Oleh Sulaiman Djaya (Sumber: Radar Banten, 14 Juni 2014)
Di tengah munculnya banyak gerakan dan paham
yang menyebarkan kebencian dan kekerasan, kita tak boleh lupa bahwa Islam
disebarkan bukan dengan pedang dan kekerasan, tetapi dengan akhlaq, ilmu, dan
hikmah
“Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan,
dan sesiapa yang tidak berbuat kebajikan maka bukanlah orang beriman”, demikian
pesan Nabi Muhammad Saw sebagaimana diriwayatkan oleh muhadits masyhur, Muslim.
Pesan hadits tersebut, sebagaimana jamak diterangkan sejumlah ‘ulama, tak lain
adalah bahwa Islam mestilah dilengkapi dengan Ihsan. Sebagai contoh, misalnya,
banyak mereka yang mengaku muslim, namun tidak hidup dan berperilaku sesuai
dengan spirit dan nilai-nilai Islam. Buktinya, banyak pejabat muslim yang zalim
dan korup. Ironisnya, banyak kita jumpai figur-figur non-muslim yang justru
tidak zalim dan tidak korup, memberikan keteladanan kesalehan. Romo
Mangunwijaya, contohnya.
Barangkali, kita memang harus tasamuh, instrospeksi,
alias mengoreksi diri kita, menjadikan orang lain sebagai cermin. Sebab,
keberaadan kita sendiri menjadi sedemikian nyata justru karena kehadiran orang
lain. Dalam hal ini relevan sekali apa yang pernah diucapkan Ali Bin Abi Thalib
Karramallahu Wajhah (sebagaimana yang dapat kita baca dalam Nahjul Balaghah):
“Jadikanlah dirimu sebagai timbangan dalam hubunganmu dengan orang lain, dan
cintailah orang lain itu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri, dan
bencilah orang lain sebagaimana kamu benci dirimu sendiri, janganlah engkau
menganiaya sebagaimana engkau tidak senang dianiaya, dan berbuat baiklah kepada
orang lain sebagaimana engkau senang orang lain berbuat baik kepadamu, dan
pandang jeleklah terhadap dirimu sebagaimana orang lain memandang jelek, dan
tumpahkan relamu kepada manusia sebgaimana engkau rela jika orang lain rela
kepadamu”.
IMAN REFLEKTIF DAN IMAN DOGMATIS
Tepat, dalam hal ini, kiranya relevan kita menyimak
“pembedaan” dua corak dan bentuk iman dan agama, sebagaimana dikemukakan
Immanuel Kant, yang tentu saja sekedar dipinjam sebagai cermin, di mana dalam
traktat-nya yang berjudul Religion within the Limits of Reason Alone itu, Kant
mendistingsikan atau mengkontraskan antara iman reflektif dan iman dogmatis.
Yang pertama, atau iman reflektif, adalah iman yang tidak menutup akal dan
nurani, yang kalau meminjam bahasanya Soren Kierkegaard, adalah iman yang
dihayati. Sedangkan sebaliknya, yaitu iman dogmatis, adalah iman yang telah
kehilangan kepekaan, alih-alih malah menyuburkan kebencian.
Belakangan ini, seperti sama-sama kita tahu, yang
tentu saja tak mungkin kita anggap remeh, adalah maraknya paham-paham teologis
yang gandrung menyebarkan kebencian. Mereka bahkan “menghalalkan darah”, bukan
hanya kepada yang berbeda agama, tetapi kepada yang se-agama dengan mereka.
Mereka juga gandrung sekali “memassifkan fatwa dan tuduhan” sesat dan kafir
kepada kelompok dan ummat yang bukan dari mazhab mereka. Sebagai nama
sementara, mereka kita kenal sebagai kelompok Takfiri, yang konon lahir dari
gerakan Wahabisme. Di Suriah, misalnya, kelompok ini, bila kita baca sejumlah
media cetak dan media non-cetak, menjadi kelompok pemberontak dan tak
segan-segan “menyembelih” dan “membantai”, seperti yang telah dikatakan, bukan
hanya orang yang tak se-agama dengan mereka, tapi juga orang yang bukan dari
mazhab atau golongan mereka.
ISLAM AGAMA RAHMAT
Islam sendiri, seperti sama-sama kita tahu, adalah
agama yang visi dan nilainya menekankan agama yang memberi rahmatan lil
‘alamin, yang bolehlah kita terjemahkan juga sebagai rahmat untuk seluruh alam
dan segala kalangan. Setidak-tidaknya, visi humanis dan kesalehan sosial kita
juga terkandung dalam doktrin dan nilai-nilai Islam, yang seperti telah
disebut, menjadi muslim yang mempraktekkan ihsan kepada sesama dalam hidup. Di
sini, saya teringat syair Sa’di, pujangga muslim dari Persia itu, di mana
salah-satu puisinya yang kini diabadikan di dinding gedung PBB berbunyi, “Anak
adam satu raga satu jiwa, tercipta dari muasal yang sama. Jika satu anggota
ummat manusia terluka, semua akan merasa terluka. Engkau yang tak berduka atas
luka manusia, tak layak menyandang nama manusia”.
Pesan moral tentang solidaritas kemanusiaan puisi
Sa’di tersebut membuatnya menjadi istimewa bagi semua kalangan, relevansinya
melampaui batas-batas etnik, agama, dan bangsa, meski ditulis oleh seorang
muslim yang dikenal sangat arif, saleh, dan tentu saja berwawasan luas. Dan
seperti telah disebutkan, puisi itu pun disematkan di gedung PBB atau United
Nations sebagai simbol welas asih dan perdamaian sesama ummat manusia. Sa’adi
sebenarnya hanyalah salah-satu contoh ketika dunia Islam menyumbangkan kearifan
dan melahirkan penyair-penyair yang menjadi teladan Timur dan Barat, semisal
Attar, Hafiz, Rumi, Khayyam, dan yang lainnya. Dunia Islam telah menorehkan
kegemilangan peradaban dan humanisme melalui para penulis, filsuf, dan penyair
seperti mereka.
Sebenarnya, bila dikaji dan ditelusuri lebih seksama,
ajaran humanisme Islam, yang barangkali dapat juga kita sebut sebagai
nilai-nilai kesalehan sosial tersebut, telah lahir bersamaan dengan kelahiran
Islam itu sendiri melalui dan bersamaan dengan ajaran Islam dan Nabi Muhammad
SAW, sebagaimana tercermin jelas dalam salah-satu haditsnya yang telah
disebutkan di awal tulisan ini, yang diriwayatkan perawi hadits masyhur, Muslim
itu, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan, dan sesiapa yang tidak
berbuat kebajikan maka bukanlah orang beriman”. Pesan singkat ini memiliki
makna yang dalam dan universal, di mana basis dan dasar keimanan seseorang
adalah berbuat kebajikan yang akan bermanfaat, dan universalisme terasa saat
hadits tersebut tidak melabelkan agama atau etnik tertentu. Hadits tersebut
hanya menyebutkan, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) keimanan”.
Pesan dan ajaran serupa juga diteruskan oleh para
ahlul bayt (keluarga dan keturunan Nabi SAW) semisal tercermin lewat ajaran
Imam Hussain, sang cucu kesayangan Nabi SAW yang syahid di Karbala itu.
Dikisahkan oleh para ulama dan perawi Hadits, sebelum syahid di Karbala, Imam
Husain pernah berpesan kepada putranya, Imam Ali Zainal Abidin as Sajjad,
““Wahai anakku, berhati-hatilah dari berlaku zalim terhadap seseorang yang
tidak menemukan pembela di hadapanmu kecuali Allah.” Pesan Imam Husain
tersebut, tak ragu lagi, adalah penegasan dan penafsiran fasih dari pesan dan
ajaran akhlaq kekeknya, yaitu Nabi Muhammad, tentang ukuran keimanan seseorang
adalah berbuat kebaikan sebagaimana telah disebutkan.
WARISAN HUMANISME ISLAM
Sebagai rahim dan pencipta kegemilangan intelektual
dan peradaban, Islam telah memberikan sumbangan yang diakui Timur dan Barat,
sebagai pioneer. Bahkan ketika Eropa tengah berada dalam tidur lelap abad
kegelapannya, Islam-lah yang membangunkan dan mencerahkannya, saat Islam
menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani dan melakukan inovasi sains, semisal
yang disumbangkan Albiruni, Omar Khayyam, Ibn Haitham, Alkhawarizmi, dan yang
lainnya. Dan salah satu ruh kegemilangan peradaban Islam tersebut tak lain
adalah spirit humanis yang disumbangkan para pujangga, seperti Attar, Hafiz, Rumi,
Firdausi, Sa’di, Khayyam, dan yang lainnya, selain tercermin dalam
ajaran-ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad Saw dan ahlul baitnya. Dari
mereka lah, para pujangga raksasa Timur dan Barat belajar dan menimba kearifan,
seperti Goethe, Emerson, dan Tagore, sebagaimana diakui oleh para penyair besar
tersebut.
Menariknya, yang bisa jadi merupakan kebetulan yang
memiliki dasar yang kuat, para pujangga Islam yang telah menginspirasi para
penyair dan penulis di Timur dan Barat, tersebut akrab dengan khazanah sufisme
dan saintisme pada saat bersamaan dan mayoritas lahir dan berkebangsaan Persia
(Iran), semisal Hafiz, Attar, Firdausi, Khayyam, dan Sa’adi. Namun, bila
ditelisik lebih jauh, sejak Islam diterima masyarakat Persia, bangsa Persia
(Iran) di jaman itu memang merupakan perpaduan bahkan perkawinan antara bangsa
Persia sendiri dan keturunan Bani Hasyim (leluhur dan bangsanya Nabi SAW),
semisal cucu Nabi SAW sendiri, yaitu Imam Hussain, menikahi putri raja Persia
(putri Raja Yazdigard dari dinasti Sassanid), persis ketika putri raja Persia
yang bernama Syahrbanu atau Putri Syahzanan itu menjadi tawanan pasukan Islam
dan lalu Imam Ali memberikan kebebasan kepadanya untuk memilih di antara kaum
muslim untuk menjadi suaminya, dan Putri Syahrbanu (Putri Syahzanan) pun
memilih Imam Hussain.
Di negeri Persia (Iran) inilah Islam di masa dinasti
Abbasiyah dan setelahnya banyak melahirkan pujangga dan intelektual, seperti
yang telah disebutkan. Mereka menyumbangkan sumbangan yang sangat berharga bagi
wacana dan wawasan humanis, semisal puisi Sa’adi yang kini menjadi simbol
perdamaian dan disematkan dengan megah dan indah di gedung PBB itu. Singkatnya, di
tengah munculnya banyak gerakan dan paham yang menyebarkan kebencian dan
kekerasan, kita tak boleh lupa bahwa Islam disebarkan bukan dengan pedang dan
kekerasan, tetapi dengan akhlaq, ilmu, dan hikmah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar