Oleh
Sulaiman Djaya
“Di
masa-masa remaja, sebelum listrik hadir di rumah-rumah kami itulah, kami
menonton televisi hitam-putih yang menggunakan tenaga ACCU di malam Minggu saja
atau di hari Minggu-nya”
Ketika
aku telah duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama, perubahan tiba-tiba
datang dan hadir cukup drastis, yang kelak akan merubah keadaan lingkungan desa
kami. Kala itu, mobil truck-truck besar datang beriringan membawa tiang-tiang
beton dan kemudian para pekerja menurunkan tiang-tiang beton tersebut di tepi
jalan. Sementara itu, para pekerja lainnya sibuk menebangi pohon-pohon besar
sepanjang jalan dengan menggunakan gergaji mesin.
Keesokan
harinya, mereka pun mulai menancapkan tiang-tiang beton tersebut, dan bersamaan
dengan itu pula aku tahu bahwa mereka sedang membangun jaringan listrik di
desa-desa, dan orang-orang desa diminta menyetorkan sejumlah uang (dengan
jumlah di atas 300ribu-an) bila rumah-rumah mereka ingin dialiri listrik.
Bapakku
meminta ganti rugi atas sejumlah pohon yang mereka tebang dengan menggunakan
gergaji-gergaji mesin itu, dan pihak Perusahaan Listrik Negara menyanggupinya
meski tidak maksimal sesuai yang diinginkan bapakku.
Uang
ganti rugi dari PLN untuk pohon-pohon yang ditebang itulah yang kemudian
diserahkan kembali ke pihak PLN sebagai pembayaran agar rumah kami juga dialiri
listrik, di mana biaya tambahannya dari uang kakakku yang telah bekerja di
sebuah pabrik kertas yang baru beroperasi.
Itulah
masa-masa di tahun 90-an, ketika kehadiran dua infrastruktur telah merubah desa
kami dalam banyak hal, secara ekonomi dan budaya, yaitu industri dan jaringan
listrik.
Tak
lama kemudian, mobil-mobil truck yang mengangkut batu dan aspal pun hadir dan
datang beriringan, menurunkan batu-batu dan tong-tong aspal di pinggir jalan,
yang disusul kemudian dengan perangkat-perangkat berat lainnya. Dan segera,
mereka pun mulai melakukan pembangunan jalan aspal. Kebetulan salah-seorang
mandornya yang orang Bandung dan sejumlah pekerja yang berada di bawah
tanggungan dan pengawasannya mengontrak di rumah kami.
Keluarga
kami melihat pembangunan jalan aspal dan kehadiran banyak pekerja tersebut
sebagai peluang untuk mendapatkan uang, dan akhirnya keluarga kami pun membuka
warung makan di rumah kami, sehingga para pekerja (yang juga mengontrak di
rumah kami) itu bisa membeli makan mereka sehari-hari dari warung makan kami.
Dan hal itu pun ternyata diikuti pula oleh para mandor dan para pekerja lain
yang tidak mengontrak di rumah kami.
Ternyata,
setelah pembangunan jalan aspal itu selesai, keluarga kami kemudian berjualan
nasi bungkus yang dijual kepada para karyawan yang bekerja di pabrik kertas
tempat kakakku bekerja. Dan kakakku-lah yang membawa nasi-nasi bungkus tersebut
di tempat kerjanya, yang rupanya dijual kepada teman-temannya sesama karyawan
di pabrik kertas tersebut, karena menurut mereka masakan keluarga kami lebih
enak dan tidak terlalu mahal dibanding mereka harus makan di warung-warung
makan di sekitar pabrik tempat mereka bekerja.
Kala
itu aku baru masuk jenjang pendidikan di sekolah menengah atasku, yang kutempuh
di Madrasah Aliyah di sebuah pondok pesantren modern sembari nyantrik di pondok
pesantren tersebut, di mana selama tiga tahun aku belajar tentang Islam dari ragam
mata pelajaran yang diberikan dan diajarkan oleh para kyai dan para ustadz.
Padahal,
sebelum akhirnya aku memenuhi permintaan bapak dan ibuku untuk menempuh
pendidikan di pesantren setelah lulus dari sekolah menengah pertamaku, nilai
akhir kelulusanku dari sekolah menengah pertamaku memenuhi syarat untuk
melanjutkan pendidikan di SMU Negeri atau SMA Negeri.
Saat
itulah, tekhnologi tivi berwarna pun mulai hadir menggantikan tivi hitam putih.
Namun, sebelum kehadiran tivi berwarna di desa kami, tentu terlebih dulu akrab
dengan tivi hitam putih yang menggunakan tenaga ACCU.
Di
masa-masa remaja, sebelum listrik hadir di rumah-rumah kami itulah, kami
menonton televisi di malam Minggu saja atau di hari Minggu-nya, seperti
menonton acara Kameria Ria dan film-film yang ditayangkan setiap malam Minggu
yang ditayangkan stasiun atawa kanal Televisi Republik Indonesia alias TVRI,
dengan menggunakan tenaga ACCU.
Tenaga
ACCU itu pula yang kami gunakan untuk mengumandangkan adzan dengan pengeras
suara (speaker), dan jika tenaga ACCU itu habis, kami akan mengisi ulang
“energinya” di tempat pengisian umum selama beberapa jam dengan tarif dan
bayaran yang telah dintentukan oleh si pemilik pengisian ulang tenaga ACCU
tersebut.
Biasanya
kami akan kecewa dan merasa kesal ketika pada malam Minggu di stasiun TVRI itu
(satu-satunya stasiun televisi yang ada di era itu) menayangkan laporan khusus,
yang biasanya menayangkan Harmoko dan Moerdiono (yang bicaranya lambat dan
terbata-bata) atau menayangkan kegiatan dialog acara kelompencapir yang
dipimpin Presiden Soeharto langsung, dan karena itu kami mematikan televisinya
untuk sekira satu atau dua jam (karena biasanya acara itu memang lama), dan
karena itu kami acapkali terpaksa harus begadang demi untuk menonton acara
Kamera Ria dan film Malam Minggu.
Kala
itu, hanya dua orang saja yang memiliki tivi hitam putih di kampung kami, dan
karenanya di setiap Malam Minggu tersebut harus nonton ramai-ramai dan tak
jarang berdesakan satu sama lain di antara kami. Beberapa tahun kemudian,
keluarga kami memiliki televisi hitam putih 14 inchi sendiri, dan dapat
dikatakan memiliki televisi sendiri merupakan gengsi sosial tersendiri bagi si
pemiliknya.
Tentu
saja saat itu aku belum tahu, atau katakanlah belum atau tidak sadar, bahwa
TVRI sejatinya adalah media yang menjadi corong pemerintahan Orde Baru
Soeharto, sebab yang penting bagi kami adalah kami bisa menonton acara-acara
atau tayangan-tayangan yang kami sukai.
Demi
menghemat tenaga ACCU itu, kami hanya menonton acara-acara alias
tayangan-tayangan yang kami suka saja, seperti acara-acara di Malam Minggu dan
di Hari Minggu, sebagaimana yang telah disebutkan.
Dari
stasiun TVRI di masa-masa itulah kami tahu kisah-kisah suku Indian Geronimo dan
Apache, film-film koboy seperti Django, atau penyanyi-penyanyi Indonesia yang
populer di masa-masa itu. Itulah jaman di mana yang ngetrend kala itu adalah
film-film koboy, petinju Elias Pical, Mohammad Ali, dan Mike Tyson, drama seri
Oshin, dan tentu saja film-film Indonesia di era itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar