerangi wawasan-wawasan kepercayaan dogmatis seperti itu. Sebab
praktek-praktek kekerasan dan kekejaman seperti itu merupakan sikap-sikap dan
praktek-praktek yang melawan hukum alias tidak mematuhi hukum dan konstitusi
yang dibangun dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan semua orang bagi semua
warga negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar