oleh Sulaiman Djaya* (Dipresentasikan di
Ruang Teater Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20
Oktober 2016)
UNTUK apa dan bagi siapakah menulis itu
penting? Sebelum menjawab dua pertanyaan yang saya ajukan sendiri itu, izinkan
saya berceloteh, yang tentu saja sejumlah celoteh yang argumentatif dan
‘ilmiah’, bukan celotehan anak-anak baru gede (ABG) yang suka curhat di dunia
maya seperti di jejaring sosial facebook dan yang lainnya.
Dulu kala, bangsa-bangsa yang telah membangun
peradaban-peradaban besar, yang jejak dan warisan atau artefak peninggalan
mereka masih ada hingga saat ini, meski sebagian besar telah musnah, mereka
menuliskan pikiran-pikiran dan pengetahuan-pengetahuan mereka, bahkan
tulisan-tulisan mereka dipahat di monumen-monumen, bangunan-bangunan, dan
sejumlah tempat yang mereka bangun, yang dengan tulisan-tulisan mereka itu
mereka juga hendak bercerita dan ‘mengabarkan’ apa dan bagaimana mereka
menjalani hidup.
Bangsa-bangsa itulah yang kelak kita kenal
telah menciptakan hieroglif, huruf paku, angka-angka, simbol-simbol dan yang
sejenisnya, seperti bangsa Mesir, Mesopotamia, Babilonia, Persia, China (yang
dikenal sebagai bangsa yang pertama-kali menciptakan kertas dan mesiu itu) dan
yang lainnya.
Bahkan mereka yang telah kita klaim sebagai
manusia-manusia berperadaban primitif pun menulis, semisal menulis dan
menggambarkan kehidupan mereka dan apa yang mereka lakukan dalam hidup mereka,
dengan narasi yang menggunakan media gambar, simbol, lukisan, namun intinya
mereka telah bersikap historis dan mempraktikkan dokumentasi, yang karenanya
mereka memberi ‘data’ dan ‘fakta’ kepada kita sebagai manusia-manusia penerus
mereka yang menempati Bumi ini, sehingga kita pun jadi tahu, meski tidak
semuanya, apa dan bagaimana kehidupan mereka di masa silam itu.
Dengan ilustrasi tersebut, praktik ‘menulis’
memang membuat kita tidak sama dengan binatang yang lainnya, dan karena itu
kita yang lazim disebut manusia ini, dalam istilah Bahasa Arab (dalam ilmu
manthiq), disebut ‘al-hayawan al-nathiq’ alias binatang yang berpikir dan
berbahasa, binatang yang menulis, yang artinya bahwa menulis adalah ciri dan
aktivitas binatang yang beradab dan memiliki peradaban.
Singkat kata, menulis adalah atribut dan
kapasitas ‘binatang berperadaban’ yang kebetulan binatang itu adalah manusia,
dan yang dengan tulisan itulah, pengetahuan dan peradaban manusia terus
berkembang, berbeda dengan binatang yang bukan ‘al-hayawan al-nathiq’.
Dan seperti kita tahu, seiring dengan
perkembangan sejarah, zaman, dan kebutuhan manusia yang kian kompleks, menulis
pun dipraktikkan dan berkembang bersamaan dengan semakin beragam pula
kepentingannya, yang contoh-contohnya telah disebutkan, semisal demi
kepentingan historis dan dokumentasi serta mengembangkan pengetahuan manusia
itu sendiri –seperti yang telah saya sebutkan itu.
Praktik menulis-lah
yang akan membedakan orang yang terpelajar dan yang tidak terpelajar. Dalam hal
ini, kemampuan menulis adalah ciri dan atribut orang-orang yang literer dan
terdidik, sebagaimana kejeniusan para ilmuwan, filsuf, dan para pujangga
terpancar, dibuktikan, dan tercermin dari tulisan-tulisan mereka, hingga bahkan
ukuran kecerdasan dan kejeniusan para ilmuwan, para filsuf, dan para pujangga
itu sendiri diukur dari tulisan-tulisan mereka dan karangan-karangan mereka,
selain karena sebab tulisan-tulisan mereka itulah pengetahuan dan kecerdasan
manusiawi itu dapat disebarkan kepada yang lain yang pada saat bersamaan
terdokumentasikan, yang karenanya kecerdasan dan pengetahuan pun menjadi maju
dan berkembang, dan karena itu pula dapat dikatakan bahwa praktik dan laku
menulis adalah rahim peradaban itu sendiri.
Menulis pun sangat berbeda maqom dan
derajatnya dengan membaca ‘tulisan’, meski tak jarang para penulis hebat adalah
juga para pembaca yang suntuk dan sungguh-sungguh –para pembaca dan pembelajar
yang tak kenal kata berhenti untuk terus membaca.
Ketika orang
menulis, pada saat itu ia juga melakukan aktivitas berpikir, menyusun, mengarang,
dan merangkai apa yang ingin ia katakan, apa yang ingin nyatakan, apa yang
ingin ia ungkapkan, apa yang ingin ia argumentasikan melalui tulisannya dengan
bahasa dan kata-kata sebagai medium dan instrumen penyampaiannya, dan karenanya
kemampuan menulis beriringan dengan kecakapan dan kecerdasan berbahasa itu
sendiri. Bagaimana pengetahuan mereka (yang menulis) dapat dikomunikasikan
kepada orang lain alias kepada para pembacanya.
Menulis membutuhkan
energi dan pikiran yang jauh lebih besar ketimbang membaca tulisan, juga tenaga
dalam arti dan pengertian fisikal, karena ketika seseorang menulis-lah ia
melakukan aktivitas berpikir, seperti bagaimana ia harus menyusun dan merangkai
argumentasi serta menata tuturan dan narasi tulisannya agar sistematis dan
dapat dipahami oleh para pembaca.
Menulis merupakan praktik dan laku berpikir
(aksi meditatif) yang sifatnya kognitif dan intelektual serta kerja fisik pada
saat bersamaan, dan dalam hal inilah para penulis adalah pekerja peradaban,
mereka yang bekerja dan mengabdikan hidupnya untuk perkembangan dan kemajuan
sejarah ummat manusia dan peradabannya, sejarah dan kebudayaannya. Dan seperti
telah dikatakan, karena manusia binatang yang berpikir dan berbahasa
(al-hayawan al-nathiq), maka dengan bahasa itulah manusia dapat mengembangkan
pengetahuan, kecerdasan, dan peradabannya secara terus-menerus dan
berkelanjutan.
Dengan tulisan pula-lah pengetahuan dan
kecerdasan manusiawi itu diajarkan, diwariskan, dan dikembangkan kepada dan
oleh generasi manusiawi selanjutnya. Kita bisa tahu, misalnya, bangsa-bangsa
yang maju secara kultural, saintifik, dan historis adalah bangsa-bangsa yang
paling produktif menulis dan paling banyak menerbitkan buku, di mana pada saat
bersamaan (entah ini kebetulan koheren atau bukan) bangsa-bangsa yang maju
secara sains dan tekhnologi adalah bangsa-bangsa yang telah melahirkan para
pujangga besar, seperti Rusia, Jerman, dan Persia, sekedar untuk menyebut
sedikit contoh saja.
Demikianlah, di masa silam, bangsa-bangsa yang
berhasil membangun peradaban-peradaban agung dan sejumlah mahakarya adalah
bangsa-bangsa yang menuliskan pengetahuan dan kecerdasan mereka, dari Mesir,
Babilonia, Mesopotamia, Persia, China, hingga Yunani.
APA
ITU LITERASI DAN SIAPA MANUSIA TERPELAJAR?
SEKARANG ijinkan saya
untuk membincang apa itu literasi, atau yang secara sederhana sering dikatakan
sebagai melek tulis-baca. Secara gamblang dan sederhana, literasi pada dasarnya
adalah “kemampuan berbahasa, yang juga dapat
dikatakan sebagai fasahah”, di mana fasahah dan kemampuan
berbahasa ini terdiri dari empat unsur, yaitu: Pertama, menyimak
atau mendengarkan. Kedua
adalah berbicara. Ketiga adalah membaca. Keempat adalah menulis.
Dalam hal yang
demikian, secara natural, kodrati, atau secara alami, kemampuan berbahasa
bersifat manusiawi, dalam arti merupakan sifat alami manusia,
sebagaimana akal pun mengalami perkembangan, persis seperti yang dikatakan Imam
Ali bin Abi Thalib: “Akal adalah potensi yang semakin bertambah dengan ilmu dan
pengetahuan” (Lihat Amirul Mu’minin Ali kw, Al-Huda 2008, hal.
369). Contohnya adalah bayi yang seiring bertambahnya usia akan belajar
berbahasa tanpa diajarkan, belajar berbahasa melalui imitasi dan adaptasi.
Namun, berbeda dengan
kemampuan berbicara dan mendengarkan atau menyimak dengan indra
pendengaran kita, kemampuan membaca dan menulis hanya dapat diperoleh
dengan mempelajarinya secara khusus atau secara spesifik, melalui
pembelajaran yang sangat terkait dengan perkembangan sains dan ilmu pengetahuan.
Dan tepat di sinilah akan terletak perbedaan antara seseorang “yang
literate atau terdidik” dan seseorang “yang
illiterate alias tak terdidik atau tidak terpelajar”.
Dengan demikian,
seseorang baru bisa dikatakan terpelajar atau dapat
dikatakan literate apabila ia memiliki kemampuan menguasai atau
“mempraktikkan” empat unsur kemampuan berbahasa, yaitu: Pertama
kemampuan menyimak atau mendengarkan, kedua
kemampuan berbicara, ketiga kemampuan membaca, dan keempat
kemampuan menulis. Tanpa memiliki kemampuan membaca dan menulis tersebut,
seseorang tak dapat dikategorikan sebagai “orang yang terdidik atau
seseorang yang literate”.
Kemampuan membaca dan
menulis tersebut pada akhirnya akan saling mendukung dan menguatkan satu sama
lain. Kemampuan membaca pada gilirannya akan mempengaruhi kemahiran menulis,
semisal sebuah kendaraan yang meniscayakan adanya bahan-bakar.
Malangnya, literasi
tersebut belum menjadi tradisi dalam institusi-institusi pendidikan kita. Para
siswa, contohnya, setiap hari hanya dihadapkan pada latihan soal yang sifatnya
repetitif atau mengulang belaka. Para peserta didik di institusi-institusi
pendidikan kita, sebagai contohnya, hanya dijejali informasi-informasi
sebanyak-banyaknya, di mana pendidikan ala bank pada kenyataannya bukan
malah mencerdaskan, melainkan hanya “dogmatisasi” atau bersifat
mengulang-ulang yang tak dibarengi progress atau kemajuan.
Terkait yang demikian,
pendidikan semestinya memberikan “pancing” kepada para murid, bukan memberikan
ikan, yaitu melatih dan “mengajarkan” kemampuan untuk mencari dan menggali
informasi dan pengetahuan secara mandiri dan kreatif, yang dengan demikian,
pendidikan kita akan melahirkan orang-orang yang terpelajar.
MANUSIA
SEBAGAI MAKHLUK LITERATE
ADALAH Syahid
Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam bukunya yang bertajuk Man and
Universe (yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh RausyanFikr
Institute menjadi Falsafah Agama & Kemanusiaan) dengan
sangat bagus menggambarkan dan menerang-jelaskan “posisi” dan “keunikan”
atau “kekhususan” manusia dibanding makhluk lainnya, misalnya dibanding
binatang. Marilah kita simak apa yang ditulis dan dikemukakan Syahid Ayatullah
Murtadha Muthahhari berikut ini:
“Pada hakikatnya,
manusia adalah sejenis binatang yang memiliki banyak kesamaan dengan binatang
lainnya. Kendati demikian, manusia juga memiliki serangkaian ciri yang
membedakan dirinya dengan binatang lain. Serangkaian ciri inilah yang
menempatkan manusia lebih unggul dari binatang....
Ciri-ciri tersebut
pada gilirannya menentukan sifat-sifat manusiawi manusia. Ciri-ciri ini juga
merupakan sumber dari apa yang disebut sebagai kebudayaan manusia yang
berhubungan dengan dua hal: sikap dan kecendrungan....
Sebagaimana binatang
lainnya, manusia juga mempunyai banyak keinginan. Dengan bekal pengetahuan dan
pengertiannya, manusia bersusah payah mewujudkan keinginannya. Manusia berbeda
dengan makhluk hidup lainnya. Perebedaannya manusia lebih tahu, lebih
mengerti...” (Lihat Murtadha Muthahhari, Falsafah Agama &
Kemanusiaan, RausyanFikr Institute Yogyakarta, hal.1).
Dalam paparan
selanjutnya, Syahid Murtadha Muthahhari dengan cukup eksplisit menyatakan bahwa
yang membuat manusia lebih unggul dari binatang adalah karena manusia mampu
mengembangkan bahasa dan inteligensi-nya itu sendiri. Bahasa dan inteligensi
inilah yang adalah juga modal manusia memiliki modal dan kecakapan literer dan
mengembangkan serta memajukan kriya dan kreativitas estetik dan kebudayaannya.
Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari mengemukakan:
“Seekor binatang hanya
mengetahui dunia melalui indra luarnya (seperti: mencium bau, mendengar,
melihat, meraba, dan merasakan sesuatu secara naluri –penerj.). Itulah
sebabnya:
Pertama, tingkat pengetahuannya dangkal. Pengetahuannya ini
tidak sampai menguasai detil segala sesuatu dan tidak memiliki akses ke
hubungan-hubungan internal yang terjadi dalam segala sesuatu itu.
Kedua, pengetahuannya bersifat parsial dan khusus, tidak
universal dan tidak umum.
Ketiga, pengetahuannya bersifat regional (terbatas pada
wilayah tertentu), karena terbatas pada lingkungan hidupnya dan tidak lebih
dari itu.
Keempat, pengetahuannya terbatas pada saat sekarang dan tidak
berkenaan dengan masa lalu dan masa mendatang. Sebab, binatang tidak mengetahui
sejarahnya sendiri atau pun sejarah dunia, binatang tidak berpikir tentang masa
depannya dan juga tidak merancang masa depannya” (Ibid, hal. 2).
Jika kita cermati
dengan seksama apa yang dikemukakan Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari di
atas tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hanya manusia-lah yang
dalam dirinya memiliki potensi-potensi literer dan intelektual, yaitu potensi
berbahasa dan literasi yang mengalami perkembangan, seperti kemampuan menulis, kesanggupan
mengembangkan bahasa, hingga kemahiran dalam capaian sains dan ilmu pengetahuan
itu sendiri.
Dalam konteks tulisan
ini, kita dapat mengatakan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
sanggup mengembangkan dan memajukan potensi tersebut dengan metode pendidikan
yang terlibat atau partisipatoris, pendidikan yang tidak cenderung monologis
tetapi dialogis, persis seperti ketika Socrates menuntun lawan debat
dan sahabat dialognya untuk berusaha “mencapai” kebenaran oleh
dirinya sendiri, atau membiarkan para lawan dialog dan debatnya menggali
pengetahuan secara mandiri, di mana Socrates hanya berfungsi tak ubahnya
seorang “bidan” yang membantu melahirkan.
*Lahir di Serang, Banten. PRESTASI AKADEMIK: [1] Juara
1 Lomba Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Umum Tingkat Sekolah Dasar se-Kabupaten
Serang, Jawa Barat (Tahun 1991). [2] Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat
Mahasiswa IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah (Tahun 1999). [3] Finalis
Sayembara Menulis Esai Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Tahun 2013.
PENGALAMAN ORGANISASI: [1] Redaktur Jurnal Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat IAIN (kini UIN) Syarif
Hidayatullah (2002-2003). [2] Ketua Bidang Intelektual Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Cabang Ciputat (2000-2002). [3] Manajer Program Komite
Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Serang, Banten (2008-2010). [4]
Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten (2016-2018).
PUBLIKASI: Tulisan-tulisannya
pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo
Pos, Media Indonesia, Majalah Trust, Majalah AND,
Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid
Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten
Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid
Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten
Pos, dan lain-lain.
Buku puisi
tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada
tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak
Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra
DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi
Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen
dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk
Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi
Tahun 2012), Tifa Nusantara 2 (Antologi Puisi Pertemuan
Penyair Nusantara di Tangerang, Banten Tahun 2015), 100 Puisi Qurani PARMUSI
(2016), dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar