ABU SHAKIR bertanya: “Apakah batu itu
dulunya dalam keadaan cair?”
IMAM JA’FAR (as): “Betul. Memang begitu adanya.”
ABU SHAKIR tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
Salah seorang dari murid Imam Ja’far (as) marah sekali mendengar nada tawa dari
Abu Shakir yang terdengar melecehkan. Murid Imam Ja’far itu hendak mengatakan
sesuatu akan tetapi dihentikan oleh gurunya yang tercinta.
ABU SHAKIR berkata: “Aku ini tertawa
karena engkau mengatakan bahwa batu itu sebelumnya terbuat dari air.”
IMAM JA’FAR (as) menjawab: “Saya tidak
mengatakan bahwa batu itu terbuat dari air. Apa yang saya katakan ialah bahwa
pada mulanya batu itu berbentuk cairan.”
ABU SHAKIR: “Apa bedanya? Cairan dan air
itu sama saja.”
IMAM JA’FAR (as): “Banyak sekali cairan yang
bukan air meskipun mereka memiliki kandungan air di dalamnya. Pada mulanya
batuan itu berbentuk cairan seperti air dan batuan itu bisa mengalir seperti
air. Secara perlahan batuan itu mendingin dan menjadi keras sehingga Anda bisa
memotongnya dan membuat berhala darinya. Batuan yang keras itu bisa menjadi
cair kembali apabila Anda memanaskannya.”
ABU SHAKIR: “Kalau aku pulang nanti aku
akan memeriksa kebenaran dari pernyataanmu ini. Aku akan taruh sebuah batu di
perapian dan akan aku lihat apakah ia akan berubah menjadi cairan atau tidak.”
IMAM JA’FAR (as): “Anda tidak bisa mencairkan
batu di atas perapian di rumah Anda. Itu sama halnya dengan besi. Bisakah Anda mencairkan
sebatang besi di rumah Anda? Tentu saja tidak! Dibutuhkan suhu yang sangat
tinggi untuk mencairkan sebuah batuan yang keras sehingga bisa menjadi cairan.
Sekarang
apakah Anda menyadari bagaimana anda bisa membuat berhala-berhala itu dari
batu? Sedangkan kita tahu bahwa Allah-lah yang membuat batu-batu itu. Allah-lah
yang telah menciptakan Anda dan memberikan Anda kedua belah tangan dengan
jari-jari tangan yang unik yang membuat Anda bisa memegang alat-alat
pertukangan. Anda bisa memegang kapak dan kemudian Anda menggunakan kapak itu
untuk membuat berhala-berhala dari batu. Sekali lagi Allah-lah yang telah
memberi Anda kekuatan dan kecerdasan yang semuanya Anda gunakan untuk membuat
para berhala itu.
Abu
Shakir, apakah Anda mengira bahwa gunung-gunung itu hanyalah tumpukan batuan
saja? Allah yang Maha Agung telah menciptakan gunung-gunung itu untuk
memberikan manfaat yang banyak bagi kita semua. Gunung-gunung itu dibuat Allah
bukan untuk keperluan Anda mengambil batunya sehingga Anda bisa membuat
berhala-berhala. Tentu saja tidak. Bukan itu tujuannya. Di manapun ada sebuah
gunung disitulah ada air yang mengalir. Hujan dan salju yang jatuh ke
puncak-puncak gunung akan menghasilkan jeram-jeram berisi air-air yang segar
sekali. Jeram-jeram kecil ini akan bergabung satu sama lainnya sehingga bisa
membentuk sungai-sungai yang besar. Sungai-sungai ini bisa mengairi tanah-tanah
pertanian. Orang-orang yang tinggal di lembah-lembah dimana sungai-sungai itu
akan melewatinya mendapatkan jatah air yang sangat banyak dan tetap.
Orang-orang yang sanggup berjalan jauh, bisa pergi ke gunung selama musim panas
agar mereka bisa terhindar dari panasnya dataran rendah.
Gunung-gunung
itu juga berfungsi sebagai benteng-benteng yang kuat dan tangguh. Gunung-gunung
itu melindungi kota-kota dan desa-desa yang terletak di lembah-lembah itu dari
terjangan angin topan. Gunung-gunung yang hijau menyediakan rerumputan dan
tumbuhan lainnya untuk makanan domba-domba dan hewan ternak lainnya. Ketika
panasnya musim panas yang membakar menghanguskan padang rumput di daerah
dataran rendah dan akhirnya tidak ada lagi makanan yang bisa dimakan oleh hewan
ternak kita, maka para penggembala membawa hewan-hewan ternak mereka ke
gunung-gunung dan mereka tinggal di sana hingga akhir musim panas.
Gunung-gunung
juga merupakan tempat tinggal dari burung-burung dan hewan-hewan lainnya.
Beberapa dari hewan itu adalah sumber makanan bagi mereka yang tinggal di sana.
Bahkan gunung-gunung yang tidak berwarna hijau sekalipun tetap saja memberikan
manfaat yang besar bagi manusia. Apabila manusia mencoba untuk menggali ke
dalamnya, maka mereka akan menemukan tambang-tambang logam dan mineral yang
sangat berguna bagi manusia.
Abu
Shakir, saya ini terlalu kecil dan terlalu lemah untuk menciptakan Allah dengan
otak saya ini. Dia-lah yang telah menciptakan otak saya ini, supaya saya bisa
memikirkan-Nya dan mengenali-Nya. Dia-lah Sang Maha Pencipta. Dia sudah ada
jauh sebelum saya ada dan Dia masih ada ketika saya nanti tidak ada. Saya tidak
bermaksud untuk mengatakan bahwa saya akan musnah total seluruhnya. Tidak ada
di alam semesta ini yang akan musnah seluruhnya. Segala sesuatu itu akan mengalami
perubahan. Hanya Allah saja yang tidak akan berubah.
Abu
Shakir, katakanlah kepada saya. Kepada siapakah Anda ini akan meminta
pertolongan ketika Anda sedang berada dalam kesusahan atau bahaya? Apakah Anda berharap
bahwa berhala-berhala yang Anda buat dari batu itu akan datang menjadi
penyelamat Anda dan memberikan bantuan? Bisakah para berhala itu menyembuhkan Anda
ketika Anda sakit? Bisakah para berhala itu menyelamatkan Anda dari kemalangan
dan bencana alam? Bisakah para berhala itu memberikan Anda makanan ketika anda
kelaparan? Bisakah para berhala itu membayar hutang-hutang anda?”
ABU SHAKIR menjawab: “Aku tidak pernah
berharap demikian dari sebuah batu, akan tetapi aku kira ada sesuatu di dalam
batu itu yang akan mampu membantuku. Selain itu, aku memang ingin
menyembahnya.”
IMAM JA’FAR (as): “Lalu apa yang sebenarnya
ada di dalam batu itu? Apakah isinya itu batu juga?”
ABU SHAKIR: “Aku tidak tahu apa isi di
dalamnya. Akan tetapi kalau isinya batu juga, itu tidak akan menolongku sama sekali.”
IMAM JA’FAR (as): “Abu Shakir, apa yang ada di
dalam batu itu yang bukan batu tapi bisa diharapkan untuk menolongmu, itulah
yang disebut Allah.”
ABU SHAKIR berpikir sejenak dan kemudian ia
berkata: “Apakah Allah itu—yang tidak bisa dilihat mata—ada di dalam batu?”
IMAM JA’FAR (as): “Ia ada dimana-mana”
ABU SHAKIR: “Aku tidak percaya sesuatu yang
ada dimana-mana tapi tetap tidak bisa dilihat mata.”
IMAM JA’FAR (as): “Bukankah udara juga ada
dimana-mana tapi tetap tidak bisa dilihat mata?”
ABU SHAKIR: “Meskipun aku tidak bisa melihat
udara, tapi aku bisa—paling tidak—merasakannya ketika ia bergerak. Akan tetapi
aku tidak bisa melihat Allah dan tidak juga bisa merasakan kehadiran-Nya.”
IMAM JA’FAR (as): “Anda tidak bisa merasakan
adanya udara kalau ia tidak bergerak. Udara itu hanyalah ciptaan Allah. Allah
itu ada dimana-mana, akan tetapi Anda tidak bisa melihat-Nya atau merasakan
kehadiran-Nya dengan indera-indera yang Anda miliki. Anda sebenarnya baru saja
mengakui bahwa meskipun Anda tidak melihat sesuatu akan tetapi insting Anda atau
ruh Anda mengatakan bahwa ada sesuatu di dalam batu itu dan sesuatu itu bukan
batu itu sendiri, melainkan sesuatu yang bisa menolong Anda dari kesusahan. Sesuatu
itu ialah Allah. Insting Anda juga mengatakan bahwa Anda tidak bisa hidup tanpa
adanya Allah dan tanpa menyembah Allah.”
ABU SHAKIR: “Memang benar. Aku tidak bisa
hidup tanpa menyembah berhala-berhalaku.”
IMAM JA’FAR (as): “Jangan katakan Anda tidak bisa
hidup tanpa menyembah berhala-berhalamu. Katakanlah bahwa Anda tidak bisa hidup
tanpa menyembah Allah. DIA-lah yang pantas disembah. Sama seperti halnya Anda,
setiap orang juga berkewajiban untuk menyembah DIA.
Seseorang
yang tidak pernah menyembah Allah akan kehilangan petunjuk dan ia juga
kehilangan pelindung. Ia akan seperti orang yang tidak bisa melihat; tidak bisa
mendengar; tidak bisa merasakan; dan tidak bisa berpikir. Ia tidak tahu kemana
dia harus pergi dan kepada siapa ia harus mengadu atau meminta bantuan ketika
ia sedang berada dalam kesusahan.
Menyembah
Allah itu adalah bagian dari hidup Anda. Setiap makhluk hidup itu menyembah DIA
secara naluriah. Bahkan hewan-hewan pun tidak bisa hidup tanpa menyembah DIA.
Kita
tidak bisa meminta hewan-hewan itu untuk menyembah Allah. Hewan-hewan itu juga
tidak bisa berkata kepada kita bahwa mereka sudah menyembah Allah atau
menerangkan bagaimana mereka menyembah Allah. Akan tetapi kehidupan mereka yang
teratur dan berpola itu sudah cukup menjadi petunjuk bagi kita bahwa
hewan-hewan itupun percaya kepada adanya Allah dan mereka itu pula menyembah
Allah sama seperti halnya kita menyembah-Nya. Tidak ada keraguan bahwa bahwa
mereka telah menyembah Allah dengan sangat patuh mengikuti aturan-aturan yang
dibuat oleh Sang Maha-Pencipta yang menciptakan mereka.
Seandainya
mereka itu tidak patuh kepada yang telah menciptakan mereka, maka mereka tidak
akan memiliki kehidupan yang begitu teratur dan rapi.
Kita
lihat bahwa tepat sebelum datangnya musim semi, burung-burung titmouse
senantiasa datang tepat pada waktu yang sama dan kemudian bernyanyi
seakan-akan ia memberitahu kepada kita akan datangnya musim yang baru. Rencana
perjalanan dari burung titmouse—yang suka bermigrasi—ini begitu teratur dan
sangat tepat jadwal hingga bahkan kalau hari-hari terakhir di musim dingin itu
masih dingin, kedatangan burung titmouse itu tetap tidak ditunda, misalnya,
selama beberapa hari lagi ke depan.
Ketika
burung chilchila kembali dari perjalanannya setelah ia menempuh jarak
ribuan kilometer, burung itu segera membuat sarangnya di tempat yang persis
sama dimana dulu ia pernah membuat sarang di musim semi yang lalu. Apakah
mungkin burung-burung kecil ini memiliki kehidupan yang begitu teratur apabila
mereka tidak mematuhi aturan-aturan yang telah ditentukan oleh Allah? Apakah
mungkin burung-burung ini mematuhi aturan Allah sedemikian patuh dan taatnya
tanpa menyembahNya?
Abu
Shakir, bahkan tanam-tanaman pun semuanya mengikuti aturan-aturan yang sudah
digariskan dan ditentukan oleh Allah. Tanaman-tanaman itu selain patuh dan taat
kepada aturan Allah juga mereka menyembah Allah. Ada lebih dari 150 spesies
tumbuhan yang nantinya akan dibagi lagi kedalam ratusan sub-spesies akan tetapi
Anda tidak akan mungkin melihat satupun dari spesies itu atau sub-spesies itu
yang hidupnya berantakan dan tidak beraturan. Itu menunjukkan bahwa ada Sang
Maha-Pengatur yang mengatur semua itu.
Abu
Shakir, sama seperti halnya kita, tumbuhan juga tidak bisa melihat Sang
Maha-Pencipta; akan tetapi mereka itu tetap menyembah-Nya dan mematuhi setiap
aturan-Nya secara naluriah.
Saya
tahu bahwa Anda tidak akan menerima ini atau mungkin Anda malah tidak mengerti
apa-apa yang saya katakan tadi. Seorang manusia itu harus memiliki pengetahuan
yang cukup untuk memahami masalah-masalah yang rumit.
Abu
Shakir, bukan saja tumbuhan dan hewan yang menyembah Allah dengan menggunakan
instingnya atau nalurinya melainkan juga barang-barang yang tidak bernyawa dan
tidak bergerak semuanya menyembah Allah dengan insting-insting yang berbeda
yang mereka miliki. Apabila benda-benda mati dan tak bergerak itu tidak
menyembah Allah, maka mereka tidak akan patuh dan taat kepada aturan Allah. Dan
kalau mereka tidak mengikuti sistem atau pola atau aturan yang tertentu maka
benda-benda itu akan mengalami kerusakan dan kehancuran. Atom-atom dari
benda-benda itu akan terpisah satu sama lainnya dan mereka akan mengalami
kemusnahan.
Cahaya
yang berasal dari matahari itu juga menyembah Allah dengan mentaati aturan yang
sudah ditentukan oleh-Nya. Dan aturan itu sangat kuat, akurat, dan mengikat.
Cahaya matahari itu terdiri dari kombinasi dua kekuatan yang berlawanan.
Kekuatan ini juga mematuhi hukum-hukum atau aturan Allah selain juga menyembah
Allah. Kalau tidak, maka kekuatan itu tidak akan menghasilkan cahaya.
Abu
Shakir, apabila Allah itu tidak ada, maka takkan mungkin ada alam semesta.
Tidak mungkin ada saya dan tidak mungkin ada Anda. Kalimat “Tidak ada Allah”
itu sama sekali tidak memiliki arti. Keberadaan Allah itu adalah keharusan dan
keniscayaan. Apabila sedetik saja Allah tidak mempedulikan kita; apabila
sejenak saja perhatian Allah itu teralihkan—misalnya Allah untuk sejenak
beristirahat dan tidak memikirkan alam semesta—maka alam semesta ini akan
hancur berkeping-keping. Segala sesuatu di alam semesta ini harus mematuhi
hukum dan aturan Allah yang tetap dan abadi. Allah itu membuat hukum dan
aturan yang luar biasa itu sedemikian rupa dengan Kekuasaan-Nya dan
Pengetahuan-Nya yang penuh dengan kasih sayang dan kemaha-bijaksanaan. Setiap
hukum dan aturan Allah itu memiliki tugas yang khusus dan tujuan yang khusus.”
Ketika
Imam menyimpulkan pembicaraannya yang panjang lebar dan berbobot, Abu Shakir
jatuh kedalam lamunan yang dalam seolah-olah ia mendapatkan inspirasi yang
hebat.
IMAM JA’FAR (as) bertanya kepada Abu
Shakir: “Apakah anda sekarang percaya bahwa Allah itu—yang tidak bisa
anda lihat—benar-benar ada dan apa yang anda sembah itu seharusnya Allah Tuhan
semesta alam?”
ABU SHAKIR menjawab: “Aku belum benar-benar
yakin. Aku sekarang sedang berada dalam kebingungan. Aku penuh dengan keraguan
dan kekhawatiran terhadap keyakinanku dan pendirianku.”
IMAM JA’FAR (as) menjawab: “Keraguan
terhadap penyembahan berhala adalah awal dari penyembahan Allah Ta’ala.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar