Lahir di keluarga Muslim Syi’ah Irak, Ibn
Haitham dikenal sebagai seorang yang gemar membaca, meneliti dan melakukan
eksperimentasi. Ia juga masyhur sebagai penemu bendungan atau waduk untuk
menata dan mengatur distribusi air bagi kebutuhan pertanian dan untuk konsumsi.
Namun, tentu saja, penemuannya yang terbesar, yang kemudian diakui para ilmuwan
Barat, adalah dasar-dasar bagi kerja dan fungsi kamera dan keberhasilannya
membuktikan kekeliruan teori optiknya Ptolomeus dan Euclid.
Demikianlah, jauh sebelum masyarakat Barat
menemukan kamera, prinsip-prinsip dasar pembuatan kamera telah dicetuskan
seorang sarjana Muslim sekitar 1.000 tahun silam. Peletak prinsip kerja kamera
itu adalah seorang saintis legendaris Muslim bernama Ibnu Al-Haitham, yang di
Barat masyhur dengan nama Al-Hazen.
Kala itu, tepatnya pada akhir abad ke-10 M,
Ibn Al-Haitham atau Al-Hazen berhasil menemukan sebuah kamera obscura. Itulah
salah satu karya Ibn Al-Haitham yang paling monumental. Penemuan yang sangat
inspiratif itu berhasil dilakukan Ibn Al-Haitham bersama Kamaluddin Al-Farisi
dari Persia (Iran). Keduanya berhasil meneliti dan merekam fenomena kamera
obscura. Penemuan itu berawal ketika keduanya mempelajari gerhana matahari.
Untuk mempelajari fenomena gerhana, di mana saat itu Ibn Al-Haitham membuat
lubang kecil pada dinding yang memungkinkan citra matahari semi nyata
diproyeksikan melalui permukaan datar.
Kajian ilmu optik berupa kamera obscura itulah
yang mendasari kinerja kamera yang saat ini digunakan umat manusia. Oleh kamus
Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan sebagai ”ruang gelap”. Biasanya
bentuknya berupa kertas kardus dengan lubang kecil untuk masuknya cahaya. Teori
yang dipecahkan Ibn Al-Haitham itu telah mengilhami penemuan film yang kemudian
disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton.
“Kamera obscura pertama kali dibuat ilmuwan
Muslim, Abu Ali Al-Hasan Ibnu Al-Haitham, yang lahir di Basra (965-1039 M),”
demikian ungkap Nicholas J Wade dan Stanley Finger dalam karyanya berjudul The
eye as an optical instrument: from camera obscura to Helmholtz’s perspective.
Tentu saja, yang tak boleh dilupakan, dunia
mengenal Ibn Al-Haitham sebagai perintis di bidang optik yang terkenal lewat
bukunya bertajuk Kitab Al-Manazir (Buku Optik). Untuk membuktikan teori-teori
dalam bukunya itu, sang fisikawan Muslim legendaris itu lalu menyusun Al-Bayt
Al-Muzlim atau lebih dikenal dengan sebutan kamera obscura, atau kamar gelap.
Bradley Steffens dalam karyanya berjudul Ibn Al-Haytham: First Scientist
mengungkapkan bahwa Kitab Al-Manazir merupakan buku pertama yang menjelaskan
prinsip kerja kamera obscura. “Dia merupakan ilmuwan pertama yang berhasil
memproyeksikan seluruh gambar dari luar rumah ke dalam gambar dengan kamera
obscura,” papar Bradley.
Istilah kamera obscura yang ditemukan Ibn
Al-Haitham pun diperkenalkan di Barat sekitar abad ke-16 M. Lima abad setelah
penemuan kamera obscura, Cardano Geronimo (1501 -1576), yang terpengaruh
pemikiran Ibn Al-Haitham mulai mengganti lobang bidik lensa dengan lensa
(camera). Setelah itu, penggunaan lensa pada kamera onscura juga dilakukan
Giovanni Batista della Porta (1535–1615 M). Ada pula yang menyebutkan bahwa
istilah kamera obscura yang ditemukan Ibn Al-Haitham pertama kali diperkenalkan
di Barat oleh Joseph Kepler (1571 – 1630 M). Kepler meningkatkan fungsi kamera
itu dengan menggunakan lensa negatif di belakang lensa positif, sehingga dapat
memperbesar proyeksi gambar (prinsip digunakan dalam dunia lensa foto jarak
jauh modern).
Setelah itu, Robert Boyle (1627-1691 M), mulai
menyusun kamera yang berbentuk kecil, tanpa kabel, jenisnya kotak kamera
obscura pada 1665 M. Setelah 900 tahun dari penemuan Ibn Al-Haitham pelat-pelat
foto pertama kali digunakan secara permanen untuk menangkap gambar yang
dihasilkan oleh kamera obscura.
Foto permanen pertama diambil oleh Joseph
Nicephore Niepce di Prancis pada tahun 1827. Tahun 1855, Roger Fenton
menggunakan plat kaca negatif untuk mengambil gambar dari tentara Inggris
selama Perang Crimean. Dia mengembangkan plat-plat dalam perjalanan kamar gelapnya
– yang dikonversi gerbong. Tahun 1888, George Eastman mengembangkan prinsip
kerja kamera obscura ciptaan Ibn Al-Haitham dengan baik sekali. Eastman
menciptakan kamera kodak. Sejak itulah, kamera terus berubah mengikuti
perkembangan teknologi.
Sebuah versi kamera obscura digunakan dalam
Perang Dunia I untuk melihat pesawat terbang dan pengukuran kinerja. Pada
Perang Dunia II kamera obscura juga digunakan untuk memeriksa keakuratan
navigasi perangkat radio.
Begitulah penciptaan kamera obscura yang dicapai
Ibn Al-Haitham mampu mengubah peradaban dunia. Peradaban dunia modern tentu
sangat berutang budi kepada ahli fisika Muslim yang lahir di Kota Basrah, Irak
ini. Ibn Al-Haitham juga selama hidupnya telah menulis lebih dari 200 karya
ilmiah yang semua itu ia dedikasikan untuk kemajuan peradaban manusia.
Sayangnya, umat Muslim lebih terpesona pada pencapaian teknologi Barat,
sehingga kurang menghargai dan mengapresiasi pencapaian ilmuwan Muslim di era
kejayaan Islam.
Dalam hal ini, penting juga untuk diketahui,
kata kamera yang digunakan saat ini berasal dari bahasa Arab, yakni qamara.
Istilah itu muncul berkat kerja keras Ibn Al-Haitham. Bapak fisika modern itu
terlahir dengan nama Abu Ali Al-Hasan Ibnu Al-Hasan Ibnu Al-Haitham (Bahasa
Arab:ابو
علی،
حسن
بن
حسن
بن
الهيثم)
di Kota Basrah (Basra, 965 - Kairo 1039), Persia, saat Dinasti Buwaih dari
Persia menguasai Kekhalifahan Abbasiyah.
Ibn Al-Haitham yang dikenal dalam kalangan
cerdik pandai di Barat dengan nama Al-Hazen ini adalah seorang ilmuwan Islam
yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan
filsafat. Ia banyak pula melakukan penyelidikan mengenai cahaya, dan telah
memberikan ilham kepada ahli sains Barat seperti Roger Bacon dan Johann Kepler
dalam menciptakan mikroskop serta teleskop.
Sejak kecil Ibn Al-Haitham dikenal berotak
encer alias jenius dan cerdas. Ia menempuh pendidikan pertamanya di tanah
kelahirannya. Kala beranjak dewasa ia merintis kariernya sebagai pegawai
pemerintah di Basrah. Namun, Ibn Al-Haitham lebih tertarik untuk menimba ilmu
daripada menjadi pegawai pemerintah. Setelah itu, ia merantau ke Ahwaz dan
metropolis intelektual dunia saat itu yakni kota Baghdad.
Di kedua kota itu ia menimba beragam ilmu.
Ghirah keilmuannya yang tinggi membawanya terdampar hingga ke Mesir. Ibn
Al-Haitham pun sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar yang
didirikan oleh Panglima Perang Syi’ah bernama Jauhar Al-Siqily dari
Kekhalifahan Fatimiyah itu. Setelah itu, secara otodidak, ia mempelajari ragam
ilmu hingga menguasai beragam disiplin ilmu seperti ilmu falak, matematika,
geometri, pengobatan, fisika, dan filsafat.
Secara serius dan tekun dia mengkaji dan
mempelajari seluk-beluk ilmu optik. Beragam teori tentang ilmu optik telah
dilahirkan dan dicetuskannya. Dialah orang pertama yang menulis dan menemukan
pelbagai data penting mengenai cahaya. Konon, dia telah menulis tak kurang dari
200 judul buku. Dalam salah satu kitab yang ditulisnya, Al-Hazen – begitu dunia
Barat menyebutnya – juga menjelaskan tentang ragam cahaya yang muncul saat
matahari terbenam. Ia pun mencetuskan teori tentang berbagai macam fenomena
fisik seperti bayangan, gerhana, dan juga pelangi.
Keberhasilan lainnya yang terbilang fenomenal
adalah kemampuannya menggambarkan indra penglihatan manusia secara detail. Tak
heran, jika ‘Bapak Optik’ dunia itu mampu memecahkan rekor sebagai orang
pertama yang menggambarkan seluruh detil bagian indra pengelihatan manusia.
Hebatnya lagi, ia mampu menjelaskan secara ilmiah proses bagaimana manusia bisa
melihat. Teori yang dilahirkannya juga mampu mematahkan teori penglihatan yang
diajukan dua ilmuwan Yunani, yaitu Ptolomeus dan Euclid. Kedua ilmuwan ini
menyatakan bahwa manusia bisa melihat karena ada cahaya keluar dari mata yang
mengenai objek. Berbeda dengan keduanya, Ibn Al-Haitham mengoreksi teori ini
dengan menyatakan bahwa justru objek yang dilihatlah yang mengeluarkan cahaya
yang kemudian ditangkap mata sehingga bisa terlihat.
Secara detail, Ibn Al-Haitham pun menjelaskan
sistem penglihatan mulai dari kinerja syaraf di otak hingga kinerja mata itu
sendiri. Ia juga menjelaskan secara detil bagian dan fungsi mata seperti
konjungtiva, iris, kornea, lensa, dan menjelaskan peranan masing-masing
terhadap penglihatan manusia.
Hasil penelitian Ibn Al-Haitham itu lalu dikembangkan
Ibnu Firnas di Spanyol dengan membuat kaca mata. Dalam buku lainnya yang
diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul Light On Twilight Phenomena, Ibn
Al-Haitham membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan
matahari serta bayang-bayang dan gerhana.
Menurut Ibn Al-Haitham, cahaya fajar bermula
apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk timur. Warna merah pada senja
akan hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Ia pun
menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya. Ibn
Al-Haitham juga mencetuskan teori lensa pembesar. Ia melakukan percobaan
terhadap kaca yang dibakar dan dari situ terhasillah teori lensa pembesar.
Teori itu digunakan para saintis di Italia untuk menghasilkan kaca pembesar
pertama di dunia.
Yang lebih menakjubkan adalah Ibnu Haitham
telah menemukan prinsip volume udara sebelum seorang ilmuwan yang bernama
Tricella mengetahui hal itu 500 tahun kemudian. Ibn Al-Haitham juga menemukan
keberadaan gaya gravitasi sebelum Isaac Newton mengetahuinya. Selain itu, teori
Ibnu Al-Haitham mengenai jiwa manusia sebagai satu rentetan perasaan yang
bersambung-sambung secara teratur telah memberikan ilham kepada ilmuwan Barat
untuk menghasilkan film. Teorinya telah membawa kepada penemuan film yang
kemudian disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang
dapat kita tonton saat ini.
FILSAFAT
Selain sains, Ibnu Haitham juga banyak menulis mengenai filsafat, logika,
metafisika, dan persoalan yang berhubungan dengan keagamaan. Ia juga menulis
review dan ringkasan terhadap karya-karya sarjana terdahulu. Penulisan
filsafatnya banyak tertumpu kepada aspek kebenaran dalam masalah yang menjadi
sengketa. Padanya pertikaian dan perselisihan tentang sesuatu hal akibat pendekatan
yang digunakan dalam mengenalinya.
Ia juga berpendapat bahwa kebenaran hanyalah
satu. Karena itu semua dakwaan kebenaran wajar diragukan dalam menilai semua
pandangan yang ada. Jadi, pandangannya mengenai filsafat amat menarik untuk
disoroti. Bagi Ibnu Al-Haitham, filsafat tidak bisa dipisahkan dari matematika,
sains, dan ketuhanan. Ketiga bidang dan cabang ilmu ini harus dikuasai dan
untuk menguasainya seseorang itu perlu menggunakan waktu mudanya dengan
sepenuhnya. Bila umur semakin meningkat, kekuatan fisik dan mental akan turut
mengalami kemerosotan.
KARYA
Ibnu Al-Haitham membuktikan pandangannya bila ia begitu bergairah mencari dan
mendalami ilmu pengetahuan pada usia mudanya. Di masa-masa ini beliau berhasil
menghasilkan banyak buku dan makalah. Antara lain adalah: Al'Jami 'fi Usul
Al-Hisab yang berisi teori-teori ilmu matematik dan metamatematik
penganalisaannya, Kitab Al-Tahlil Wa Al-Tarkib mengenai ilmu geometri, Kitab
Tahlil Al-Masail Al 'Adadiyah tentang Aljabar, Maqalah Fi Istikhraj Simat Al-Qiblah
yang mengupas tentang arah kiblat bagi segenap kawasan, Maqalah Fima Tad'u
llaih tentang penggunaan geometri dalam urusan hukum syariah, dan Risalah Fi
Sina'at Al-Syi'r mengenai teknik penulisan puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar