Oleh Rosa Luxemburg (1900)
3 – Realisasi Sosialisme melalui
Reformasi Sosial
Bernstein menolak “teori keruntuhan”
sebagai sebuah jalan historis menuju sosialisme. Lantas apa jalan menuju
masyarakat sosialis yang diajukan oleh “teorinya tentang adaptasi
kapitalisme"? Bernstein menjawab pertanyaan ini hanya dengan kiasan. Namun
demikian, Konrad Schmidt berupaya untuk berkutat dalam hal-hal rinci ini
menurut cara berpikir Bernstein. Menurut Konrad, “perjuangan serikat buruh demi
jam kerja dan upah, dan perjuangan politik untuk reformasi, akan menyebabkan
terjadinya kontrol yang secara progresif lebih luas terhadap kondisi-kondisi
produksi,” dan “karena hak-hak proprietor (pemilik) kapitalis
akan dikurangi melalui legislasi [hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan
perundang-undangan], maka pada waktunya nanti perannya akan terkurangi hingga
hanya menjadi seorang administrator.” “Para kapitalis akan melihat bahwa
kepemilikannya akan makin dan makin kehilangan nilai bagi dirinya sendiri,”
sampai akhirnya “arah dan administrasi eksploitasi akan direnggut dari dirinya
secara keseluruhan,” kemudian terbangunlah “eksploitasi kolektif”.
Oleh karena itu, serikat-serikat buruh,
reformasi sosial dan –tambah Bernstein- demokratisasi politik negara, adalah
sarana untuk mewujudkan sosialisme secara progresif.
Akan tetapi, kenyataannya ialah bahwa
fungsi utama dari serikat buruh (dan ini dengan sangat baik dijelaskan oleh
Bernstein sendiri dalam Neue Zeit pada tahun 1891) diwujudkan
dengan menyediakan bagi buruh suatu cara untuk menyadari upah yang rendah dari
kapitalis, yakni penjualan tenaga kerja mereka dengan harga pasar masa kini.
Serikat buruh memungkinkan proletariat untuk menggunakan konjungtur [serentetan
kejadian, terutama yang berhubungan dengan kondisi kritis] pasar setiap saat.
Namun, konjungtur ini – (1) permintaan akan tenaga kerja yang ditentukan oleh
kondisi produksi, (2) pasokan tenaga kerja yang diciptakan oleh proletarisasi
lapisan menengah di masyarakat serta reproduksi alami dari kelas-kelas pekerja,
dan (3) tingkat sementara produktivitas kerja- tetap berada di luar ruang
lingkup pengaruh serikat buruh. Serikat buruh tidak bisa menekan hukum tentang
upah. Dalam situasi yang paling mendukung, hal paling maksimal yang bisa
dilakukan oleh serikat buruh hanyalah mendesakkan kepada eksploitasi kapitalis,
batas “normal” pada saat itu. Bagaimanapun juga, serikat buruh tidak memiliki
kekuatan untuk menghapuskan eksploitasi itu sendiri, bahkan secara perlahanpun
tidak.
Memang benar, Schmidt memandang gerakan
serikat buruh sekarang ini berada dalam “tahap awal yang lemah”. Dia berharap
bahwa “di masa depan”, “gerakan serikat buruh akan menjalankan pengaruh yang
meningkat secara progresif terhadap pengaturan produksi”. Namun dengan
pengaturan produksi, kita hanya bisa mengerti dua hal: intervensi dalam ranah
teknis dan menetapkan skala produksi itu sendiri. Bagaimana sifat dari pengaruh
yang dijalankan oleh serikat buruh dalam dua bagian ini? Jelas bahwa dalam
teknik produksi, kepentingan kapitalis berkesesuaian –sampai titik tertentu-
dengan kemajuan dan perkembangan ekonomi kapitalis. Kepentingan kapitalis itu sendirilah
yang mendorongnya untuk melakukan perbaikan-perbaikan teknis. Akan tetapi,
buruh yang terisolasi mendapati dirinya dalam posisi yang jelas berbeda. Setiap
transformasi teknis bertentangan dengan kepentingan buruh. Transformasi teknis
memperburuk situasi buruh yang tak berdaya dengan menurunkan nilai tenaga
kerjanya, dan membuat kerja buruh menjadi lebih serius, lebih monoton, dan
lebih sulit.
Sejauh serikat buruh bisa melakukan
intervensi ke dalam bagian teknis dari produksi, maka mereka hanya bisa
menentang inovasi teknis. Namun dalam hal ini, serikat buruh tidaklah bertindak
demi kepentingan seluruh kelas pekerja dan emansipasinya, yang lebih
berkesesuaian dengan kemajuan teknis, sehingga sesuai dengan kepentingan
kapitalis yang tertutup. Di sini, serikat buruh bertindak dalam arah yang
reaksioner. Dan pada kenyataannya, kita memang mendapati upaya-upaya pada
sebagian buruh untuk melakukan intervensi ke dalam bagian teknis dari produksi,
bukan di masa mendatang seperti yang diharapkan oleh Schmidt, melainkan di masa
lalu dari gerakan serikat buruh. Upaya-upaya seperti itu dicirikan oleh fase
lama dari trade unionism [serikat buruhisme] Inggris (sampai
tahun 1860) ketika organisasi-organisasi Inggris masih terikat pada sisa-sisa
“korporasi” Abad Pertengahan, dan menemukan inspirasi dalam prinsip usang “upah
harian yang adil untuk kerja harian yang adil,” sebagaimana dinyatakan oleh
Webb dalam karyanyaSejarah Trade Unionism.
Di sisi lain, upaya serikat buruh untuk
menetapkan skala produksi dan harga komoditas merupakan suatu fenomena yang
baru muncul. Baru-baru ini saja kita menyaksikan upaya-upaya seperti itu – dan
kembali ini terjadi di Inggris. Dalam sifat dan kecenderungan-kecenderungannya,
upaya-upaya ini mewakili hal-hal yang disebutkan di atas. Lalu, apa makna dari
partisipasi aktif serikat buruh dalam menetapkan skala dan biaya produksi?
Maknanya ialah sebuah kartel yang terdiri atas para pekerja dan para pengusaha
dalam suatu sikap yang sama menghadapi konsumen, dan terutama menghadapi
pengusaha-pengusaha saingannya. Efek dari hal ini sama sekali tidak berbeda
dengan efek dari asosiasi-asosiasi majikan yang biasanya. Pada dasarnya, dalam
hal ini kita tidak lagi mendapati perjuangan antara modal dan kerja, melainkan
solidaritas antara modal dan kerja melawan keseluruhan konsumen. Jika dipandang
dari nilai sosialnya, serikat buruh terlihat sebagai sebuah gerak reaksioner
yang tidak bisa menjadi sebuah tahap dalam perjuangan untuk emansipasi
proletariat, karena ia mengkonotasikan watak yang sangat bertentangan dengan
perjuangan kelas. Kalau dilihat dari sudut penerapan praktisnya, maka didapati
bahwa serikat buruh merupakan suatu utopia yang –sebagaimana ditunjukkan oleh
penelitian yang berlangsung cepat- tidak bisa diperluas ke cabang-cabang
industri besar yang berproduksi untuk pasar dunia.
Jadi, lingkup gerak serikat buruh secara
esensial terbatas pada perjuangan untuk kenaikan upah dan pengurangan jam
kerja, yakni terbatas pada upaya-upaya pengaturan oleh eksploitasi kapitalis,
seiring dengan kenyataan bahwa upaya-upaya tersebut memang diperlukan oleh
situasi sementara dari pasar dunia. Namun serikat buruh sama sekali tidak bisa
mempengaruhi proses produksi itu sendiri. Terlebih lagi, perkembangan serikat
buruh bergerak –bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh Konrad Schmidt-
dalam arah keterlepasan total pasar tenaga kerja dari hubungan apapun yang
sangat dekat dengan bagian lain dari pasar itu.
Hal tersebut ditunjukkan oleh fakta bahwa,
bahkan upaya-upaya untuk menghubungkan kontrak-kontrak kerja dengan situasi
umum produksi melalui sebuah sistem penggeseran (naik-turun) skala upah, telah
ketinggalan zaman seiring perkembangan sejarah. Serikat-serikat buruh Inggris
kini bergerak makin dan makin menjauh dari upaya-upaya seperti itu.
Bahkan dalam batas-batas efektif dari
aktivitasnya, gerakan serikat buruh tidak bisa menyebar dengan cara yang tak
terbatas, berbeda dengan apa yang di-klaim oleh teori adaptasi. Sebaliknya,
apabila kita meneliti faktor-faktor besar dari perkembangan sosial, kita
melihat bahwa kita tidak sedang bergerak menuju suatu zaman yang ditandai
dengan perkembangan kemenangan serikat buruh, melainkan lebih menuju ke suatu
masa ketika kesulitan-kesulitan serikat buruh akan meningkat. Suatu saat ketika
perkembangan industri telah mencapai titik tertingginya yang paling mungkin,
dan kapitalisme telah memasuki fase menurunnya pada pasar dunia, maka
perjuangan serikat buruh akan menjadi dua kali lipat lebih sulit. Pertama,
konjungtur obyektif pasar akan jadi kurang mendukung bagi para penjual tenaga
kerja, karena permintaan tenaga kerja akan meningkat dengan tingkat yang lebih
lambat, dan pasokan tenaga kerja akan lebih pesat daripada saat sekarang.
Kedua, para kapitalis sendiri –untuk menutup kerugian-kerugian yang diderita di
pasar dunia- akan melakukan upaya yang lebih keras daripada masa sekarang guna
mengurangi bagian dari keseluruhan produk yang mengalir ke buruh (dalam bentuk
upah). Pengurangan upah itu –sebagaimana dijelaskan oleh Marx- adalah salah
satu cara utama untuk menghambat jatuhnya tingkat keuntungan.
Situasi di Inggris telah memberikan kepada
kita suatu gambaran tentang permulaan tahap kedua dari perkembangan serikat
buruh. Aksi serikat buruh berkurang arti pentingnya sampai hanya berupa
tindakan mempertahankan hasil-hasil yang telah dicapai, bahkan itu pun kini
menjadi makin dan makin sulit. Situasi seperti itu adalah kecenderungan umum
dari hal-hal yang terjadi di masyarakat kita. Pengimbang bagi kecenderungan ini
seharusnya adalah perkembangan sisi politik dari perjuangan kelas.
Konrad Schmidt melakukan kesalahan yang
sama tentang perspektif sejarah ketika dia membahas reformasi sosial. Dia
mengharapkan bahwa reformasi sosial –seperti organisasi-organisasi serikat
buruh- akan “mendikte para kapitalis dengan syarat-syarat, yang hanya dengan
itu mereka akan bisa mempekerjakan tenaga kerja.” Melihat reformasi dari sudut
pandang ini, Bernstein menyebut legislasi tentang kerja sebagai sekeping
“kontrol sosial”, dan yang demikian itu berarti sekeping sosialisme. Secara
serupa, Konrad Schmidt selalu menggunakan istilah “kontrol sosial” ketika dia
mengacu pada hukum-hukum perlindungan tenaga kerja. Sehingga ketika dengan
senang hati ia mengubah negara menjadi masyarakat, ia pun menambahkan:
“Maksudnya adalah kelas pekerja yang bangkit.” Akibat dari trik substitusi ini,
Undang-Undang tentang Kerja –bersifat apa adanya- yang diundangkan oleh Dewan
Federal Jerman, diubah menjadi langkah-langkah sosialis bersifat peralihan yang
dianggap diundangkan oleh proletariat Jerman.
Mistifikasinya terlihat jelas. Kita tahu
bahwa negara yang ada sekarang ini bukanlah “masyarakat” yang mewakili “kelas
pekerja yang bangkit”. Negara itu sendiri adalah representasi dari masyarakat
kapitalis. Ia adalah sebuah negara kapitalis. Karena itu, langkah-langkah
reformasi bukanlah suatu penerapan “kontrol sosial”, yaitu kontrol dari
masyarakat yang bekerja dengan bebas dalam proses kerjanya sendiri.
Langkah-langkah reformasi adalah bentuk-bentuk kontrol yang diterapkan oleh
organisasi kelas dari modal terhadap produksi modal. Ya, Bernstein dan Konrad
Schmidt sekarang ini hanya melihat “permulaan yang lemah” dari kontrol ini.
Mereka berharap untuk melihat suatu suksesi panjang reformasi-reformasi di masa
mendatang, yang kesemuanya mendukung kelas pekerja. Akan tetapi, dalam hal ini
mereka melakukan kesalahan yang serupa dengan keyakinan mereka akan
perkembangan gerakan serikat buruh yang tak terbatas.
Syarat pokok bagi teori pencapaian
sosialisme secara perlahan melalui reformasi-reformasi sosial adalah
perkembangan objektif tertentu dari kepemilikan kapitalis dan perkembangan objektif
tertentu dari negara. Konrad Schmidt mengatakan bahwa proprietor kapitalis
cenderung untuk kehilangan hak-hak istimewanya seiring dengan perkembangan
sejarah, dan akan terkurangi perannya hanya menjadi sekedar administrator. Dia
mengira bahwa pengambil-alihan alat produksi tidak mungkin bisa dilaksanakan
sebagai suatu tindakan historis tunggal. Karena itu, dia terpaksa menggunakan
teori pengambil-alihan secara bertahap. Dengan pemikiran ini, Konrad membagi
hak atas kepemilikan menjadi (1) hak “kedaulatan” (kepemilikan) –yang dia
lekatkan pada sesuatu yang disebut “masyarakat”, dan yang dia inginkan untuk
meluas- dan (2) lawannya, yaitu hanya hak guna yang dipegang oleh kapitalis,
namun yang dianggap akan terkurangi di tangan para kapitalis, hingga hanya
menjadi semata-mata administrasi atas perusahaan-perusahaan mereka.
Interpretasi ini bisa jadi hanya merupakan
permainan kata-kata, dan dalam hal ini berarti teori tentang pengambil-alihan
secara perlahan tidak memiliki basis yang riil, atau ia merupakan gambaran
sejati dari perkembangan yudisial, di mana kita akan melihat bahwa teori
pengambil-alihan secara perlahan itu sama sekali keliru.
Pembagian hak atas kepemilikan menjadi
beberapa komponen hak, yakni sebuah konsep yang memberi legitimasi bagi Konrad
Schmidt agar bisa menyusun teorinya tentang “pengambil-alihan secara bertahap”,
menunjukkan ciri masyarakat feodal yang didirikan berdasarkan ekonomi alami.
Dalam feodalisme, keseluruhan produk dibagi di antara kelas-kelas sosial di
masa itu berdasarkan hubungan-hubungan pribadi yang ada antara tuan tanah
dengan hamba ataupun penyewanya. Penguraian kepemilikan menjadi beberapa hak
parsial mencerminkan cara distribusi kekayaan sosial pada periode itu. Dengan
berjalannya proses menuju produksi komoditas dan diputuskannya semua ikatan
pribadi di antara para peserta dalam proses produksi, maka hubungan antara
manusia dan benda (yakni kepemilikan pribadi) secara resiprokal menjadi lebih
kuat. Karena pembagian itu tidak lagi dilakukan berdasarkan hubungan-hubungan
pribadi, melainkan melalui pertukaran, maka hak-hak berbeda atas suatu bagian
dalam kekayaan sosial tidak lagi dihitung sebagai bagian-bagian dari hak-hak
properti yang memiliki kepentingan yang sama. Hak-hak yang berbeda itu dihitung
berdasarkan nilai yang dibawa oleh masing-masing hak itu di pasar.
Perubahan pertama yang diintrodusir ke
dalam hubungan-hubungan yuridis dengan adanya kemajuan produksi komoditas pada
komune-komune perkotaan Abad Pertengahan adalah perkembangan dari kepemilikan
pribadi yang absolut. Kepemilikan pribadi yang absolut ini muncul di antara
hubungan-hubungan yuridis feodal. Perkembangan ini telah bergerak maju dengan
langkah pesat dalam produksi kapitalis. Makin proses produksi tersosialisasi,
maka proses distribusi (pembagian kekayaan) semakin bertumpu pada pertukaran.
Dan makin kepemilikan pribadi menjadi tak bisa dilanggar dan tertutup, maka
kepemilikan kapitalis menjadi semakin tertransformasikan dari hak atas hasil
kerja seseorang itu sendiri menjadi hak untuk menggunakan (tanpa ijin) kerja
dari seseorang yang lain. Selama kapitalis itu sendiri yang mengelola
pabriknya, maka distribusi masih –sampai titik tertentu- terikat pada
partisipasi pribadinya dalam proses produksi. Namun seiring dengan manajemen
pribadi pada bagian kapitalis menjadi berlebihan –yang ini merupakan kasus
dalam masyarakat-masyarakat pemegang saham di masa sekarang- maka properti
modal, sejauh berkenaan dengan haknya atas bagian dalam distribusi (pembagian
kekayaan), menjadi terpisah dari hubungan pribadi apapun dengan produksi. Ia
kini muncul dalam bentuknya yang paling murni. Hak kapitalis atas properti
mencapai perkembangannya yang paling sempurna dalam modal yang dipegang dalam
bentuk saham-saham dan kredit industri.
Demikianlah skema historis Konrad Schmidt,
yang menelusuri transformasi kapitalis “dari seorang proprietor menjadi
administrator semata”, ternyata memberi gambaran keliru tentang perkembangan
sejarah yang riil. Sebaliknya, dalam realitas sejarah, kapitalis cenderung
berubah dari proprietor dan administrator menjadi proprietor semata.
Dalam hal ini, apa yang terjadi pada Konrad Schmidt, telah pula terjadi pada
Goethe:
“Apa yang nyata, ia lihat sebagaimana
yang ada dalam mimpi. Apa yang tak lagi nyata, baginya menjadi nyata.”
Karena skema sejarah Schmidt secara
ekonomi berjalan mundur dari suatu masyarakat pemegang saham menuju bengkel
pengrajin, maka secara yuridis dia berkehendak untuk memimpin dunia kapitalis
mundur kembali kepada rangka feodal lama Abad Pertengahan.
Dari sudut pandang ini pula, “kontrol
sosial” dalam realitas ternyata muncul dalam aspek yang berbeda dengan apa yang
dilihat oleh Konrad Schmidt. Apa yang sekarang ini berfungsi sebagai “kontrol
sosial” –legislasi tentang kerja, kontrol organisasi-organisasi industri
melalui kepemilikan saham, dan lain-lain- sama sekali tidak ada hubungannya
dengan konsepnya tentang “kepemilikan yang maha tinggi”. Jauh dari –sebagaimana
diyakini oleh Schmidt- asumsi terjadinya pengurangan kepemilikan kapitalis,
sebaliknya “kontrol sosial” itu tak lain adalah perlindungan atas kepemilikan
kapitalis. Atau, kalau diungkapkan dari sudut pandang ekonomi, “kontrol sosial“
itu bukanlah suatu ancaman terhadap eksploitasi kapitalis, melainkan hanyalah
pengaturan eksploitasi. Jika Bernstein bertanya apakah ada sedikit-banyak
sosialisme dalam suatu Undang-Undang perlindungan tenaga kerja, maka kita bisa
meyakinkan dia bahwa sebaik-baiknya Undang-Undang perlindungan tenaga kerja,
tak ada lagi “sosialisme” selain sekedar sebuah ordonansi kotapraja yang
mengatur soal pembersihan jalan ataupun hidup/matinya lampu jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar