Oleh
Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
Pada
bab terdahulu sudah dibahas ayat "Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu dan telah Aku lengkapkan nikmat-Ku
atasmu, dan telah Aku pilih Islam sebagai agamamu." Dalam pembahasan
itu saya katakan bahwa bukti internal dan eksternal berkenaan dengah ayat ini
menunjukkan bahwa, seperti diriwayatkan baik oleh kaum Syi’ah maupun kaum
Sunni, ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Ghadir Khum. Karena sekarang
yang kami bahas adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi dasar dari
argumen-argumen Syi’ah mengenai imamah, maka kami kutipkan dua atau tiga ayat
saja untuk menjelaskan arah umum argumen-argumen Syi’ah. Salah satunya adalah
sebuah ayat dalam Surah al-Mâ`idah ayat 67, "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.
Dan jika tidak kamu sampaikan, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya".
Perlu ada pengantar, karena akan membantu memahami ayat ini dan ayat
sebelumnya.
Posisi Khusus Ayat-ayat tentang Keturunan Nabi saw
Satu
hal yang benar-benar cukup misterius adalah bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang
berkenaan dengan keturunan Nabi saw, khususnya ayat-ayat yang, dari sudut
pandang Syi’ah, berkenaan dengan Imam Ali as, gaya pengungkapannya khas.
Meskipun ayat-ayat ini memiliki bukti internal yang memadai untuk menunjukkan
arti pentingnya, namun ayat-ayat ini disisipkan di antara beberapa ayat lain
yang membicarakan beberapa masalah lain. Itulah sebabnya perlu ada upaya untuk
memahami arti pentingnya. Kekhasan ini
telah dibahas oleh Muhammad Taqi Syari'ati dalam bukunya, "Imâmah dan
Khilâfah". Meski bukan dia saja yang membahas hal ini, namun
barangkali dialah orang pertama yang membahasnya dalam bahasa Persia. Kekhasan
ini juga merupakan jawaban untuk mereka yang bertanya kenapa nama Imam Ali as
tidak secara khusus disebut dalam Al-Qur'an.
Ayat Thathhîr (Penyucian)
Misal,
ada sebuah ayat yang dikenal dengan nama ayat Thathhîr (penyucian): Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahtulbait, dan menyucikan kamu
sesuci-sucinya (QS. al-Ahzâb: 33). Di sini arti penyucian adalah
penyucian tertentu yang disebutkan oleh Allah SWT. Artinya bukan pembersihan
medis atau pembersihan biasa. Bukan begitu artinya. Sesungguhnya artinya adalah
menghilangkan semua yang dianggap oleh Al-Qur'an rijs atau rujz, yaitu semua
jenis dosa dogmatis, moral dan praktis. Itulah sebabnya dikatakan bahwa ayat
ini menunjukkan kemaksuman para anggota rumah tangga Nabi saw dan menunjukkan
bahwa mereka bebas dari segala kotoran, ketidakmurnian, dan najis.
Misal
saja kita ini bukan Syi’ah dan juga bukan Sunni, melainkan orientalis Kristiani
yang ingin mengetahui apa yang dikatakan oleh Kitab Suci kaum Muslim. Kita
melihat ayat ini dan kemudian kita melihat ke sejarah Islam dan riwayat-riwayat
kaum Muslim, kita mendapati bahwa bukan saja pengikut keturunan Nabi saw, yang
dikenal sebagai Syi’ah, namun juga golongan yang bukan pendukung khusus keturunan
Nabi saw seraya menyebutkan peristiwa turunnya ayat di atas mereka mengatakan
dalam kitab-kitab autentik mereka bahwa
ayat itu berkenaan dengan Imam Ali as, Fatimah az-Zahra as, Imam Hasan as, Imam
Husain as dan Nabi saw sendiri. Ada sebuah riwayat Sunni yang mengatakan
ketika ayat ini turun, Ummu Salamah,[1]
salah seorang istri Nabi saw, mendatangi Nabi saw dan bertanya apakah ayat ini
berlaku juga untuk dirinya. Nabi saw menjawab bahwa Ummu Salamah, meski diberkahi,
namun tidak termasuk diantara orang-orang yang dimaksud oleh ayat itu. Yang
meriwayatkan hadis ini lebih dari satu atau dua orang. Banyak riwayat yang isi
umumnya seperti ini terdapat dalam kitab-kitab Sunni.
Kita
melihat bahwa sebelum dan sesudah ayat terkutip di atas ada ayat-ayat yang
berkenaan dengan istri-istri Nabi saw, "Wahai Istri-istri Nabi, kalian beda dengan wanita-wanita lain."
(Tentu saja ayat ini tidak bermaksud mengatakan bahwa istri-istri Nabi saw
lebih unggul dibanding wanita-wanita lain). "Wahai Istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kalian berbuat dosa, maka
hukuman baginya akan diduakalikan. Hukumannya akan diduakalikan, karena dia
bukan saja melakukan dosa tertentu itu, namun juga melanggar kesucian suaminya
dan bersalah melanggar hal-hal yang dianggap suci." Juga, "Barangsiapa di antara kalian patuh kepada
Allah dan Rasul-Nya dan berbuat baik, maka pahala baginya akan Kami duakalikan."
Dia akan mendapat pahala dua kali karena perbuatan bajiknya sesungguhnya
terdiri atas dua perbuatan. Kasus ini sama dengan kasus para sayid yang
disebut-sebut akan mendapat dua kali pahala untuk kebaikan yang mereka lakukan,
dan dua kali hukuman untuk dosa yang rnereka lakukan. Itu bukan karena dosa
yang dilakukan mereka beda dengan dosa yang dilakukan orang lain, namun karena
fakta bahwa dosa mereka lipat dua. Misal, seorang sayid, na'udzubillah min
dzalik, minum minuman keras, maka dia selain telah berbuat dosa, juga bersalah
karena melanggar hal-hal yang dianggap suci, karena dia adalah keturunan Nabi
saw, dan siapa pun yang melihatnya terang-terangan menentang ajaran Nabi saw,
akan memperoleh kesan yang salah tentang Islam.
Dalam
ayat-ayat ini semua kata gantinya adalah feminim. "Wahai Istri-istri Nabi,
kalian beda dengan wanita lain, jika kalian takut kepada Allah." Jelaslah
di sini yang dituju adalah istri-istri Nabi saw. Setelah dua atau tiga ayat,
kata gantinya tiba-tiba berubah menjadi maskulin, dan kita sampai pada ayat
ini: "Wahai ahlulbait, Allah hendak
meniadakan semua jenis kekotoran darimu dan hendak menyucikanmu sesuci-sucinya"
Kemudian, lagi kata ganti feminim digunakan dua kali. Al-Qur'an tidak mungkin
sembrono. Dalam ayat ini kita catat dua perubahan. Pertama, di sini digunakan
kata-kata "ahlulbait", padahal sebelumnya yang disebut adalah
"Istri-istri Nabi". Kedua, kata ganti feminim digantikan kata ganti
maskulin. Pergantian ini bukan tanpa alasan. Ayat ini sesungguhnya membicarakan
persoalan lain bukan persoalan yang dibicarakan ayat-ayat sebelumnya. Ayat-ayat
sebelum dan sesudahnya menetapkan kewajiban tertentu bagi istri-istri Nabi saw
dan diantaranya menunjukkan ancaman, ketakutan, harapan dan perintah. Kepada
istri-isri Nabi saw, Al-Qur'an mengatakan: Dan
tetaplah di rumah-rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang jahiliah (QS. al-Ahzâb: 33).
Dalam
ayat ini ada perintah dan ada ancaman. Istri-istri Nabi saw dikatakan bahwa
kalau mereka berperilaku baik, maka akibatnya akan begini, namun jika mereka
berperilaku lain, maka akibatnya juga akan lain. Dalam ayat ini ada ketakutan
dan ada harapan.
Ayat
ini, yaitu ayat Thathhîr (penyucian), lebih dari sekadar ungkapan pujian. Ayat
ini menunjukkan bahwa ahlulbait Nabi saw maksum, hebas dari segala dosa dan
kesalahan. Ayat ini independen, tak ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya. Ayat-ayat sebelum dan sesudahnya ditujukan kepada istri-istri Nabi
saw, sedangkan ayat ini ditujukan kepada ahlulbait Nabi saw. Dalam ayat-ayat
sebelum dan sesudahnya, digunakan kata ganti feminim, namun dalam ayat ini
digunakan kata ganti maskulin. Namun ayat ini, yang tak ada kaitannya dengan
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, disisipkan di tengah. Ini dapat disebut
kalimat sisipan. Kita semua tahu bahwa terkadang pembicara yang tengah
berbicara tentang suatu masalah tiba-tiba menyimpang dari masalah yang tengah
dibicarakan, namun kemudian kembali lagi ke masalah yang tengah dibicarakannya.
Itulah sebabnya para imam kami menyatakan bahwa bisa saja beberapa ayat
Al-Qur'an membicarakan satu masalah pada awalnya, masalah lain di tengahnya dan
masalah lain lagi di akhirnya. Berkaitan dengan penafsiran Al-Qur'an, poin ini
banyak ditegaskan.
Bukan
saja hadis-hadis dan para imam kami mengatakan bahwa ayat ini tidak berkaitan
dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, semua sumber Sunni juga meriwayatkan
fakta ini. Contoh lain ayat sisipan adalah: Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu (QS. al-Mâ`idah: 3). Di
sini juga kita lihat kasus yang sama, yang sedikit lebih mengherankan. Ayat-ayat
sebelum ayat ini membicarakan norma hukum yang sangat sederhana dan biasa: Dihalalkan bagimu bmatang ternak,....Diharamkan
bagimu (makan) bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih bukan
atas nama Allah, daging hewan yang dicekik, yang dipukuli, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas (QS. al-Mâ`idah: 1, 3). Lalu
tiba-tiba topiknya berubah, dan kita mendapati ayat ini: Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itujadi agama bagimu (QS.
al-Mâ`idah: 3).
Lalu
tema yang dibicarakan sebelumnya, kembali dibicarakan lagi. Pada dasarnya dua
ayat ini tidak sesuai dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Jelaslah
ayat-ayat ini disisipkan di tengah ayat-ayat yang membicarakan satu masalah
yang lain sekali. Begitu pula dengan ayat yang baru saja kami bicarakan. Ternyata
ayat ini disisipkan diantara ayat-ayat lain sedemikian rupa sehingga kalau ayat
ini dihilangkan, maka ayat-ayat lain tersebut tetap nyambung. Juga, jika ayat
"Pada hari ini telah Kusempurnakan" dihilangkan, aliran harmonis
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya tidak akan terganggu. Ayat ini disisipkan di
tengah ayat-ayat lain sedemikian rupa sehingga ayat ini bukan bagian belakang
dari ayat sebelumnya, juga bukan pembuka ayat sesudahnya. Ayat ini membicarakan
satu masalah yang beda sekali. Indikasi internal ayat ini sendiri maupun
riwayat-riwayat dari sumber Syi’ah dan Sunni, semuanya mendukung pandangan
bahwa ayat ini independen. Namun kenapa ayat ini disisipkan di antara ayat-ayat
yang tak ada kaitannya? Tentu saja ada alasannya, dan alasan itu tentu tepat.
Alasan
Alasan
yang juga disebutkan oleh para imam dapat disimpulkan dari Al-Qur'an. Karena
itu, dari semua ajaran Islam, perintah Allah SWT, yang berkaitan dengan posisi
istimewa keturunan Nabi saw dan imamah Imam Ali as, adalah yang paling kecil
kemungkinannya untuk diimplementasikan. Karena sudah berurat berakar
prasangkanya, orang-orang Arab tampaknya yang paling tidak siap untuk menerima
konsepsi-konsepsi ini. Meskipun Nabi saw
telah menerima perintah Allah SWT berkenaan dengan Imam Ali as, namun Nabi saw
tahu bahwa jika Nabi saw menyampaikan konsepsi-konsepsi ini, tentu Nabi saw
akan dituduh nepotisme oleh kaum munafik yang disebut-sebut dalam Al-Qur'an,
sekalipun fakta menunjukkan bahwa Nabi saw tak pemah mengistimewakan dirinya di
atas orang lain. Sesuai dengan ajaran Islam, Nabi saw tak pernah melakukan
diskriminasi, dan kualitas Nabi saw seperti ini merupakan faktor yang sangat
penting dalam kesuksesan Nabi saw. Memproklamasikan
Imam Ali as sebagai penerus Nabi saw merupakan perintah Allah SWT, namun Nabi
saw tahu bahwa orang-orang yang lemah imannya tentu akan mengatakan bahwa Nabi
hendak mengistimewakan dirinya.
Kita
tahu bahwa dalam ayat di atas kata-kata "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu," didahului dengan
kata-kata "Pada hari ini kaum hafir
telah kehilangan harapan untuk mengalahkan agamamu, maka janganlah takut kepada
mereka, namun takutlah kepada-Ku." Yang dimaksud adalah bahwa
orang-orang kafir telah kehilangan setiap harapan untuk berhasil menghancurkan
Islam, maka dari itu janganlah takut kepada mereka, namun takutlah kepada-Ku.
Seperti dijelaskan sebelumnya, mencabut karunia dan nikmat-Nya dari orang-orang
yang kondisi jiwanya buruk, merupakan cara ilahiah Allah. Orang-orang seperti
itu bahkan akan kehilangan Islam yang juga merupakan nikmat Allah SWT.
Mengatakan "Takutlah kepada-Ku" merupakan cara mengatakan
"Takutlah kepada dirimu sendiri." Dengan kata lain, kaum Muslim tak lagi menghadapi bahaya dari luar,
namun yang mereka hadapi adalah ancaman dari dalam. Dapat dicatat bahwa
ayat ini merupakan satu bagian dari Surah al-Mâ`idah, Surah terakhir yang turun
kepada Nabi saw, dan turunnya pada dua atau tiga bulan terakhir masa hidup Nabi
saw. Pada saat itu Islam sudah kuat.
Keyakinan
bahwa kaum Muslim menghadapi bahaya dari dalam saja, bukan dari luar, juga
disampaikan oleh ayat lain yang sudah kami kutipkan sebelumnya. Ayat itu
mengatakan: Wahai Rasul, sampaikan apa
yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, karena jika kamu tidak
melakukannya, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Ku. Allah akan melindungimu
dari (gangguan) manusia (QS. al-Mâ`idah: 67).
Dapat
disebutkan bahwa dalam Al-Qur'an tak ada ayat lain yang mendesak Nabi saw untuk
melaksanakan tugas khusus. Dari nada ayat ini kesannya seakan-akan seseorang
dipaksa untuk melakukan sesuatu, namun dia ragu-ragu. Dalam ayat ini Nabi saw
diminta untuk menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadanya. Nabi saw juga
diancam, jika tidak menyampaikan, maka Nabi saw dianggap gagal sebagai Rasul.
Pada saat yang sama Nabi saw mendapat jaminan akan dilindungi dan karena itu
Nabi saw tak perlu merasa takut. Dalam ayat sebelumnya, kaum Muslim diminta
untuk tidak takut kepada kaum kafir. Dengan begitu Nabi saw diantisipasi tidak
akan takut kepada kaum kafir. Namun ayat ini menunjukkan bahwa Nabi saw masih
takut dan cemas tentang sesuatu. Tentu saja Nabi saw tidak mungkin takut kepada
kaum kafir. Nabi saw sadar akan bahaya
bergolaknya orang-orang yang tak mau menerima suksesi Imam Ali as. Tak
dapat saya katakan apakah orang-orang ini juga kafir hatinya sehingga mereka
tak dapat menerima konsepsi imamah Imam Ali as.
Bukti Sejarah
Peristiwa-peristiwa
sejarah juga menuturkan kisah yang sama. Dengan kata lain, sosiologi kaum Muslim
menunjukkan hal yang sama. Kita tahu Umar mengatakan, "Kami tidak memilih Ali, sebagai langkah
jaga-jaga untuk kepentingan Islam." Kaum Quraisy tak mau menerima Imam
Ali as, karena mereka tidak dapat mentoleransi Imam Ali as. Kaum Quraisy menganggap tidak benar kalau
kenabian dan imamah keduanya ada dalam satu keluarga. Yang ingin dikatakan
Umar adalah bahwa Bani Hasyim telah mendapat kemuliaan berkat kenabian. Apakah
kekhalifahan juga akan ada di keluarga itu, sehingga semua kemuliaan ada di
satu rumah. Itulah alasan kenapa kaum Quraisy tidak menyukai imamah Imam Ali
as. Ibn Abbas memberikan jawaban yang sangat meyakinkan terhadap perkataan Umar
dan mengutip banyak ayat Al-Qur'an untuk mendukung argumennya.
Kelihatannya
situasi serupa yang ada di masyarakat Muslim diungkapkan dengan cara yang
berbeda, oleh Al-Qur'an begini dan oleh Umar begitu. Misal, sebuah riwayat
menyebutkan bahwa Imam Ali as dianggap tidak tepat untuk menjadi Khalifah karena
Imam Ali as telah membuat gugur begitu banyak tokoh Arab di berbagai
pertempuran Islam. Orang-orang Arab,
anak-cucu tokoh-tokoh Arab yang telah gugur di tangan Imam Ali as menaruh
dendam kepada Imam Ali as, sekalipun setelah mereka masuk Islam. Sebagian
orang Sunni juga mengemukakan argumen ini. Mereka mengatakan bahwa sekalipun
Imam Ali as lebih unggul dibanding sahabat lain dan lebih memenuhi syarat,
namun Imam Ali as tidak dipilih karena musuhnya banyak.
Jadi,
di zaman Nabi saw atmosfernya diwarnai perasaan cemas. Dan pengumuman tentang
suksesi Imam Ali as akan menyulut pemberontakan. Barangkali itulah sebabnya
Al-Qur'an menyebut masalah imamah dalam ayat-ayat ini sedemikian rupa sehingga
arti penting ayat-ayat ini dapat dimengerti oleh setiap orang yang objektif
atau tak berprasangka. Al-Qur'an tidak mengemukakan masalah ini dengan cara
yang kalau masalah ini ditolak oleh orang-orang yang cenderung menolaknya, maka
penolakan itu akan menimbulkan penolakan terhadap Islam dan Al-Qur'an. Dengan
kata lain, Al-Qur'an masih memberikan kesempatan kepada para penentang untuk
menyembunyikan penolakan mereka di balik tirai tipis. Seperti itu pula alasan
kenapa ayat Thathhîr juga disisipkan di antara ayat-ayat lain. Namun setiap
orang yang jujur dan berakal sehat dapat menangkap makna sejatinya dan dapat
melihat independensi ayat ini. Begitu pula dengan ayat "Pada hari ini
telah Kusempurnakan untukmu agamamu," dan ayat "Wahai Rasul,
sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dan Tuhanmu."
Ayat "Walimu hanyalah Allah"
Ada
beberapa ayat lain berkenaan dengan persoalan ini yang menarik untuk dipikirkan
dengan seksama. Ayat-ayat ini rasanya memiliki makna khusus. Makna khusus ini
dapat dipahami dengan bantuan riwayat-riwayat mutawatir saja. Salah satu ayat
ini mengatakan sebagai berikut: Sesungguhnya
walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan salat
dan menunaikan zakat sementara mereka rukuk (QS. al-Mâ`idah: 55). Menunaikan
zakat sembari rukuk bukanlah prosedur biasa atau normal. Maka tak dapat
dikatakan bahwa hal ini disebutkan sebagai norma umum. Karena itu ayat ini
pasti berkenaan dengan peristiwa tertentu. Ayat ini mengisyaratkan ke arah
peristiwa ini sedemikian rupa sehingga kalau ditolak tidak dapat dianggap
melawan Al-Qur'an. Namun setiap orang yang tak berprasangka akan mudah berkesimpulan
bahwa ayat ini berkenaan dengan peristiwa tertentu yang tidak biasa.
Orang-orang yang menunaikan zakat sembari rukuk tidak merujuk ke praktik yang
lazim. Ayat ini mengindikasikan suatu peristiwa yang luar biasa. Peristiwa apa
itu? Kita tahu bahwa baik kaum Syi’ah maupun kaum Sunni sepakat bahwa ayat ini
turun berkenaan dengan Imam Ali as. (Bersambung ke Bag. 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar