Oleh Syihabuddin Suhrawardi (pujangga sufi dari Persia)
Seorang raja mempunyai
sebuah taman, yang sepanjang empat musim selalu ditumbuhi tanam-tanaman yang
wangi, hijau subur dan menyenangkan. Air mengalir berlimpah-limpah melaluinya,
dan segala macam burung bernyanyi dari dahan-dahan pohon. Setiap hal yang baik
dan indah yang dapat kita bayangkan terdapat di dalam taman itu. Dan di antara
semuanya itu ada sekelompok burung merak yang cantik.
Sekali waktu sang raja
mengambil salah seekor burung merak, dan memerintahkannya agar ia dimasukkan ke
dalam kantung kulit supaya bulu-bulunya tidak dapat dilihat, sehingga ia tidak
dapat mengagumi keindahannya sendiri dengan cara apa pun. Dia juga
memerintahkan agar burung merak itu ditempatkan di bawah sebuah keranjang yang
hanya mempunyai satu lubang, melalui lubang itu sedikit biji-bijian dapat
dituangkan ke dalamnya untuk makanannya.
Lama waktu berlalu. Burung
merak itu lupa pada dirinya sendiri, sang raja, taman, dan burung-burung merak
lainnya. Ia melihat pada dirinya sendiri. Burung tersebut tidak melihat apa-apa
kecuali kantung kulit yang kotor itu. Ia mulai menyukai
tempat tinggalnya yang gelap dan buruk; ia percaya di dalam hatinya bahwa tidak
mungkin ada tempat yang lebih besar dari ruangan di dalam keranjang itu,
sedemikian rupa sehingga ia menganggapnya sebagai keyakinan bahwa jika ada
orang menyatakan tentang suatu kehidupan, tempat tinggal atau kesempurnaan di
luar yang ia ketahui, maka ia menganggapnya sebagai kekafiran mutlak, omong
kosong besar dan kebodohan yang murni.
Sekalipun demikian, setiap
kali angin segar berhembus, dan harumnya bunga-bunga dan pepohonan, violet (=
sejenis tumbuhan yang bunganya berbau harum), melati dan tumbuhan rempah-rempah
sampai ke hidung burung itu, ia merasakan kesenangan yang mengejutkan melalui
lubang itu. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Ia merasakan adanya hasrat
untuk pergi dan kerinduan batin, tetapi ia tidak tahu dari mana kerinduan itu
berasal, sebab, kecuali kantung kulit itu, ia tidak mengetahui apa-apa; selain
keranjang itu, tidak ada dunia lain; selain biji-bijian itu, tidak ada makanan
lain. Ia telah melupakan semuanya.
Ketika sekali-sekali ia
mendengar suara burung-burung merak bernyanyi, dan burung-burung lain berlagu,
kerinduan dan hasratnya timbul; tetapi ia tidak terbangunkan oleh suara-suara
burung-burung itu atau hembusan angin.
Pernah ia bergairah
memikirkan sarangnya. Angin sepoi-sepoi bertiup menyentuhnya dan hampir
mengucapkan kata-kata, ‘aku adalah kurir untukmu dari kekasihmu.’ Lama sekali
ia memikirkan apa sesungguhnya angin yang harum itu, dan darimanakah
bunyi-bunyian yang indah itu datang. Wahai kilat yang menyambar, dari
perlindungan siapa engkau muncul? Tetapi ia tidak sadar-sadar juga, meskipun
sepanjang masa itu kesenangan tetap tinggal di hatinya.
Ah, kalau saja Laila
sekali saja mengirimkan salam karunianya, meskipun diantara kami terbentang
debu dan bebatuan besar. Salam kegembiraanku akan merupakan jawabnya, atau akan
menjeritlah kepadanya si burung hantu, burung sakit yang memekik di tengah
keremangan kuburan.
Burung merak itu bodoh,
karena ia telah lupa kepada dirinya dan juga tanah airnya……”Janganlah hendaknya
kamu bertingkah seperti orang yang melupakan Allah, yang mengakibatkan Allah
membuat mereka lupa diri pula” (QS 59:19).
Setiap kali hembusan angin
atau suara-suara datang dari taman, timbul hasrat dalam diri si burung merak
tanpa mengetahui mengapa demikian. Kedua baris ini adalah karya seorang
penyair:
“Kilat Ma’arra bergerak di tengah malam,
ia melewati malam di Roma
yang melukiskan kebosanannya.
Ia benar-benar menyedihkan para penunggang,
kuda-kudanya, unta-unta,
dan terus bertambah menyedihkan,
hingga ia hampir menyedihkan pelana-pelana”
(Al-Ma’arri, Siqth Al-Zand,
hal. 51).
Ia tetap kebingungan
selama beberapa waktu, sampai suatu hari sang raja memerintahkan agar burung
itu dilepaskan dari keranjang dan kantung kulitnya untuk dibawa menghadapnya.
Peristiwa kebangkitan itu terjadi hanya dengan satu kali tiupan sangkakala saja
(QS 37:19). Apakah dia tidak mengetahui, apabila nanti sudah dibangkitkan
segala isi kubur? Dan telah terungkap segala isi kalbu? Sesungguhnya Tuhan
mereka pada hari itu maha mengetahui keadaannya (QS 100:9-11).
Ketika burung keluar dari
penutupnya, burung merak itu melihat dirinya berada di tengah-tengah taman.
Ketika memandang bulu-bulunya sendiri, dan melihat taman beserta aneka ragam
bunganya, atmosfir dunia, kesempatan untuk berjalan kesana-kemari dan terbang
tinggi, serta semua suara, irama, bentuk dan berbagai benda yang ada, ia
berdiri mendesah seakan-akan tak sadarkan diri (ejakulasi teofanik ‘syath’ yang
terkenal dari Husayn ibn Manshur Al-Hallaj).
Wahai, sungguh aku
menyesali kelalaianku dalam memenuhi kewajiban kepada Allah (QS 39.56). Lalu
Kami singkapkan tabir yang menutupi matamu, maka pandanganmu menjadi lepas
jelas (QS 50:22). Mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal ketika
itu kamu melihat orang yang sedang melepaskan nyawanya itu, sedangkan Kami
lebih dekat lagi kepadanya daripada kamu, namun kamu tidak melihat? (QS
56:83-85). Jangan berbuat begitu, kelak kamu akan tahu akibatnya. Sekali lagi,
jangan berbuat begitu, kelak kamu akan tahu juga akibatnya (QS 102:3-4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar