(Foto Oleh Burrard Lucas)
Radar Banten, 8 September 2014
Di jaman ini, pendidikan
sedang mengahadapi ancaman arus kekuatan dari sistem kapitalisme yang hendak
mengubah konsep warga negara (citizenship) yang bebas menjadi konsep konsumen
(consumer) yang hanya akan menjadikan manusia atau masyarakat sebagai “pemamah”
yang tak kritis dan tidak inovatif, hanya menjadikan mereka sebagai konsumen
semata, yang pikirannya hanya terfokus pada mengkonsumsi tanpa batas. Kita
tahu, sistem kapitalisme sekarang ini dengan daya pikat konsumtivismenya
tersebut terus mencengkeram pikiran banyak orang, hingga membuat masyarakat
kehilangan daya kritisnya. Dalam hal inilah (yang senada dengan Visi
Pendidikan-nya Ki Hajar Dewantara), Bertrand Russell mengungkapkan bahwa
pendidikan seharusnya bagaikan seorang tukang kebun (yaitu para guru dan
masyarakat, termasuk institusi keluarga) yang merawat tanaman yang indah (para
siswa dan siswi alias para peserta didik) yang dilihat sebagai sesuatu yang
bernilai pada dirinya sendiri, dan memberikannya pupuk yang menyuburkan, air
yang memadai, serta sinar matahari yang menumbuhkan dan mengembangkannya.
Puluhan tahun silam sebelum kemerdekaan Indonesia, Ki Hajar Dewantara menulis,
“Kita sebagai pendidik hendaknya berdiri di belakang dengan bersemboyan Tut
Wuri Handayani, yakni tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada
anak-anak didik untuk berjalan sendiri” (Asas-asas dan Dasar-dasar Taman Siswa)
Nah, dalam konteks yang
demikian itulah, ada sejumlah pertanyaan mendasar sejauh menyangkut pendidikan:
Apakah esensi dan tujuan pendidikan diselenggarakan hanya untuk memberikan
pengetahuan dan kecerdasan kepada para peserta didik? Yang dalam hal ini
pendidikan tak lebih mentransfer pengetahuan yang telah dipatok kurikulum yang
bahkan acapkali mengulang-ngulang, usang, dan bersifat dogmatis belaka. Atau
apakah pendidikan dimaksudkan demi menciptakan kultur kreativitas dan sikap
mandiri, mencipta budaya inovatif yang akan menyumbangkan daya-cipta dan
kemandirian inovasi bagi bangsa? Dalam arti pendidikan tak hanya memberi ikan,
tapi memberi kail yang dengannya orang yang berpendidikan diharapkan menjadi
insan-insan kreatif dan inovatif hingga tak cuma mengulang-ngulang apa yang
diberikan di sekolah mereka. Dalam wawasan pendidikan alternatif atau pedagogi
kritis, misalnya, pendidikan juga diselenggarakan dalam rangka memberikan
penyadaran dan pencerahan, pemerdekaan dan pembebasan.
Dalam ranah dan wawasan
pendidikan kritis atau critical pedagogy, contohnya, pendidikan tak semata
dimengerti sebagai proses rutin mengajar atau mentransfer materi pelajaran.
Lebih dari itu, pendidikan mestilah dipahami sebagai upaya dan proses untuk
menghasilkan masyarakat yang kreatif dan literat. Kenapa? Karena pada
kenyataannya banyak orang yang berpendidikan tetapi tidak terpelajar. Banyak
orang yang telah menempuh pendidikan formal namun anehnya tidak memiliki budaya
membaca dan gagap menulis, misalnya. Hingga, sebaliknya, banyak orang yang
pendidikan formalnya kadangkala seadanya malah menjadi para innovator dan para
penulis hebat karena budaya membaca dan dorongan kemandirian kreatif mereka.
Bila demikian, pendidikan
mestinya dapat melahirkan kultur dan tradisi kreatif, dalam arti pendidikan
memang semestinya dapat melahirkan individu-individu yang terpelajar dan
innovative, di mana seseorang bersekolah tak sekedar hanya untuk mendapatkan
ijazah tok, yang tak jarang menyewa orang lain dalam mengerjakan skripsi dan
tesisnya hanya demi mendapatkan ijazahnya. Tepat di sinilah relevansi konsep
dan gagasan pendidikan yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara dan lembaga pendidikan
Taman Siswa yang didirikannya dalam rangka menyelenggarakan pendidikan yang
memerdekakan individu agar individu berpendidikan menjadi kreatif, inovatif,
dan terpelajar. Semisal melahirkan individu yang memiliki budaya membaca dan
tidak gagap secara literer. Dalam arti ini, sebagaimana dikemukakan Ki Hajar
Dewantara, pendidikan adalah juga upaya “pembudayaan” dan “pemerdekaan”.
Bila kita membaca
tulisan-tulisannya Ki Hajar Dewantara, barangkali kita akan sedikit terkejut
karena konsep-konsep dan wawasan pendidikan yang dilontarkan dan
diperjuangkannya banyak memiliki kesamaan dengan gagasan dan konsep pendidikan
pembebasannya Paulo Freire. Bagaimana tidak, sebagian besar gagasan dan konsep
pendidikannya Ki Hajar Dewantara yang memiliki banyak kemiripan dengan wawasan
pendidikannya Paulo Freire itu telah lebih dahulu disuarakan Ki Hajar Dewantara
di tahun 1920-an dan 1940-an ketika ia dengan tekun membangun dan mengembangkan
Taman Siswa. Ternyata, jauh sebelum Paulo Freire menyebarkan gagasan pendidikan
pembebasannya itu, Ki Hajar Dewantara telah lebih dahulu memperkenalkan wawasan
dan metode pendidikan yang memerdekakan dan membebaskan.
Sekurang-kurangnya,
sebagaimana tercermin dalam banyak tulisannya yang mengemukakan gagasan
pendidikan dan kebudayaan itu, ada tiga asas utama bagi pendidikan yang
membebaskan dan memerdekakan menurut Ki Hajar Dewantara. Pertama, pendidikan
yang baik adalah pendidikan yang “memerdekakan” dan memberikan ruang yang besar
bagi kebebasan bathin individu agar menghilangkan rasa tertekan yang akan
menyebabkan sikap inferior terhadap individu. Kedua, pendidikan yang mengasuh,
dan bukan mengindoktrinasi, di mana Ki Hajar Dewantara sendiri menyebutnya
dengan istilah Tut Wuri Handayani. Dan Ketiga, pendidikan yang berkualitas
untuk semua kalangan tanpa membeda-bedakan kelas sosial dan golongan.
Konsep dan wawasan
pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan lembaga pendidikan Taman Siswa-nya ini
merupakan pembaharuan dan perombakan dari pendidikan lama yang diselenggarakan
dan dilakukan lembaga-lembaga pendidikan kolonial yang mempraktekkan kekerasan
kepada pribumi demi memaksakan kepatuhan dan ketakutan terhadap sang kolonial
(pemerintah Hindia Belanda). Pemerintah Hinda Belanda sengaja menerpakan
pendidikan yang demikian demi penaklukan dan menanamkan ketakutan kepada
pribumi agar tidak melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akibat bentuk
dan cara pendidikan yang demikian tertanam lah mental inferior dalam diri jiwa
pribumi.
Selain itu, pemerintah
kolonial Hindia Belanda juga mempraktekkan pendidikan elitis dan hierarkis di
mana hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menikmati pendidikan di
sekolah-sekolah yang didirikan dan diselenggarakan pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Contohnya mereka yang dapat bersekolah di lembaga-lembaga yang dibangun
dan diselenggarakan pemerintah kolonial Hindia Belanda adalah anak-anak para
bupati dan wedana yang kooperatif dengan otoritas politik pemerintahan kolonial
Hindia Belanda.
Sebagai seorang pemikir
dan pelaku pendidikan, Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan adalah juga pada
dasarnya sebuah upaya “pembudayaan”. Pembudayaan di sini barangkali dapat
dimengerti secara lentur sebagai usaha untuk menanamkan budaya kreatif dan
kecakapan dalam arti literat, hingga lembaga-lembaga pendidikan dapat melahirkan
individu-individu yang terpelajar. Dan upaya “pembudayaan” ini sebagaimana
dikemukakan Ki Hajar Dewantara dalam beberapa tulisannya hanya dapat dicapai
ketika lembaga dan proses pendidikan dijalankan dengan cara dan proses yang
“memerdekakan” dan “membebaskan”.
Sementara itu, secara
metodis, pendidikan yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang
“mengemong” (mengasuh) di mana ia sendiri menyebutnya sebagai amongsystem
(sistem asuh), seperti yang dikatakannya: “Kita sebagai pendidik hendaknya berdiri
di belakang dengan bersemboyan Tut Wuri Handayani, yakni tetap mempengaruhi
dengan memberi kesempatan kepada anak-anak didik untuk berjalan sendiri”.
Menyimak prasaran Ki Hajar Dewantara dalam tulisannya yang berjudul Asas-asas
dan Dasar-dasar Taman Siswa tersebut, kita akan teringat metode pendidikan dan
pengajaran yang dilakukan Sokrates dengan jalan berdialog, interaksi personal,
dan bertanya, yang dengan demikian membuat setiap individu diberi kesempatan
untuk berusaha menemukan kebenaran dan informasi secara mandiri. Singkatnya,
pendidik semestinya jangan senantiasa memberi ikan, tapi seyogyanya memberi
pancing (kail) untuk mencari ikan itu sendiri. Demikianlah yang hendak
dimaksudkan Ki Hajar Dewantara dengan semboyan pendidikan yang berbunyi Tut
Wuri Handayani. Semoga dengan pendidikan yang memerdekakan inilah bangsa kita
menjadi bangsa yang kreatif, maju, dan berdaya saing. Bangsa yang kuat secara
ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar