“Tulisan
ini berjudul Diskusi dengan Ulama as
Syafi’i, namun karena paparan yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Mar’i al
Amin al Antaki ternyata banyak berkenaan dengan landasan dasar Syi’ah, maka
judulnya pun didaptasikan”
Oleh
Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki
Kami berharap kepada
saudara-saudara kami yang muslim Sunni, hendaknya mereka mau menelaah
kitab-kitab karangan ulama-ulama besar Syi’ah, tanpa diiringi dengan
kefanatikan. Di antaranya, kitab-kitab karangan aI-Imam al-Hujjah al-Mujahid
as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin, kitab al-Ghadir, karangan Allamah
al-Amini, kitab Ihqâqul Haqq dan kitab ash-Shawârimul Muhriqah, yang
keduanya merupakan karangan asy-Syahid as-Sa’id Al-Imam Qadhi Nurullah, ‘Abâqatul
Anwâr, karya al-Imam as-Sayyid Hamid Husain al-Hindi, Ghayâtul Marâm, karya
al-Imam al-Bahrani, As-Saqifah, karya al-‘Allamah al-Muzhaffar, Dalâ’iul
Sidqi, karya al-Hujjah al-Muzhaffar, dan Ashlusy Syi’ah wa Ushuluha, karya
al-Imam Kasyiful Ghitha.
Diskusi dengan Salah Seorang Ulama Al-Azhar
Pada 7 Dzulqaidah 1371 H
sebelum Zuhur, salah seorang tokoh terpandang di Kota Hilb, Ustad Sya’ban Abu
Rasul, mengabarkan kepadaku bahwa salah seorang Syaikh (guru) al-Azhar, ia
adalah seorang ulama besar dan penulis kenamaan, bermaksud mengunjungiku. Ustad
Sya’ban Abu Rasul berkata kepadaku, “Kapan ia (syaikh al-Azhar itu) dapat
berkunjung ke rumahmu?” Aku katakan kepadanya, “Ahlan wa sahlan. Sungguh,
aku mendapat kehormatan dengan kunjungannya itu. Silahkan ia berkunjung
kepadaku pada hari ini.” Lalu Syaikh al-Azhar itu mengunjungiku setelah shalat
Asar. Setelah aku menyambut kedatangannya dan mempersilahkannya duduk, ia
berkata kepadaku dengan lemah lembut, “Sesungguhnya aku sengaja mengunjungimu
dengan maksud hendak menanyakan kepadamu, apa yang mendorongmu mengikuti mazhab
Syi’ah dan meninggalkan mazhab Syafi’i?”
Sebagaimana ia, aku
menjawab pertanyaannya dengan lemah lembut, aku katakan kepadanya,
“Sebab-sebabnya banyak sekali, di antaranya: aku melihat perbedaan yang banyak
di antara sesama empat mazhab. Kemudian aku mulai menyebutkan beberapa contoh
perbedaan di antara empat mazhab itu. Lalu aku menyebutkan sebab-sebab yang
mendorongku mengikuti mazhab Syi’ah, ‘yang paling utama; adalah masalah
khilafah (kekhalifahan), yang merupakan sebab yang paling besar dan menyebabkan
terjadinya perselisihan di antara sesama kaum Muslim.” Sebab, sangatlah tidak masuk akal jika Rasulullah
Saw meninggalkan umatnya tanpa menunjuk seorang penggantinya, yang memerintah
dengan melaksanakan syariat Allah, sebagaimana para rasul yang lain yang
menunjuk seorang washiy (yang menerima wasiat untuk meneruskan
kepemimpinannya, yakni menjadi khalifahnya sepeninggalnya).
Menurutku, telah terbukti
secara meyakinkan bahwa kebenaran ada bersama Syi’ah. Sebab, keyakinan mereka menegaskan bahwa Nabi Saw,
telah berwasiat kepada ‘Ali untuk menjadi khalifahnya sepeninggalnya (sebelum
wafatnya bahkan sejak awal dakwah beliau), dan setelahnya adalah anak
keturunannya, yaitu sebelas imam. Mereka (Syi’ah) ,mengambil hukum-hukum agama,
mereka dari dua belas Imam Ahlulbait as, yaitu para Imam Maksum (terpelihara
dari dosa dan kesalahan) di dalam akidah mereka dengan dalil-dalil yang kuat. Lantaran
sebab itulah dan sebab-sebab yang lainnya,’ aku mengikuti mazhab yang mulia
ini, mazhab Ahlulbait as. Selain itu, aku tidak menemukan satu pun dalil yang
mewajibkan kita mengikuti salah satu dari mazhab yang empat. Sebaliknya, aku mendapatkan dalil-dalil
yang sangat banyak yang mewajibkan kita mengikuti mazhab Ahlulbait yang
menuntun setiap Muslim ke jalan yang lurus.”
Kemudian aku paparkan
kepadanya dalil-dalil yang jelas dan tegas yang mewajibkan setiap Muslim
mengikuti mazhab Ahlulbait. Semua yang hadir di rumahku saat itu, mendengarkan
penjelasanku dengan seksama. Lalu aku bertanya kepada kepada Syaikh al-Azhar itu,
“Wahai Syaikh yang mulia, engkau adalah
seorang ulama yang terhormat. Apakah engkau mendapatkan dalam al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah Saw satu dalil pun yang mengarahkanmu untuk mengikuti salah
satu dari empat mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, asy-Syafi’i, dan Hanbali)?”
Ia menjawab, “Sekali-kali tidak.”
Kemudian aku katakan
kepadanya, “Bukankah Anda mengetahui bahwa mazhab yang empat (madzâhibul
arba’ah) itu saling bertentangan satu sama lainnya dalam banyak masalah,
dan dalam hal ini mereka tidak berlandaskan pada dalil yang kuat atau
keterangan yang jelas dan nyata bahwa ialah yang benar, bukan yang lainnya?
Orang yang terikat dengan salah satu mazhab dari empat mazhab tersebut hanyalah
menyebutkan dalil-dalil yang tidak ada penopangnya. Sebab, ia tidak bersumber
pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Ia seperti pohon yang buruk, yang
telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap
(tegak) sedikit pun.”
Misalnya, seandainya Anda
tanyakan kepada seseorang yang bermazhab Hanafi, ‘Mengapa engkau memilih mazhab
Hanafi, bukan yang lainnya? Dan mengapa engkau memilih Abu Hanifah sebagai imam
untuk dirimu setelah seribu tahun dari kematiannya? Niscaya orang tersebut
tidak akan memberikan jawaban yang memuaskan hatimu. Demikian juga jika Anda
menanyakan hal yang sama kepada seseorang yang mengikuti mazhab asy-Syafi’i,
Maliki, atau Hanbali. Rahasia di balik
itu adalah setiap imam dari empat mazhab tersebut bukanlah seorang nabi atau washiyy
(orang yang menerima wasiat untuk meneruskan kepemimpinan nabi). Mereka
tidak mendapatkan wahyu ataupun mendapatkan ilham, mereka hanya seperti ulama
yang lain, dan orang yang seperti mereka amatlah banyak.
Kemudian mereka bukanlah
sahabat Nabi Saw, kebanyakan mereka atau bahkan keseluruhan mereka tidak
menjumpai Nabi Saw dan tidak pula menjumpai para sahabat Nabi Saw. Setiap orang
dari mereka (imam mazhab yang empat) membuat mazhab untuk dirinya sendiri, ia
mengikuti mazhabnya itu dan mempunyai pendapat-pendapat tersendiri, yang boleh
jadi terdapat kesalahan atau kelalaian di dalamnya. Dan setiap dari mereka
mempunyai pendapat yang bermacam-macam, yang satu sama lainnya saling
bertentangan. Akal sehat tidak akan dapat menerima hal itu, demikian pula hati
yang bersih. Sebab, ia tidak berdasarkan pada dalil yang tegas dan kuat, yaitu
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.
Maka, orang yang
berpegangan atau mengikuti salah satu dari mazhab yang empat tersebut tidak
mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat kelak di hadapan Allah pada Hari
Perhitungan. Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah hujah yang jelas lagi kuat itu.
Seandainya Allah menanyakan kepada orang yang mengikuti salah satu dari mazhab
yang empat itu pada hari kiamat, dengan dalil apa engkau mengikuti mazhabmu
ini? Tentu saja ia tidak mempunyai jawaban kecuali ucapannya, “ Dan
Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun
dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata: “Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama dan
Sesungguhnya Kami adalah pengikut jejak-jejak mereka” (Qs. Az-Zukhruf
[43]:23).
Atau, ia berkata, “Ya
Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan
pembesar-pembesar Kami, lalu mereka menyesatkan Kami dari jalan (yang benar) (Qs.
Al-Azhab [33]:67). Kemudian aku katakan kepada syaikh al-Azhar itu, “Wahai
Syaikh yang mulia, apakah seseorang yang mengikuti salah satu dari mazhab yang
empat itu mempunyai jawaban kelak di hadapan Allah pada hari kiamat?” Ia
menundukkan kepalanya beberapa lama kemudian ia berkata, “Tidak.” Kemudian aku
katakan kepadanya, “Adapun kami yang mengikuti wilâyah (kepemimpinan) al-‘itrah
ath-thâhirah (keturunan yang suci), Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan
Allah sesuci-sucinya dari segala dosa, dan kami beribadah kepada Allah Swt
dengan mengikuti fiqih al-Ja’fari, kami akan berkata kelak pada Hari
Perhitungan, ketika kami berdiri di hadapan Allah Swt.”
‘Wahai Tuhan kami,
sesungguhnya Engkau telah memerintahkan kami dengan hal itu karena sesungguhnya
Engkau telah berfirman di dalam Kitab-Mu, “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya” (Qs. Al-Hasyr [59]:7). Dan
Nabi-Mu, Muhammad Saw, telah bersabda, sebagaimana yang telah disepakati kaum
Muslim, “Sesungguhnya aku telah
meninggalkan kepada kalian dua pusaka yang sangat berharga (ats-tsaqalain),
yaitu Kitabullâh dan Itrah Ahlulbaitku; selama kalian berpegang
teguh kepada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, dan
sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di al Haudh.”
Dan Nabi-Mu juga telah bersabda,
“Perumpamaan Ahlul Baitku di
rengah-rengah kalian seperti bahrera Nuh barang siapa menaikinya, niscaya dia
akan selamat; dan barangsiapa yang tertinggal darinya, niscaya dia akan
tenggelam dan binasa.” Dan tidak diragukan lagi bahwa Imam Ja’far
ash-Shadiq as adalah dari al-i’trah ath-thâhirah (keturunan yang suci),
yaitu Ahlulbait Nabi Saw yang telah disucikan Allah sesuci-sucinya dari segala
dosa. llmunya adalah ilmu ayahnya, ilmu ayahnya adalah ilmu kakeknya, yaitu
Rasulullah Saw, sedangkan ilmu Rasulullah Saw bersumber dari Allah. Selain itu,
semua kaum Muslim telah sepakat akan kejujuran dan keutamaan Imam Ja’far
Ash-Shiidiq as: Sesungguhnya ia (Imam Ja’far Ash-Shadiq as) adalah seorang washiyy
keenam dan Imam Maksum, sesuai keyakinan segolongan besar kaum Muslim,
yaitu para pengikut mazhab Ahlubait, mazhab yang hak. Dan sesungguhnya ia
adalah hujah Allah atas makhluk-Nya. (Bersambung
ke Bag. 3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar