“Tulisan
ini berjudul Diskusi dengan Ulama as
Syafi’i, namun karena paparan yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Mar’i al
Amin al Antaki ternyata banyak berkenaan dengan landasan dasar Syi’ah, maka
judulnya pun didaptasikan”
Oleh
Syaikh Muhammad Mar’i al-Amin al-Antaki
Imam Ja’far Ash-Shadiq as
meriwayatkan hadis dari ayah dan datuknya yang suci, dan ia tidak
berfatwa dengan pendapatnya sendiri. Hadisnya adalah “hadis ayahku dan
datukku”. Sebab, mereka adalah sumber ilmu dan hikmah. Mazhab Imam Ja’far
ash-Shadiq as adalah mazhab ayahnya, dan mazhab kakeknya bersumber dari wahyu,
yang tidak akan pernah berpaling sedikit pun darinya. Bukan dari hasil ijtihad,
seperti lainnya yang berijtihad. Oleh karena itu, orang yang mengikuti mazhab Ja’far
bin Muhammad ash-Shadiq as dan mazhab kakek-kakeknya, berarti ia telah
mengikuti mazhab yang benar dan berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah Saw.
Setelah aku kemukakan
dalil-dalil yang jelas dan kuat, Syaikh al-Azhar tersebut mengucapkan banyak
terima kasih kepadaku dan ia pun sangat memuliakan kedudukanku. Kemudian ia
menanyakan tentang pandangan Syi’ah terhadap para sahabat Rasulullah Saw. Lalu,
aku jelaskan kepadanya bahwa Syi’ah
tidak mencela sahabat Rasulullah Saw secara keseluruhan. Akan tetapi, Syi’ah
meletakkan mereka sesuai kedudukan mereka. Sebab, di antara mereka ada yang
adil dan ada pula yang tidak adil, di antara mereka ada yang pandai dan ada
pula yang bodoh, dan di antara mereka ada yang baik dan ada pula yang jahat.
Bukankah Anda tahu apa
yang telah mereka lakukan pada hari Saqifah? Mereka telah meninggalkan jenazah Nabi mereka dalam keadaan terbujur
kaku di atas tempat tidurnya, mereka berlomba-lomba memperebutkan kekhalifahan.
Setiap orang dari mereka beranggapan bahwa ialah yang berhak menjadi khalifah,
seakan-akan ia adalah barang dagangan yang dapat diperoleh bagi siapa saja yang
lebih dahulu mendapatkannya. Padahal mereka telah mendengar nash-nash yang
tegas yang telah disampaikan oleh Nabi Saw tentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi
Thalib as, baik sejak awal dakwahnya maupun hadis Ghadir Khum yang terkenal
itu.
Selain itu, mengurusi
jenazah Rasulullah Saw lebih penting daripada urusan kekhalifahan. Bahkan,
seandainya saja Rasulullah Saw tidak mewasiatkan seseorang untuk menjadi
khalifahnya (Rasulullah Saw. secara
tegas telah menunjuk ‘Ali untuk menjadi khalifahnya), maka wajib bagi
mereka untuk mengurusi jenazah Rasulullah Saw terlebih dahulu. Kemudian
setelah selesai mengurusi jenazah Rasulullah Saw, seyogyanya mereka menyatakan
belasungkawa kepada keluarga beliau, seandainya saja mereka adalah orang-orang
yang adi! Akan tetapi, dimanakah keadilan dan perasaan hati mereka, dimanakah
keluhuran akhlak, dan dimanakah ketulusan dan kecintaan? Dan yang lebih menyakitkan lagi di dalam hati adalah penyerbuan mereka
ke rumah belahan jiwa Rasulullah Saw, Fatimah az-Zahra as, yang
dilakukan oleh sekitar lima puluh orang pria.
Mereka telah mengumpulkan kayu bakar untuk membakar
rumah Fatimah dan semua orang yang di dalamnya. Sehingga ada seseorang yang berkata kepada ‘Umar,
“Sesungguhnya di dalam rumah tersebut terdapat al-Hasan, al-Husain, dan
Fatimah.” Akan tetapi, ‘Umar berkata, “Walaupun (di dalam rumah tersebut ada
mereka).” Peristiwa ini banyak disebutkan oleh sejarawan Sunni,[3] apalagi para sejarawan Syi’ah.
Semua orang tahu, baik orang yang berbakti maupun orang yang jahat, bahwa
Rasulullah Saw bersabda, “Fatimah adalah belahan jiwaku. Barang siapa yang
menyakitinya, maka ia telah menyakitiku; barang siapa yang membuatnya murka,
maka ia telah membuatku murka; barang siapa yang membuatku murka, maka ia telah
membuat Allah murka; dan barang siapa membuat Allah murka, maka Allah akan
menyungkurkan kedua lubang hidungnya ke dalam neraka. “
Peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada para sahabat Nabi Saw secara jelas menunjukkan bahwa tidak semua
sahabat itu adil. Silakan Anda merujuk ke Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh
al-Muslim tentang hadis Haudh, niscaya Anda akan mendapatkan
kebenaran pendapat Syi’ah tentang penilaian mereka terhadap para sahabat Nabi
Saw. Jika demikian adanya, maka dosa
apakah bagi mereka (Syi’ah) jika mereka berpendapat bahwa banyak di antara
sahabat Nabi Saw yang tidak adil, sedangkan banyak dari mereka sendiri (para
sahabat Nabi Saw.) yang menunjukkan jati diri mereka sendiri. Perang Jamal dan
Perang Shiffin adalah dalil dan bukti yang paling jelas terhadap kebenaran
pendapat mereka (Syi’ah). Dan al-Qur’an telah menyingkapkan banyak
keburukan perbuatan di antara mereka (para sahabat Nabi Saw).
Bukankah Anda juga tahu
apa yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah, ‘Amru bin ‘Ash, Marwan bin Hakam,
Ziyad dan anaknya, Mughirah bin Syu’bah, ‘Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash,
Thalhah dan Zubair, yang keduanya telah memberikan baiat kepada Amirul Mukminin
‘Ali as, tetapi keduanya kemudian melanggar bai’atnya dan memerangi Imam mereka
(‘Ali bin Abi Thalib as) bersama ‘A’isyah di Basrah, yang sebelumnya mereka
telah melakukan kejahatan-kejahatan di kota tersebut (Basrah) yang tidak pantas
dilakukan oleh seseorang yang mempunyai jiwa satria. Selain itu, selama
keberadaan Nabi Saw di tengah-tengah mereka (para sahabat beliau), banyak di
antara mereka yang melakukan perbuatan nifâk (munafik), apakah kemudian
setelah Nabi Saw menemui Tuhannya (wafat), mereka lantas menjadi adil semuanya?
Kita sama sekali tidak
pernah mendengar bahwa ada salah seorang nabi di antara nabi-nabi yang diutus
kepada ummatnya, lalu semua umatnya menjadi adil. Bahkan, yang terjadi adalah
sebaliknya. Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan kepada kita tentang hal itu.
Kemudian aku katakan kepada, Syaikh al-Azhar itu, “Bagaimana menurutmu wahai
saudaraku yang mulia?” Ia menjawab, “Sungguh, apa yang telah engkau sampaikan
telah memuaskanku, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan balasan yang
sebaik-baiknya.”
Kemudian setelah terjadi
diskusi yang panjang antara aku dengan syaikh al-Azhar itu, ia berkata, “Apakah
engkau mengetahui bahwa engkau telah memasukkan keraguan di dalam hatiku
perihal empat mazhab, dan aku juga telah condong pada mazhab Ahlulbait. Akan
tetapi, aku ingin engkau membekaliku dengan sebagian kitab Syi’ah.” Kemudian,
aku pun menghadiahkan kepadanya beberapa kitab Syi’ah, di antaranya: kitab
karangan al-Imam Syarafuddin Dalâ’ilush Shidqi, dan al-Ghadir karya
Allamah Amini. Di samping itu, aku juga menunjukkan kepadanya
beberapa kitab Syi’ah yang lainnya.
Kemudian ia mohon diri
meninggalkan rumahku sembari mengucapkan pujian dan terima kasih kepadaku, lalu
ia pun pulang ke Mesir dalam keadaan ragu tentang akidah yang dianutnya selama
ini. Kemudian setelah beberapa hari, datanglah surat kepadaku dari syaikh
al-Azhar itu. Di antara isi surat tersebut, ia mengabarkan kepadaku bahwa dia
telah menganut mazhab Ahlulbait dan menjadi seorang Syi’ah. Ia berjanji
kepadaku untuk menulis buku tentang kebenaran Mazhab Ahlulbait.
Penutup
Sesungguhnya apa yang
telah kami persembahkan kepada para pembaca adalah bersumber dari
al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw, yang diriwayatkan dalam hadis sahih dalam
kitab-kitab sahih Sunni, dan merupakan bukti yang kuat terhadap kekhalifahan
Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib sepeninggal Rasulullah Saw secara langsung
(bilâ fashl), sekiranya orang yang menentang kami berlaku adil. Perhatikanlah
dengan seksama dan sungguh-sungguh terhadap semua yang telah kami sebutkan
dalam buku ini, yaitu hujjah dan keterangan yang jelas, dengan begitu niscaya
akan tersingkap kebenaran yang hakiki bagi Anda dan akan memudahkan jalan bagi
siapa saja yang hendak menempuh jalan kebenaran. Yaitu, orang-orang yang
mengikhlaskan niatnya dan menjauhkan dirinya dari fanatisme mazhab yang
membutakan hati dan pikiran sehat dan membinasakan.
Orang yang bersikeras
dalam fanatismenya, tidak akan berguna riwayat, walaupun jumlahnya sangat
banyak dan telah dikemukakan baginya seribu dalil. Adapun orang yang mempunyai
pikiran yang jernih dan akal yang cerdas, maka yang telah kami persembahkan,
dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah, telah memadai baginya karena dalil-dalil
tersebut adalah riwayat-riwayat yang sahih yang telah disepakati kebenarannya,
baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah. Selain itu, orang yang bersikeras di
dalam kefanatikannya, bahkan seandainya Nabi Saw sendiri yang datang kepadanya
dan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia tetap akan berada di dalam sikap
keras kepalanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang
di antara mereka, yang keras kepala, kepada saudaraku “Seandainya Jibril turun,
dan ikut bersamanya Muhammad dan ‘Ali, aku tetap tidak akan membenarkan
ucapanmu.”
Hal itu terjadi ketika
saudaraku mengajaknya berdialog, dan saudaraku telah memberikan kepadanya kitab
al-Murâja’ât (Dialog Sunni-Syi’ah) agar ia melihat (membaca) apa yang
ada di dalamnya. Kitab tersebut ada pada orang itu lebih dari sebulan lamanya,
lalu dia mengembalikan kitab itu kepada saudaraku seraya berkata, “Sesungguhnya
aku tidak suka membaca kitab-kitab Syi’ah. Oleh karena itu, aku sama sekali tidak
membaca kitab ini (al-Murâja ‘ât) selamanya.” Sesungguhnya buku yang
hadir di hadapan Anda ini, insya Allah, akan tersebar luas di segenap
penjuru dunia, yang akan dibaca oleh orang-orang Arab dan ‘ajam (non-Arab),
Muslim dan non-Muslim.
Sesungguhnya manusia itu
bermacam-macam. Dan merupakan hal yang sulit mendapatkan kerelaan seluruh
manusia, bahkan itu merupakan suatu hal yang mustahil diraih. Semoga Allah Swt.
mencurahkan rahmat-Nya kepada ‘Ali al-Kailani, seorang pujangga berkebangsaan
Palestina yang berkata, Jika Tuhannya makhluk tidak meridhai makhluk-Nya,
Maka bagaimana mungkin makhluk dapat diharapkan keridhaannya.
Singkat kata, sesungguhnya
buku ini akan dibaca oleh banyak pembaca, di antara mereka pasti ada yang akan
memuji, dan di antara mereka juga akan ada yang mengkritik, bahkan mengecamnya.
Saya berharap dari pembaca yang budiman untuk tidak terburu-buru memberikan
penilaian sebelum membaca sampai akhir buku. Setelah itu, ia dapat memberikan
penilaiannya yang bijak, baik menerima maupun menolak.
Akan tetapi, aku tidak
menduga bahwa orang yang berpikir positif dan bijak akan menolak dalil-dalil
yang telah kami kemukakan karena ia bersumber dari kitab-kitab sandaran mereka
sendiri, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Oleh karena itu, jika dia tidak menerima
dalil-dalil tersebut, maka hendaklah ia menyalahkan mereka, bukan kami, karena
kami hanya menyampaikan apa yang bersumber dari mereka.
Akhir kalam, aku
mengucapkan terima kasih kepada orang-orang (para ulama) yang telah menyebabkan
kami memperoleh petunjuk dengan mengikuti mazhab yang benar, yaitu mazhab
Ahlulbait. Khususnya kepada dua orang imam besar, dua tokoh terkemuka mazhab
Ahlulbait dan marji’ yang terbesar, yaitu Ayatullah al-‘Uzhma al-Imam
al-Mujahid as-Sayyid Agha Husain ath-Thabathaba’i al-Buroujerdi, dan Ayatullah
a;-‘Uzhma al-Imam al-Mujahid as-Sayyid ‘Abdul Husain Syarafuddin. Semoga Allah
Swt membalas kebaikan kedua tokoh besar mazhab Ahlulbait ini atas jasa-jasanya
terhadap Islam dan kaum Muslim, dan khususnya kepada penulis, dengan balasan
yang sebaik-baiknya.
Saya selesai menuliskan
naskah ini pada 29 Dzul Hijjah al-Haram 1380 H, di Kota Hilb, dalam
perpustakaanku, tempat aku mengajar dan menulis buku. Segala puji bagi Allah
Yang Awal dan Yang Akhir Yang Lahir dan Yang Batin.
Catatan:
[1] . Allah membukakan hatinya
untuk menerima dan mengikuti mazhab yang benar yaitu mazhab Ahlulbait
al-Ja’fari.
[2] . Silahkan Anda rujuk pada
bagian ketiga dari buku ini.
[3] . Lihat al-Imâmah was
Siyâsah. Ar-Riyadhun Nadhrah, Murujudz Dzahab, Ansâbul Asyrâf, al-Imâm ‘Ali,
karya ‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshud, Syarh Nahjul Balâghah, karya Ibn
Abil Hadid, dan kitab-kitab lainnya yang ditulis oleh para ulama Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Anda akan mendapatkan bahwa mereka menyebutkan peristiwa
yang menyedihkan dan memilukan hati ini. Adapun Syi’ah, para sejarawan mereka
telah menyebutkan peristiwa yang menyakitkan hati ini berikut nama-nama mereka
yang melakukan tindakan kejahatan ini. Mereka menyatakan bahwa perirstiwa
penyerbuan ke rumah Fatimah As tersebut dipimpin oleh ‘Umar “seorang pahlawan
yang gagah berani” tetapi gagah berani bukan di medan perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar