Oleh Rosa
Luxemburg (1900)
BAGIAN I
1 – Metode Oportunis
Jika benar
bahwa teori hanyalah gambaran dari fenomena-fenomena dunia luar dalam kesadaran
manusia, maka harus ditambahkan –berkaitan dengan sistem Eduard Bernstein-
bahwa teori terkadang merupakan gambaran-gambaran yang diputar-balikkan.
Pikirkanlah tentang sebuah teori yang berusaha mewujudkan sosialisme dengan
cara reformasi sosial di tengah kemandegan total gerakan reformasi di Jerman.
Pikirkanlah sebuah teori tentang kontrol serikat buruh terhadap produksi di
tengah kenyataan kekalahan buruh logam di Inggris. Bahaslah teori untuk
memenangkan mayoritas di Parlemen, setelah revisi konstitusi Saxony, dan dalam
pandangan upaya-upaya terbaru yang menentang hak universal untuk memilih.
Bagaimanapun juga, poin sangat penting dari sistem Bernstein bukan terletak
pada konsepsinya tentang tugas-tugas praktis sosial-demokrasi. Poin itu
terletak pada sikap Bernstein tentang kurun perkembangan objektif masyarakat
kapitalis, yang pada gilirannya terkait erat dengan konsepsinya tentang
tugas-tugas praktis sosial-demokrasi.
Menurut
Bernstein, kemunduran umum kapitalisme nampaknya menjadi kian mustahil karena,
di satu sisi, kapitalisme menunjukkan suatu kapasitas adaptasi yang makin
tinggi dan, di sisi lain, produksi kapitalis menjadi makin dan makin
bervariasi.
Kapasitas
kapitalisme untuk beradaptasi itu, kata Bernstein, termanifestasi pertama-tama
dalam sirnanya krisis-krisis umum yang disebabkan oleh berkembangnya sistem
kredit, organisasi-organisasi majikan, sarana komunikasi yang lebih luas, dan
jasa informasi. Kedua, kapasitas kapitalisme untuk beradaptasi terbukti dalam
keuletan kelas menengah yang berasal dari diferensiasi yang meningkat dalam
cabang-cabang produksi, dan naiknya lapisan luas proletariat ke level kelas
menengah. Dan hal ini lebih lanjut dibuktikan, menurut argumen Bernstein,
dengan adanya perbaikan situasi ekonomi dan politik sebagai hasil dari
aktivitas serikat buruh proletariat.
Dari sikap
teoritis ini, kemudian ditarik kesimpulan umum tentang kerja praktis
sosial-demokrasi seperti berikut. Gerakan Sosial-demokrasi hendaknya jangan
mengarahkan aktivitasnya sehari-hari pada penaklukan kekuasaan politik,
melainkan menuju perbaikan kondisi kelas pekerja di dalam tatanan yang kini
ada. Gerakan Sosial-Demokrasi jangan berharap untuk membangun sosialisme
sebagai hasil dari krisis sosial dan politik, tetapi hendaknya membangun
sosialisme melalui perluasan kontrol sosial secara progresif dan penerapan
prinsip kerjasama secara bertahap.
Bernstein
sendiri tidak melihat adanya hal baru dalam teori-teorinya. Sebaliknya, dia
yakin bahwa teori-teorinya itu sesuai dengan pernyataan-pernyataan tertentu
dari Marx dan Engels. Namun demikian, sulit bagi kita untuk menyangkal bahwa
teori-teori Bernstein itu bertentangan secara formal dengan konsepsi-konsepsi
sosialisme ilmiah.
Jika
revisionisme Bernstein sekedar hendak menegaskan bahwa perjalanan perkembangan
kapitalis lebih lambat daripada yang diperkirakan sebelumnya, maka ia hanya
akan menyajikan sebuah argumen untuk menangguhkan penaklukan kekuasaan oleh
proletariat, hal mana setiap orang sampai saat ini telah sepakat.
Konsekuensinya hanyalah perlambatan langkah perjuangan.
Namun,
bukan itu yang terjadi. Yang dipersoalkan Bernstein bukanlah tingkat kecepatan
perkembangan masyarakat kapitalis, melainkan perjalanan perkembangan itu
sendiri, yang konsekuensinya berarti kemungkinan hakiki untuk sebuah perubahan
menuju sosialisme.
Teori
sosialis sampai saat ini menyatakan bahwa titik berangkat bagi suatu
transformasi menuju sosialisme akan berupa sebuah krisis umum dan katastropis
(merupakan bencana besar). Dalam pandangan ini, kita harus membedakan dua hal:
ide fundamental dan bentuk luarnya.
Ide
fundamentalnya mengandung penegasan bahwa kapitalisme, sebagai akibat dari
kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya, bergerak ke arah satu titik ketika ia
tidak akan seimbang, ketika kapitalisme akan menjadi sungguh-sungguh tak
mungkin. Ada alasan-alasan tepat untuk memahami titik waktu dalam bentuk sebuah
krisis komersial umum yang katastropis. Akan tetapi, itu bersifat sekunder
ketika ide fundamentalnya dibahas.
Basis sosialisme
ilmiah bertumpu pada –sebagaimana yang lazim dikenal- tiga hasil utama dari
perkembangan kapitalis. Pertama, pada tumbuhnya anarki dalam
ekonomi kapitalis, yang tak terelakkan lagi menuju pada kehancurannya. Kedua,
pada sosialisasi proses produksi secara progresif yang menciptakan benih-benih
tatanan sosial masa depan. Dan ketiga, pada organisasi dan kesadaran kelas
proletar yang meningkat, yang menimbulkan faktor aktif dalam revolusi yang akan
datang.
Bernstein
meninggalkan poin pertama dari tiga faktor pendukung fundamental sosialisme
ilmiah. Dia mengatakan bahwa perkembangan kapitalis tidak menuju pada sebuah
keruntuhan ekonomi secara umum.
Bernstein
bukan hanya menolak suatu bentuk tertentu dari keruntuhan itu. Dia menolak
kemungkinan hakiki dari keruntuhan tersebut. Dalam tulisannya dia mengatakan:
“Seseorang bisa saja mengklaim bahwa keruntuhan masyarakat yang sekarang
berarti sesuatu yang lain dari sekedar krisis komersial umum, lebih buruk dari
semua krisis lainnya, yakni keruntuhan total sistem kapitalis yang terjadi
sebagai akibat kontradiksi-kontradiksinya sendiri.” Dan terhadap pernyataan
ini, Bernstein menjawab: “Dengan semakin berkembangnya masyarakat, sebuah
keruntuhan total dan nyaris umum sistem produksi yang kini ada menjadi makin
dan makin mustahil, karena perkembangan kapitalis meningkatkan, di satu sisi,
kapasitas adaptasinya, dan –di sisi lain- diferensiasi industri.” (Neue Zeit,
1897-1898, edisi 18, hal. 555).
Tetapi
kemudian muncul pertanyaan: kalau begitu, mengapa dan bagaimana kita bisa
mencapai tujuan akhir kita? Menurut sosialisme ilmiah, kebutuhan sejarah
terutama termanifestasi dalam tumbuhnya anarki kapitalisme yang menggerakkan
sistem ini menuju sebuah jalan buntu. Namun, apabila seseorang sepakat dengan
Bernstein bahwa perkembangan kapitalis tidak bergerak dalam arah yang menuju
pada kehancurannya sendiri, maka sosialisme pun secara objektif tak lagi
diperlukan. Di sinilah tetap berlaku dua arus utama lain dari penjelasan ilmiah
tentang sosialisme, yang juga dikatakan sebagai konsekuensi dari kapitalisme
itu sendiri: sosialisasi proses produksi dan bangkitnya kesadaran proletariat.
Dua hal inilah yang ada di pikiran Bernstein ketika ia mengatakan: “Peniadaan
teori tentang keruntuhan sama sekali tidak menghalangi doktrin sosialis tentang
persuasi. Karena, jika diteliti secara mendalam, apa faktor-faktor yang kita
perhitungkan, yang menyebabkan peniadaan atau modifikasi krisis-krisis
terdahulu? Tak lain, pada kenyataannya, adalah syarat-syarat –atau bahkan
sebagian merupakan benih-benih dari- sosialisasi produksi dan pertukaran.”
(Ibid, hal. 554).
Sedikit
sekali refleksi yang diperlukan untuk memahami bahwa di sini pun kita
menghadapi sebuah kesimpulan yang keliru. Dimana letak arti penting dari semua
fenomena yang oleh Bernstein dikatakan sebagai sarana adaptasi kapitalis –kartel,
sistem kredit, perkembangan alat komunikasi, perbaikan kondisi kelas pekerja,
dan lain-lain? Jelas, pada asumsi bahwa kartel, sistem kredit, dan lain-lain
itu meniadakan atau setidaknya mengurangi kontradiksi-kontradiksi dalam ekonomi
kapitalis, dan menghentikan perkembangan atau penajaman kontradiksi-kontradiksi
itu. Dengan demikian, peniadaan krisis hanya bisa berarti peniadaan
pertentangan antara produksi dan pertukaran pada basis kapitalis. Perbaikan
kondisi kelas pekerja, atau penetrasi fraksi-fraksi kelas tertentu ke dalam
lapisan-lapisan menengah, hanya bisa berarti pengurangan pertentangan antara
modal dan kerja. Tetapi, bila faktor-faktor yang disebutkan itu meniadakan
kontradiksi-kontradiksi kapitalis, sehingga menjaga sistem ini dari kehancuran;
apabila faktor-faktor tersebut memungkinkan kapitalisme untuk mempertahankan
diri –dan itulah yang disebut Bernstein sebagai “sarana adaptasi”- bagaimana
mungkin kartel, sistem kredit, serikat buruh, dan lain-lain itu sekaligus juga
merupakan “syarat-syarat –dan bahkan, sebagian merupakan benih-benih”-
sosialisme? Jelaslah hanya dalam hal bahwa faktor-faktor itu mengekspresikan
secara paling jelas watak sosial dari produksi.
Akan
tetapi, kalau disajikan dalam bentuk kapitalisnya, maka faktor-faktor tadi
menganggap sebagai sesuatu yang berlebihan –dan berkebalikan dalam ukuran yang
sama- transformasi dari produksi yang telah tersosialisasikan ini menjadi
produksi sosialis. Itulah sebabnya mengapa faktor-faktor yang disebutkan
Bernstein itu hanya bisa menjadi benih atau syarat bagi suatu tatanan sosialis
dalam makna teoritis, bukan dalam makna historis. Faktor-faktor tersebut adalah
fenomena yang –dari sudut pandang konsepsi kita tentang sosialisme- kita pahami
sebagai berkaitan dengan sosialisme, namun pada kenyataannya bukan hanya tidak
mengarah pada sebuah revolusi sosialis, melainkan sebaliknya, menganggapnya
berlebihan.
Tetap ada
satu kekuatan yang memungkinkan realisasi sosialisme, yakni kesadaran-kelas
proletariat. Namun inipun, dalam hal tertentu, bukanlah semata-mata refleksi
intelektual tentang kontradiksi-kontradiksi yang berkembang dalam kapitalisme
serta keruntuhannya yang mendekat. Kesadaran-kelas proletariat itu kini tak
lebih sekedar sebuah konsep ideal yang kekuatan persuasinya terletak hanya pada
kesempurnaan yang dianggap berasal darinya.
Dalam
konsep Bernstein itu, kita mendapati penjelasan singkat tentang program
sosialis dengan cara “logika murni”. Yakni, kita dipaksa menggunakan bahasa
yang sederhana, sebuah penjelasan idealis tentang sosialisme. Kebutuhan obyektif
akan sosialisme, penjelasan tentang sosialisme sebagai hasil dari perkembangan
material masyarakat, kemudian gugur ke tanah.
Dengan
demikian, teori revisionis menempatkan dirinya sendiri dalam sebuah dilema.
Apakah transformasi sosialis merupakan –sebagaimana yang diakui sampai
sekarang- konsekuensi dari kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme, yang
pada suatu titik tertentu tak terelakkan lagi akan mengakibatkan kehancurannya,
(yang dengan begitu berarti “sarana adaptasi” menjadi tidak efektif, dan teori
keruntuhan itulah yang benar); ataukah “sarana adaptasi” akan betul-betul
menghentikan keruntuhan sistem kapitalis, dan dengan demikian berarti
memungkinkan kapitalisme untuk mempertahankan diri dengan meniadakan
kontradiksi-kontradiksinya sendiri. Kalau seperti itu halnya, maka sosialisme
bukan lagi sebuah kebutuhan sejarah. Sosialisme kemudian menjadi apa pun yang
ingin anda sebut sebagai sosialisme, tetapi bukan lagi hasil dari perkembangan
material masyarakat.
Dilema itu
menyebabkan munculnya dilema lain. Apakah revisionisme itu benar dalam
posisinya mengenai kurun perkembangan kapitalis, dan karenanya transformasi
sosialis masyarakat hanyalah sebuah utopia; ataukah sosialisme itu bukan sebuah
utopia, dan teori tentang “sarana adaptasi” itu keliru. Itu adalah persoalan
dalam sebuah kulit kacang. (Bersambung ke bagian selanjutnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar