Dipresentasikan pada Diskusi
Kubah Budaya, 28 Februari 2009.
Pemaknaan yang simbolis
hanya akan tercapai setelah pemaknaan dan penandaan literal memungkinkan kita
untuk memahami simbol mengandung makna yang lain.
“Orang-orang yang
mengklaim bahwa al Qur’an tidak memiliki makna kecuali apa yang telah
disampaikan oleh tafsir literal (eksoteris) sesungguhnya sedang mengakui
keterbatasan kapasitas kemampuan mereka sendiri untuk melakukan penafsiran
esoteris (ta’wil). Mereka (para literalis) benar dalam pengetahuan mereka,
namun keliru dalam penilaiannya yang menempatkan semua orang berada pada
tingkatan (maqam) mereka yang pemahamannya terbatas” (al Ghazali, Ihya ‘Ulumu
al Din). “Dalam bejana-bejana keberadaanmu terdapat batu-batu permata dan
berlian yang bersinar terang. Tersembunyi di dasar lautan keadaanmu zamrud dan
pecahan tanah. Dan tentang Kami, Kami memiliki dua rumah: dari satu rumah Kami
menggelar taplak makanan dari kenikmatan yang teramat lezat, dan di rumah yang
lainnya Kami menyalakan api kemurkaan” (Sam’ani, Rawh al Arwah). “The sentence
is not a larger or more complex word, it is a new entity. It maybe decomposed
into words, but the words are something other than short sentence. A sentence
is a whole irreducible to the sum of its parts. It is made up of words, but it
is not derivative function of its words. A sentence is made up of signs, but it
is not itself a sign” (Paul Ricoeur, Interpretation Theory)”.
Pada tahun 1976, filsuf
Perancis Paul Ricoeur mempublikasikan karya terpentingnya, Interpretation
Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Karya intelektualnya tersebut tak
diragukan lagi telah memberikan sumbangan teoritis dan metodologis yang sangat
berarti bagi khasanah ilmu-ilmu kemanusiaan dan kritik-sastra, terutama untuk
menjawab ketakpuasannya terhadap cara pandang strukturalisme. Dalam introduksi
karya monumentalnya itu, Ricoeur memaksudkan kerja teoritik dan filosofisnya
untuk memahami dan menguji konsep kesatuan tekstual (the concept of textual
unity) sebagai konstruk bahasa (as a construct of language). Sementara itu pada
tingkatan praktis dan pragmatis, karya teoritiknya itu diniatkan sebagai
kerangka analitik dan hermeneutik untuk memahami bahasa pada ragam produksinya
dalam puisi, pola naratif, dan juga pada esei.
Dengan karyanya tersebut,
Ricoeur membedakan diskursus tulisan (written discourse), yang kemudian ia
definisikan sebagai teks, dari wicara atau kelisanan (spoken). Artinya, yang
dinamakan teks oleh Ricoeur adalah bahasa yang telah dipatenkan dalam bentuk
tulisan, bukan bahasa lisan. Selanjutnya, Ricoeur memperkenalkan konsep
diskursus atau wacana (discourse-text) sebagai hasil dialektis antara makna
(meaning) dan peristiwa (event), di mana peristiwa sebagai pengalaman yang
diekspresikan, diujarkan, atau pun dituliskan merupakan pertukaran
intersubjektif, yang dengan demikian, apa yang ingin dikomunikasikan dalam tiap
diskursus bukanlah apa yang diekspresikan, tetapi makna yang dibawa dan berada
di baliknya. Pada konteks ini, pengalaman yang dihidupi (lived experience)
memang milik ruh pribadi yang unik (private), akan tetapi makna teks atau
ujaran dari ekspresi pengalaman beralih menjadi milik publik pembaca melalui
diskursus yang dituliskan (written discourse) atau apa yang oleh Ricoeur
sendiri disebut sebagai teks (fixed-writing). Sebagai contohnya, perasaan dan
pengalaman subjektif seorang penyair atau novelis memanglah milik pribadi si
penyair atau pun si novelis alias milik dunia bathin penulisnya. Tetapi puisi
atau novelnya sebagai ekspresi selalu berkaitan dengan berbagai makna dalam
pengalaman hidup itu sendiri. Oleh karena itu, sejalan dengan dialektika
makna-peristiwa terdapat lingkaran hermeneutic (hermeneutic-circle) antara
sense atau makna tekstual (textual-meaning) dengan reference atau makna
referensial sebagai makna yang lahir dari hubungan antara teks dengan dunia di
luar teks. Sementara itu, sense atau makna tekstual lahir dari hubungan di
dalam teks itu sendiri yang sifatnya gramatik. Ricoeur menulis:
“To refer is what the
sentence does in certain situation and according to a certain use. It is also
what the speaker does when he applies his words to reality. That someone refers
to something at certain time is an event, a speech event. But this event
receives its structure from the meaning as sense. The speaker refers to
something on the basis of, or through, the ideal structure of the sense. The
sense, so to speak, is traversed by the referring intention of the speaker. In
this way the dialectic of event and meaning receives a new development from the
dialectic of sense and reference” (IT, p.20).
Oleh karena itulah
seringkali makna pengarang atau maksud pengujar (author-meaning /
uttered-meaning) berbeda dengan makna teks atau maksud ujaran (textual-meaning
/ utterance-meaning). Dan perbedaan tersebut merupakan konsekuensi yang lepas
alias berada di luar kendali pengarang. Karena jika yang dinamakan teks adalah
fiksasi (pembakuan) dan inskripsi (tulisan), maka dengan sendirinya sebuah teks
atau pun wacana yang dituliskan (written discourse) telah mendapatkan
otonominya, yang dengan itu pula Ricoeur membedakan antara teks yang telah
dibebaskan dari pengarangnya dengan tindak-wicara (spoken) yang masih sangat
tergantung dengan maksud pengujarnya (the speaker):
“Only this dialectic
(sense and reference) says something about the relation between language and
the ontological condition of being in the world. Language is not a world of its
own. It is not even a world. But because we are in the world, because we are
affected by situations, and because we orient ourselves comprehensively in
those situations, we have something to say, we have experience to bring to
language (p. 20-21)”.
Argumentasi teoritik
tersebut sesungguhnya bernada Heideggerian yang mengasumsikan bahwa pemahaman
dan penafsiran kita tentang dunia tak mungkin dilepaskan dari dunia itu sendiri
di mana kita berada, baik konteks, tempat, wacana epistemologis, dan cakrawala
budaya, di mana kita kemudian berbahasa:
“This notion of bringing
experience to language is the ontological condition of reference, an
ontological condition reflected within language as a postulate which has not
immanent justification; the postulate according to which we presuppose the
existence of singular thins which we identify. We presuppose that something
must be in order that something may be identified. This postulate of experience
as the ground of identification is what Frege ultimately meant when he said
that we are not satisfied by the sense alone, but we presuppose a reference.
And this postulation is so necessary that we must add a specific prescription
if we want to refer to fictional entities such as character a novel or a play”
(p.21).
Dengan kerangka otonomi
semantik tersebut, sebuah karya telah dibebaskan dari ikatannya dengan pengarang,
di mana sebuah karya didekonstualisasikan dari konteks di mana sebuah karya
diproduksi dan dari hubungan sasarannya, yang kemudian direkonstualisasikan.
Dibebaskannya teks dari pengarang adalah dilepaskannya beban dan hubungan
psikologis khusus antara teks dengan pengarangnya. Sementara itu dibebaskannya
teks dari konteks produksi dan kelompok sasarannya adalah dilepaskannya
hubungan-hubungan sosiologis sebuah teks demi memberikan kemungkinan maksimal
kepada teks itu sendiri untuk mengatakan apa yang ingin disampaikannya kepada
publik atau pembaca. Meskipun begitu, otonomi semantik tidaklah dimaksudkan
untuk menyangkal atau pun menolak kepengarangan seseorang seakan-akan sebuah
teks adalah entitas nir-author. Otonomi semantic lebih dimaksudkan bahwa maksud
pengarang bukanlah satu-satunya penentu tafsir atas karya: “What we insist on
its that the subjective intention of the author expressed outside the text does
not decisive authority in comparison the meaning of text itself. The
authorial-meaning becomes a new dimension of the textual meaning”, juga untuk
menghindari dua kekeliruan metodologis: “The intentional fallacy which hold the
subjective intention of the author as the criterion for any valid
interpretation and the fallacy of absolute text, i.e, the fallacy of
hypostasizing the text as authorless entity” (ibid).
Karena itulah pada praktik
penafsiran dan pembacaan, seringkali ada kontradiksi atau ketakcocokan atau pun
pertentangan antara dunia empirik yang dirujuk oleh teks dengan dunia yang
diajukan alias diusulkan (proposed-world / possible-world), dunia yang
diciptakan dan dimaknakan secara baru oleh teks. Artinya, seringkali sebuah
teks atau pun karya lepas dan berada di luar kendali pengarangnya, dari apa
yang dimaksudkan oleh pengarangnya, alih-alih malah menciptakan
kemungkinan-kemungkinan makna dan arti bagi dunia dalam teks itu sendiri. Dan
karya yang berhasil menurut Ricoeur adalah karya yang mampu memberikan
kemungkinan ragam penafsiran dan pembacaan (surplus-meaning).
Dalam khasanah pemikiran dan
penafsiran Islam, tafsir metaforis, alegoris, dan simbolis dikenal dengan
istilah ta’wil alias tafsir esoteris, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi
dan mazhab-mazhab pemikiran yang tidak puas dengan mazhab-mazhab yang cenderung
literal dalam membaca teks semisal kaum Hanbal yang acapkali dogmatis dan tidak
terbuka pada ijtihad. Dalam tradisi ta’wil ini salah-satu tokoh moderatnya
adalah al Ghazali, di mana pendapat-pendapatnya tentang tafsir ia tuangkan
dalam salah-satu karyanya, Ihya ‘Ulum al Din, yang mengakui adanya arti lahir
dan makna bathin dalam sebuah teks: “Memang riwayat dan hadits dan yang lainnya
mengindikasikan bahwa bagi manusia yang memahami (menafsir) terdapat ruang
gerak yang besar, lebar, dan meluas (muttasa’) dalam makna al Qur’an. Begitulah
suata ketika Ali berkata: Rasulullah tidak menceritakan kepadaku apa saja yang
dia sembunyikan dari orang-orang kebanyakan, kecuali bahwa Tuhan memberkati
pemahaman akan al Qur’an kepada manusia. Jika tidak ada makna selain apa yang
telah disampaikan, maka apa yang dimaksudkan dengan pemahaman al Qur’an itu?
Rasulullah menjawab: Sesungguhnya al Qur’an memiliki aspek lahiriah
(verbal-literal) dan aspek bathin (simbolik dan alegorik), sebuah tafsir (hadd)
dan sebuah awal (mathla’). Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud atas
otoritasnya sendiri, dan beliau adalah salah-seorang ahli tafsir. Lalu apa yang
dimaksudkan dengan aspek lahiriah dan aspek bathin, awal dan akhir itu? Ali
berkata: Jika aku boleh berharap, aku ingin membebankan tujuh puluh unta dengan
tafsir surat al Fatihah” (IU:I, h.252).
Meskipun begitu, menurut
al Ghazali, penafsiran esoteris mestilah dilakukan setelah kita memahami arti
literal teks: “Orang hendaknya tidak mengabaikan untuk mempelajari terjemahan
(tafsir lahiriah) terlebih dahulu, karena tidak ada harapan untuk mecapai aspek
bathin (esoteris) al Qur’an sebelum menguasai aspek lahirnya. Orang yang
mengklaim telah memahami rahasia-rahasia (asrar) al Qur’an tanpa pernah
menguasai aspek lahiriahnya adalah seperti orang yang mengaku diri telah
memasuki ruang utama sebuah rumah (sadr al bayt) tanpa pernah melewati
pintunya. Atau seperti orang yang mengaku telah memahami maksud-maksud orang
Turki dari perkataan mereka tanpa pernah menguasai bahasa Turki” (ibid, h.262).
Adapun mengenai pentingnya
tafsir esoteris menurut al Ghazali karena seringkali ada pertentangan
(kontradiksi) dan pembatalan (nasakh) dalam hubungan-hubungan makna sejauh
menyangkut teks-teks al Qur’an: “Perbedaan antara realitas-realitas makna al
Qur’an dan tafsir literal dapat dipahami dari contoh berikut: Sesungguhnya kamu
tidak melempar ketika kamu melempar, tetapi Kami-lah (Allah) yang melempar (al
Qur’an, 8;17). Tafsir literal ayat ini jelas, namun makna sejatinya samar,
karena ia menegaskan pelemparan sekaligus menyangkalnya, dan ini tampak sebagai
pernyataan yang bertentangan” (ibid, h.263).
Bila kita kembali ke
Ricoeur, term dualisme al Ghazali tersebut mendapatkan istilahnya sebagai dua
level atau tingkatan penandaan dan pemaknaan, yang literal dan yang simbolis,
tetapi penandaan dan pemaknaan yang simbolis hanya akan tercapai setelah
pemaknaan dan penandaan literal memungkinkan kita untuk memahami simbol
mengandung makna yang lain atau makna lebih (surplus-meaning), ketika Ricoeur
mengatakan bahwa this surplus of meaning is the residue of literal
interpretation, yang langsung mengingatkan saya pada pandangannya al Ghazali.
Baik Ricoeur dan al Ghazali pun memiliki kesamaan pendapat ketika mengatakan
bahwa bahasa puisi mampu mengandung dan memberikan ragam makna bagi penafsiran
dan pembacaan. Meskipun saya tak tahu apakah Ricoeur membaca Ihya ‘Ulum al Din
ataukah tidak? Meski kita sama-sama tahu bahwa Interpretation Theory-nya Paul
Ricoeur ditulis dan diterbitkan ratusan tahun setelah Ihya ‘Ulum al Din-nya al Ghazali.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar