Oleh
Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
Apa Kata Ahli Irfan
Ada
beberapa ayat lain yang artinya baru dapat diketahui setelah melalui pemikiran
yang mendalam. Itulah sebabnya ahli-ahli
irfan*
mengatakan bahwa masalah imamah dan wilayah merupakan sisi dalam dari hukum
Islam. Itulah juga yang dipercaya kaum Syi’ah. Karena itu ahli-ahli irfan
sangat bagus pengungkapannya mengenai konsepsi ini. Untuk memahami masalah
Imamah, perlu masuk ke intinya, karena pada dasarnya masalah imamah membutuhkan
pemikiran yang mendalam. Hanya orang-orang yang memiliki kualitas ini sajalah
yang dapat memahami dengan baik masalah ini. Mereka mengajak orang untuk juga
masuk ke inti masalah ini. Ada yang menanggapi, dan ada pula yang tidak.
Sekarang kita lihat ayat lain, agar logika argumen kaum Syi’ah bisa dipahami
sepenuhnya.
Konsep Imamah
Dalam
Al-Qur'an ada sebuah ayat yang termasuk dalam rangkaian ayat yang tengah kita
bahas. Ayat luar biasa ini tidak berkaitan dengan pribadi Imam Ali as, namun
membicarakan doktrin imamah dalam arti yang sudah kami jelaskan, dan sekarang
akan kami jelaskan dengan singkat. Seperti sudah kami katakan, kekeliruan lama
teolog-teolog ilmiah Muslim adalah membahas masalah imamah dengan cara seakan-akan
konsepsi imamah kaum Syi’ah maupun kaum Sunni sama –namun hanya saja perbedaan
kedua kaum ini soal kondisinya saja. Kaum Syiah mengatakan bahwa imam haruslah
maksum dan diangkat melalui keputusan Allah SWT, sedangkan kaum Sunni tidak
mengakui sudut pandang itu. Fakta aktualnya adalah bahwa kaum Sunni sama sekali
tidak mempercayai konsepsi imamah yang diyakini kaum Syi’ah.
Imamah
yang diyakini kaum Sunni hanyalah aspek duniawi dan salah satu fungsi dari
imamah yang sesungguhnya. Mengenai kenabian, kita juga melihat bahwa Nabi saw
adalah pemimpin umat Muslim, namun kepemimpinan ini atau kedudukannya sebagai
pemimpin negara hanyalah salah satu fungsinya sebagai seorang Nabi.
Kepemimpinannya tidak berarti bahwa kenabian dan kepemimpinan sinonim. Kenabian
adalah sebuah realitas yang begitu banyak sisinya. Salah satu sifat khas
seorang nabi adalah kalau ada nabi maka siapa pun selain nabi tak dapat menjadi
penguasa atau pemimpin umat Muslim. Kaum Sunni mengatakan bahwa imamah berarti
tak lebih dari administrasi pemerintahan dan bahwa imam adalah kepala
administrasi ini atau penguasa kaum Muslim. Dia dipilih oleh kaum Muslim dari
kalangan mereka sendiri. Konsep Sunni tentang imam tak lebih dari status kepala
negara Muslim. Namun menurut Syiah, imamah adalah sebuah posisi yang sama
dengan kenabian, dan dalam beberapa hal bahkan lebih tinggi daripada Kenabian. Para nabi papan atas, mereka itu juga imam.
Banyak nabi yang sama sekali bukan imam. Bahkan
para nabi papan atas mendapat tugas imamah jauh setelah mereka jadi nabi.
Pendek
kata, kalau kita mengakui bahwa imamah adalah seperti kenabian, maka kita juga
harus akui bahwa karena adanya seorang nabi yang memiliki aspek manusia super
maka tak ada masalah siapa yang jadi penguasa, adanya seorang imam maka tak ada
masalah siapa yang jadi penguasa. Masalah ini baru muncul ketika tak ada imam,
entah karena imam sama sekali tak ada atau karena imam tengah gaib seperti yang
tengah terjadi di zaman kita ini. Kita tak boleh mencampuradukkan masalah
imamah dengan masalah pemerintahan dan kemudian bertanya apa kata kaum Sunni
dalam hal ini dan bagaimana pandangan Syi’ah. Sesungguhnya masalah pemerintahan
beda dengan masalah imamah. Menurut kaum Syi’ah, imamah merupakan sebuah
fenomena yang persis seperti fenomena kenabian, dan itu juga seperti derajat
tertingginya. Maka dari itu kaum Syi’ah mempercayai imamah, sedangkan kaum
Sunni tidak. Menurut kaum Sunni, syarat yang diperlukan bagi seorang imam beda.
Imam dalam Keturunan Nabi Ibrahim as
Ayat
yang sekarang ingin kami kutip dengan jelas menunjukkan konsep imamah yang
diyakini kaum Syi’ah. Kaum Syi’ah berpendapat ayat ini menunjukkan bahwa ada
sebuah kebenaran yang disebut imamah, dan bahwa adanya bukan saja selama
periode setelah wafatnya Nabi saw namun juga sejak datangnya para nabi dan akan
terus eksis dalam keturunan Nabi Ibrahim as sampai akhir zaman. Al-Qur'an
mengatakan: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa
kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia."
Ibrahim berkata: "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku. "Allah
berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orangyang zalim" (QS.
al-Baqarah: 124).
Ujian Nabi Ibrahim as—Perintah untuk Hijrah ke Hijaz
Al-Qur'an
sendiri menyebutkan sejumlah ujian yang harus dihadapi Nabi Ibrahim as. Ujian
itu antara lain berupa perjuangan Nabi Ibrahim as melawan Namrud beserta
pengikut-pengikutnya, sehingga Ibrahim as sampai dibakar dan mengalami beberapa
peristiwa lainnya. Salah satu peristiwa ini adalah Ibrahim as menerima perintah
yang tak dapat dilaksanakan oleh siapa pun yang belum sepenuhnya menaati Allah
SWT. Ibrahim as belum memiliki anak. Untuk pertama kalinya istrinya, Hajar,
melahirkan seorang anak pada usia tujuh puluh delapan tahun. Nabi Ibrahim as
menerima perintah Allah SWT untuk pergi dari Syria ke Hijaz, membawa istri dan
anaknya ke tempat yang sekarang menjadi lokasi Masjidil Haram. Perintah ini
tidak sesuai dengan logika apa pun kecuali logika kepatuhan diri yang total.
Karena yakin bahwa itu adalah perintah Allah SWT yang diterimanya melalui
wahyu, Ibrahim as menjalankan perintah itu. Ibrahim as berkata: Ya Tuhan kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan
kami, (yang demikian itu) agar mereka menegakkan salat (QS. Ibrahim: 37).
Perintah Menyembelih Putranya
Yang
lebih mengherankan daripada peristiwa-peristiwa ini adalah kisah tentang Nabi
Ibrahim as menyembelih putranya di Mina. Untuk selalu mengenang kepatuhan diri
yang luar biasa ini, maka kita sekarang berkorban kambing (karena kita
melaksanakan perintah Allah SWT, maka dalam hubungan ini tak ada pertanyaan
kenapa dan untuk apa). Setelah dua atau tiga kali bermimpi seakan-akan sedang
mengorbankan putranya, Ibrahim as yakin bahwa itu adalah perintah Allah SWT
kepadanya untuk melakukan yang demikian. Ibrahim as menuturkan hal ini kepada
putranya. Putranya setuju dan mengatakan, "Ayah, lakukan apa yang
diperintahkan kepadamu, insya Allah akan engkau dapati aku setia dan
tabah." Al-Qur'an menggambarkan peristiwa yang luar biasa ini. Keduanya
sudah pasrah taat (kepada Allah SWT) dan dia sudah siap menyembelih putranya
(pada akhirnya ketika Ibrahim as mutlak yakin mau menyembelih putranya, dan
sang putra, Ismail, sudah tak ragu lagi bahwa kepalanya akan disembelih): Dan
Kami panggillah dia: "Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah melaksanakan
mimpi itu" (QS. ash-Shâffât: 104-105).
Yang
dikatakan Allah SWT adalah bahwa Allah
SWT sesungguhnya tidak menghendaki kepala Ismail as dipotong. Allah SWT hanya
ingin melihat kepatuhan total Ibrahim dan Ismail kepada kehendak-Nya, dan
ternyata keduanya memang sangat patuh. Al-Qur'an dengan jelas mengatakan
bahwa Allah SWT mengaruniakan seorang putra kepada Nabi Ibrahim as ketika
usianya sudah lanjut. Dikatakan ketika para malaikat mendatanginya dan
mengatakan bahwa dia akan dianugerahi seorang putra oleh Allah SWT, istrinya
berkata: Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku
seorang perempuan tua dan suamiku pun sudah tua pula? Para malaikat itu
berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah)
rahmat Allah dan berkah-Nya dicurahkan atas kamu, wahai Ahlutbait" (QS.
Hûd: 72-73).
Menurut
ayat ini, Allah SWT menganugerahkan seorang putra kepada Ibrahim as ketika
Ibrahim as sudah tua. Ketika masih muda, Ibrahim as belum dikaruniai anak.
Ketika mendapat anak, Ibrahim as sudah jadi Nabi. Dalam Al-Qur'an banyak ayat
tentang Ibrahim as. Ayat-ayat itu menunjukkan bahwa Ibrahim as mendapat anak
ketika berusia tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Ishaq as dan Ismail as
tumbuh besar. Ismail as menjadi dewasa dan membantu ayahnya membangun Ka'bah.
Al-Qur'an mengatakan: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan
beberapa perintah, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berftrman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang
Imam bagi umat manusia." Ibrahim berkata: "(Dan aku mohon juga)
dari keturunanku. " Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang yang zalim" (QS. al-Baqarah: 124).
Apakah
ayat-ayat ini berkenaan dengan masa muda Ibrahim as? Tak dapat dipungkiri,
ayat-ayat ini berbicara tentang ketika Ibrahim as sudah menjadi Nabi, karena
ayat-ayat ini berbicara tentang wahyu. Ayat-ayat ini berkenaan dengan masa tua
Ibrahim as, karena ayat-ayat ini berbicara mengenai ujian demi ujian yang
dilalui Nabi Ibrahim as. Ujian demi ujian ini terjadi di sepanjang hayat
Ibrahim as. Ujian yang paling penting terjadi ketika Ibrahim as sudah lanjut
usia. Dalam ayat-ayat ini disebut-sebut keturunan Ibrahim as. Itu menunjukkan
bahwa ketika percakapan ini berlangsung, Ibrahim as setidak-tidaknya sudah
memiliki seorang anak.
Sesungguhnya,
menurut ayat ini, Ibrahim as diangkat menjadi Imam menjelang akhir hayatnya.
Ayat ini mengatakan bahwa Aku telah menjadikan engkau Imam bagi umat manusia.
Jadi Ibrahim as diberi tugas baru. Itu menunjukkan bahwa Ibrahim as sudah
menjadi Nabi dan Rasul Allah. Namun masih ada satu tahap yang sampai saat itu
belum dicapainya. Tahap itu baru dicapainya setelah sukses melewati semua
ujian. Bukankah itu menunjukkan bahwa, menurut Al-Qur'an, ada satu lagi
realitas yang namanya adalah imamah? Sekarang apa artinya?
Imamah Adalah Perjanjian Ilahi
Arti
imamah adalah tahap menjadi manusia sempurna dan pemimpin sempurna. Ketika
Ibrahim as diangkat menjadi Imam, dia lantas memikirkan keturunannya. Ibrahim
as berkata, "Bagai-mana dengan keturunanku?" Allah SWT menjawab,
"Perjanjian-Ku tidak mengenai orang yang zalim." Di sini imamah
digambarkan sebagai perjanjian Allah SWT. Itulah
sebabnya kaum Syi’ah mengatakan bahwa imamah yang diyakini kaum Syi’ah adalah
ilahiah sifatnya. Al-Qur'an juga menggambarkan imamah sebagai
"Perjanjian-Ku." Imamah adalah perjanjian Allah SWT, bukan perjanjian
manusia. Kalau kita mempertimbangkan fakta bahwa imamah beda dengan perwalian
komunitas Muslim, maka kita tak akan heran bahwa imamah adalah tugas atau misi
ilahiah.
Orang
bertanya siapa yang membentuk pemerintahan, Allah SWT atau manusia? Kami
katakan bahwa soal pemerintahan beda dengan soal imamah. Allah SWT berfirman
kepada Ibrahim as, "Imamah adalah perjanjian-Ku, dan imamah tidak akan
mengenai orang yang zalim di antara keturunanmu. Menjawab pertanyaan Ibrahim as,
Allah SWT tidak mengatakan "Tidak" dan juga tidak mengatakan
"Ya" kepadanya. Allah tidak memasukkan orang yang zalim dalam ruang
lingkup imamah. Karena itu, yang masuk dalam ruang lingkup imamah adalah
keturunan Ibrahim as yang tidak zalim. Ayat ini menunjukkan bahwa imamah akan
selalu ada di antara mereka. Dalam hal ini ada satu ayat lagi: Dan (Ibrahim)
membuat sebuah kalimat jadi kekal pada keturunannya (QS. az-Zukhruf: 28).
Siapakah Orang yang Zalim?
Sekarang
pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan orang yang zalim. Para imam
mendasarkan argumen-argumen mereka pada digunakannya istilah ini dalam ayat
ini. Dari sudut pandang Al-Qur'an, setiap orang yang tidak adil kepada dirinya
sendiri atau orang lain, maka dia itu orang yang zalim. Dalam bahasa biasa,
orang yang zalim adalah orang yang melanggar hak orang lain. Namun menurut
terminologi Al-Qur'an, orang yang tidak adil terhadap dirinya sendiri juga
adalah orang yang zalim. Banyak ayat Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa orang
yang melakukan pelanggaran atas dirinya sendiri disebut orang yang zalim.
Dalam
kaitannya dengan pertanyaan Nabi Ibrahim as tentang keturunannya, 'Allamah
Thabathaba'i mengutip salah seorang gurunya yang mengatakan bahwa keturunan
Nabi Ibrahim as, dari sudut pandang baik atau buruk, dapat dibagi menjadi empat
golongan: (1) yang sepanjang
hayatnya zalim; (2) yang pada
awal-nya zalim, namun kemudian saleh; (3)
yang pada awalnya saleh namun kemudian jadi zalim; dan (4) yang tidak pernah zalim.
Nabi
Ibrahim as sepenuhnya menyadari pentingnya jabatan tinggi imamah yang
dikaruniakan kepadanya setelah dia lama menjadi Nabi. Dengan demikian mustahil
kalau Ibrahim as meminta posisi ini bagi keturunannya yang sepanjang hayatnya
zalim atau yang pada awalnya baik namun kemudian jadi zalim. Nabi Ibrahim as
tentu minta posisi ini hanya bagi keturunannya yang baik. Karena itu
keturunannya yang baik adalah yang sepanjang hayatnya baik dan yang tidak baik
pada awalnya namun di kemudian hari jadi baik. Tentu saja Ibrahim as tak akan
minta posisi ini bagi keturunannya yang tidak termasuk dalam dua golongan ini.
Sekarang kita lihat apa kata Al-Qur'an, "Perjanjian-Ku tidak mengenai
orang-orang yang zalim," Jelaslah pertanyaan Ibrahim as tidak mencakup
keturunannya yang zalim sepanjang hayatnya atau yang baik pada awalnya namun di
kemudian hari jadi zalim. Karena itu apa yang dikatakan Al-Qur'an- sama saja
dengan perkataan bahwa keturunan Ibrahim as yang pernah tercela tidak akan
mengemban imamah. Berdasarkan inilah kaum Syi’ah berargumen bahwa keturunan
Ibrahim as yang pernah jadi orang musyrik pada waktu kapan pun, tidak tepat
untuk mengemban imamah.
Catatan:
[1] Dia sangat dihormati oleh
kaum Syi’ah dan dianggap sebagai istri Nabi yang sangat terkenal setelah
Khadijah. Dia juga sangat dihormati oleh kaum Sunni. Menurut mereka,
kedudukannya nomor tiga setelah Khadijah dan Aisyah.
* Irfan adalah istilah yang digunakan dalam konteks
kultur Islam Iran, untuk menggambarkan sintesis fllsafat, teologi spekulatif
dan pemikiran mistis yang muncul pada periode akhir Abad Pertengahan yang
bertahan hingga kini—pen. (Middle East Journal, Jil. 46, No. 4, Musim Gugur 1992, hal.
632).
[2] Imam Ali as, menurut
riwayat, berkata demikian. (Safinah al-Bihâr, Jil. 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar