“Disampaikan pada acara
Diskusi Bedah Buku Karya Professor Ilzamudin Ma’mur di Auditorium Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa 17 April 2010”
Bagi saya pribadi –buku
yang ditulis oleh Professor Ilzamuddin yang akan kita bahas dalam diskusi di
bedah buku kali ini merupakan sejumlah esei dan artikel prasaran-wawasan yang
sangat baik dan layak mendapatkan sambutan, terutama bila melihat konsen isu dan
isinya yang mencoba memberikan guide alias petunjuk bagi kerja-kerja
intelektualisme dan kepenulisan –yang wajarlah diakui dalam konteks Banten
sendiri mesti terus digalakkan dengan lebih gigih bahkan lebih massif, bila
mempertimbangkan kenyataan tradisi dan institusi kebudayaan dan lembaga-lembaga
intelektual lainnya yang belum terlalu banyak atau pun belum sepenuhnya memadai
di Banten ini.
Buku yang berjudul
“Membangun Budaya Literasi, Meretas Komunikasi Global” yang saya maksudkan itu
cukup baik membincang pentingnya dunia intelektualisme dan kepenulisan –sembari
meneropong dan melihatnya dalam keterkaitannya dengan aspek tradisi dan
institusi, yang mengingatkan saya pada kerja yang telah dilakukan Rabindranath
Tagore yang gigih hingga akhir hayatnya memperjuangkan tradisi keaksaraan,
sampai-sampai ia mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Santiniketan meski
ketika itu ia dalam kesulitan financial –dan juga mengingatkan saya pada
Amartya Sen, yang seperti halnya Rabindranath Tagore, juga memandang dunia
pendidikan dan keaksaraan sebagai fondasi utama kekuatan dan kemajuan sebuah
masyarakat atau pun bangsa, sebagaimana yang ia sampaikan dalam ceramahnya di
Southeast Asian Studies di Singapura di pada tahun 1999 [Sen, Demokrasi Bisa
Memberantas Kemiskinan, Mizan 2000].
Dua figur yang saya
sebutkan itu sama-sama melihat kerja intelektualisme dan kepenulisan atau
keaksaraan –yang tentu saja termasuk di dalamnya adalah kerja-kerja
penerjemahan- akan sangat terkait dengan upaya pembangunan tradisi dan institusi
itu sendiri sebagai penjaga dan penyelenggaranya seperti yang juga pernah
dilakukan oleh Sutan Takdir Alisyahbana sebagaimana yang dibahas secara khusus
oleh Professor Ilzamudin –di mana dalam konteks Professor Ilzamudin dan Sutan
Takdir Alisyahbana sendiri, institusi yang dimaksud tersebut salah satunya
adalah universitas atau pun institusi pendidikan yang sederajat dan yang di
bawahnya.
Bila saya tambahkan,
salah-satu wujud penciptaan tradisi dan institusi tersebut adalah juga
keberlangsungan komunitas yang konsen dalam bidang kepenulisan dan ihktiar
intelektualisme –dalam pengertian institusi yang terakhir inilah saya
menempatkan diri sebagai salah seorang penyumbang pada pembahasannya dalam
diskusi ini.
Kita semua sudah sangat
maphum –seperti yang dipaparkan dengan sangat baik oleh Professor Ilzamuddin,
tradisi membaca dan kerja kepenulisan –juga penerjemahan tentu saja, akan
menyumbang pada peningkatan kapasitas kemampuan masyarakat dalam memajukan diri
mereka, terutama dalam kontestasi global saat ini, yang mengandaikan kecakapan
dan kekayaan pengetahuan untuk menyikapi dan menghadapinya.
Kita pun sama-sama tahu
bahwa buku dan kata –seperti yang dikiaskan dengan jernih oleh Vaclav Havel
melalui eseinya yang berjudul Ein Wort uber das Wort, bahkan bisa merubah dan
membalikkan sejarah ummat manusia, semisal kata demokrasi yang telah
meruntuhkan kekuasaan politik otoriter yang dirasa lebih banyak memberikan
ketakbebasan dan kurang menyumbang produktivitas hidup manusia yang
meniscayakan kebebasan dan terbukanya ruang-ruang publik yang tidak lagi berada
dalam tekanan dan kontrol kekuasaan politik yang berlebihan dan menindas
masyarakat [Havel, Menata Negeri dari Kehancuran, YOI 1995].
Karena itulah kita
sebenarnya sadar juga bahwa persoalan membangun literasi bisa dibilang
kompleks, ia memang mengandaikan hadirnya institusi-institusi pendukung yang
akan menjaga kelangsungan kerja-kerja kepenulisan dan keaksaraan, termasuk
menciptakan pasar dan menyelaraskan kepentingan antara intelektualisme dan
sumbangannya bagi pencerahan dan peningkatan kualitas hidup yang merupakan
keinginan dan aspirasi banyak orang.
Sementara itu –di luar
persoalan membangun institusi dan tradisi, persoalan kepenulisan seringkali
lahir dari individu-individu yang tekun dan memang dengan sungguh-sungguh
mencintai kepenulisan dan kerja-kerja intelektual, sehingga seberapa pun banyak
buku-buku panduan dan wawasan menulis, buku-buku hanya menjadi teori yang tidak
produktif bila setiap pembacanya tidak langsung memulai dan melakukannya dengan
langsung mempraktekkan kerja-kerja kepenulisan dan keaksaraan yang dimaksud.
Juga sebaliknya, buku-buku teori dan panduan menjadi berguna bagi mereka-mereka
yang membutuhkan bimbingan dan wawasan tentang apa dan bagaimana menulis yang
baik dan layak mendapatkan sambutan publik alias pasar.
Demikianlah –dalam
pemahaman saya sebagai seorang yang bisa dibilang cukup lama hidup dan
melakukan aktivitasnya dalam lingkungan dan kebiasaan komunitas, peran yang
dapat dilakukan institusi adalah pada tingkatan menyediakan sarana, membimbing,
memotivasi, dan menjaga keberlangsungan kreativitas individual itu sendiri,
yang pada tingkatan kerja kepenulisan kesastraan sebagai contohnya, praktek
kepenulisan pada akhirnya dilakukan oleh individu-individu masing-masing, yang
dalam kerja-kerja akademis dapat dilakukan secara group atau kelompok riset
yang terdiri dari beberapa orang untuk mengerjakan sebuah karya ilmiah, dan
lain sebagainya.
Tapi rupanya –buku yang
ditulis Professor Ilzamudin, selain ingin memberikan panduan dan wawasan
kepenulisan dan keaksaraan (yang di dalamnya termasuk kerja dan metode
penerjemahan), juga ingin menyarankan agar kerja-kerja tersebut dilakukan
sembari terus mengupayakan dan membangun tradisi dan institusi yang establish
alias prasarana dan sarana yang mapan dan memadai demi menyokong dan
memungkinkan kerja-kerja tersebut dapat berhasil dengan lebih baik dan lebih
besar manfaatnya bagi banyak orang.
Di sini, saya ingat
Restorasi Meiji 1868-1911 yang memprioritaskan anggaran dan prioritas pendidikan
dan keaksaraan hingga mencapai angka 43% [Sen, Demokrasi Bisa Memberantas
Kemiskinan, Mizan 2000]. Itu karena para penentu kebijakan dan para founding
fathers di Jepang ketika itu sepenuhnya sadar bahwa sebelum menggalakan
industrialisasi dan pembangunan ekonomi lainnya, yang pertama-tama harus
dilakukan adalah mempersiapkan kemampuan, skill, dan pengetahuan manusianya
supaya siap bekerja dalam bidang-bidang kerja modern hingga dapat memberdayakan
bangsa sendiri secara maksimal.
Dengan menggalakkan masyarakat
membaca, Jepang sepenuhnya sadar bahwa etos yang dapat disumbangkan kerja
keaksaraan salah-satunya adalah menanamkan spirit kerja keras dan mencintai
ilmu pengetahuan dalam –dan pada masyarakat yang akan memperkaya kecakapan dan
kapasitas kemampuan mereka, yang pada akhirnya dapat membantu peningkatan
kehidupan mereka, terlebih dalam konteks persaingan global saat ini, sebuah era
yang lazim disebut sebagai era kapitalisme lanjut alias Late Capitalism yang
mengandaikan kemampuan adaptasi setiap orang akan sangat tergantung atau
ditentukan oleh kecakapan diri dan kekayaan pengetahuan dan informasi yang
dimiliki masing-masing setiap orang –yang dalam konteks ini, saya teringat
filsafat sosialnya Hegel yang mengatakan bahwa pilihan-pilihan dan kebebasan
masyarakat sesungguhnya terbentuk dalam negosiasi-negosiasi yang simultan
dengan kekuatan eksternal.
Suatu pilihan yang diambil
oleh seseorang, contohnya, terkait dengan akses dan resource sejauh yang
didapat dan diketahuinya –dan konsekuensinya, kemerdekaan justru diukur oleh
derajat kemampuan seseorang itu sendiri dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan
eskternal [Borradori, Filsafat di Jaman Teror, Penerbit Kompas 2005].
Dengan demikian –bila
dikontekskan dengan Banten, buku yang ditulis Professor Ilzam yang kita bahas
hari ini salah-satunya merupakan bisikan untuk membangun tradisi literasi dan
kerja penerjemahan dengan jalan menguatkan institusi yang akan mewadahi dan
menyokongnya, sebab jika kita setia dengan pendekatan institusional,
kerja-kerja intelektual dan kebudayaan secara umum mengandaikan ketersediaan
sarana dan prasarana alias mengandaikan ketersediaan infrastruktur yang akan
mampu membiayainya dan yang akan juga menciptakan pasar-nya.
Juga –karena kita telah
sama-sama tahu, perguruan-perguruan tinggi di Banten belum memiliki alias belum
menyelenggarakan jurusan-jurusan penerjemahan dan masih sedikit yang memiliki
jurusan-jurusan Bahasa Ingris. Jika prasaran Professor Ilzam tentang metode dan
wawasan yang dituangkan dalam bukunya tersebut ingin terwujud, maka tentulah
perguruan tinggi-perguruan tinggi di Banten sudah sewajarnya memiliki
jurusan-jurusan penerjemahan dan jurusan-jurusan Bahasa Ingris yang dapat
mencetak para sarjana Bahasa Ingris dan para penerjemah yang mumpuni hingga
setidak-tidaknya hasil terjemahan mereka dapat diterbitkan atau dipublikasikan
oleh penerbit atau pun oleh media-media cetak lainnya, sebagai contohnya.
Bahkan pada tingkatan yang
lebih jauh, sudah saatnya perguruan tinggi di Banten, sebutlah Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa, segera memiliki Fakultas Ilmu Budaya, yang dengan itu
akan mampu menyediakan sarjana-sarjana yang bisa diandalkan dalam dunia
keaksaraan dan kebudayaan pada umumnya.
Kemudian, sedikit mencoba
berbicara dunia penerjemahan, terutama soal penerjemahan buku-buku
kesusasteraan, saya masih merasakan kesenjangan kultural dan kapital, ketika
kita selama ini menerjemahkan banyak karya-karya dari negara-negara lain,
sementara karya-karya kita masih sangat sedikit yang diterjemahkan oleh mereka.
Memang benar bahwa dengan menerjemahkan banyak literature dan buku-buku dari
bahasa asing, setidak-tidaknya kita mendapatkan banyak khasanah dan wawasan
kultural yang akan berguna bagi kita, tetapi bukan berarti kita juga tidak
mesti berusaha sungguh-sungguh untuk memperkenalkan khasanah kultural kita
sendiri kepada mereka.
Rasanya kita pun sama-sama
tahu, selama sejarah kepenulisan kebudayaan dan kesusasteraan kita, tak satu
pun penulis kita yang pernah dianugerahi penghargaan Nobel, padahal menurut
saya satu dua tiga penulis kita sebenarnya sudah sangat layak untuk menerima
anugerah tersebut. Konon salah-satu faktornya adalah karena masih minim-nya
penerjemahan buku-buku kita atau khasanah kultural-kesusasteraan bangsa kita ke
bahasa asing, atau katakanlah ke bahasa Ingris, sehingga banyak buku-buku yang
dihasilkan penulis-penulis kita tidak diketahui alias tidak dibaca oleh publik
dunia.
Atas dasar pandangan
tersebutlah, saya tak hanya memahami kerja-kerja penerjemahan sebagai
kerja-kerja penerjemahan khasanah kultural dan buku-buku asing ke bahasa kita,
tetapi juga sebaliknya, adalah juga kerja-kerja penerjemahan khasanah kultural
dan buku-buku yang dihasilkan para penulis kita ke bahasa asing. Artinya, sudah
merupakan kewajaran ketika kita nantinya memiliki para penerjemah yang handal,
mereka tak hanya menerjemahkan karya-karya para penulis asing ke dalam bahasa
kita, tetapi mereka juga mestilah menerjemahkan karya-karya dari negeri sendiri
ke bahasa asing, agar kita dapat mengkomunikasikan karya-karya kepenulisan kita
kepada dunia sembari kita saling belajar dari khasanah asing dengan
menerjemahkan karya-karya mereka.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar