“Orang yang memetik buah
sebelum matang adalah seperti orang yang menanam di ladang orang”
Khutbah
Ini Diucapkan ketika Nabi (saw) wafat dan 'Abbas serta Abu Sufyan ibn Harb Menawarkan
Diri Untuk Membai’at Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Untuk Jabatan Khalifah
Wahai manusia! [1] Menghindarlah dari
gelombang-gelombang bencana dengan bahtera keselamatan, berpalinglah dari jalan
perpecahan dan tanggalkanlah mahkota kesombongan. Beruntunglah orang yang
bangkit dengan sayap (berkuasa) atau dia dalam kedamaian dan orang lain
menikmati ketenteraman. (Kekhalifahan) itu adalah seperti air kabur atau
sebagai suatu suapan yang akan mencekik orang yang menelannya. Orang yang memetik buah sebelum matang
adalah seperti orang yang menanam di ladang orang.
Apabila saya katakan
maka mereka akan menyebut saya serakah akan kekuasaan, tetapi apabila saya
berdiam diri mereka akan mengatakan bahwa saya takut mati. Sungguh sayang,
setelah segala pasang surut (yang saya alami)! Demi Allah, putra Abu Thalib [2] lebih akrab dengan kematian
daripada seorang bayi dengan dada ibunya. Saya mempunyai pengetahuan yang
tersembunyi; apabila saya membukakannya, Anda akan gemetar seperti tali yang
terulur ke sumur dalam.
Syarah dan Catatan
[1] Ketika Nabi (saw)
wafat, Abu Sufyan tidak berada di Madinah. Dalam perjalanannya kembali ke
Madinah ia mendapat berita duka itu. Segera ia mencaritahu siapa yang telah
menjadi pemimpin. Kepadanya dikatakan bahwa rakyat telah membaiat Abu Bakar.
Ketika mendengar ini, orang yang terkenal sebagai pembuat onar di Arabia ini
berpikir dalam-dalam dan akhirnya mendatangi 'Abbas ibn 'Abdul Muththalib dengan
membawa sebuah usul. la berkata kepadanya, "Lihat, dengan liciknya mereka
menyerahkan kekhalifahan kepada orang Taim dan merebut hak Bani Hasyim untuk
selama-lamanya, dan sesudahnya orang ini akan menempatkan di atas kepala kita
seorang yang sombong dari Bani 'Adi. Marilah kita pergi kepada 'Ali ibn Abi
Thalib dan meminta kepadanya keluar dari rumahnya dan mengangkat senjata untuk
memperoleh haknya."
Maka, dengan membawa
'Abbas besertanya ia datang kepada Ali seraya mengatakan, "Berikanlah
tangan Anda kepada saya; saya akan membaiat Anda, dan apabila seseorang bangkit
menentang, akan saya penuhi jalan-jalan Madinah dengan tentara berkuda dan infantri."
Ini saat yang paling peka bagi Amirul Mukminin. la merasa dirinya sebagai
pemimpin sesungguhnya dan pelanjut Nabi, sedangkan seseorang dengan dukungan
suku dan partainya seperti Abu Sufyan siap hendak mendukungnya. Satu isyarat
sudah cukup untuk menyulut api peperangan. Tetapi, pandangan jauh Amirul
Mukminin scrta penilaiannya yang benar menyelamalkan kaum Muslim dari perang
saudara! Matanya yang tajam melihat bahwa orang ini hendak memulai suatu perang
saudara dengan membangkitkan sikap kesukuan dan keistimewaan darah, sehingga
Islam akan terpukul dengan ledakan yang menggoncangnya hingga ke akar-akarnya.
Karena itu, Amirul Mukminin menolak anjurannya dan memperingatkannya dengan
keras dan mengucapkan kata-kata yang menghentikan perbuatan onar dan tipu daya
yang licik, dan memaklumkan sikapnya bahwa baginya hanya ada dua jalan, mengangkat
senjata atau duduk diam-diam di rumah. Apabila ia bangkit untuk berperang, tak
ada pendukung yang dapat menekan kekacauan yang timbul. Satu-satunya jalan yang
tertinggal ialah menunggu saat yang sesuai.
Ketenangan Amirul
Mukminm pada tahap ini menunjukkan kearifannya yang tinggi dan pandangannya
yang jauh. Sekiranya dalam suasana itu Madinah menjadi pusat peperangan, apinya
akan membahana di seluruh Arabia. Perselisihan dan pergolakan yang telah mulai
di kalangan kaum Muhajirin dan Anshar akan memuncak, api hasutan kaum munafik
akan merajalela, dan bahtera Islam akan terjebak dalam badai sehingga sukar
mengimbangkannya.
Amirul Mukminin Ali
bin Abi Thalib as menderita kesusahan dan percobaan, tetapi tidak mengangkat
tangannya. Sejarah menyaksikan bahwa selama hidupnya di Makkah, Nabi saw menanggung
segala macam kesusahan, tetapi beliau tidak mau berbentrokan atau berjuang
dengan meninggalkan kesabaran, karena beliau sadar bahwa apabila terjadi
peperangan pada tahap itu maka jalan pertumbuhan dan pembuahan Islam akan
tertutup. Tentu saja, ketika beliau telah mengumpulkan para pendukung dan penolong
yang cukup untuk menekan banjir kejahatan dan menumpas kekacauan, beliau
bangkit menghadapi musuh.
Demikian pula Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib as, dengan mengikuti kehidupan Nabi saw sebagai
suluh petunjuk, ia menahan diri dari adu kekuatan, karena ia menyadari bahwa bangkit
menentang musuh tanpa penolong dan pendukung akan menjadi sumber pemberontakan
dan kekalahan sebagai ganti keberhasilan dan kemenangan. Karena itu, pada
kesempatan ini ia telah menyerupakan hasrat unluk kekhalifahan dengan air keruh
atau suapan yang mencekik kerongkongan. Mereka tak dapat menelannya, tak dapat
pula memuntahkannya. Yakni, mereka tak dapat mengelolanya, sebagaimana nampak
pada kesalahan-kesalahan besar yang mereka lakukan sehubungan dengan
perintah-perintah Islam, tak siap pula melepaskan yang mencekik leher mereka.
Ia mengungkapkan
kembali gagasan yang sama ini dengan kata-kata lain, "Apabila saya telah
mencoba untuk memetik buah kekhalifahan yang belum masak maka dengan ini kebun
buah-buahan akan terkucil dan saya pun tak akan mendapatkan apa-apa, seperti
orang-orang ini, yang menanam di kebun orang tetapi tak dapat menjaganya, tak
dapat mengairinya pada waktu yang semestinya, tak dapat pula memetik sualu
hasil darinya. Kedudukan orang-orang ini, apabila saya menyuruh mereka
meninggalkannya agar si pemilik dapat menanaminya sendiri dan melindunginya,
mereka akan mengatakan betapa serakahnya saya, sedangkan bila saya berdiam
diri, mereka mengira saya takut mati. Mereka seharusnya mengatakan kapada saya
kapan saya pernah merasa takut atau lari dari medan pertempuran untuk
menyelamatkan nyawa, sedang tiap pertarungan kecil atau besar membuktikan
keberanian saya dan menjadi saksi atas keberanian dan kesatriaan saya. Orang
yang bermain dengan pedang dan memancung bukit tidak akan takut kepada maut.
Saya begitu akrab dengan maut sehingga bahkan bayi tak akan seakrab itu dengan
buah dada ibunya. Perhatikan! Sebab diamnya saya ialah pengetahuan yang telah
diletakkan Nabi saw dalam dada saya. Apabila saya bentangkan itu maka Anda akan
bingung dan tercengang. Biarlah beberapa hari berlalu, maka Anda akan mengetahui
sebabnya saya tidak bertindak; dan lihatlah dengan mata Anda sendiri jenis
manusia macam bagaimana yang akan muncul dalam gelanggang ini dengan nama
Islam, dan kerusakan apa yang ditimbulkannya. Diamnya saya ialah karena ini
akan terjadi; itu bukan diam tanpa sebab."
Seorang sufi Iran
mngatakan, "Diam mengandung arti yang lak dapat disampaikan dengan
kata-kata."
[2] Tentang kematian,
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata bahwa maut begitu dicintainya
sehingga bahkan seorang bayi tak sebegitu mau sampai melompat ke sumber
makanannya itu sementara ia dalam pangkuan ibunya. Keterlekatan bayi pada buah
dada ibunya adalah karena pengaruh dorongan alami, tetapi dikte dorongan alami
itu berubah dengan majunya waktu. Ketika masa bayi yang terbatas itu berakhir
dan temperamen anak itu berubah, ia bahkan tak ingin melihat apa yang dahulunya
begitu akrab baginya, bahkan memalingkan wajah darinya. Tetapi, kecintaan para
nabi dan wali untuk bertemu dengan Allah bersitat mental dan spiritual, dan
perasaan mental dan spiritual tidak berubah, tidak pula kelemahan atau
kelapukan terjadi padanya.
Karena maut adalah
sarana dan tangga pertama ke tujuannya maka cinta mereka kepada maut semakin
bertambah sehingga kekerasannya menjadi sumber kesenangan bagi mereka, dan
kepahitannya terasa sebagai sumber kenikmatan. Cinta mereka kepadanya adalah
sebagai cinta orang haus kepada sumber air, atau kerinduan musafir yang
tersesat kepada tujuannya. Maka, ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as diciderai
oleh serangan fatal 'Abdur-Rahman ibn Muljam, ia berkata, "Saya sebagai
seorang pejalan yang telah mencapai (tujuan), seperti pencari yang sudah
mendapatkan (maksud), dan apa yang ada di sisi Allah adalah baik bagi orang
yang takwa." Nabi saw mengatakan bahwa tak ada kesenangan bagi seorang
mukmin selain pertemuan dengan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar