Oleh Sulaiman Djaya, Komite Sastra Dewan
Kesenian Banten (Sumber: Radar
Banten, 5 Januari 2016)
Saat ini, internet telah merambah ke setiap
sudut hidup dan lintas usia, dari mulai anak-anak hingga orang tua. Internet,
tak diragukan lagi, merupakan bukti di mana kapitalisme telah menciptakan suatu
dunia tekno-sains yang dampak revolusionernya dapat disamakan dengan revolusi
mesin cetak yang ditemukan Gutenberg, tentu saja menurut kadar jamannya
masing-masing. Namun, selain sejumlah fungsi dan nilai positifnya, internet
juga bermata dua: memiliki dampak negatif yang bahkan bisa melampaui manfaat
positifnya.
Terkait perkembangan gegap gempita “dunia
maya” ini, sejumlah kalangan dan analis mengkhawatirkan, misalnya, ketika
orang-orang menghabiskan waktunya di dunia maya (internet), pada saat itu
mereka telah melupakan realitas hidup atau dunia nyata mereka, ruang nyata dan
persentuhan hidup sesungguhnya dengan sesama dan lingkungan (ruang) yang riil,
yang tak semata virtual. Di antara pengkritiknya yang keras adalah Mark Slouka
dan yang moderat adalah Jean Baudrillard.
Berbeda dengan Jean Baudrillard yang terbilang
santai dalam menyikapi gegap gempita dunia maya ini, Mark Slouka termasuk
sangat mengkhawatirkan dampak dunia maya akan merusak identitas dan kedirian
ummat manusia secara sosial dan psikologis. Ada baiknya kita kutip ilustrasi
yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul War of the Worlds: Cyberspace
and the High-Tech Assault on Reality (yang telah diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia dengan judul Ruang yang Hilang dan diterbitkan Mizan di tahun
1999) itu:
“Ketika itu tahun 1990. Seorang wartawan New
York Times sedang menyelidiki kasus terkenal tentang seorang pria yang dituduh
membunuh istrinya yang sedang hamil, tetapi kemudian sang pria justru berkilah
tentang serangan seorang kulit hitam tak dikenal atas pembunuhan tersebut. Ia
mewawancara tetangga pasangan itu. “Anda percaya ceritanya?” tanya si wartawan.
“Anda mengenal tersangka? Menurut Anda, mungkinkah dia hanya mengarang cerita
bohong?” “Saya sungguh tak tahu,” jawab si tetangga. “Saya ingin sekali
menonton filmnya ditayangkan di TV agar saya dapat mengetahui bagaimana akhir
ceritanya.” Kurang dari satu tahun kemudian, acara TV yang ditunggunya itu
akhirnya mengudara, judulnya “Selamat Malam, Istri Tersayang: Pembunuhan di
Boston.”
Dengan ilustrasi tersebut, Mark Slouka
sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa kemajuan tekhno-sains atau tekhnologi
informasi dan dunia maya, yang dalam hal ini sajian entertainment di televisi
sebagai contohnya (yang telah mengakibatkan kecanduan bagi para penontonnya)
justru telah mengasingkan manusia dari kehidupan nyatanya dan dari kehidupan
kesehariannya, serta dari persentuhan dan keterlibatannya secara intim dengan
sesamanya sendiri dalam ruang hidup dan lingkungan yang nyata.
Dalam hal ini, jauh sebelumnya Neil Postman
telah menyadari sisi buruk tekhno-sains atau tekhnologi informasi (di samping
manfaat positifnya), melalui bukunya yang cukup populer yang telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul ‘Menghibur Diri Sampai
Mati’ yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1995, di mana ia
berpendapat bahwa salah-satu sisi buruk televisi, sebagai contohnya, telah
membuat orang-orang kembali menggandrungi budaya oral serta hal-hal yang
instant dan banal.
Nilai penting buku Neil Postman tersebut tak
lain karena buku tersebut telah membuktikan kecenderungan bahwa apa yang
diramalkan George Orwell adalah keliru, dan apa yang “diramalkan” atau
diprediksi oleh Aldous Huxley adalah benar –setidaknya menurut versi Neil
Postman sendiri. Kita tahu, George Orwell memperingatkan kita akan ancaman penindasan
tirani penguasa. Sedangkan Aldous Huxley justru menyatakan bahwa manusia justru
akan semakin mencintai penindasnya, memuja berbagai tekhnologi (termasuk
internet seperti jejaring sosial atau media sosial dunia maya dan perangkat tekhno-sains
lainnya) yang akan membutakan pikirannya. Neil Postman memberikan contohnya
seperti ini:
“Orwell memprihatinkan pelarangan buku. Huxley
memprihatinkan lenyapnya alasan untuk melarang penerbitan buku, karena minat
baca telah punah. Orwell mencemaskan adanya pihak yang ingin menjauhkan kita
dari informasi, sementara Huxley mengkhawatirkan mereka yang menjejali kita
dengan begitu banyak informasi sampai kita menjadi pasif dan egois. Orwell
mengkhawatirkan disembunyikannya kebenaran dari kita, Huxley mengkhawatirkan
hilangnya kebenaran di dalam lautan informasi yang tidak relevan. Orwell
mencemaskan datangnya masa di mana kita menjadi masyarakat yang terbelenggu.
Huxley mencemaskan kemungkinan kita menjadi masyarakat remeh-temeh. Singkatnya,
Orwell cemas akan kehancuran kita yang disebabkan oleh hal-hal yang kita benci.
Huxley, sebaliknya, cemas akan kehancuran kita yang disebabkan oleh hal-hal
yang kita sukai.
Maka, mengapa saya tidak terkejut, karena apa
yang kini terjadi di sini, sesungguhnya telah terjadi di, sebut saja, Amerika
sana di waktu dulu. Di mana politik bahkan sudah dipengaruhi begitu jauh dengan
sisi-sisi entertainment. (Menjadi presiden di sana berarti menjaga penampilan,
berat badan, hindari kebotakan, dan lain sebagainya!). Bukan hanya soal politik,
bahkan juga soal agama. Di Amerika, Tuhan menganak-emaskan mereka yang memiliki
bakat dan kemampuan untuk menghibur, apakah mereka pengkhotbah, atlit,
pengusaha, politisi, guru, maupun jurnalis. Di Amerika, justru penghibur
profesional yang tidak menghibur.”
Begitulah, kembali ke Mark Slouka (dan tak
lupa juga ke Jean Baudrillard), tekhno-sains, televisi, dan tentu juga budaya
cyberspace (internet atau dunia maya) itu telah membuat manusia lebih akrab
dengan representasi dan citra-citra ketimbang kepada dunia nyatanya sendiri,
yang pada titik ekstremnya, malah akan membuat manusia bukan hanya terasing
dari dunia nyatanya, tapi juga akan terasing dari dirinya sendiri, bahkan
acapkali mengalami keterbelahan identitas.
Di jejaring sosial Facebook, contohnya, banyak
orang yang berjenis kelamin lelaki tapi menciptakan akun perempuan dan
sebaliknya, dan tak jarang pula ada yang memiliki akun lebih dari satu. Dan
yang pasti, di situlah pemilik akun jejaring sosial bisa mengekspressikan
praktek narsis-nya sepuas yang mereka inginkan. Mungkin bisa juga mengekspose
diri sampai mati, jika saya meminjam terjemahan bukunya Neil Postman, Menghibur
Diri Sampai Mati, itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar