Disampaikan di Cibutak, Bandung 2 Maret 2013
Estetika, yang dalam hal
ini puisi, sebagaimana dimaklumatkan penyair dan kritikus T.S Eliot dalam
beberapa esainya, tidaklah lahir dari ruang hampa sejarah, termasuk tradisi. Di
mana menurut T.S Eliot, kreativitas individu seorang penyair atau penulis, sebebas
apa pun, tak sepenuhnya tanpa sumbangan tradisi. Dalam hal ini, dapat juga
dikatakan, estetika dan kesusastraan sebagai sebuah ikhtiar dengan dan bersama
sejarah dan pengalaman manusiawi itu sendiri juga dapat melahirkan suara-suara
segar, meski masih membicarakan atau menyuarakan tema-tema abadi yang sama
dengan abad-abad silam para penulis sebelumnya. Namun tak jarang, hanya
melahirkan repetisi yang memang sekedar pengulangan. Berangkat dari aras
wawasan yang demikian, sangat mungkin sebuah perkembangan, yang kita namakan
kemutakhiran, selain melahirkan progress, juga sengaja atau tanpa sengaja,
dihadiri degradasi alias kegagalan, yang mudah-mudahan saja tidak terjadi dalam
sejumlah karya yang termuat dalam dua buku antologi ragam penyair yang akan
dibahas dalam tulisan ini: Tuah Tara No Ate dan Sauk Seloko.
Dan tentu saja, pemilihan
dua buku yang memuat ragam karya penyair tersebut didasarkan pada sejumlah
alasan dan pertimbangan. Pertama, sebagai sebuah kumpulan karya hasil kurasi
yang dilakukan para penulis dan kritikus, karya-karya dua buku tersebut
didasarkan pada argumen atau diargumentasi dengan wawasan dan pandangan, yang
meski berbeda, tetapi memiliki nada yang sama: optimisme pada perpuisian
mutakhir Indonesia, di mana optimisme tersebut akan menarik untuk “dilihat
ulang.” Kedua, para penulis dalam dua buku tersebut cukup mewakili ragam daerah
alias domisili para penulisnya, yang semoga saja juga mencerminkan kultur
masing-masing, hingga selain kita dapat melihat ragam sekaligus beda suara dalam
karya-karya mereka, kita pun dapat menemukan ragam budaya atau bahkan gaya,
yang barangkali merupakan ciri khas kepenulisan di setiap daerah dan wilayah
yang berbeda. Meskipun demikian, dipilihnya dua buku tersebut lebih merupakan
“cermin pinjaman” untuk melihat perpuisian mutakhir Indonesia.
Persinggungan, Lokalitas, Kecendrungan
Jika kita meminjam
analisis-teoritik dan prinsip estetiknya T.S. Eliot dalam esainya yang
berjudul Tradition and Individual Talent, itu ada beberapa ukuran atau prinsip
estetik ketika kita ingin membaca kemutakhiran karya-karya estetik, yang dalam
hal ini puisi, dari kelampauan, termasuk di dalamnya adalah tradisi, yang
tentulah berkait dengan corak historis dan kultur sebuah bangsa dan masyarakat
di mana penyair hidup dan menuliskan karya-karyanya. Sebab, seperti yang
diungkapkan langsung T.S. Eliot dalam esainya, itu setiap bangsa dan
masyarakat tak hanya memiliki cara berpikir kreatifnya sendiri, namun juga cara
berpikir kritisnya sendiri. Di sini, Eliot mengemukakan tiga prinsip estetik
ketika kita ingin membaca kemutakhiran tersebut.
Pertama, kemutakhiran
perpuisian Indonesia dapat dibaca lewat usaha pembandingan dengan corak dan
bentuk karya-karya yang pernah ditulis di masa lalu, yang kemudian pada saat
bersamaan kita dapat mengkontraskannya, di mana dengan prinsip estetik ala T.S.
Eliot yang Kedua ini, kita lalu dapat juga melihat dan membaca sejauh mana
para penulis atau penyair sanggup melakukan penyesuaian kreatif dari dan
terhadap karya-karya masa lalu yang mereka baca, hingga karya-karya mutakhir
para penyair tak hanya sekedar melakukan pengulangan verbal mentah-mentah,
sebab tradisi dalam konteks ini bukanlah ketaatan buta kita kepada formula
lama, meski juga tak mesti mencampakkannya secara total. Kemampuan untuk
menyesuaikan atau penyesuaian inilah yang ia sebut sebagai prinsip estetik Ketiga.
Membaca sejumlah puisi
yang termuat dalam dua buku: Tuah Tara No Ate dan Sauk Seloko, kita akan segera
mendapati ranah persinggungan, lokalitas, dan kecendrungan, yang bila kita baca
dengan kerangka analisisnya T.S. Eliot, itu merupakan puisi-puisi yang memang
berusaha mencari dan menemukan suara-suara baru, bahkan gaya baru, demi
membedakan dirinya dengan warisan puisi-puisi lama, semisal maraknya puisi yang
bergaya prosa bebas, bahkan naratif, itu tapi pada saat yang sama, ada banyak
puisi yang berusaha menghidupkan khasanah lama, terutama para penyair di
wilayah dan jazirah Sumatra, yang bangga dengan corak Melayu dan bentuk pantun,
dengan memodifikasinya sedemikan rupa, semisal dengan gaya prosaik laiknya
sebuah puisi yang mengkisahkan sebuah cerita pendek.
Corak Melayu dan bentuk
pantun para penyair yang seakan bangga dengan warisan Melayu-nya itu bahkan
sebenarnya kadang tak memodifikasi warisan gaya pengujaran pantun lama itu
sendiri, kecuali tema-tema puisinya yang memang berbeda. Beberapa puisi, terutama
yang termuat dalam Sauk Seloko itu (yang untungnya bukan puisi-puisi karya para
penyair Indonesia), bahkan dapat disebut sebagai kerja estetik yang tak sanggup
beranjak jauh dalam persinggungannya dengan warisan estetik Melayu itu sendiri.
Terpatah-patah, gagap, hingga hanya menuliskan bunyi dan suara yang sebenarnya
dapat disebut sebagai kegagalan kreatif estetik, sejauh upaya untuk memberi
warna segar pada apa yang akan kita sebut sebagai Melayu yang bangga.
Namun meskipun demikian,
sepertinya memang tidak berlebihan jika kita masih tetap optimis dengan
kemutakhiran perpuisian Indonesia, sebab dapatlah dikatakan sejumlah puisi
mampu tampil sebagai karya-karya segar atau inventif, meski dikembangkan dari
khazanah dan formula lama, semisal dari khazanah pantun dan gurindam. Di sini,
kita dapat mencontohkannya (tentu sebagai salah satu contoh) dengan puisi-nya
Nazar Shah Alam yang berjudul Madah Mahar, yang ketika bermain-main dengan
corak pantun dan gurindam, pada saat bersamaan menghadirkan satir-musikal yang
enak dibaca dan didengar, yang tentu saja berbeda dengan puisi-puisi yang
“mengkhotbahkan petuah verbal”, baik petuah politik atau pun petuah moral yang
lebih terkesan tak ubahnya maklumat kampanye partai politik.
Sejumlah puisi yang
termaktub dalam Tuah Tara No Ate dan Sauk Seloko juga rupanya secara sadar
mengangkat tema-tema lokalitas, semisal hikayat dan mitos lokal dalam
masyarakat di mana penyair hidup dan menuliskan karya-karya puisi mereka,
sembari juga berikhtiar menampilkan khazanah corak dan gaya penuturuan puisi
itu sendiri. Kecendrungan para penyair dalam mengangkat tema-tema atau pun
khazanah corak lokal ini bahkan dapat disebut sebagai sebuah trend, terutama
para penyair yang berdomisili di luar Jawa, seakan-akan mereka memang secara
sengaja ingin mengangkat “kosmik” dan khazanah lokal itu sendiri, dan
seakan-akan mereka pun ingin mengatakan bahwa ada kearifan dan humanisme dalam
wawasan dan khazanah lokal, yang di masa kesusastraan Chairil Anwar dipandang
sebelah mata.
Meskipun demikian, para
penyair yang terutama berasal dari wilayah Jawa, semisal Banten, Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur beserta Bali, lebih bebas alias
tidak terlampau berambisi untuk hanya terpaku pada yang lokal semata, meski
kadang-kadang memunculkan khazanah yang local pula. Penyair-penyair di Jawa dan
Bali, rupa-rupanya, lebih terasa lepas dengan persoalan-persoalan lokalitas,
meski tak sepenuhnya. Mereka cenderung lebih nyaman dengan upaya mencari suara
dan metode-metode baru penuturan sajak, tanpa harus merasa terikat dengan
bentuk-bentuk pantun lama atau gurindam, misalnya. Mereka juga tak
sungkan-sungkan menyuarakan renungan-renungan yang sifatnya berlatar pengalaman
atau renungan personal.
Dapatlah dikatakan, para
penyair semisal Pranita Dewi, Ahmad Faisal Imron, Dian Hartati, Ni Made
Purnamasari, Wahyu Arya, Na Lesmana, Ni Made Frischa Aswarini, dan yang
lainnya, terutama dari kalangan para penyair muda, menjadikan puisi sebagai
media untuk mengangkat atau menyuarakan persoalan-persoalan humanisme umum
dengan ragam isu, tentu saja, tanpa merasa berambisi untuk mengangkat tema-tema
lokal, meskipun kadang-kadang para penyair itu mengangkat juga soal-soal
lokalitas, yang sebenarnya dapatlah juga dibaca hanya sebagai peminjaman sementara
ketika mereka mengangkat atau menyuarakan tema-tema humanisme umum, entah yang
sifatnya sosial-politis atau pun yang eksistensial. Mereka juga tampak berusaha
untuk menemukan gaya atau metode penuturan, yang meski belum bisa lepas
sepenuhnya dari corak dan gaya lama, demi “mengatasi” keterbatasan bahasa dan
penuturan, tanpa mesti terlampau terpaku pada corak dan gaya perpuisian lama,
semisal gurindam dan pantun klasik, sebagai contohnya.
Masalah Identitas
Selain persoalan ikhtiar
untuk menemukan metode dan gaya penuturan alias pengungkapan puitis itu
sendiri, salah-satu hal yang menarik dalam perpuisian mutakhir Indonesia adalah
sejumlah ragam tema yang disuarakan karya-karya puisi para penyair, yang
sedikit-banyaknya dapat dibaca sebagai upaya para penyair untuk “menggapai”
identitas kepenyairan masing-masing dengan upaya mereka dalam ikhtiar menemukan
bentuk penulisan dan tema yang mereka angkat atau yang mereka suarakan. Hanna
Fransisca, sebagai contohnya, tampak cukup konsisten mengangkat tema-tema seputar
persinggungan etnik Tiongkok di Indonesia, semisal gugatan tentang konsep
“pribumi” dalam lanskap kewargaan Indonesia di mana menurut Hanna etnik
Tiongkok seolah-olah selalu saja dianggap sebagai non-pribumi meski telah
menjadi warga Negara Indonesia dan telah tinggal puluhan tahun, terutama yang
berkaitan dengan Singkawang. Hanna Fransisca adalah contoh penyair mutakhir
Indonesia yang bergelut dengan persoalan identitas seperti ini, berusaha
memprotest-nya atau menggugat-nya demi menemukan dan menawarkan wawasan baru
persoalan identitas itu sendiri.
Namun, persoalan identitas
ini juga adakalanya berkenaan dengan upaya untuk menampilkan lanskap lokal
tempat-tempat di mana para penyair tinggal dan menuliskan puisi-puisi mereka.
Di sini, sebagai contohnya, karya-karya puisi yang ditulis di NTT, NTB, dan
wilayah Timur Indonesia, persoalan identitas ini mencuat sebagai upaya untuk
mengangkat atau menyuarakan sejarah lokal atau lanskap etnik tempat atau
domisili wilayah para penyair di sejumlah daerah tersebut. Di sini, kita bisa
mencontohkannya dengan puisi-puisinya Ishack Sonlay, Dino F. Umahuk, Sindu
Putra, Mario F Lawi, Marina Lewier, Mahmud Jauhari Ali, Kiki Sulistyo, dan yang
lainnya, yang berusaha menyuarkan lanskap, baik historik maupun mitologik, tanah
tinggal dan tanah kelahiran mereka sebagai sejumlah sumber tema dan wawasan
dalam penulisan puisi-puisi mereka. Dalam hal ini, lokalitas berkelindan dengan
tema atau masalah identitas.
Membaca Perpuisian Mutakhir Indonesia
Eksperimentasi penulisan
dan atau penuturan dan keragaman tema yang diangkat dan atau disuarakan, itulah
gambaran simpilisistis untuk menggambarkan perpuisian mutakhir Indonesia, yang
meski tidak dapat dikatakan sangat tepat, namun setidak-tidaknya dapat menjadi
figura sementara dalam membaca “kemutakhiran” perpuisian Indonesia, di mana
dalam usahanya untuk melakukan “kompromi”, “perlawanan”, dan “penyesuaian” dari
dan terhadap gaya dan bentuk “kelampauan” perpuisian Indonesia, adakalanya
hanya beranjak sedikit saja dari tradisi dan khazanah masa silam, dan memang
kadang “berhasil” menampilkan diri dengan segar dan “mencengangkan”. Sementara
itu, dalam soal tema dan lanskap, banyak sekali para penyair yang dengan
percaya diri mengangkat dan menampilkan tema-tema “lokal-partikular” yang berkenaan
dengan khazanah historik dan mitologik tentang tempat-tempat di mana penyair
tinggal dan menuliskan puisi-puisi mereka, meski tak sedikit pula yang
mengangkat dan menyuarakan tema-tema dan lanskap yang sifatnya perenungan
personal-eksistensial dan tema-tema atau lanskap sosial-politik yang
dikumandangkan dengan puisi-puisi yang menyuarakan ironi dan sindiran sosial.
Akhirnya, “berkah”
Perpuisian Mutakhir Indonesia tersebut memang dapatlah dikatakan terletak pada
ikhtiar eksperimentatif penuturan dan atau gaya penulisan puisi mereka itu
sendiri, yang acapkali sangat prosaik, juga dalam keragaman tema dan lanskap
yang menjadi kosmik dan lanskap puisi-puisi mutakhir Indonesia, yang dalam hal
ini, puisi-puisi yang termaktub dalam dua buku antologi: Tuah Tara No Ate dan
Sauk Seloko.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar