“Putera
Ali bin Abi Thalib as itu kemudian mengendarai Dzul Janah, kuda yang sebelumnya
ditunggangi oleh Abul Fadhl Abbas, juga putra Imam Ali dari istrinya yang
bernama Ummul Banin. Ketika itu putri beliau yang berusia tiga tahun berteriak:
ayah, aku haus!”
Detik-detik
terakhir kehidupan Imam Husain as telah semakin berdetak keras. Maka, kepada
kaum wanita keluarga dan kerabatnya bintang ketiga dari untaian suci Imam Ahlul
Bait as yang siap menyongsong kematian sakral itu berkata: "Kenakanlah gaun duka cita kalian.
Bersiaplah menanggung bencana dan ujian. Namun, ketahuilah bahwa Allah adalah
Penjaga dan Pelindung kalian. Dia akan menyelamatkan kalian dari keburukan
musuh, mendatangkan kebaikan dari persoalan yang kalian hadapi, mengazab musuh
dengan berbagai macam siksaan, dan akan mengganti bencana kalian dengan
berbagai macam kenikmatan dan kemuliaan. Maka janganlah kalian mengeluh dengan
rintihan dan kata-kata yang dapat mengurangi keagungan kalian."[1]
Imam Husain as pun menatap wajah puteri-puterinya satu persatu sambil berkata: "Sakinah, Fatimah, Zanab, Ummu Kaltsum, salamku atas kalian. Inilah akhir pertemuan kita, dan akan segera tiba saatnya kalian dirundung nestapa."[2] Wajah Imam Husain as bersimbah air mata sehingga Hazrat Zainab memberanikan diri untuk bertanya: "Mengapa engkau menangis?" "Bagaimana aku akan dapat meredam tangis, sedangkan sebentar lagi kalian akan digiring oleh musuh sebagai tawanan?!"[3]
Sakinah
juga bertanya: "Ayahku, apakah engkau akan menyerah kepada kematian?"[4] "Bagaimana tidak, sedangkan aku sudah tidak mendapati
orang yang akan menolongku?!" Jawab Imam Husain as. Sakinah berkata lagi: "Kalau begitu, lebih baik pulangkan
kami ke tanah suci kakek." [5] Imam Husain as
menjawab: "Mana mungkin aku bisa memulangkan kalian? Andaikan mereka mau
melepaskan diriku, tidak mungkin aku akan menjerumuskan diriku kepada
kebinasaan."[6]
Sejurus
kemudian Sang Imam bergerak untuk menjejakkan kakinya seorang diri menuju
gerombolan musuh yang sudah haus akan darah beliau itu. Namun, gerakannya
tertahan lagi oleh sisa-sisa jerit tangis anak-anak yang menahan dahaga.
"Tak usah kalian menangis, demi kalian jiwaku akan aku korbankan."
Kepada
adiknya, Hazrat Zainab as, beliau berpesan: "Aku titipkan anak-anak dan
kaum wanita ini kepadamu. Jadikanlah kamu sebagai ibu mereka sepeninggalku, dan
tak perlu engkau mengurai-uraikan rambutmu (sebagai luapan dukacita) atas
kepergianku. Apabila anak-anak yatimku merindukan ayahnya, biarlah putera Ali
yang akan tampil sebagai ayah mereka."
Dengan
suara lirih, beliau akhirnya mengucapkan salam perpisahan: "Alwidaa',
alwidaa', alfiraaq, alfiraaq."[7] Putera Ali bin Abi Thalib as itu kemudian
mengendarai Dzul Janah, kuda yang sebelumnya ditunggangi oleh Abul Fadhl Abbas
as. Anak-anak kecil dan kaum wanita tetap tak kuasa menahan ratapan duka lara.
Gerakan Imam diiringi raung tangis mereka. Sebagian tersimpuh sambil memeluk
kaki Dzul Janah. "Ayah! Ayah!" Panggil puteri beliau yang masih
berusia tiga tahun. "Aku haus, aku haus! Mau kemana engkau ayah? Lihatlah
aku, ayah. Aku sedang kehausan."
Hati Imam Husain as kembali menjerit. Imam sempat tersedu menahan tangis, tetapi kemudian tetap menarik kendali kudanya menuju laskar durjana kerajaan Bani Umayyah itu. Di situ beliau mencoba untuk mengajukan permohonan.
"Hai
putera Sa'ad!" Seru beliau. "Aku menginginkan darimu satu diantara
tiga pilihan. Pertama, kamu bebaskan aku untuk kembali kembali ke tanah suci
kakekku dan menetap di sana."
"Itu tidak mungkin!" Sergah Ibnu Sa'ad dengan
raut muka yang angkuh. "Kedua," lanjut
Imam Husain as. "Berilah kami air, karena keluargaku sedang tercekik
dahaga." "Ini juga tidak bisa!"
Teriak panglima pasukan Yazid dari Kufah itu. Imam
berkata lagi: "Kalau begitu, kalian tahu aku di sini hanya seorang diri.
Karenanya, sekarang aku minta satu di antara kalian maju berduel denganku."
Umar bin Sa'ad menjawab: "Ini pekerjaan gampang. Saya
terima permintaanmu untuk memulai duel."
Catatan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar