Radar
Banten, 8 Oktober 2014
Dalam
Teks lengkap Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok ke-16 di Teheran, Republik
Islam Iran pada tanggal 30-31 Agustus 2012 silam, salah-satu poinnya
disebutkan: “Keputusan penting yang
berkaitan dengan masalah manajemen global tidak boleh lagi didominasi oleh
segelintir negara maju. Mengingat perencanaan dilakukan terkait berbagai
masalah yang akan mempengaruhi seluruh negara, maka penting sekali agar
negara-negara berkembang memiliki peran yang lebih besar di lembaga-lembaga
kunci dalam rangka koordinasi dengan berbagai kebijakan di tingkat
internasional”.
Bunyi
Deklarasi GNB tahun 2012 tersebut sangat bermakna sekali, yang salah-satunya
seperti tercermin dalam bunyi deklarasi tersebut, adalah menolak unilateralisme
politik dan ekonomi. Salah-satu bentuk unilateralisme ekonomi-politik itu dalam
skala global adalah oligarkhi dan korporatokrasi global. Secara sederhana, seperti
diutarakan John Perkins, William Baumol dan Carl Schramm, korporatokrasi adalah
suatu sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai atau dijalankan oleh
beberapa korporat. Para korporat ini biasanya para pengusaha kaya raya atau
konglomerat yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan
kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain dalam suatu
Negara dan lintas Negara.
Sementara
itu, secara praktis biasanya para konglomerat ini merupakan donator atau
penyumbang utama yang menghidupi para politikus, pejabat-pejabat militer dan
kepala-kepala instansi suatu negara. Potensi negatif yang bisa muncul dari
korporatokrasi adalah kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang
diundang-undangkan oleh pemerintah hanya menguntungkan bagi bisnis para
konglomerat tertentu saja, sehingga makin menindas golongan ekonomi lemah dan
rakyat yang tidak memiliki kemampuan untuk membuka usaha dan meraih pendapatan.
Dalam
tulisannya yang bertajuk Good Capitalism and Bad Capitalism, William Baumol dan
Carl Schramm menyebutkan empat jenis kapitalisme, yaitu: kapitalisme oligarkhi,
kapitalisme bimbingan Negara, kapitalisme manajerial atau Big Firm, dan
kapitalisme wiraswasta. Dari keempat jenis kapitalisme tersebut, yang paling
berbahaya adalah kapitalisme oligarkhi di mana uang dan kekuasaan hanya
terkonsentrasi pada segelintir elit dan korporat, yang oleh John Perkins
disebut korporatokrasi itu. Sebaliknya, jika sebuah Negara ingin memaksimalkan
potensi pertumbuhannya, William Baumol dan Carl Schramm menyarankan agar sebuah
Negara memadukan kapitalisme manajerial dan kapitalisme wiraswasta. Intinya
memang sebuah Negara mesti cerdik dan cermat menata ekonomi dan kebijakan-kebijak
politik-nya yang berkaitan dengan perencanaan dan keputusan yang menyangkut
ekonomi.
Untuk
konteks Indonesia sendiri, peluang dan kesempatan memang terbuka lebar, meski
banyak yang perlu dibenahi. Sebab kita juga tak bisa begitu saja menampik
sebuah ironi di mana banyak kemajuan yang dialami oleh Indonesia malah
memperparah jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Kita tahu, inequality atau ketimpangan di
Indonesia setiap tahun semakin memburuk. Menurut data Badan Pusat Statistik
(BPS) gini ratio (indeks
yang dipakai buat menunjukkan ketimpangan pendapatan masyarakat antara
pendapatan tertinggi dan terendah) di Indonesia setiap tahun mengalami
peningkatan.
Di
awal pemerintahan SBY pada tahun 2004 saja, gini ratio Indonesia
di angka 0,32, tapi ironisnya dalam waktu sembilan tahun pemerintahannya
terjadi kenaikan sebesar 0,093 menjadi 0,413, yang sejauh ini merupakan angka
ketimpangan terbesar yang pernah dialami Indonesia sepanjang sejarah. Bahkan, bila
diukur dalam skala global, angka ketimpangan Indonesia lebih buruk daripada
Tiongkok dan India. Singkatnya, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin
miskin.
Yah,
hal itu dapat terjadi karena sirkulasi uang, modal, dan pendapatan hanya
terjadi di minoritas orang-orang kaya, hanya di sekitaran para oligarkh yang
monopolis, di mana Negara tidak berusaha memberi peluang (atau juga proteksi)
bagi mayoritas rakyatnya. Selain itu, faktor korupsi tentu saja sangat besar
menyumbang bagi ketidaksehatan keuangan dan ekonomi. Apalagi seperti disinyalir
oleh John Perkins, korupsi ini banyak dilakukan oleh para korporat atau para
multinasionalis yang tak sungkan-sungkan menyuap para pejabat dan para penentu
kebijakan demi memuluskan “usaha” mereka dalam memonopoli potensi uang dan
kekayaaan Negara, semisal bahan-bahan mentah material milik Negara.
Secara
singkat, korporatokrasi seperti yang disinyalir oleh John Perkins itu adalah
perkawinan, perselingkuhan atau katakanlah kongkalikong antara pengusaha alias
korporat dan penguasa, yang seringkali melakukan “monopoli” dan
“tindakan-tindakan sepihak” hingga berani merubah dan mempermainkan
undang-undang.
Masalahnya
adalah seringkali para korporat alias para multinasionalis (pelaku
korporatokrasi) yang menyusun strategi dengan menyambangi Negara-negara sasaran
untuk diajak bekerjasama mayoritas berasal dari MNC-MNC (perusahan-perusahaan)
asing. Nah, Indonesia sendiri menurut John Perkins adalah salah satu Negara
yang selama puluhan tahun sejak Orde Baru jadi korban korporatokrasi. Kita
sama-sama tahu, perusahaan-perusahaan minyak semisal ExxonMobile, Chevron, BP,
dan Freeport adalah ancaman serius yang terus mengeruk kekayaan bumi Indonesia,
di mana seringkali pemerintah kita tidak bisa berbuat banyak karena tekanan
dari tuntutan korporatokrasi tadi. Maka, bukan tanpa alasan jika kita memang harus
menolak kapitalisme oligarkhi dan korporatokrasi global tersebut. Sebagaimana
hal itu juga tersirat dalam bunyi Deklarasi GNB 2012 silam di Teheran itu:
“Pentingnya posisi progresif negara-negara berkembang dari
sisi ekonomi harus tercermin dalam struktur manajemen lembaga-lembaga
internasional. Keputusan penting yang berkaitan dengan masalah manajemen global
tidak boleh lagi didominasi oleh segelintir negara maju. Mengingat perencanaan
dilakukan terkait berbagai masalah yang akan mempengaruhi seluruh negara, maka
penting sekali agar negara-negara berkembang memiliki peran yang lebih besar di
lembaga-lembaga kunci dalam rangka koordinasi dengan berbagai kebijakan di
tingkat internasional”.
Sulaiman Djaya
1 komentar:
makasih mas, tulisannya membantu..
Posting Komentar