oleh Ninok
Leksono dan Dody Aviantara
“Perang antara Israel dan Hizbullah di tahun
2006 silam telah menunjukkan kehebatan senjata dan perangkat militer buatan
Rusia dan Iran yang digunakan Hizbullah untuk bertarung dengan senjata dan
perangkat militer buatan Amerika dan Israel yang digunakan tentara Israel”
Perang terakhir di Libanon yang diakhiri
dengan gencatan senjata 14 Agustus (2006) silam masih menyisakan analisis
panjang lebar. Dari analisa tersebut, tidak sedikit yang menyatakan pujiannya
terhadap perlawanan yang diperlihatkan pejuang Hizbullah. Membatasi pembicaraan
dari sisi militer, di sini ingin dikatakan, bahwa meski harus menghadapi
kekuatan militer Israel yang sangat modern, Hizbullah sanggup menimbulkan
kerugian tak kecil di pihak musuh. Hal ini bahkan diakui tentara Israel yang
sempat bertempur di medan Libanon, Juli dan Agustus (2006) silam itu.
Padahal secara umum, berdasar yang tampak dan
terberitakan, orang harus mengatakan bahwa Perang Libanon 2006 jelas perang yang
tidak seimbang. Bagaimana tidak, Israel memiliki angkatan perang termasuk
paling maju di dunia, hal yang dimungkinkan karena dukungan Amerika Serika yang
tanpa reserve kepada negara ini, dengan menggelontorkan bantuan militer
termasuk perlengkapan amat massif.
Sebagai hasilnya, Israel bisa mengerahkan
pesawat tempur canggih F-16I (I dari Israel) dan heli serang AH-64 Apache.
Mungkin saja kedua jenis alat utama sistem senjata (alutsista) ini bukan
sesuatu yang asing di telinga. Tetapi tunggu dulu, karena meski generiknya
sama-sama F-16 dan AH-64, tetapi varian yang dimiliki Israel sungguh varian
yang termasuk paling maju. Misalkan saja F-16I, dengan tambahan tanki bahan
bakar, termasuk yang di sisi badannya (disebut tanki konformal), jelajah jet
tempur ini praktis bisa menjangkau seluruh ibukota negara-negara Timur Tengah.
Belum lagi sistem persenjataannya, yang sebagian dikembangkan sendiri oleh
Israel, seperti rudal udara-udara Python.
Sementara dari pihak Hizbullah, senjata yang
paling sering disebut adalah roket Katyusha (buatan Rusia). Secara historis,
memang ini nama yang mengingatkan orang pada desain lama, bahkan dari sejak era
Perang Dunia II. Hanya saja memang terlalu naif untuk mengatakan semua roket
yang digunakan Hizbullah adalah dari jenis Katyusha. Bahkan Katyusha sendiri
masih cukup merepotkan Israel.
Hizbullah juga sudah semakin tahu cara
mengoperasikan roket ini. Antara lain dengan cara menembakkannya secara
serentak dari sejumlah posisi dan berpindah cepat sehingga Israel tidak mudah
untuk menetapkan lokasi peluncuran untuk dihancurkan. Amerika Serikat sebagai
patron mesin perang Israel sampai harus menciptakan THEL (Tactical High-Energy
Laser) guna menembak Katyusha yang sedang meluncur.
Berangkat dari desain sukses Katyusha yang
berkode BM (BM-13 adalah yang umum), lalu juga Grad BM-21 yang sukses di tahun
1960-an dan dimutakhirkan lagi tahun 1990-an, Hizbullah kini bahkan diberitakan
sudah punya roket balistik nirkendali. Selain dari Rusia, Hizbullah sering
disebut mendapatkan roket dari Iran, termasuk untuk tipe Fajr, yakni Fajr-3 dan
Fajr-5. Adapun roket balistik nirkendali yang disebut sudah dimiliki Hizbullah
adalah Zelzal-2.
Dengan berbagai kemampuan di bidang roket,
Hizbullah lalu bisa mengeluarkan ancaman untuk menyerang ibukota Israel Tel
Aviv, tidak hanya kota-kota Israel di bagian utara seperti Haifa, bila pemboman
terhadap Libanon tak kunjung dihentikan.
MENGHANCURKAN TANK
Baik pemboman membabi buta yang dilakukan
Israel dengan F-16I Sufa, maupun tembakan roket Katyusha, sebagai wujud perang
dengan kemampuan militer asimetri, konsekuensi yang paling menonjol dari Perang
Libanon terakhir adalah jatuhnya korban warga sipil. Di akhir perang,
pemerintah Libanon mengumumkan jumlah korban sudah melebihi 1.000 jiwa.
Pada sisi lain, pihak Hizbullah juga
memperlihatkan prestasi lain. Disamping Katyusha yang lebih berfungsi sebagai
penebar ketakutan bagi warga Israel, mereka juga memiliki senjata yang amat
efektif untuk menghancurkan alutsista yang sangat dibanggakan Israel, yakni
tank.
Pihak Hizbullah tidak saja telah memiliki
senjata anti-tank canggih, tetapi juga berhasil menggunakannya secara efektif,
membuat Israel kehilangan banyak tank di Libanon Selatan. Seperti dilaporkan
harian Yediot Aharonot, dari 25 rudal anti-tank yang ditembakkan Hizbullah,
sekitar seperempatnya – berarti sekitar enam – berhasil menembus lapisan baja
tank Israel.
Mengutip pejabat senior Israel, harian itu
memberitakan bahwa Hizbullah berhasil mengetahui titik lemah tank dan
menghantamnya dengan telak. Padahal Israel amat membanggakan tank Merkava
yang ia buat dengan sistem perlindungan dan lapisan baja amat kuat (AFP/Jakarta
Post, 12/8/06).
Bagi Israel yang dianggap sebagai negara punya
pengalaman perang dengan menggunakan kendaraan lapis baja lebih banyak
dibanding bangsa-bangsa lain di dunia semenjak Perang Dunia II, pengalaman di
Libanon Selatan amat memukul. Di masa lalu, 1982, ketika harus menghadapi
tank-tank Suriah – T-62 dan T-72 – Merkava (yang berarti kereta tempur),
memperlihatkan keunggulan.
Rupanya Israel juga tidak menduga, bahwa
senjata anti-tank Hizbullah akan demikian efektif. Pengamat militer Yiftah
Shapir dari Pusat Kajian Strategis Jaffee menyebutkan, kemungkinan besar
Merkava dihancurkan oleh rudal anti-tank buatan Rusia, yaitu dari tipe Metis-M
dan Kornet. Senjata anti-tank Rusia lain, Sagger, juga telah diproduksi di Iran
dan diyakini telah dimiliki Hizbullah.
Senjata-senjata tersebut mampu menembus
lapisan baja setebal sampai satu meter dan memiliki jangkauan 1,5 sampai 5 km.
Israel sudah mengetahui, Hizbullah punya beraneka-ragam rudal tetapi mungkin
mereka tidak mengira para pejuang itu memiliki Metis-M dan Kornet.
Kemajuan teknologi yang masuk ke tangan
kelompok seperti Hizbullah secara perlahan rupanya telah menggerogoti kehebatan
militer Israel. Jadi meskipun secara menyeluruh Israel masih memiliki arsenal
amat menggentarkan, tetapi efektivitasnya di medan tempur tampak susut. Kalau
misalnya saja kelak Hizbullah juga bisa memiliki rudal antipesawat yang sama
hebatnya seperti Metis-M dan Kornet untuk antitank, bukan tidak mungkin F-16I
pun akan kehilangan kedahsyatannya. Apalagi bila selain unsur alutsista juga
dimasukkan pula unsur kedisiplinan dan semangat berani mati Hizbullah, yang
tampak tidak takut sedikit pun menghadapi Israel, bahkan terkesan malah bisa
mengimbangi militer Israel.
HITECH VERSUS MOBILITAS
Israel mengandalkan mesin perang berteknologi
canggih. Sementara Hizbullah lebih menekankan pada tingkat mobilitas bagi
satuan-satuan dibawahnya. Begitulah gambaran umum taktik perang yang jadi
panutan kedua pihak bertikai. Sekarang masalahnya, sampai perjanjian gencatan
senjata disepakati, Israel tampaknya belum berhasil mencukur habis kekuatan
Hizbullah. Front pertempuran yang terjadi di sebuah bukit di Lebanon Selatan
barangkali bisa jadi rujukan. Kabarnya hampir selama sebulan para prajurit
non-reguler Hizbullah mampu menahan gerak maju infanteri Israel.
Kenyataan itu terasa pas dengan pendapat
seorang ahli masalah Timur-Tengah yang dilansir Harian Washington Post (14/8).
Menurutnya, pejuang-pejuang Hizbullah merupakan gerilyawan paling hebat
sedunia. Kehebatan ini diraih melalui proses perekrutan yang begitu ketat,
pembangunan jaringan bawah tanah dengan rapi, serta sokongan dari sejumlah
negara simpatisan.
Bicara tentang dukungan, urusan yang satu ini
tak bisa dipandang sebelah mata saja. Data intelejen yang berhasil dikumpulkan,
setidaknya Hizbullah mampu meraup beragam bantuan hingga senilai 25 juta dollar
AS tiap bulan. Sokongan datang dari seluruh penjuru dunia dan sebagian besar
mengalir melalui Iran.
PASOKAN RUDAL PERORANGAN
Tentu saja yang namanya bantuan tak hanya
berupa uang. Melainkan juga senjata. Tipenya tak hanya sebatas senjata
perorangan, tapi juga yang berkategori canggih. Sebut saja salah satunya adalah
arsenal pelahap tank. Bukti di lapangan menunjukkan senjata ini jadi momok
paling menakutkan bagi pasukan darat Israel. Uniknya lagi tipe rudal antitank
yang dioperasikan tak hanya terpatok pada satu jenis saja. Alhasil, strategi
macam ini membuat Tel-Aviv benar-benar pusing membuat obat penangkalnya,
lantaran tiap rudal punya karakter berbeda-beda.
Lagi-lagi berpegang pada sumber intelejen,
Hizbullah dikabarkan memiliki rudal anti-tank berpemandu kawat (wire-guided)
serta laser (laser guided). Untuk tipe berpengendali tercatat mulai dari rudal
bersistem MCLOS, AT-3 Sagger (9M14 Malyutka), AT-13 Saxhorn (9K115-2 Metis-M),
hingga tiruan Milan, AT-14 (9M133 Kornet-E). Rata-rata rudal buatan Rusia
tersebut punya jarak jangkau antara 100 meter hingga 5,5 kilometer. Dari ketiga
tipe tadi, bisa dibilang Metis dan Kornet merupakan ancaman paling serius.
Pasalnya, keduanya sudah dilengkapi hulu ledak ganda yang sangat ampuh menjebol
lapisan aktif tahan peluru.
Selain rudal, pejuang Hizbullah juga dibekali
dengan arsenal antitank tanpa pemandu (unguided). Tipe yang jadi momok adalah
pelontar geranat roket generasi penerus RPG-7, yaitu RPG-29 Vampir. Mirip
dengan Metis dan Kornet, senjata seharga 800 dollar perpaketnya ini juga
dibekali hulu ledak ganda. Kabar yang beredar, Hizbullah mendapat pasokan
RPG-29 lewat Suriah.
Maut yang bakal ditebarkan pejuang Hizbullah
tak hanya sebatas mengancam arsenal darat Israel saja, melainkan juga udara.
Sumber Janes Defence Weekly (7/8), misalnya, menyebutkan kalau Iran nyata-nyata
telah bersedia memasok Hizbullah dengan beragam tipe rudal anti-pesawat
portabel. Tipenya mulai dari SA-7 Grail (Strela-2/2M), SA-14 Gremlin (Strela-3),
dan SA-16 Gimlet (Igla-1E). Teheran pun berjanji pula untuk menyertakan
rudal-rudal anti-pesawat buatannya Mithaq-1 yang tak lain merupakan jiplakan
rudal QW-1 Vanguard lansiran Cina.
LEGENDA KATYUSHA
Selain senjata yang gampang ditenteng
kemana-mana, Hizbullah juga memiliki senjata berdaya hancur masal yang
dikalangan umum lebih dikenal dengan nama Katyusha. Ibarat film layar lebar,
Katyusha merupakan lakon utama dalam konflik Israel di Libanon tahun 2006.
Merujuk istilah militer, arsenal ini sebenarnya masuk dalam golongan roket
artileri konvensional asal Rusia. Ini artinya senjata baru bisa menimbulkan
efek kehancuran total bila diluncurkan dalam jumlah banyak dengan target
terkonsentrasi.
Sejumlah sumber menyebutkan, saat konflik
pecah Hizbullah diyakini punya lebih dari 13.000 unit Katyusha. Dari jumlah itu
sedikitnya sudah 4.000-an yang dilontarkan ke target-target di Israel dari
Selatan Libanon. Hingga 14 Agustus lalu diperkirakan korbannya mencapai 42
orang sipil dan 12 tentara Israel.
Bila dilihat dari cara pelontaran, kekuatan
roket Hizbullah terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama merupakan
roket-roket yang dilontarkan dari peluncur multi. Masuk dalam klasifikasi ini
adalah BM-21, BM-27, Fadjr-3, dan Fadjr-5. Kategori ini punya jarak jangkau
antara 20 sampai 75 kilometer. Sekadar tambahan, Fadjr tak lain merupakan
sistem peluncur roket multi hasil rekayasa Iran.
Kategori kedua merupakan roket berpeluncur
tunggal. Ra’ad-1 (Shahin-1) merupakan salah satu contohnya. Jarak
tembaknya memang hanya mencapai angka 13 kilometer saja. Tapi bobot hulu ledak
yang bisa diusung mencapai 190 kilogram. Sekarang bandingkan dengan peluncur
multi berat asal Rusia macam BM-27 yang setiap pucuk roketnya cuma dibekali
hulu ledak berbobot 100 kilogram.
Namun dari sekian banyak roket milik
Hizbullah, ada satu yang benar-benar membuat Israel kelabakan. Zelzal-2, begitulah
nama arsenal tanpa penuntun (unguided) itu biasa disebut. Ditengok dari
segi teknis, kekhawatiran Tel-Aviv memang cukup beralasan. Berbekal hulu ledak
seberat 600 kilogram, Zelzal bisa dipakai menghantam target pada jarak lebih
dari 200 kilometer. Ini artinya bila diluncurkan dari Lebanon roket yang dibuat
Iran dengan basis roket balistik eks Soviet, Frog-7 itu mampu mengobrak-abrik
pemukiman padat di bagian Utara Tel-Aviv. Sumber intelejen Israel memperkirakan
Hizbullah baru memiliki Zelzal-2 sejak awal Agustus lalu.
TAMENG LASER
Menghadapi gempuran Katyusha, Israel menggelar
kekuatan militer berskala besar. Ratusan ribu pasukan darat dengan dukungan
satuan MBT Merkava dikerahkan. Operasi juga disokong armada pesawat dan heli
tempur. Sebut saja mulai dari F-16C/D, F-16I Sufa, F-15I, hingga heli AH-64D
Longbow. Sejak konflik pecah, tercatat Angkata Udara Israel ini telah menggelar
lebih dari 15.500 sorti penerbangan tempur. Sementara target yang dituju ada
lebih dari 7.000 titik.
Menarik untuk disimak, dalam konflik ini Angkatan
Udara Israel menampilkan sejumlah arsenal yang tergolong baru. Untuk mengetahui
posisi titik luncur Katyusha misalnya, Tel-Aviv perangkat sensor khusus
berteknologi laser. Bicara tentang sinar laser bisa dibilang teknologi ini
bukanlah barang baru di Israel. Beberapa tahun yang lalu negeri ini pernah
menggandeng Amerika Serikat untuk menciptakan perangkat laser perontok rudal
balistik berlabel THEL (Tactical High Energy Laser).
Pada awalnya, di atas kertas, THEL dianggap
mumpuni. Sinar laser yang dipancarkannya ditanggung mampu menyulut hulu ledak
rudal saat masih melesat di udara. Namun urusan tembakan yang begitu akurat
ternyata tak disokong oleh ringkasnya pengoperasian THEL di lapangan. Bahkan
saat Amerika Serikat-Israel berusaha mendongkrak mobilitas perangkat dengan
menciptakan Mobile THEL, tetap saja senjata tersebut dianggap kurang layak
operasional.
Lepas dari urusan senjata ala perang bintang,
dalam konflik tahun ini Angkatan Udara Israel menurunkan bom jenis baru bernama
Carpet.
Secara umum senjata hasil rekayasa pabrikan
RAFAEL ini merupakan arsenal anti-ranjau. Berujud seperti proyektil berukuran
mini, setiap unit Carpet berisi campuran bahan bakar-udara berdaya ledak
tinggi. Saat dioperasikan pada wilayah yang dicurigai banyak tertanam ranjau,
arsenal ini akan meledak menghasilkan tekanan tinggi. Efek dari tekanan tadi
selanjutnya akan memicu setiap detonator. Dalam pengoperasiannya lewat udara,
Carpet bisa dilepaskan dari jarak yang aman (stand-off capability).
Bisa dibilang hampir sebagian besar kekuatan Angkatan
Bersenjata Israel dikerahkan dalam konflik yang terjadi antara 12 Juli hingga
gencatan senjata efektif diberlakukan 14 Agustus (2006) lalu itu. Bahkan selama
konflik terjadi, Tel-Aviv secara terang-terangan meminta bantuan suplai senjata
dari Amerika Serikat. Termasuk didalamnya bom-bom pintar penghancur bunker
serta roket-roket M26 bagi armada MLRS (Multi Launched Rocket System) milik AD
Israel. Toh sampai akhir konflik tujuan operasi militer Israel untuk
memberangus semua roket Katyusha milik Hizbullah kurang membuahkan hasil.
Sebaliknya para pejuang militan itu nyata-nyata berhasil membuat gentar hati
para petinggi Israel dengan serangan roket yang bertubi-tubi.
ANTARA HIZBULLAH, ISRAEL, DAN LIBANON
Hizbullah, Israel, dan Lebanon, itulah tiga
elemen yang terlibat dalam konflik di Timur-Tengah tersebut. Diatas kertas,
tentu saja kekuatan militer Israel adalah yang terbaik. Sumber Jane’s Defence
Weekly (Agustus 2005) menyebutkan, Tel-Aviv sedikitnya punya 186 ribu serdadu
plus lebih dari 630 ribu pasukan cadangan. Kekuatan segede ini masih didukung
lebih dari 2.300 unit tank, 7.800 pucuk artileri, 732 pesawat dan 202 heli
militer, serta 59 kapal perang. Agar semua kekuatan tadi bisa operasional,
Israel masih mendapat suntikan dana militer dari Amerika Serikat sebesar 2,16
miliar dollar AS. Sumbangan dana itu langsung membuat belanja pertahanan jadi
melonjak hingga 9,99 miliar dollar.
Beda dengan Israel, pihak Barat nyata-nyata tak
pernah bisa memprediksi secara tepat komposisi kekuatan Hizbullah. Tapi jangan
salah, justru disinilah letak kehebatannya. Dengan demikian, lawan tak bakal
bisa menerka takaran serangan yang bakal dilancarkan. Masih dari sumber yang
sama, hitungan kasarnya Hizbullah diperkirakan punya sekitar 300 hingga 1.200
pasukan aktif. Ini belum terhitung jumlah pasukan cadangan atau simpatisan yang
sewaktu-waktu bisa digerakkan.
Soal senjata, mereka punya andalan yang cukup
membuat Tel-Aviv ketar-ketir. Masuk dalam kategori artileri, kalangan umum
biasa menyebut arsenal ini sebagai roket Katyusha. Jumlah yang dikabarkan
mencapai ribuan. Bila disimak lebih teliti, sesuai dengan jarak jangkau,
sebenarnya ada beragam tipe yang dimiliki. Sebut saja mulai dari roket Zelzal-2,
Fajr-3, Fajr-5 buatan Iran, serta pelontar multi Grad asal Rusia. Uniknya,
sebutan sejenis juga dilontarkan pada rudal jelajah permukaan-permukaan
(antikapal), C-802.
Bila saja kekuatan militer Libanon bisa
mengimbangi Israel, barangkali Tel-Aviv akan berpikir seribu kali buat
melancarkan serangan ke negeri itu. Sayang, semua hanyalah mimpi. Total kekuatan
Beirut hanya bisa mengandalkan 72.000 serdadu, 115 tank, 455 artileri, 49 heli
militer, plus 34 kapal perang. Jumlah anggaran perang juga tergolong payah. Tercatat
pada tahun 2003, militer Libanon hanya kebagian jatah anggaran belanja sebesar
512 juta dolar.
MENGGEBUK SAMPAI LAUT
Soal senjata, Hizbullah memang penuh dengan
kejutan. Paling tidak ini bisa dibuktikan pada 14 Juli (2006) lalu, ketika
sebuah kapal perang Angkatan Laut Israel tersengat rudal jelajah anti-kapal
berpemandu radar yang diluncurkan Hizbullah dari Beirut. Jane’s Defence Weekly
menyebutkan, rudal yang dipakai adalah tipe C-802 Noor (Tondar) buatan Iran.
Bila ditengok lebih teliti, Noor tak lain
merupakan kembaran rudal C-802 (YJ-82/CSS-N-8) Saccade racikan Cina. Di
negeri asalnya, rudal ini pertama kali muncul pada tahun 1989. Jarak jangkaunya
mencapai angka 120 kilometer. Ini artinya rudal memang bisa menjangkau target
kapal-kapal perang Israel, bila dilepaskan dari Beirut. Kemampuan lain yang tak
kalah penting terletak pada mobilitas. Bermodalkan kendaraan pengangkut, maka
posisi Noor bisa dipindah-pindah.
Bagi Tel-Aviv, serangan tadi cukup
mengejutkan. Betapa tidak? Dari sisi teknologi, kapal yang jadi korban masuk
dalam kategori canggih. INS Hanit (503) yang saat itu sedang berada 16
kilometer dari pantai Libanon merupakan kapal korvet kelas Eilat (Saar 5)
berdesain siluman. Sentuhan teknologi tinggi juga melekat pada sistem
pertahanan berlapis yang diusungnya. Lihat saja, di atas dek kapal bertebaran
hardware anti-rudal macam kanon multilaras Phalanx dan rudal Barak.
Menanggapi tertembaknya korvet Hanit, para
petinggi militer Angkatan Laut Israel berkilah bukan sepenuhnya akibat
kegagalan sistem anti-rudal pada kapal. Kasus ini terjadi lantaran data
intelejen yang diterima tak menekankan adanya ancaman rudal anti-kapal di
sekitar pantai Libanon. Alhasil saat kejadian, kapal tak sepenuhnya
mengaktifkan semua sensor maupun sistem pertahanan rudalnya.
Analisa sodoran defense-update (17/7) bisa
jadi rujukan fakta yang terjadi di lapangan. Menurut situs pertahanan itu,
Hizbullah sebenarnya meluncurkan dua rudal C-802 secara simultan. Masing-masing
dengan acuan penerbangan yang berbeda. Sebuah rudal dipakai menyerang dari
ketinggian (high-attack) dan lebih berfungsi untuk menipu sensor lawan. Memang
pada kenyataannya rudal ini tak berhasil menemukan sasarannya. Dan terus
melesat mengenai kapal sipil milik Mesir yang berada pada jarak 44 kilometer
dari Hanit.
Pada waktu yang bersamaan rudal kedua
menerapkan taktik terbang rendah (low-attack). Nah, Rudal terakhir inilah yang
berhasil menemui targetnya, menjebol bagian belakang kapal (helipad), sekaligus
membuat sistem kemudi lumpuh. Walau pihak Israel menyatakan warhead rudal tak
meledak, namun tetap saja hantamannya mengakibatkan empat orang pelaut Angkatan
Laut Israel mesti rela kehilangan nyawa.
UAV-PUN MEREKA PUNYA
Selama ini predikat sebagai biangnya pesawat
mata-mata tanpa awak (UAV) berada di tangan Israel. Lihat saja apa yang
berhasil dilakukan Tel-Aviv saat membungkam situs-situs rudal anti-pesawat
Suriah di Lembah Bekaa pada era 80-an. Mereka mengerahkan armada UAV untuk
mengelabui lawan.
Nah, dalam konflik dengan Hizbullah tahun 2006
ini tampaknya Israel mesti rela taktik temuannya dicontek oleh lawan. Sejumlah
wahana nir-awak berlogo Hizbullah kerap mereka pergoki nyelonong ke wilayah
udara Israel. Dari sekian banyak kasus yang ada tercatat kejadian pada 13
Agustus lalu boleh jadi membuat was-was hati para petinggi militer Israel.
Pasalnya pada dua UAV Hizbullah yang berhasil ditembak jatuh hari itu dipergoki
bahan peledak seberat 30 kilogram.
Bila ditarik kebelakang, sebenarnya taktik
serangan UAV bukanlah barang baru bagi Israel. Sekretaris Jenderal Hizbullah,
Hassan Nasrallah pernah mengumumkan pada Bulan April tahun sebelumnya rencana
mengerahkan UAV pengusung bahan peledak. Setiap UAV bisa dipasang bahan peledak
berbobot antara 40 sampai 50 kilogram dan dijamin mampu mencapai wilayah
terdalam Israel. Namun Tel Aviv menganggap pernyataan Nasrallah tadi tak lebih
sebagai gertak sambal belaka.
Sampai sekarang diperkirakan Hizbulah memiliki
dua jenis UAV buatan Iran. Masing-masing adalah UAV berekor ganda bersayap
delta Mersed-1 dan Ababil. Secara teknis, Ababil memang mampu mengangkut beban
hingga 45 kilogram dengan jarak jangkau sampai 150 kilometer. UAV ini
mampu terbang dengan kecepatan 300 kilometer per-jam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar