(Foto: Polwan Rusia)
Oleh Rosa Luxemburg (1900)
4 – Kapitalisme dan Negara
Syarat kedua dari realisasi sosialisme secara
perlahan, menurut Bernstein, adalah evolusi negara dalam masyarakat. Telah
menjadi sesuatu yang lumrah untuk mengatakan bahwa negara yang ada sekarang ini
adalah negara kelas. Hal ini juga, seperti segala sesuatu yang mengacu pada
masyarakat kapitalis, hendaknya tidak dipahami dengan cara yang absolut dan
kaku, melainkan secara dialektis.
Negara menjadi kapitalis karena adanya kemenangan
politik borjuasi. Perkembangan kapitalis mengubah secara esensial watak negara,
memperluas lingkup tindakan negara, secara konstan memaksakan fungsi-fungsi
baru pada negara (khususnya fungsi-fungsi yang mempengaruhi kehidupan ekonomi),
membuat intervensi dan kontrol negara dalam masyarakat menjadi makin dan makin
diperlukan. Dalam hal ini, perkembangan kapitalis sedikit demi sedikit
menyiapkan penggabungan (fusi) negara dengan masyarakat di masa depan.
Maksudnya ialah bahwa perkembangan kapitalis menyiapkan kembalinya negara
kepada masyarakat. Mengikuti garis pikiran ini, seseorang bisa berbicara
tentang evolusi negara kapitalis menjadi masyarakat, dan ini tak ragu lagi
adalah apa yang ada dalam pikiran Marx ketika ia mengacu pada legislasi tentang
kerja sebagai intervensi secara sadar yang pertama dari “masyarakat” dalam
proses sosial yang vital. Sebuah frasa yang kepadanya Bernstein sangat
bergantung.
Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan kapitalis yang
sama mewujudkan transformasi lain dalam hal watak negara. Negara yang ada
sekarang pertama-tama adalah sebuah organisasi dari kelas yang
berkuasa/memerintah. Ini mengasumsikan fungsi-fungsi yang mendukung
perkembangan sosial, khususnya karena –dan dalam ukuran bahwa-
kepentingan-kepentingan ini dan perkembangan-perkembangan sosial sesuai –dalam
model yang umum- dengan kepentingan-kepentingan dari kelas yang dominan.
Legislasi tentang kerja diundangkan berdasarkan kepentingan mendesak kelas
kapitalis, selaras dengan kepentingan masyarakat secara umum. Tetapi harmoni
ini hanya bertahan sampai suatu titik tertentu dari perkembangan kapitalis.
Ketika perkembangan kapitalis telah mencapai suatu tingkat tertentu, maka
kepentingan borjuasi sebagai sebuah kelas, dan kebutuhan akan kemajuan ekonomi,
mulai berbenturan, bahkan dalam makna kapitalis. Kita percaya bahwa fase ini
telah dimulai. Ia mewujudkan diri dalam dua fenomena yang sangat penting dari
kehidupan sosial kontemporer: di satu sisi, kebijakan tentang proteksi tarif
dan di sisi lain, militerisme. Kedua fenomena ini telah memainkan peran yang
sangat dibutuhkan dan –dalam makna itu- bersifat revolusioner sepanjang sejarah
kapitalisme. Tanpa adanya proteksi tarif, perkembangan industri besar akan
menjadi mustahil di beberapa negeri. Namun sekarang situasinya berbeda.
Sekarang ini, proteksi tidak begitu berperan dalam
mengembangkan industri muda untuk secara artifisial mempertahankan
bentuk-bentuk produksi tertentu yang sudah tua.
Dari sudut perkembangan kapitalis, yakni dari titik
pandang dunia ekonomi, hanyalah persoalan kecil apakah Jerman mengekspor lebih
banyak barang dagangan ke Inggris, ataukah Inggris mengekspor lebih banyak
barang dagangan ke Jerman. Dari sudut pandang perkembangan ini, bisa dikatakan
bahwa sang blackamoor telah melakukan pekerjaannya, dan kini
waktunya bagi dia untuk berjalan dengan caranya sendiri. Dengan adanya kondisi
tertentu berupa ketergantungan resiprokal, yang itu didapati oleh berbagai
cabang industri, maka suatu tarif proteksionis pada komoditas apapun akan
mengakibatkan naiknya biaya produksi komoditas-komoditas lainnya di dalam
negeri itu. Karena itu, ia merintangi perkembangan industri. Tetapi tidaklah
demikian halnya dari sudut pandang kepentingan kelas kapitalis. Walaupun
industri tidak memerlukan proteksi tarif untuk perkembangannya, namun bisnis
memerlukan tarif untuk melindungi pasarnya. Ini menandakan bahwa di masa
sekarang, tarif tidak lagi berfungsi sebagai sarana untuk melindungi suatu
bagian kapitalis yang sedang berkembang terhadap bagian-bagian lain yang sudah
lebih maju. Tarif kini adalah senjata yang digunakan oleh satu kelompok kapitalis
nasional untuk menghadapi kelompok lainnya. Lebih jauh, tarif kini bukan lagi
merupakan instrumen proteksi bagi industri dalam geraknya untuk menciptakan dan
menguasai pasar dalam negeri. Tarif sekarang ini adalah sarana yang sangat
dibutuhkan untuk kartelisasi industri, yakni sarana yang digunakan dalam
perjuangan para produsen kapitalis untuk menghadapi masyarakat konsumen dalam
agregat itu. Apa yang dengan cara empatik menjelaskan karakter spesifik dari
kebijakan-kebijakan tentang pajak impor kontemporer adalah fakta bahwa sekarang
ini bukan industri, melainkan pertanian lah yang memainkan peran utama dalam
penentuan tarif. Kebijakan tentang proteksi pajak impor telah menjadi suatu
alat untuk mengkonversikan dan mengekspresikan kepentingan-kepentingan feodal
dalam bentuk kapitalis.
Perubahan yang sama telah terjadi dalam militerisme.
Apabila kita mempertimbangakan sejarah seperti apa adanya dulu, bukan apa yang
bisa jadi atau seharusnya bisa jadi, maka kita harus mengakui bahwa perang
telah menjadi bagian istimewa yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan
kapitalis. Amerika Serikat, Jerman, Italia, negara-negara Balkan, Polandia,
semuanya berhutang budi kepada perang untuk perkembangan kapitalisnya, baik
perang itu berakhir dengan kemenangan ataupun dengan kekalahan. Selama ada
negeri-negeri yang ditandai dengan pembagian politik atau isolasi ekonomi
internal yang harus dihancurkan, maka militerisme memainkan sebuah peran
revolusioner jika dilihat dari sudut pandang kapitalisme. Namun sekarang ini
situasinya berbeda. Jika politik dunia telah menjadi tahap yang mengancam
munculnya konflik-konflik, maka ia bukan lagi merupakan persoalan terbukanya
negeri-negeri baru bagi kapitalisme. Ia adalah persoalan yang telah ada dalam
pertikaian-pertikaian Eropa, yang kemudian dikirimkan ke negeri-negeri lain,
lalu meledak di sana. Lawan-lawan bersenjata yang kini kita lihat di Eropa dan
benua-benua lainnya tidak membariskan diri sebagai negeri-negeri kapitalis di
satu sisi, dan sebagai negeri-negeri terbelakang di sisi lain. Mereka adalah
negara-negara yang dipaksa berperang, khususnya sebagai akibat perkembangan
kapitalisnya yang maju secara serupa. Dalam pandangan ini, sebuah ledakan pasti
akan fatal bagi perkembangan itu, dalam hal bahwa ia pasti memprovokasi kekacauan
yang sangat mendalam dan transformasi kehidupan ekonomi di semua negeri.
Namun demikian, persoalan ini muncul secara sama
sekali berbeda jika dilihat dari pandangan kelas kapitalis. Bagi kelas
kapitalis, militerisme telah menjadi sangat dibutuhkan. Pertama, sebagai suatu
sarana perjuangan untuk membela kepentingan “nasional” dalam persaingan melawan
kelompok-kelompok “nasional” lainnya. Kedua, sebagai suatu metode penempatan
untuk modal finansial dan industri. Ketiga, sebagai suatu instrumen dominasi
kelas terhadap populasi pekerja di dalam negeri. Di dalam dirinya sendiri,
kepentingan-kepentingan ini tidak memiliki kesamaan dengan perkembangan corak
produksi kapitalis. Apa yang paling menunjukkan karakter khusus dari
militerisme sekarang ini adalah fakta bahwa militerisme berkembang secara umum
di semua negeri sebagai suatu akibat –boleh dikatakan- dari kekuatan motif
internalnya sendiri yang mekanis. Sebuah fenomena yang sama sekali belum
dikenal beberapa dekade yang lalu. Kita mengenali hal ini dalam karakter fatal
dari ledakan di ambang pintu yang tak terhindarkan, meskipun terdapat keraguan
total mengenai tujuan-tujuan dan motif-motif konflik. Perkembangan militerisme
telah berubah dari motor kapitalis, menjadi suatu penyakit kapitalis.
Dalam perbenturan antara perkembangan kapitalis dan
kepentingan kelas yang dominan, negara mengambil posisi di pihak kelas yang
dominan. Kebijakan negara, seperti juga kebijakan borjuasi, menjadi berkonflik
dengan perkembangan sosial. Dengan begitu, negara makin dan makin kehilangan
karakternya sebagai representasi dari keseluruhan masyarakat, dan dengan
tingkat yang sama pula bertransformasi menjadi murni sebuah negara kelas. Atau
lebih tepatnya, dua kualitas ini semakin membedakan diri dari satu sama lain,
dan mendapati dirinya pada hubungan yang bertentangan dalam watak hakiki
negara. Kontradiksi ini secara progresif menjadi bertambah tajam. Ini karena di
satu sisi, kita mengalami pertumbuhan fungsi-fungsi dari suatu kepentingan umum
pada bagian negara, intervensinya dalam kehidupan sosial, “kontrol"nya
terhadap masyarakat. Namun, di sisi lain, karakter kelasnya mengharuskan negara
untuk makin dan makin menggerakkan poros aktivitas dan alat kekerasannya ke
dalam ranah-ranah yang berguna hanya bagi karakter kelas borjuasi, sedangkan
bagi masyarakat secara keseluruhan hanyalah mendatangkan arti penting yang
negatif, sebagaimana dalam hal militerisme serta kebijakan-kebijakan tarif dan
kolonial. Terlebih lagi, “kontrol sosial” yang dipraktekkan oleh negara ini
sekaligus menerobos dengan –dan didominasi oleh- karakter kelasnya (lihatlah
bagaimana legalisasi tentang kerja diterapkan di semua negeri).
Perluasan demokrasi, yang dilihat Bernstein sebagai
suatu sarana untuk mewujudkan sosialisme secara bertahap, tidaklah bertentangan,
justru sebaliknya secara sempurna berkesesuaian dengan transformasi yang
diwujudkan dalam watak negara.
Konrad Schmidt menyatakan bahwa kemenangan suatu
mayoritas sosial-demokratik di parlemen akan secara langsung menyebabkan
terjadinya "sosialisasi” masyarakat. Kini, bentuk-bentuk demokratis dari
kehidupan politik tak ragu lagi merupakan fenomena yang mengekspresikan secara
jelas evolusi negara dalam masyarakat. Bentuk-bentuk demokratis ini pada batas
itu memang menimbulkan suatu gerak menuju suatu transformasi sosialis. Tetapi
konflik di dalam negara kapitalis seperti diuraikan di atas, termanifestasi
sendiri bahkan secara lebih empatik dalam parlementarisme moderen. Sesungguhnya,
sesuai dengan bentuknya, parlementarisme berfungsi untuk mengekspresikan –di
dalam organisasi negara-kepentingan-kepentingan dari seluruh masyarakat. Namun
apa yang diekspresikan oleh parlementarisme di sini adalah masyarakat
kapitalis, yaitu suatu masyarakat di mana kepentingan-kepentingan kapitalis
lebih berkuasa. Dalam masyarakat seperti ini, lembaga-lembaga perwakilan yang
demokratis dalam bentuknya, ternyata dalam isinya adalah instrumen dari
kepentingan kelas yang berkuasa. Hal ini termanifestasi sendiri dengan model
yang nyata dalam fakta bahwa segera setelah demokrasi menunjukkan kecenderungan
untuk menegasikan karakter kelasnya dan mulai tertransformasikan menjadi
instrumen dari kepentingan riil populasi, maka bentuk-bentuk demokratis itupun
dikorbankan oleh borjuasi dan oleh wakil-wakil negaranya. Itulah mengapa ide
tentang penaklukan oleh suatu mayoritas reformis parlementer merupakan
perhitungan yang –sepenuhnya dalam semangat liberalisme borjuis- berasyik-asyik
sendiri hanya memikirkan satu sisi, yakni sisi formal demokrasi, namun tidak
mempertimbangkan sisi lainnya, yakni kandungan sesungguhnya dari demokrasi.
Seluruhnya, parlementarisme bukanlah suatu elemen sosialis langsung yang
membuahi seluruh masyarakat kapitalis secara perlahan. Sebaliknya,
parlementarisme adalah bentuk spesifik dari negara kelas borjuis yang membantu
mematangkan dan mengembangkan pertentangan-pertentangan yang kini ada dalam
kapitalisme.
Dari sudut sejarah perkembangan objektif negara,
keyakinan Bernstein dan Konrad Schmidt bahwa “kontrol sosial” yang meningkat
menghasilkan pengantar langsung menuju sosialisme, tertransformasikan menjadi
suatu rumusan yang mendapati dirinya sendiri semakin berkontradiksi dengan
realitas dari hari ke hari.
Teori introduksi sosialisme secara perlahan mengajukan
reformasi progresif terhadap kepemilikan kapitalis dan negara kapitalis dalam
arahan sosialisme. Namun, sebagai konsekuensi dari hukum-hukum objektif
masyarakat yang kini ada, satu dan lainnya berkembang dalam arah yang persis
berlawanan. Proses produksi semakin tersosialisasi, dan intervensi negara, yakni
kontrol negara terhadap proses produksi, menjadi semakin luas. Tetapi pada saat
yang sama, properti pribadi makin dan makin menjadi bentuk dari eksploitasi
kapitalis secara terbuka terhadap kerja orang lain, dan kontrol negara
diterobos dengan adanya kepentingan-kepentingan eksklusif dari kelas yang
berkuasa. Negara (organisasi politik dari kapitalisme) dan hubungan-hubungan
kepemilikan (organisasi yuridis dari kapitalisme) menjadi semakin bersifat
kapitalis, dan bukan sosialis, menghadapkan pada teori introduksi sosialisme
secara progresif, dua kesulitan yang tak bisa ditanggulangi.
Skema Fourier tentang mengubah air –melalui sebuah
sistem phalansteries- di seluruh laut menjadi limun yang sedap
tentunya merupakan ide yang fantastis. Tetapi Bernstein, dengan mengajukan
gagasan untuk mengubah lautan kepahitan kapitalis menjadi lautan manisnya
sosialis dengan secara progresif menuangkan limun reformis sosial ke dalam
lautan itu, sesungguhnya menyajikan sebuah ide yang sekedar menjadi makin
hambar, namun tak lagi fantastis.
Relasi-relasi produksi di masyarakat kapitalis makin
dan makin mendekati relasi-relasi produksi masyarakat sosialis. Tetapi di sisi
lain, hubungan-hubungan politik dan yuridisnya menegakkan tembok kokoh di
antara masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis. Tembok ini belum hancur,
namun sebaliknya diperkuat dan dikonsolidasikan oleh perkembangan reformasi
sosial dan jalannya demokrasi. Hanya pukulan palu revolusi, yakni penaklukan
kekuasaan politik oleh proletariat lah yang bisa menghancur-leburkan tembok itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar